|
Dagang Banten Bali
|
Eklavya. Ayahnya adalah seorang kepala suku di kerajaan Hastinapura.
Eklavya adalah anak yang sangat pemberani dan selalu jujur serta adil.
Meskipun semua orang yang mengenalnya mencintainya, namun ekalavya tetap
merasa tidak bahagia.
Tak lama kemudian ayahnya menyadari ada
sesuatu yang membuat Eklavya merasa tidak bahagia. Dia sering mendapati
anaknya termenung dalam pikiran, meski seolah - olah Ekalavya sedang
melakukan sesuatu yang dia sukai. Suatu hari dia bertanya kepada
anaknya, 'Eklavya, mengapa kamu tidak bahagia? Apakah kamu tidak
tertarik untuk berburu? Kenapa kamu tidak pergi dengan teman-temanmu dan
menikmati hari dengan bermain dan berburu di hutan? "
Eklavya
terdiam beberapa saat, lalu dia berkata, Ayah, aku ingin menjadi pemanah
dan ingin diajari oleh guru besar Hastinapura yang hebat, yaitu Guru
Dronacharya. Gurukul adalah tempat dimana Guru Dronacharya mengajar,
tempat dimana penuh keajaiban, tempat di mana dia mengajar anak
laki-laki sederhana seperti diriku dan segera mengubahnya menjadi
pejuang yang pemberani dan gagah perkasa.
Ayah Eklavya kemudian
terdiam. Melihat wajah ayahnya yang termenung Ekalavya segera berkata,
"Ayah, aku tahu apa yang engkau pikirkan. Kita berasal dari suku yang
hidup dari berburu, tapi aku tidak ingin tetap menjadi pemburu sepanjang
hidupku. Aku ingin menjadi seorang pejuang yang gagah perkasa. Maukah
engkau mengizinkanku untuk meninggalkan rumah dan pergi menuju Guru
Dronacharya di Gurukul ?
Ayah Eklavya khawatir. Dia tahu bahwa
apa yang diimpikan anaknya tidak akan menjadi sesuatu yang mudah. Dan
pada kenyataannya hal itu bisa menjadi sesuatu yang tidak pernah dia
miliki. Tapi dia sangat mencintai anaknya dan tidak mau menolak
keinginannya. Jadi dia memberkati anaknya serta mendoakannya untuk
menjadi sukses dan kemudian ia pun memberikan restu Eklavya untuk pergi
ke gurukul , belajar dari Guru Dronacharya sendiri.
Eklavya
berangkat ke gurukul dan segera sampai di sebuah tempat, dimana tempat
itu adalah hutan tempat dimana Guru Dronacharya sedang mengajar memanah
kepada para pangeran kerajaan Hastinapura.
Pada masa yang lalu,
gurukul adalah tempat belajar yang paling sakral. Tidak ada sekolah atau
perguruan tinggi menyamai kesakralan tempat ini, dan gurukul adalah
tempat para guru dan murid tinggal bersama. Saat Eklavya sampai di
Gurukul, dia bisa melihat beberapa gubuk yang dikelilingi beberapa pohon
dan memiliki halaman yang dimaksudkan untuk latihan memanah.
Murid-murid Dronacharya sedang berlatih menembakkan anak panah dengan
menggunakan busur mereka di dalam halaman latihan. Eklavya terpesona
saat melihat tapi dia masih mencari Guru Dronacharya. Dimana calon
gurunya itu? Apakah dia bisa bertemu pemanah terbaik di kerajaan pada
akhirnya? Jika tidak bisa bertemu Guru Dronacharya, tidak akan ada
artinya bagi Eklavya untuk berada di gurukul. Bahkan saat Eklavya
khawatir dengan pikiran ini, kegelisahannya berhenti saat dia melihat
idolanya Guru Dronacharya berdiri diam di dekat pohon. Dia memberi
instruksi kepada salah satu muridnya. Murid itu adalah kesayangan Guru
Dronacharya, meskipun Eklavya tidak mengetahuinya saat itu, dia adalah
pangeran Arjuna, yang merupakan pangeran Pandava yang ketiga. Eklavya
menuju Guru Dronacharya, dan saat berhadapan dengannya ia pun segera
memberikan hormat seraya membungkuk.
Guru Dronacharya sangat terkejut melihat seorang anak laki-laki asing di gurukul. Dia bertanya kepada Ekalavya "siapa kamu?'
Eklavya menjawab, 'Saya Eklavya, dan saya adalah putra seorang kepala
suku. Ayah saya adalah seorang kepala suku yang mendiami hutan di
belahan barat Kerajaan Hastinapura. Saya datang ke sini hendak belajar
darimu wahai Guru Dronacharya, jadi mohon terimalah saya sebagai
muridnya dan ajari saya bagaimana menjadi kesatria yang ahli dalam
memanah".
