Selasa, 12 Juli 2022

KI PATIH ULUNG – KIYAYI GUSTI AGUNG PASEK GELGEL

 


Riwayat Singkat:
Perkiraan lahir tahun Saka1222-an atau 1300-an M
Nama Sebelumnya Mpu Jiwaksara Putra dari Mpu Dwijaksara.
1. Sampai tahun 1343 : menjadi patih Amangkubumi Sri Tapohulung sehingga di sebut Ki Patih Ulung
2. 1343-1350 dianugrahi Oleh Mahapatih Gajah Mada Sebagai Raja Bali dengan Gelar Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel (I)
3. 1350-1358 kembali menjadi Patih (patihnya Sri Krena Kepakisan ) dengan pangkat Patih Amangkubumi dengan Gelar Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I)
4. 1358 : Karena ada intrik politik diantara para pejabat Keadipatian Bali, dimana para Arya dari Majapahit keturunan Kediri menginginkan jabatan patih Amangkubumi dijabat olehnya maka Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (d/h Ki Patih Ulung) mengundurkan diri dari patih Amangkubumi dan memilih menjadi Bendesa di Desa Mas dengan gelar Kyayi Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (I)
Patih Ulung, adalah seorang Patih yang sangat berperan pada masa transisi pemerintahan di Bali, yaitu pada masa pemerintahan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten ke Masa Majapahit.
Patih Ulung sebelumnya adalah seorang Brahmana bernama Mpu Jiwaksara - Putra Mpu Dwijaksara(II) kelurga Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi dari garis keturunan Mpu Witadharma.
Mpu Dwijaksara (II) - ayah dari Mpu Jiwaksara, diutus oleh Gajah Mada atas perintah Raja Kalagemet/Jayanegara (1309-1328 M) dari Majapahit turun ke Bali untuk mengatur parahyangan-parahyangan di Bali, terutama di Besakih, Lempuyang, Silayukti dan Gelgel, sekaligus sebagai Bhagawanta raja-raja yang memerintah di Bali, beliau. berasrama di Gelgel. ditempat bekas pasramannya Mpu Gana.
Mpu Jiwaksara yang datang ke Bali menyertai Ayahandanya, pada masa pemerintahan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten di Bali (th. 1337-1343 M), Beliau diangkat menjadi patih dengan gelar Ki Patih Ulung (Patih Amangkubumi Sri Tapohulung) berkedudukan di Gelgel.
Selain mengangkat Mpu Jiwaksara sebagai Patih Amangkubumi bergelar Ki Patih Ulung, Sri Astasura Ratna Bumi Banten atau Sri Tapohulung juga mengangkat para Panglima/Senopati dan para Patih patih lainya diantaranya :
1. Senopati Ki Pasung Grigis di Tengkulak.
2. Ki Kebo Iwa di Blahbatuh.
3. Pangeran Tambyak di Jimbaran.
4. Ki Kalung Singkal di Taro.
5. Ki Tunjang Tutur di Tenganan.
6. Ki Tunjung Biru di Tianyar.
7. Pangeran Topang di Seraya.
8. Ki Buahan di Batur.
9. Rakryan Girikmana di Ularan.
10. Ki Patih Ulung (dh. Mpu Wijaksara) di Gelgel
Pada saat terjadi peperangan antara Majapahit dengan kerajaan Bali, semua senopati perang tsb takluk kepada Gajah Mada dan Arya Damar dari Majapahit. Para Senopati Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten ada yang mati di medan perang ada yang ditangkap kemudian ditawan.
Setelah Kerajaan Bali takluk kepada Majapahit maka Kepemimpinan Bali diserahkan kepada para Arya Majapahit yang ikut memenangkan perang, dengan mendudukkan para Arya dibeberapa Desa.
Bahwa di Bali ada berapa kawasan yang sangat disucikan dan dijaga serta dihindarikan dari daerah komplik. Kawasan tersebut adalah Besakih, Padang-Silayukti, Desa Bisbis-Lempuyang dan Gelgel. Kawasan tersebut adalah kawasan suci yang dibangun oleh para Mpu dijaman dahulu.
Gajah Mada seorang patih yang sangat memperhatikan keberadaan tempat-tempat suci umat Hindu. Sehingga menghindari komplik didaerah tersebut. Oleh karena itu, saat terjadinya komplik terbuka antara raja Bedahulu dengan Majapahit, maka Gelgel bebas dari daerah peperangan.
Sudah menjadi suatu tradisi di dalam kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya bahwa, raja taklukan tetap diberikan kekuasaan untuk mengatur daerah kerajaannya, tetapi kedudukannya berada dibawah kontrol raja yang memenangan perang.
Sebagai tanda tunduk kepada raja yang memenangkan perang biasanya diujudkan dalam bentuk setoran upeti (pajak) ke raja yang memenangkan perang.
