Selasa, 12 Juli 2022

Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali

 


Sebelum perang berkecamuk di Puputan Klungkung, api perlawanan atas kolonial Belanda telah lebih dulu terjadi di Desa Gelgel. Pemantiknya berawal dari patroli keamanan kolonial di wilayah Kerajaan Klungkung sejak 13-16 April 1908. Para pembesar kerajaan dan rakyat tak terima. Sebab, hal tersebut dianggap melanggar kedaulatan kerajaan. Tak ayal penyerangan terhadap patroli Belanda terjadi di Desa Gelgel.
Made Sutaba dkk dalam buku "Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali" menjelaskan, serangan mendadak itu menyebabkan 10 serdadu kolonial mati, termasuk seorang pemimpin serdadu mereka, Letnan Haremaker. "Mati setelah sampai di Gianyar," tulis Made Sutaba dkk.
Pihak kolonial kemudian murka, dan menuduh Kerajaan Klungkung telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Raja Dewa Agung Jambe II dan rakyat diminta untuk menyerah sampai 22 April 1908. Ancaman tersebut ternyata tak mengendurkan nyali raja dan rakyat. Justru semangat menjaga kedaulatan kerajaan semakin membesar.
Bermodal tombak, laskar-laskar Klungkung nan gagah berani menghadapi serangan pasukan Belanda yang berbekal beberapa meriam kaliber 13 dan 15 cm. "Tapi serangan laskar Klungkung dapat dipatahkan," kata Made Sutaba dkk. Selasa, 21 April 1908, Istana Semarapura, Gelgel, dan Satria dibombardir serdadu kolonial selama 6 hari berturut-turut.
Celakanya, pada 27 April 1908, pasukan tambahan kolonial dari Batavia tiba di Desa Kusamba dan Jumpai. Kobaran perang semakin membesar. Perlawanan sengit diberikan rakyat kedua desa itu, meski persenjataan tak berimbang. Serdadu kolonial pun semakin merangsek menuju Klungkung. Istana Semarapura mulai terkepung.
Bersama 3.000 laskar Klungkung, Raja Dewa Agung Jambe maju menyerang kolonial. Tak lama kemudian, mereka pun gugur dalam berondongan peluru serdadu. Selasa, 28 April 1908, sore, Kerajaan Klungkung jatuh ke tangan kolonial Belanda.
Meskipun secara fisik kalah, namun Raja Dewa Agung Jambe dan rakyat menunjukkan sikap masyarakat Bali, yang menempatkan harga diri dan kehormatan di atas segala-galanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar