Tampilkan postingan dengan label Satua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Satua. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 September 2018

Memuja Leluhur atau Memuja Tuhan?




Baru saja ada yg mengatakan bahwa memuja Leluhur atau memuja Alam itu sama saja dg Memuja Tuhan. Karena kl dianalisa lbh dalam, leluhur pertama dr kita semua adalah Tuhan Juga. Spt dlm Mantram Gayatri yg disebut SAWITA. Dia adlh leluhur pertama. Demikian pula memuja alam sama dg memuja Tuhan, krn alam mendapatkan kekuatan juga dr Tuhan. Laut, Gunung, Matahari, sumber dr semua sumber energynya adalah Tuhan. Jd mwmuja kekuatan alam juga sama dg memuja Tuhan.
Tapi sejauh manakah hal itu benar dan bisa dipraktekkan dan bermanfaat untuk kemajuan Spiritual kita?
Saya akan mulai dgn mengulang sebuah kisah nyata yg pernah sy dengar:
Suatu hari seorang Guru hrs menjlaskan/menjawab pertanyaan yg mirip2 dg kasus di atas.
Pertanyaannya adlh: Kalau semua kerja adalah Brahma seperti dlm ajaran Madhuvidya (brahmacarya), bahwa makan, minum, tidur, mandi, sembahyang, memuja, dan apapun yg dilakukan adlh Brahma. Lalu mengapa kita harus melakukan sadhana, berbuat baik dsb?
Krn jawaban dr pertanyaan tsb bukan sebatas intelek, tp bgmn memahaminya maka sulit dijabarkan dg kata2, Guru menunggu sesaat dan....
Tiba2 Guru memukul murid tsb dg sangat keras tanpa ampun. Murid pun kaget dan menjerti kesakitan, tdk mengerti mengapa dia dipukul sedemikian. Apakah karena salah tlh bertanya demikian? Tapi dia tdk berdaya menerima kemarahan Guru. Setelah cukup, sambil trs memukulnya, Guru berkata, "Sekarang lihatlah Brahma (Guru) memukul Brahma (murid) dg Brahma(tongkat), dan Brahma merasakan Brahma (kesakitan)....
Lalu hening sejenak....
Setelah itu muridpun faham dan Guru menjelaskan, "Karena masih ada ego, dr aku yg kecil, maka Sadhana wajib dilakukan. Sampai realisasi "aham brahma asmi" sempurna dlm kesadaran dan belenggu dualisme terlampaui, saat itu, SEMUA KERJA ADALAH BRAHMA.
Nah kembali ke Topik pertanyaannya, apakah memuja leluhur tdk sama dgmemuna Tuhan? Jawabannya, bisakah kita melihat Tuhan saat memuja leluhur? Bisakah kita melihat Tuhan saat memuja ibu dan bapak? Bisakah kita melihat Tuhan ketika memuja Dewa dewa? Bisakah kita melihat Tuhan saat memuja alam spt Laut, Gunung, angin dsb ? Kl iya... maka TIDAK MASALAH. Pujalah Orangtua, leluhur, dewa dewa, roh alam dsb. seperti Weda mendeklarasikan
sarva khalu idam brahma....
Nyatanya, dlm keadaan terikat oleh maya, aku dan nafsu duniawi, orang memuju leluhur karena rasa takut, karena keterikatan badan kasar, hubungan darah, tradisi, dsb nya. Dgn keadaan demikian... bisakah kita berharap akan mendapatkan realisasi Tuhan dg memuja orang tua, leluhur dan roh alam?


klasifikasi bipatrisi


Klasifikasi Jagad
Konsep klasifikasi kosmik, atau cara pandang manusia atas tatanan jagad atau semesta alam. Klasifikasi jagad ini bukanlah barang baru di sudut-sudut Nusantara ini (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996). Dalam Ilmu Anthropologi konsep ini dikenal dengan klasifikasi bipatrisi (Rwa Bhineda), klasifikasi tripartisi (Tri Hita Karana), dan klasifikasi kuadripartisi (Catur Loka Phala).
a. Konsep Rwa Bhineda
Dalam konsep ini jagad dipandang sebagai sesuatu yang terdiri atas dua bagian yang saling bersebarangan, namun saling melengkapi dan saling tergantung. Tidak akan ada sesuatu yang disebut kiri apabila tidak ada sesuatu yang disebut kanan. Tidak ada wanita tanpa laki-laki. Jagad di dalam pandangan ini senantiasa bersifat dwitunggal. Loro-loroning atunggal, dalam bahasa Jawa.
b. Konsep Tri Hita Karana
Dalam konsep yang merupakan kontribusi Mpu Kuturan ini, wilayah dipandang sebagai sesuatu yang terdiri atas tiga bagian harmonis yang seimbang atau saling mengimbangi. Ketiga bagian tersebut adalah:
1) Uttama Mandala atau Wilayah Parhyangan atau alam dewa, dalam arti tereksanya relasi antara manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa.
2) Madhya Mandala atau Wilayah Pawongan atau alam manusia, dalam arti tereksanya relasi antara manusia dengan sesamanya.
3) Nishtha Mandala atau Wilayah Palemahan atau alam bawah, dalam arti tereksanya relasi antara manusia dengan alam semesta.
Hubungan yang serba harmonis ini terselenggara demi reksa kesejahteraan kehidupan atau sukerta sakala-niskala. Konsep ini dikenal pula sebagai konsep Triloka yang terdiri atas swahloka, bhwahloka, dan bhurloka.
c. Konsep Catur Lokapala
Konsep yang juga umum dikenal adalah konsep Catur Lokapala , atau yang di dalam budaya Jawa dikenal sebagai konsep Mancapat.
Dalam konsep ini jagad terdiri atas empat unsur atau elemen yang termanifestasi ke dalam empat penjuru mataangin (timur, selatan, barat, dan utara), yang bersatu dengan elemen kelima yang terdapat di pusat, menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Keempat elemen ini terdapat pula di jagad gede atau bhuwana agung maupun di bhuwana alit atau jagad cilik. Elemen-elemen padabhuwana agung itu adalah tanah, api, angin, dan air. Sedangkan elemen-elemen pada bhuwana alit adalah daging, sumsum, nafas,dan darah. Masyarakat Bali mengenal konsep ini juga dalam bentuk kanda mpat, panca maha bhuta, dan panca kosika (Hooykaas, 1974). Adapun konsep klasifikasi jagad menjadi enam atau delapan bagian itu merupakan varian dari konsep Mancapat itu sendiri


Minggu, 08 Juli 2018

sampradaya sesat?


Oleh Ida Pedanda Asraya Jati Manuaba
sampradaya sesat?
Jika orang sudah menekuni tattwa, akan memahami bahwa sampradaya bukanlah hal asing dalam Hindu.
Sampradaya artinya garis aguron-guron atau garis perguruan di mana ilmu Weda itu diajarkan dari guru ke murid.
Jadi, umat Hindu yang belajar di Sampradaya artinya belajar menekuni ajaran Weda.
Seharusnya, umat Hindu malu karena tidak pernah tahu bagaimana caranya belajar Weda. Sementara itu, umat Hindu digempur habis-habisan oleh agama lain karena tidak bisa ‘membela diri’ dengan ilmu pengetahuan agama yang mapan.
Kehadiran sampradaya atau garis aguron-guron ini sebenarnya sudah lama ada dalam Hindu. Sebagai contoh, semua pedanda yang ada saat ini adalah produk dari sistem aguron-guron Dang Hyang Dwijendra yang dimulai 500 tahun lalu. Jadi, sistem perguruan ini turun-temurun, dari guru (nabe) ke murid (sisya). Ini adalah ‘sampradaya’ yang sudah ada lama di Bali yang kita kenal dengan sistem siwa dan sisya.
Orang yang ingin belajar di sampradaya itu bukan main-main. Pantangannya banyak. Mereka tidak boleh berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak berhubungan di luar nikah dan bahkan dilarang makan daging (ahimsa).
Orang yang belajar Weda dalam sampradaya adalah orang yang mempraktikkan semua pantangan itu sehingga mereka sesungguhnya bukan manusia sembarangan. Merekalah yang sesungguhnya menegakkan ajaran dharma secara nyata. Merekalah benteng Hindu di masa depan.
Ini mengingatkan saya pada ramalan kuno di tahun 1478, saat Majapahit hancur oleh serbuan Demak. Saat itu, pendeta kerajaan Majapahit, yang kita kenal sebagai Sabda Palon Nayagenggong bersabda bahwa lima ratus tahun setelah runtuhnya Majapahit akan ada agama buddhi, agama cinta kasih yang mengingatkan semua orang akan jati dirinya.
Sabda Palon Nayagenggong adalah Dang Hyang Dwijendra, atau Bhatara Sakti Wawu Rauh.
“Kelak lima ratus tahun setelah ini aku akan kembali, membawa ajaran agama buddhi (agama cinta kasih) dan akan kusebarluaskan. Barangsiapa yang tidak mau mengambil ajaran ini akan ditelan oleh zaman.

Sabtu, 07 Juli 2018

Ada tiga jenis japa-yajña.





Dagang Banten Bali


Yi: vācika-japa, upāṁśu-japa dan mānasa-japa.
Di antara ketiganya, masing-masing lebih unggul dari yang sebelumnya.
1). Vācika-japa adalah nyanyian yang ditandai dengan nada tinggi dan rendah bersama dengan pengucapan yang jelas dan ucapan yang dapat didengar.
2). Upāṁśu-japa adalah di mana bibir bergerak sedikit dan mantra diucapkan dengan lembut sedemikian rupa sehingga hanya dapat didengar oleh diri sendiri.
3). Mānasa-japa /manasika-japa adalah di mana pelafal secara mental menghubungkan suku kata mantra untuk membentuk sebuah kata dan kemudian secara mental menghubungkan kata-kata tersebut untuk membentuk mantra, setelah itu merenungkan arti mantra.
Manasa japa adalah bentuk japa yang tidak dapat didengar bahkan oleh telinganya sendiri
Upamsu didengar oleh diri sendiri tetapi tidak oleh orang lain.
Vachika japa dapat didengar oleh siapa saja di sekitar. ”
Manasika japa adalah bentuk japa terbaik diikuti oleh Upamshu japa lalu Vachika japa
Melafalkan doa dalam pūjā disebut stuti atau stavana.

Jumat, 19 Januari 2018

Persiapan Kramaning Sembah







Persiapan sembahyang meliputi persiapan #lahir dan persiapan #batin.
Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas, sikap tangan dan sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga, kuangen dan dupa. Sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran.
Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:
Yaitu mengusahakan kebersihan dan kesucian.
#Kebersihan berhubungan dengan kebersihan badan yang dapat diupayakan dengan mandi dan keramas.
#Kesucian berhubungan dengan nilai religius yang biasanya diupayakan dengan malukat dan lain-lain.
Pakaian waktu sembahyang agar
diupayakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat atau longgar, warna yang menjolok
hendaknya dihindari. Pakaian harus disesuaikan dengan drsta setempat
supaya tidak menarik perhatian orang.
Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan serta tidak mengganggu ketenangan hati.
Sikap duduk yang baik untuk laki-laki adalah #Padmasana/#silasana yaitu sikap duduk bersila dengan badan tegak lurus. Bagi wanita sikap duduk yang baik disebut #Bajrasana yaitu sikap duduk besimpuh dengan dua tumit
kaki diduduki dan badan tegak lurus.
Sikap tangan yang baik waktu sembahyang adalah sikap #Anjali atau #Cakuping_Kara Kalih yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun, dimana pada waktu sembahayang memakai bunga atau kuangen, dijepit pada ujung jari tengah.
#Sarana Sembahyang (bunga, kuangen,dupa)
Bunga dan Kuangen adalah lambang kesucian (Sekare pinaka katulusan pikayunan suci: dalam #lontar_Yadnya_Prakerti) serta simbul
#Sanghyang_Widhi dan manifstasi-Nya. Jika dalam persembahyangan tidak ada #Kuangen dapat diganti dengan bunga. Oleh karena itu
patut diupayakan bunga yang segar,
bersih dan harum. Dalam kitab#Agastya_Parwa disebutkan ada beberapa bunga yang tidak baik dipersembahkan atau dipakai sebagai sarana persembahyangan.
“Nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara : kembang uleren, kembang ruru tan inuduh, kembang laywan, laywan ngaranya alewas mekar, kembang munggah ring sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika.”
Artinya :
Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang baik-baik.
#Apinya_dupa adalah simbul #Sanghyang_Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Sanghyang Widhi. Setiap yadnya dan pemujaan tidak luput dari penggunaaan api.

Selasa, 09 Januari 2018

Sagaramantana


Kisah ini berawal dari upaya para dewa dan asura untuk memperoleh air suci amerta yang dapat memberikan keabadian bagi siapa saja yang meminumnya. Wishnu membujuk para dewa dan asura, bahwa daripada mereka bertempur sebaiknya mereka bekerjasama untuk mendapatkan #amerta. Maka Wishnu memimpin baik kaum dewa dan asura untuk melilitkan naga raksasa Wasuki pada Gunung Meru. Lalu gunung Meru dipindahkan ke samudra, akan tetapi gunung Meru tenggelam, untuk menyelamatkannya Wishnu berubah wujud menjadi #Kurma awatara yaitu kura-kura raksasa, dan menopang Gunung Meru. Wishnu membujuk para asura untuk memegang ujung tubuh yang terdapat kepala Wasuki, sementara para dewa memegang ekor ular naga Wasuki. Maka akibatnya para asura terkena racun bisa yang keluar dari mulut Wasuki. Meskipun demikian baik para dewa maupun para asura tetap bekerjasama menarik tubuh Wasuki dengan gerakan seperti menarik tambang untuk memutar gunung Meru, sehingga samudra susu teraduk.
Dari dalam adukan ini muncullah racun berbahaya yang disebut #Halahala. Racun ini demikian berbahaya sehingga dapat memusnahkan alam semesta. Wisnu membujuk Siwa untuk membantu, maka Siwa menelan racun ini dan menyelamatkan jagat raya. Pasangan Siwa, Parwati membantu menekan leher Siwa agar racun tidak lolos keluar. Karena hal ini leher Siwa berubah menjadi biru, sehingga muncul julukan Siwa sebagai #Nilakanta (sansekerta: nila= biru, kantha= leher).


Sabtu, 30 Desember 2017

Men Tiwas lan Men Sugih

Dagang Banten Bali

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Men Tiwas teken Men Sugih
#menggalisatuabali
Ada katuturan satua Men Tiwas teken Men Sugih. Men Tiwas buka adane Ia mula tiwas pisan. Gegaene tuah ngalih saang kaalase. Kerana Ia tuah megae ngalih saang, apa tuara gelahanga. Kadirasa baas lakar jakan jani Ia tuara ngelah.
Yadin Ia tiwas buka keto nanging solahne melah, demen ia matetulung, jemet maturan, lan setata mabikas sane beneh. Len pesan teken Men Sugih. Men Sugih mula saja buka adane Ia sugih pesan nanging bikasne jele. Sombong, demit, jail teken anak tiwas, miwah setata mabikas jele.
Sedek dina anu ritatkala Men Tiwas nyakan, ia tusing ngelah api. Kemu lantas Ia ka umah Men Sugihe ngidih api.
“Mbok mbok ngidih ja tiang apine” keto Men Tiwas makaukan
“Ngujang nyai mai ngdidih api? Kanti api nyai sing ngelah?” keto pasutne Men Sugih sada bangras pesu uling jumahan umahnee.
“Tiang lakar nyakan mbok nanging tusing ngelah api jumah”


“Nah lakar kebaang nyai api, kewala opin malu ngaliin kutu di sirah wakene. Aliin nganti kedas sirah wakene nyanan baanga ja upah baas acrongcong” keto pesautne Men Sugih. Nyak lantas Men Tiwas ngaliin kutune Men Sugih nganti tengai mare suud. Men Tiwas lantas baanga upah baas acrongcong teked jumahne baase ento jakana. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih nyiksikin sirahne lan bakatanga kutu aukud. Gedeg basange Men Sugih kerana makatang kutu aukud. Kemu lantas Ia ka umah Men Tiwase.
“Eh Nyai jelema tiwas, tolih ne wake makatang kutu aukud di sirah wakene. Mai jak baase ne baang wake busan!” keto Men Sugih ngomong neked jumahne Men Tiwas.
“Baase busan suba bakat jakan tiang mbok” Men Tiwas nyautin.
“Nah ento suba mai aba, kadong ja suba dadi nasi!” lantas Men Sugih nyemak baase ane lakar lebeng dadi nasi ento.
“Nyai masi busan ngidih api teken wake, jani saange ne misi api ene jemak wake aba mulih!” Men Sugih merondong nasine Men Tiwas ane makiken lebeng lan saange ane misi api abane ke umahne. Men Tiwas tusing ngidaang ngomong apa. Ia tuah ngidaang bengong ningalin tingkahne Men Sugih sambilanga naanang basangne seduk.
Buin manine Men Sugih nundenin Men Tiwas ngopin nebukang padi lan nyanjiang upah baas duang crongcong. Men Tiwas nyak nebukang padine Men Sugih. Nganti tengai mare ia suud lan baanga upah baas duang crongcong teken Men Sugih. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih maliin baasne lan bakatanga latah dadua. Gedeg pisan Men Sugih lantas Ia kemu ka umah Men Tiwase lakar nuntun Men Tiwas.
“Eh nyai Men Tiwas, mula saja nyai tusing bisa magarapan. Ibi tunden ngaliin kutu tusing kedas. Jani tunden nebuk padi, ne tolih wake maan latah dadua. Kerana nyai tusing melah nyemak gae, jani mai aba baase ane wake baang teken nyai I nuni semeng!” keto omongne Men Sugih dawa malemad.
“Kenkenang tiang nguliang mbok, baase suba jakan tiang lan mekiken lebeng” Men Tiwas mesaut.
“Nah ento suba mai aba!” Men Sugih merondong baase ane mekiken lebeng ke umahne. Men Tiwas engsek atine ningalin tingkah Men Sugihe buka keto. Sing kerasa ngetel yeh paningalane ngenehang basang seduk uli semengan tusing misi apa, jani buin kajailin olih Men sugih.