Pejabat kerajaan Bali yang paling senior saat itu yang terbebas dari komplik-perangdan masih hidup adalah Ki Patih Ulung – karena Ki Patih Ulung sejatinya adalah seorang Brahmana yang karena dibutuhkan oleh kerajaan diangkat menjadi seorang Patih Amangkubumi.
Kita tengok dulu peristiwa kebelakang beberapa tahun lampau :
Pada tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya atau disebut juga Dandang Gendis raja Kadiri/Daha dengan kaum Brahmana (anak cucu Mpu Gnijaya).
Anak cucu Mpu Gnijaya lalu pergi meninggalkan Kediri, ada yang ke Tumapel dan ada yang ke Pasuruan.
Yang ke pasuruan diantaranya :
1. Mpu Pemacekan,
2. Mpu Sangkulputih
3. Mpu Wiradharma,
4. Mpu Paramadaksa,
5. Mpu Pratekayadnya,
6. Mpu Wiradangkya,
Yang Ke Tumapel (pergi lebih dulu dari Daha sebelum berselisih) :
1. Mpu Wiranatha
2. Mpu Purwanantha dg anaknya :
- Mpu Purwa Generasi ke 4
- Ken Dedes Generasi ke 4
Pada saat terjadinya komplik/perang antara Dangdang Gendis atau Kertajaya dengan Ken Arok, para Brahmana anak cucu Mpu Gnijaya merestui perjuangan Ken Arok dan bergabung mendukung Ken Arok-suami Ken Dedes (Generasi ke 4 Mpu Gnijaya).
Pada tahun itu juga (1222) Perang antara Tumapel - dibawah Ken Arok melawan Kediri- dibawah Dangdang Gendis meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel. Pada perang ini pihak Kediri ditaklukan oleh Ken Arok (Tumapel). Ken Arok kemudian memproklamasikan berdirinya kerajaan baru yang diberi nama Singhasari
Dengan kekalahan Dangdang Gendis/ Kertajaya maka berakhirlah kekuasaan dinasti Isyana/Warma di Jawa dan diganti oleh dinasti yang didirikan oleh Ken Arok-Ken Dedes dengan nama dinasti Rajasa.
Jatuhnya Kediri oleh Singhasari juga berimplikasi secara politik sampai ke Bali, karena raja-raja Bali adalah berasal dari dinasti Warma - masih satu dinasti dengan raja-raja Kediri-keturunan Airlanga.
Pada Tahun 1267 Mpu Dwijaksara I (Sangkulputih) tiba di Gelgel dan mulai membenahi dan membangun Pura Dasar Buwana Gelgel. Tetapi akibat situasi politik yang memanas akibat pertentangan Raja Bali yang masih setia dengan dinasti Isyana/Warma dengan Raja Singhosari (dinasti Rajasa), maka pembangunan tersebut tidak bisa dilaksanakan sampai selesai.
Pada th Saka 1208/1286 M Prabhu Kerthanegara - Raja Singhasari ( dinasti Rajasa ) menyerang Pulau Bali yang dikuasai dinasti Warma. Penyerangan ke Bali didahului dengan penciptaan mitos bahwa raja Bali disebut sebagai Mayadanawa - yang melarang umat Hindu bersembahyang ke Pura Besakih, sehingga Mayadanawa perlu disingkirkan dan diganti dengan raja yang memberi kesempatan kepada Umat Hindu untuk bersembahyang ke Pura Besakih. Dalam mitos tersebut akhirnya Mayadanawa ditewaskan oleh Dewa Indra.
Mitos ini merupakan upaya Raja Kertanegara untuk mengesahkan penyerangannya terhadap kerajaan Bali yang berdaulat. Raja Kertangera mempersonifikasikan dirinya sebagai dewa Indra, sementara raja Bali diposisikan sebagai Mayadanawa (Danawa = Raksasa) yang melarang umat dan rakyat Bali bersembahyang ke pura Besakih.
Dalam naskah lontar "Linaning Maya Danawa" dikisahkan Maya Danawa mati terbunuh oleh Ki Kebo Parud -- utusan Raja Kerta Negara yang menyerang dari utara.
Sedangkan dalam babad pasek yang diterjemahan oleh Jro Mangku Ktut Soeband, Mayadanawa dikatakan sebagai keturunan raja masula-masuli
Jadi menghubungkan kedua sumber tulisan tsb. Mitos Mayadanawa di bali terjadi pada masa pemerintahan :Pameswara Çri Hyangning Hyang Adhidewalancana (Saka 1182-1208/1260-1286M)
Dengan takluknya Kerajaan Bali oleh Singhasari (Th. 1284/1286?) maka kerajaan Bali praktis berada dibawah kontrol Singhasari (dinasti Rajasa).