Tapi Guru Dronacharya tidaklah terkesan dengan apa yang
disampaikan oleh Ekalavya, segera ia berkata dengan lantang "Eklavya,
jika kau adalah putra kepala suku, itu berarti kau berasal dari kasta
Shudra. Ini adalah kasta manusia terendah sesuai dengan sistem kasta
Hindu. Aku adalah seorang Brahmana, dan Aku berasal dari kasta
tertinggi, aku tidak bisa mengajarimu, karena kau berasal dari kasta
terendah....!"
Mendengar ini, Pangeran Arjuna berkata, " Guru
Dronacharya adalah seorang guru kerajaan. Raja sendiri telah menunjuknya
sebagai guru kami, Beliau hanya melatih mereka yang lahir dari keluarga
kerajaan, seperti raja dan pangeran, bukan Shudras sepertimu. Bagaimana
mungkin kau berani masuk ke dalam Gurukul? Arjuna marah karena Eklavya
telah mengganggu latihannya dan meneriaki bocah itu.
Eklavya
kaget akan reaksi kedua orang itu, Sebagai putra kepala suku, dia tidak
pernah menghina siapapun yang berada di bawahnya saat berdiri. Dia
menatap Dronacharya, mengharapkan beberapa kata motivasi darinya. Tapi
guru Dronacharya tetap diam dan menolak untuk berbicara, dia telah
menjelaskan dengan sangat jelas bahwa dia tidak ingin mengajar Eklavya,
seorang anak laki-laki shudra.
Eklavya sangat terluka oleh
ketidakadilan tersebut. 'Tuhan tidak pernah membedakan siapapun jika
menyampaikan pengetahuan,' pikirnya. "Hanya manusia yang saling
membedakan satu sama lain."
Ekalavya segera pergi dari Gurukul ,
tapi meski dia sangat sedih, dia tahu dia tidak akan pernah melepaskan
keinginannya untuk menjadi seorang ahli dalam memanah, walaupun ia
adalah seorang shudra. Ekalavya pun berkata dalam hatinya , "Aku harus
berlatih setiap hari. Lalu aku akan menjadi seorang pemanah yang berani
dan hebat seperti para pangeran yang telah diajari oleh Guru
Dronacharya".
Begitu kembali ke hutannya, Eklavya membuat patung
Dronacharya dan mulai berlatih memanah setiap hari. Dia percaya bahwa
patung Guru Dronacharya itu nyata dan gurunya sedang mengawasi dan
menginspirasinya. Dengan latihan yang rajin dan sungguh sungguh ,
Eklavya segera menjadi salah satu pemanah terbaik dan yakin bahwa dia
lebih baik dari pada Pangeran Arjuna, murid terbaik Guru Dronacharya.
Suatu hari saat berlatih, suara gonggongan seekor anjing telah
mengganggunya. Segera Ekalavya menembakkan tujuh anak panah ke arah
mulut sang anjing, tanpa menyakitinya sama sekali. Anjing itu segera
pergi, dengan panah masih ada di mulutnya. Pada saat itu para Pangeran
Pandava, bersama Guru Dronacharya, telah tiba di bagian hutan itu untuk
pergi berburu, dan tanpa sengaja melihat anjing itu. Mereka tercengang
dan mulai mencari orang yang telah melakukan prestasi ini. Mereka segera
sampai di tempat dimana Eklavya berlatih.
Dronacharya bertanya
kepadanya 'Kau memiliki keahlian yang menakjubkan, siapakah gurumu?'
Eklavya pun menjawab, 'Engkaulah adalah guru saya, saya telah belajar
darimu.'
Guru Dronacharya sekarang ingat semua tentang anak
laki-laki yang telah dia tolak menjadi muridnya. Dia bertanya kepada
Eklavya apa maksudnya, dan dia mengatakan kepada guru segala sesuatu
yang telah terjadi. Arjuna sangat marah, karena Dronacharya telah
berjanji kepadanya bahwa dia akan menjadi pemanah terbaik. Dronacharya
juga diam. Melihat Pangeran Arjuna marah, dia berpikir untuk menghukum
Eklavya.
"Jika kau menganggap diriku sebagai gurumu, Kau harus
memberi ku 'Guru Dakshina' sebagai wujud bahktimu kepadaku.' Eklavya
sangat bahagia dan bertanya apa yang diinginkan gurunya.
'Berikan ibu jari tangan kananmu sebagai Guru Dakshina' katanya.
Semua orang diam. Eklavya tahu tanpa ibu jari, dia tidak akan bisa
menembak lagi. Sambil mengambil pisaunya, dia memotong ibu jarinya tanpa
ragu sedikit pun dan memberikannya pada Guru Dronacharya.
Guru
Dronacharya tersentuh hatinya. Dia pun memberkati anak laki-laki itu,
meskipun dia tidak memiliki ibu jari, namun dia tetap akan bisa
menembakkan anak panah, dan kelak dunia akan mengenalnya sebagai pemanah
yang lebih besar dari pada Arjuna.