Sedek dina anu Men Tiwas kemu ka alase ngalih saang teken paku. Sedek iteha ngalih paku di bet-bete saget teka kidang kencana.
“Eh Men Tiwas, apa kaalih ditu?” keto Sang Kidang metakon. Men Tiwas makesiab nepukin ada kidang bisa ngomong.
“Tiang ngalih saang teken paku nika jero Kidang” pesautne Men Tiwas sada ngejer.
“Anggon gena ngalih keketo?”.
“Lakar adep tiang nika, yen ada sisa wawu ja anggen tiang jumah”.
“Eh Men Tiwas, yen nyai nyak nyeluk jit nirane, ditu ada pabaang nira tekening nyai!”. Men tiwas lantas nyak nyeluk jit kidange ento. Mara kedenga limane bek misi emas. Kendel pesan Men Tiwas maan mas bek pesan. Mara konanga Men Tiwas lakar ngaturang suksma teken Sang Kidang, lautan Sang Kidang suba ilang.
Men Tiwas ngaba emase ento mulih. Prejani Men Tiwas dadi anak sugih. Ia teken pianakne mekejang nganggo bungah dugase mablanja ka peken. Men Sugih iri ningalin Men Tiwas lan pianakne makejang makronyoh nganggo mas. Kisi-kisi ia matakon teken Men Tiwas.
“Men Tiwas, dija nyai maan emas kene ebekne?”
“Kene mbok, ibi tiang ngalih saang teken paku. Saget teka kidang bisa ngomong nunden nyelek jitne. Nyak lantas tiang, mara kedeng adi bek limane misi emas” keto Men Tiwas nyatuaang undukne ibi. Ningeh satuane Men Tiwas buka keto, ngencolang ia mulih lan mapanganggo buka anak tiwas. Men Sugih lantas kemu ke alase lan manyaru buka anak tiwas. Teka lantas Sang Kidang lan nakonin Men Sugih.
“Eh jadma tiwas ngudiang nyai ditu krasak-krosok? Apa kaaliah?”.
“Uduh jero Kidang, tiang niki durung ngajeng. Awinan nika tiang driki ngalih saang lan paku lakar adep tiang lan pipisne anggon tiang meli baas” Men Sugih melog-melogin Kidang Kencana.
“Lamun keto lan seluk jit nirane, ditu ada pabaang nira”. Nyak lantas Men Sugih nyelek jit kidange ento. Kendel pesan kenehne kadenanga lakar maan mas. Nanging pas seluka jit kidange, Sang Kidang ngijemang jitne. Men Sugih paida abana ka dui-duine nganti awakne telah matatu.
“Uduh tulung tulung! Tiang kapok, tiang kapok!” keto Men Sugih makuuk kesakitan. Mare neked di pangkunge mare elebanga Men Sugih. Men Sugih tusing nyidaang naanang sakit lantas ia pingsan. Disubane ingetan megaang ia mulih. Teked jumahne ia gelem keras lantas ngemasin ia mati.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Jumat, 29 Desember 2017