Untuk memperkuat kedudukan politik Singhasari atas kerajaan Bali maka Raja Kertanegara mengirim para Arya dari Singhasari dan Brahmana Sanak Sapta Resi, bersama Bhujangga Waisnawa ke Bali sebagai penguasa di Bali dan Kedudukan Mpu Dwijaksara I (Sangkulputih)diperkuat sebagai Bhagawanta Kerajaan.
Adapun yang diangkat sebagai penguasa di Bali dibawah kontrol Singhasari diantaranya :
1. Kryan Demung Sasabungalan (Saka 1206/1284M)
2. Kebo Parud Makakasir (Saka 1206-1246/1284-1324M)
Keduanya orang Singhasari (Jawa) yang berjasa menaklukkan kerajaan Bali.
3. Sangkul Petak (Mpu Dwijaksara I) sebagai Bhagawanta Kerajaan.
Tahun 1292 terjadi kudeta di kerajaan Singhasari yang dilakukan oleh Jayakatwang dari dinasti Warma (Kediri) dan pada tahun 1293 Jayakatwang berhasil dikalahkan oleh Raden Wijaya (dinasti Rajasa/Singhasari)
Dengan jatuhnya Kerajaan Singhasari, oleh Kediri, maka Kebo Parud Makakasir mengembalikan dinasti Warma menjadi raja di Bali. Adapun raja raja bali dari dinasti Warma /satu dinasti dengan Kediri sbb :
1. Bethara Çri Maha Guru (Saka 1246/1324M)
2. Çri Walajaya Krethaningrat (Saka 1250-1259/1328-1337M)
3. Asta Sura Ratna Bumi Banten (Saka 1259-1265/1337-1343M)
Tahun 1293 jayakatwang dikalahkan oleh Raden Wijaya dari Dinasti Rajasa (Singhasari-Majapahit)
Dengan jatuhnya Kertanegara (Singasari) oleh Jayakatwang (Kediri) dan Jayakawang (Kediri) kemudian dikalahkan oleh Raden Wijaya (Majapahit) , maka kontrol atas wilayah kekuasaan kediri dan Singhasari otomatis digantikan oleh kerajaan Majapahit.
Untuk mewujudkan cita-citanya mendirikan Kerajaan baru yang kuat, solid dan kokoh, Raden Wijaya mengumpulkan seluruh Anak cucu keturunan Mpu Gnijaya - kerabat Ken Dedes – buyut Raden Wijaya yang tersebar di wilayah Tumapel, Pasuruan dan Majapahit dan menghimpun-nya dalam suatu organisasi bernama Sanak Pitu, sejak itulah Organisasi Sanak Pitu mulai ada. ( Ktut Soebandi, Babad Pasek, Balimas, Denpasar,).
Pada Purnama Sasih Kapat (Kartika) tahun 1293 M. Raden Wijaya memproklamasikan berdirinya kerajaan Majapahit. Dan pada saat yang bersamaan juga disahkan berdirinya Organisasi Sanak Pitu di Majapahit guna mendukung kelancaran tugas-tugas kerajaan.
Kerabat Sanak Pitu (Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi) yang menjadi pejabat di Majapahit diantaranya :
1. Kiyayi Agung Pemacekan, keturunan Mpu Ketek dijadikan penguasa di Daerah Pamacekan—wilayah Kediri - Jawa Timur- pada masa Raden Wijaya.
2. Arya Kepasekan – anak dari Mpu Ketek sudah lebih dahulu menjadi Arya di desa Kepasekan – Jawa Timur pada masa Singhasari.
3. Kiyayi Agung Padang Subadra Anak dari Mpu Jiwanata keturunan Mpu Ketek - menantu Krian Padang subadra menjadi penguasa di Desa Padang Subadra-Jawa Timur-pada masa Tribuwana Tungga Dewi.
Kiyayi Agung Padang Subadra ikut menyerang kerajaan Bali bersama gajah Mada dari arah timur (Tianyar)
4. Arya Pemacekan- anak Mpu Pemacekan dijadikan Arya di Desa Pacekan–dekat Tuban - Jawa Timur-pada masa Kalagemet-Tribuwana Tungga Dewi. Arya Pemacekan ikut ke Bali bersama Gajah Mada menyerang kerajaan Bali dari arah utara bagian timur (Bondalem).
5. Mpu Pemacekan dari Pasuruan kemudian dipanggil ke Majapahit untuk membatu Majapahit sebagai Anggota Dang Upadhyaya – pada masa Raden Wijaya - berasrama di Pacekan - Majapahit (Jawa Timur)
6. Mpu Jiwanata-menjadi anggota Dang Upadhyaya di Keraton Majapahit pada masa Raja Kalagemet
7. Mpu Dwijaksara (II), menjadi anggota Dang Upadhyaya di Keraton Majapahit, pada masa Kalagemet/Jayanegara.
Mpu Dwijaksara (II) ini diminta oleh Gajah Mada ke Bali untuk menjaga Parahyangan-Parahyangan di Bali, diantaranya : Besakih, Gelgel, Lempuyang dan Silayukti. Keberangkatan Mpu Dwijaksara II ke Bali disertai oleh anak dan cucunya, diantaranya Mpu Jiwaksara yang kemudian menjadi Patih dengan gelar Ki Patih Ulung.
8. Sedangkan Keturunan Mpu Purwa (kakak dari Ken Dedes) yang menjadi Arya di daerah Jawa Timur diantaranya Arya Tatar mengantikan kakeknya dari pihak Ibu - yang bernama Aji Tatar - membantu paman dan bibinya (Ken Arok - Ken Dedes) di Kerajaan Singhasari.
Pada saat invasi Kertanegara - Raja Singhasari ke Bali, Arya Tatar ikut ke Bali dan menetap di Bali. Diantara keturunan Arya Tatar diantarany Pasek Bale Agung (Nyoman Rai Sarimben-Ir. Soekarno-Megawati), Pasek Pidpid.
Demikian beberapa keluarga Sanak Pitu yang dapat dicatat dalam pemerintahan di Jawa Timur, dan menjadi orang penting dan berpengaruh pada zamannya.
Setelah bebetapa lama Raden Wijaya-pendiri Kerajaan Majapahit memerintah ( 1293-1309 M) kemudian digantikan oleh anaknya yaitu Kalagemet atau Jayanagara yang naik tahta Majapahit (tahun 1309-1328 M).
Kematian raja Kertanegara (singhasari th. 1292 M) membawa imlpikasi politik sampai ke Bali. Terjadi reformasi besar-besaran di kerajaan Bali. Orang-orang Sinhasari mengalami mutasi besar-besaran dan digantikan posisinya oleh orangt-orang dari dinasti Warma (Baliaga), Sehingga banyak para brahmana Singhasari tidak punya peran dipemerintah dan kurang ada gawe-nya, krn dibiarkan tidak berkerja oleh raja-raja dari dinasti Warma.
Pada masa raja Kalagemet menjadi raja Majapahit (1309-1328 M), beliau mendengar keadaan para Brahmana di pulau Bali yang banyak meninggalkan sasana ke-Brahmanaannya, sehingga ada yang menjadi Arya, ada yang hanya menjadi Dukuh atau Dukun, sehingga beliau Raja Kalagemet memerintahkan Patih Gajah Mada (menjadi patih majapahit th. 1319 M) supaya membuat dan mengatur tatatertib di Bali.yaitu tentang kewajiban orang-orang Ksatrya dan orang Brahmana supaya datang ke Bali. ( Babad pasek oleh I Gusti Bagus Sugriwa-penerbit Toko buku & alat tulis Balimas, Denpasar 1990).
Gajah Mada (Majapahit), merasa mempunyai hak kontrol atas kerajaan Bali karena sebelumnya kerajaan Bali ada dibawah kontrol Singhasari kemudian dikalahkan oleh Jayakatwang dan kemudian dikalahkan oleh Raden Wijaya (Majapahit).
Pada waktu menjelang sasih 6,7,8,9 dan 10 ( antara 1309-1328 M) Krian Patih Gajah Mada mengaturi Mpu Dwijaksara (II) supaya turun ke Bali untuk menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di Besakih, Gelgel, Silayukti, dan Lempuyang supaya pulau Bali mendapat keselamatan (babad Pasek; I Gst. Bgst Sugriwa.)
Mpu Dwijaksara (II) berangkat ke Bali diikuti oleh anak dan cucu-cucunya. Mpu Dwijaksara diangkat menjadi Bhagawanta Raja yang memerintah di pulau Bali seluruhnya. Sedangkan anaknya yang bernama Mpu Jiwaksara diangkat menjadi Patih mendampingi raja Bali.
Setelah bebas dari pemberontakan Ra Kuti - Raja Kalagemet atas saran Patih Gajah Mada memulihkan kedudukan dinasti Warma sebagai Ksatryadan diangkat kembali sebagai raja di Bali diantaranya :
1. Bethara Çri Maha Guru (Saka 1246/1324M)
2. Çri Walajaya Krethaningrat (Saka 1250-1259/1328-1337M)
Pada tahun 1328 – 1350 Ratu Tribhuwana Tunggadewi naik tahta Majapahit menggantikan Kalagemet. Dan pada tahun 1336 Patih Gajah Mada naik pangkat menjadi Patih Hamengkubumi (Perdana Menteri - sampai tahun 1359 M), saat pengangkatannya tersebut Mahapatih Hamengkubumi Gajah Mada bersumpah yang dikenal dengan sumpah palapa adapun bunyi sumpahnya sbb :
“ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”
bila dialih-bahasakan mempunyai arti[15] :
“ Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa. ”
Pada tahun 1337 Sri Astasura Ratna Bumi Banten/Sri Tapohulung naik tahta sebagai Raja Bali menggantikan Sri Walajaya Krethaningrat, dan Mpu Jiwaksara diangkat sebagai patih Amangkubumi-nya Sri Tapohulung sehingga disebut Ki Patih Ulung. Dengan demikian maka turunlah derajat wagsanya Mpu Jiwaksara dari seorang Brahmana menjadi Ksatrya/Patih.