Eklavya

Dagang Banten Bali




Eklavya. Ayahnya adalah seorang kepala suku di kerajaan Hastinapura. Eklavya adalah anak yang sangat pemberani dan selalu jujur serta adil. Meskipun semua orang yang mengenalnya mencintainya, namun ekalavya tetap merasa tidak bahagia.
Tak lama kemudian ayahnya menyadari ada sesuatu yang membuat Eklavya merasa tidak bahagia. Dia sering mendapati anaknya termenung dalam pikiran, meski seolah - olah Ekalavya sedang melakukan sesuatu yang dia sukai. Suatu hari dia bertanya kepada anaknya, 'Eklavya, mengapa kamu tidak bahagia? Apakah kamu tidak tertarik untuk berburu? Kenapa kamu tidak pergi dengan teman-temanmu dan menikmati hari dengan bermain dan berburu di hutan? "
Eklavya terdiam beberapa saat, lalu dia berkata, Ayah, aku ingin menjadi pemanah dan ingin diajari oleh guru besar Hastinapura yang hebat, yaitu Guru Dronacharya. Gurukul adalah tempat dimana Guru Dronacharya mengajar, tempat dimana penuh keajaiban, tempat di mana dia mengajar anak laki-laki sederhana seperti diriku dan segera mengubahnya menjadi pejuang yang pemberani dan gagah perkasa.
Ayah Eklavya kemudian terdiam. Melihat wajah ayahnya yang termenung Ekalavya segera berkata, "Ayah, aku tahu apa yang engkau pikirkan. Kita berasal dari suku yang hidup dari berburu, tapi aku tidak ingin tetap menjadi pemburu sepanjang hidupku. Aku ingin menjadi seorang pejuang yang gagah perkasa. Maukah engkau mengizinkanku untuk meninggalkan rumah dan pergi menuju Guru Dronacharya di Gurukul ?
Ayah Eklavya khawatir. Dia tahu bahwa apa yang diimpikan anaknya tidak akan menjadi sesuatu yang mudah. Dan pada kenyataannya hal itu bisa menjadi sesuatu yang tidak pernah dia miliki. Tapi dia sangat mencintai anaknya dan tidak mau menolak keinginannya. Jadi dia memberkati anaknya serta mendoakannya untuk menjadi sukses dan kemudian ia pun memberikan restu Eklavya untuk pergi ke gurukul , belajar dari Guru Dronacharya sendiri.
Eklavya berangkat ke gurukul dan segera sampai di sebuah tempat, dimana tempat itu adalah hutan tempat dimana Guru Dronacharya sedang mengajar memanah kepada para pangeran kerajaan Hastinapura.
Pada masa yang lalu, gurukul adalah tempat belajar yang paling sakral. Tidak ada sekolah atau perguruan tinggi menyamai kesakralan tempat ini, dan gurukul adalah tempat para guru dan murid tinggal bersama. Saat Eklavya sampai di Gurukul, dia bisa melihat beberapa gubuk yang dikelilingi beberapa pohon dan memiliki halaman yang dimaksudkan untuk latihan memanah. Murid-murid Dronacharya sedang berlatih menembakkan anak panah dengan menggunakan busur mereka di dalam halaman latihan. Eklavya terpesona saat melihat tapi dia masih mencari Guru Dronacharya. Dimana calon gurunya itu? Apakah dia bisa bertemu pemanah terbaik di kerajaan pada akhirnya? Jika tidak bisa bertemu Guru Dronacharya, tidak akan ada artinya bagi Eklavya untuk berada di gurukul. Bahkan saat Eklavya khawatir dengan pikiran ini, kegelisahannya berhenti saat dia melihat idolanya Guru Dronacharya berdiri diam di dekat pohon. Dia memberi instruksi kepada salah satu muridnya. Murid itu adalah kesayangan Guru Dronacharya, meskipun Eklavya tidak mengetahuinya saat itu, dia adalah pangeran Arjuna, yang merupakan pangeran Pandava yang ketiga. Eklavya menuju Guru Dronacharya, dan saat berhadapan dengannya ia pun segera memberikan hormat seraya membungkuk.
Guru Dronacharya sangat terkejut melihat seorang anak laki-laki asing di gurukul. Dia bertanya kepada Ekalavya "siapa kamu?'
Eklavya menjawab, 'Saya Eklavya, dan saya adalah putra seorang kepala suku. Ayah saya adalah seorang kepala suku yang mendiami hutan di belahan barat Kerajaan Hastinapura. Saya datang ke sini hendak belajar darimu wahai Guru Dronacharya, jadi mohon terimalah saya sebagai muridnya dan ajari saya bagaimana menjadi kesatria yang ahli dalam memanah".