Sri Astasura Ratna Bumi Banten, tidak mau mengakui kekuasaan Majapahit dan menunjukkan sikap menentang kebijakan pemerintahan Raja Majapahit yang ingin mempersatukan wilayah Nusantara menjadi satu kesatuan. Sehingga Sri Astasura Ratna Bumi Banten/Sri Tapohulung dijuluki Raja Bedahulu/Bedamuka/ menentang kebijakan pemerintah Pusat (kontrol Majapahit atas Bali).
Untuk mempperkokoh kedudukannya sebagai raja Bali yang berani menentang pemerintah pusat (kontrol Majapahit) maka Sri Tapohulung mengangkat para senopati perang yang sakti mandraguna diantaranya :
1. Senopati Ki Pasung Grigis di Tengkulak.
2. Ki Kebo Iwa di Blahbatuh.
3. Pangeran Tambyak di Jimbaran.
4. Ki Kalung Singkal di Taro.
5. Ki Tunjang Tutur di Tenganan.
6. Ki Tunjung Biru di Tianyar
7. Pangeran Topang di Seraya.
8. Ki Buahan di Batur.
9. Mpu Jiwaksara sebagai Patih Amangkubumi dengan gelar Ki Patih Ulung.sebagai orang sipil tidak ikut berperang, hanya mengurusi tata tertib dan diplomasi politik kali yaaaaa….. berkedudukan di Gelgel.
Tahun 1343 Raja Tribuwana Tungga Dewi-Ratu Majapahit memerintahkan Mahapatih Gajah Mada dan Arya Damar menyerang raja Bedahulu/Sri Astasura Ratna Bumi Banten.Penyerangan dilakukan karena Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten mblalelo/menentang kebijakan pemerintah pusat (Majapahit). Penyerangan dilakukan dari 3 arah yaitu dari arah timur, dari arah utara dan selatan.
Laskar Majapahit yang menyerang Bali dari arah timur dipimpin langsung oleh Gajah Mada disertai para patih keturunan Mpu Witadharma* (keluarga pasek Sanak sapta Rsi-pen), mereka mendarat di Tianyar. (baca Babad kaba-kaba - dinas kebudayaan Prop Bali 2002, hal. 4-5).Para Arya Keluarga Pasek Sanak Sapta Rsi yang ikut Maha Patih Gajah Mada menyerang Bali dari arah timur diantaranya:
1. Arya Pemacekan - seorang Arya di daerah Pacekan – Jawa Timur
2. Arya Kepasekan - seorang Arya di wilayah Kepasekan – Jawa Timur
3. Kiyai Agung Padang Subadra- penguasa daerah di wilayah Padang Subadra – Jawa Timur
4. Kiyai Tohjiwa - seorang pangeran dari Wilayah Tohjiwa – Jawa Timur
(* Mpu Ketek kali ya????)
Sedangkan Ki Patih Ulung sudah lebih dahulu dikirim ke Bali, menyertai orang tuanya (Mpu Dwijaksara (II) saat Raja Majapahit masih diperintah oleh Kalagemet/Jayanegara (1309-1328 M).
Dalam Babad Kaba-kaba terbitan Dinas kebudayaan Propinsi Bali 2002 halaman 4-5ditulis :
Ri tlas ta saking ghosana kala dina rahayu, umangkata sira mahawanan phalwa, angendoni Bali rajya, aparah tiga ta laku ning parayoda. Si Rakyan Maddha jumujug maring wetaning Bali, Makasahaya para patih treh sira Mpu Witadharma, turun maring Toyaanar.
Kunang kang saking lur Bali, sira Arya Dhamar, kinantyan de Arrya Sentong, mwang Arrya Kutawaringin tumdun sira ring Ularan. Mwah sira Arrya Kenceng mwang sira Arrya Blog, Pangalasan, Kanuruhan mtu kiduling Bangsul, anuju ring Kuta.
Artinya :
Setelah selesai pembicaraan, pada suatu hari yang baik, berangkatlah beliau menggunakan perahu, menyerang kerajaan Bali, dibagi tiga penyerangan para prajurit. Si Rakryan Gajah Mada menyerang dari sisi timur Bali disertai para patih keturunan Mpu Witadharma turun di Tianyar.
Adapun yang menyerang dari sisi utara, beliau Arya Dhamar disertai Arya Sentong dan Arya Kutawaringin, turun dari Ularan. Arya Kenceng serta Arya Belog, Pengalasan, Kanuruhnan menyerang dari selatan pulau bali menuju kotaraja.
Salah satu keturunan Mpu Withadharma yang sudah menjadi patih di Bali dan mengabdi pada Sri Tapohulung-Raja Bedahulu adalah Ki Patih Ulung. Ki Patih Ulung sebelumnya adalah seorang Brhamana dengan Abhiseka Mpu Jiwaksara - anak dari Mpu Dwijaksara (II).
Mpu Dwijaksara(II) dan Mpu Jiwaksara sudah lebih dulu menetap dan mengabdi di Bali ditugaskan oleh Raja Kalagemet/Jayanegara atas usul patih Gajah Mada, untuk menjadi Bhagawanta Raja di Bali, dengan tugas pokok menyelenggarakan upacara dan mengatur parahyangan-parahyanga di Bali. Sedangkan Mpu Jiwaksara mengabdi pada Raja Sri Tapohulung/ Sri Astasura Ratna Bumi Banten, sebagai Patih, sehingga disebut Ki Patih Ulung.
Jadi kedatangan pasukan Gajah Mada beserta para patih keturunan Mpu Withadharma dari arah Timur Bali (Toya Anyar/Tianyar ) ibarat reuni keluarga (meskipun dalam perang/situasi politik yang kacau balau diakibatkan oleh rebutan pengaruh/kekuasaan).
Catatan kaki
Mpu Dwijaksara adalah seorang Brahmana yang sangat dihormati oleh rakyat dan raja Bali maupun rakyat dan raja Majapahit. Pengiriman Mpu Dwijaksara beserta anaknya Mpu Jiwaksara ke Bali, mempunyai motif politik yaitu supaya rakyat Bali senang kepada pemerintahan Majapahit. Apalagi sebelumnya Kerajaan Bali berada dalam Kontrol Kertanegara, dan kini kedudukan Kertanegara sudah digantikan oleh Majapahit. Sehingga menjadi wajar kalau wilayah kekuasaan Raja Kertanegara secara otomatis menjadi kekuasaan Majapahit. Untuk memperluas pengaruh dan membuat rakyat Bali menjadi senang dengan Majapahit maka dikirimkanlah Mpu Dwijaksara sebagai penasehat/Bhagawanta Raja Bali dengan tugas pokok mengatur parahyangan-parahyangan serta menyelenggarakan upacara-upacara pada parahyangan-parahyangan yang telah dibangun oleh para Mpu sebelumnya. Dan Anaknya yang bernama Mpu Jiwaksara didudukkan sebagai Patih pada raja Bali dan kemudian bergelar Ki Patih Ulung atau Patih Amangkubuminya Sri Tapohulung..


Naiknya Sri Astasura Ratna Bumi Banten menjadi raja Bali, membawa perubahan dalam pandanganya terhadap politik yang dijalankan oleh Kerajaan Majapahit. Sikap Politik Raja Bali ini dianggap bertentangan dengan sikap Politik pemerintah pusat (Majapahit) sehingga beliau dijuluki Sri Bedahulu.
Akibat pembangkangan yang ditunjukkan oleh Sri Bedahulu terhadap Majapahit, maka Sri Bedahulu diserang oleh bala tentara Majapahit tahun 1343.
Ada suatu tradisi dijam kerajaan-kerajaan untuk menyebut Patih Amangkubumi sang raja sesuai dengan nama Rajanya. Seperti Contoh : Dalem Kresna Kepakisan maka patihnya disebut Arya Kresna Kepakisan. Dalem Di Made maka patih amangkubuminya disebut I Gusti Agung di Made. Dan sebagainya. Jadi pemberian gelar Ki Patih Ulung kepada Mpu Jiwaksara menunjukkan bahwa beliau adalah Patih Amengkubuminya Sri Tapohulung.
Kembali ke pokoh ceritra:
Pada Perang antara Raja Bedahulu dengan Majapahit, kemenangan diperoleh oleh pihak Majapahit, walau pun dengan berbagai trik dan tipu muslihat, sebab kalah sakti oleh orang Bali Aga dan Bali Mula. Setelah Bali takluk kepada Majapahit maka pemerintahan di Bali sementara diserahkan kepada para Arya yang ikut memenangkan perang.
Ternyata para Arya dari Majapahit tidak bisa mengendalikan jalannya roda pemerintahan di Bali. Dikalangan para Arya Majapahit sering terjadi intrik dan persaingan bahkan perkelahian (perang antar kerabat) guna memperebutkan posisi dan mengincar jabatan Adipati Bali, sehingga para Arya Majapahit tidak sempat mengurusi rakyat, terutama parahyangan-parahyangan di Bali yang sebelumnya terpelihara dengan baik oleh Raja-raja sebelumnya. Karena para Arya Majapahit tidak cakap dalam merintah rakyat Bali -yang penduduknya mayoritas orang Bali Aga, maka Bali dalam kondisi yang tidak stabil/tidak aman.