Tapi Guru Dronacharya tidaklah terkesan dengan apa yang disampaikan oleh Ekalavya, segera ia berkata dengan lantang "Eklavya, jika kau adalah putra kepala suku, itu berarti kau berasal dari kasta Shudra. Ini adalah kasta manusia terendah sesuai dengan sistem kasta Hindu. Aku adalah seorang Brahmana, dan Aku berasal dari kasta tertinggi, aku tidak bisa mengajarimu, karena kau berasal dari kasta terendah....!"
Mendengar ini, Pangeran Arjuna berkata, " Guru Dronacharya adalah seorang guru kerajaan. Raja sendiri telah menunjuknya sebagai guru kami, Beliau hanya melatih mereka yang lahir dari keluarga kerajaan, seperti raja dan pangeran, bukan Shudras sepertimu. Bagaimana mungkin kau berani masuk ke dalam Gurukul? Arjuna marah karena Eklavya telah mengganggu latihannya dan meneriaki bocah itu.
Eklavya kaget akan reaksi kedua orang itu, Sebagai putra kepala suku, dia tidak pernah menghina siapapun yang berada di bawahnya saat berdiri. Dia menatap Dronacharya, mengharapkan beberapa kata motivasi darinya. Tapi guru Dronacharya tetap diam dan menolak untuk berbicara, dia telah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa dia tidak ingin mengajar Eklavya, seorang anak laki-laki shudra.
Eklavya sangat terluka oleh ketidakadilan tersebut. 'Tuhan tidak pernah membedakan siapapun jika menyampaikan pengetahuan,' pikirnya. "Hanya manusia yang saling membedakan satu sama lain."
Ekalavya segera pergi dari Gurukul , tapi meski dia sangat sedih, dia tahu dia tidak akan pernah melepaskan keinginannya untuk menjadi seorang ahli dalam memanah, walaupun ia adalah seorang shudra. Ekalavya pun berkata dalam hatinya , "Aku harus berlatih setiap hari. Lalu aku akan menjadi seorang pemanah yang berani dan hebat seperti para pangeran yang telah diajari oleh Guru Dronacharya".
Begitu kembali ke hutannya, Eklavya membuat patung Dronacharya dan mulai berlatih memanah setiap hari. Dia percaya bahwa patung Guru Dronacharya itu nyata dan gurunya sedang mengawasi dan menginspirasinya. Dengan latihan yang rajin dan sungguh sungguh , Eklavya segera menjadi salah satu pemanah terbaik dan yakin bahwa dia lebih baik dari pada Pangeran Arjuna, murid terbaik Guru Dronacharya.
Suatu hari saat berlatih, suara gonggongan seekor anjing telah mengganggunya. Segera Ekalavya menembakkan tujuh anak panah ke arah mulut sang anjing, tanpa menyakitinya sama sekali. Anjing itu segera pergi, dengan panah masih ada di mulutnya. Pada saat itu para Pangeran Pandava, bersama Guru Dronacharya, telah tiba di bagian hutan itu untuk pergi berburu, dan tanpa sengaja melihat anjing itu. Mereka tercengang dan mulai mencari orang yang telah melakukan prestasi ini. Mereka segera sampai di tempat dimana Eklavya berlatih.
Dronacharya bertanya kepadanya 'Kau memiliki keahlian yang menakjubkan, siapakah gurumu?' Eklavya pun menjawab, 'Engkaulah adalah guru saya, saya telah belajar darimu.'
Guru Dronacharya sekarang ingat semua tentang anak laki-laki yang telah dia tolak menjadi muridnya. Dia bertanya kepada Eklavya apa maksudnya, dan dia mengatakan kepada guru segala sesuatu yang telah terjadi. Arjuna sangat marah, karena Dronacharya telah berjanji kepadanya bahwa dia akan menjadi pemanah terbaik. Dronacharya juga diam. Melihat Pangeran Arjuna marah, dia berpikir untuk menghukum Eklavya.
"Jika kau menganggap diriku sebagai gurumu, Kau harus memberi ku 'Guru Dakshina' sebagai wujud bahktimu kepadaku.' Eklavya sangat bahagia dan bertanya apa yang diinginkan gurunya.
'Berikan ibu jari tangan kananmu sebagai Guru Dakshina' katanya.
Semua orang diam. Eklavya tahu tanpa ibu jari, dia tidak akan bisa menembak lagi. Sambil mengambil pisaunya, dia memotong ibu jarinya tanpa ragu sedikit pun dan memberikannya pada Guru Dronacharya.
Guru Dronacharya tersentuh hatinya. Dia pun memberkati anak laki-laki itu, meskipun dia tidak memiliki ibu jari, namun dia tetap akan bisa menembakkan anak panah, dan kelak dunia akan mengenalnya sebagai pemanah yang lebih besar dari pada Arjuna.