Menghadapi situasi kekacauan seperti ini, maka Ki Patih Ulung- mantan Patih Senior pada masa pemerintahan Sri Tapohulung - yang sudah tunduk kepada Majapahit - mengambil inisiatif untuk mengirim perutusan dari Bali menghadap Raja Majapahit, untuk memohon seseorang yang layak diangkat menjadi raja di Bali. Perutusan itu langsung dipimpin oleh Ki patih Ulung yang anggotanya terdiri dari sanak saudaranya yaitu :
1. I Gusti Agung Padang Subadra,
2. Arya Pemacekan/Arya Pacekan
3. Arya Kepasekan
4. I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa,
Tidak diceritrakan halnya ditengah jalan, tibalah rombongan utusan tersebut di Majapahit menuju karang kepatihan, guna bertemu dengan Krian Patih Gajah Mada, minta diantar menghadap kepada Ratu Majapahit. Setelah keperluan menghadap jelas diketahui oleh Gajah Madamaka beliau ke Istana diiringi Ki Patih Ulung dan sanak saudaranya.
Setelah pembicaraan yang dilakukan oleh perutusan dari Bali dengan Ratu Majapahit, akhirnya diputuskan untuk menyerahkan kekuasaan pulau Bali sementara kepada Ki Patih Ulung beserta sanak saudaranya. Oleh Mahapatih Gajah Mada atas restu Ratu Tribuwana Tungga Dewi, Ki Patih Ulung dianugrahi gelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgeldan ditetapkan sebagai Raja(Adipati) Bali mulai th 1343 M, berkedudukan di Gelgel.
Setelah perutusan yang dipimpin oleh Ki Patih Ulung yang kini berganti nama atau bergelar Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel I kembali ke Bali, maka segeralah diadakan Rapat besar antara sanak saudara Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel (d/h.Ki Patih Ulung) dengan tokoh – tokoh Bali Aga. Di dalam rapat tersebut para peserta rapat setuju dengan pengangkatan Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel I sebagai pemimpin/Raja sementara di Bali dan menanggalkan Gelar/Jabatannya nya terdahulu sebagai Patih Ulung, Karena kerajaan Tapohulung/Bedahulu sudah tidak ada dan digantikan oleh Majapahit.


Adapun pengangkatan Ki Patih Ulung menjadi raja dengan abihiseka Kiyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel terjadi pada tahun caka1265 (tahun 1343 M) berkedudukan di Gelgel.
Dengan diangkatnya Ki Patih Ulung menjadi Raja Bali dengan Gelar/abhiseka Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I) maka keadaan Bali berangsur – angsur menjadi membaik, Kekacauan akibat perang mulai ditata perlahan-lahan, persatuan dan kesatuan tampak mulai muncul kembali, kehidupan keagamaan terutama pujawali di Besakih, silayukti, Lempuyang dan Gelgel dapat berjalan dengan baik. Jalannya roda pemerintahanpun berjalan kembali, walaupun di sana sini masih perlu dibenahi, demi kesejahteraan Rakyar Bali.
Di dalam menjalankan tugasnya selaku pemimpin di Bali. Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I) (d/h. Ki Patih Ulung) di bantu oleh sanak saudaranya, juga dibantu oleh tokoh – tokoh Bali Aga serta para Arya yang berasal dari Trah Kediri – Trah Singosari dan Majapahit tetap pada kedudukannya masing-masing diberbagai desa.
Catatan Kaki :
Ki Patih Ulung Sebagai Raja Bali dengan gelar Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgelyang ke I karena digenerasi berikutnya ada juga yang memakai gelar tsb. tetapi bukan lagi sebagai Raja.
Patih Ulung mempunyai keuntungan Gineologis terhadap situasi politik di Bali saat itu karena :
1. Rakyat Bali Aga mengetahui bahwa Patih Ulung adalah mantan Patihnya raja Ratna Bumi Banten sekaligus juga keturunan seorang Brahmana (Mpu Dwijaksara) yang sudah lama menetap di Bali (Gelgel).
2. Kerabat Pasek sudah ada di hampir setiap desa di Bali,
3. Pihak Majapahit menganggap Patih Ulung masih punya hubungan leluhur dengan Raja Majapahit dari garis Ibu (Ken Dedes) karena patih Ulung adalah keluarga Pasek Sanak Sapta Resi .
4. Selain itu, loyalitas keluarga Pasek Sanak Sapta Resi kepada Majapahit sudah dibuktikan diantaranya :
a. Pada Saat Raden Wijaya bermaksud memproklamasikan Kerajaan-nya yang baru yang diberi nama Majapahit, Raden Wijaya mengundang seluruh keturunan Mpu Gnijaya yang ada di Bumi Majapahit untuk memperkokoh/mendukung rencananya mendirikan Kerajaan baru yang bernama Majapahit itu.
b. Raden Wijaya mengorganisasikan seluruh keturunan ke 7 (tujuh) Mpu anak cucu Mpu Gnijaya yang dahulu diusir oleh Dandang Gendis dari Kediri dalam suatu wadah/organisasi dan diberi nama SANAK PITU. Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan pendeklarasian Kerajaan Majapahit oleh Raden Wijaya pada Purnama Kapat th 1215 C atau 1293 M. (Baca Babad Pasek oleh Ktut Soebandi, Denpasar, 1990)
c. Keluarga Sanak Pitu banyak menduduki posisi penting di Majapahit. Diantaranya adalah Arya Pemacekan, Arya kepasekan dan Ki Gusti Agung Padang Subadra yang merupakan keturunan Sanak Pitu dari garis Mpu Ketek
d. Ki Patih Ulung adalah anak dari Mpu Dwijaksara, Dimana Mpu Dwijaksara bertugas di Bali atas perintah Raja Kalagemet - Raja Majapahit, untuk mengatur parahyangan di Bali sekaligus sebagai Bhagawanta raja Majapahit di Bali.
5. Keluarga Mpu Withadharma - Kerabat Patih Ulung lainya, ikut berperang mendampingi Gajah Mada dari arah Toya Anyar. Sedangkan Arya Pemacekan( Keluarga Sanak Pitu dari garis keturunan Mpu ketek, ikut menyerang Bali dari arah Bondalem (Bali utara bagian timur).
Jadi hubungan gineologis itu menguntungkan Patih Ulung sehingga patih Ulung diangkat menjadi penguasa sementara di Bali untuk menenangkan rakyat Bali Aga yang baru kalah dari peperangan yang diakibatkan oleh pembelotan Rajanya Sri Tapohulung terhadap pemerintah Pusat di Majapahit.
Sudah menjadi tradisi didalam pemerintahan Raja-Raja Hindu, bahwa raja atau Wilayah taklukan tetap diberi kuasa/otonomi untuk memimpin wilayahnya, tetapi atas kontrol pemenang perang dalam hal ini Raja Bali berada dibawah kontrol pemerintah pusat Majapahit. Dan mantan pejabat Raja Bali yang paling senior saat itu adalah Ki Patih Ulung, sehingga tampuk pimpinan sementara diserahkan kepada Ki Patih Ulung dengan Gelar abiseka yang baru yaitu : Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel - berkedudukan di Gelgel.
Kembali ke topic Bahasan :
Setelah beberapa tahun Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel bertahta sebagai Raja di Bali. Ki Patih Ulung yang kini sudah berganti nama/Gelar menjadi Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I)bersama sanak saudaranya kembali ke Majapahit untuk memastikan janji Ratu Majapahit yang akan menetapkan Adipati di Bali dalam Waktu dekat, sewaktu Ki Patih Ulung menghadap ke Majapahit beberapa tahun yang lalu .
Permohonan tersebut diajukan karena sejatinya Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (d/h. Ki Patih Ulung) adalah seorang Brahmana dengan abhiseka Mpu Jiwaksara -seorang Mpu (Brahmana) yang sudah cukup lama meninggalkan sasana ke Brahmanaanya. Permohonan ini membuktikan bahwa Ki Patih Ulung (d/h Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, d/h Mpu Jiwaksara) adalah seorang Brahmana yang tidak kemaruk kekuasaan (kemaruk Tahta, Harta dan Wanita), dan tidak ingin mempertahankan kedudukannya sebagai Raja-meskipun peluang tersebut sudah diberikan oleh Mahapatih Gajah Mada, dan direstui oleh Ratu Tribuwana Tunggadewi.
Menanggapi permohonan Ki Patih Ulung (d/h/ Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel d/h Mpu Jiwaksara) tersebut, maka Mahapatih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada melaporkan hal tersebut kepada Ratu Tribuwana Tungga Dewi. Ratu Tribuwana Tungga Dewi memaklumi permohonanKiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (dh. Ki Patih Ulung) dan memerintahkan kepada Mahapatih Gajah Mada untuk mengusahakan seorang Adipati yang bersedia ditempatkan di bumi Bangsul (Bali). Mahapatih Hamengkubumi Gajah Mada menjawab : “ Baiklah tuanku - hamba nanti akan mengusahakannya “.
Kemudian pada purnama sasih kapat tahun Çaka 1272 (Bulan Oktober 1350) Raja Hayam Wuruk naik tahta Majapahit mengantikan Tribuwana Tungga Dewi. Oleh Raja Hayam Wuruk secara terpusat di Majapahit dilantik pula 6 orang adhipati yaitu:
1. Çri Juru untuk Belambangan,
2. Çri Bhima Çakti untuk Pesuruan,
3. Arya Kuda Panolin alias Kuda Pengasih untuk Madura,
4. Arya Dhamar untuk Palembang,
5. Çri Kepakisan (seorang perempuan) untuk Sumbawa,
6. Çri Kresna Kepakisan untuk Bali. Çri Kresna Kepakisan adalah putra bungsu dari Çri Soma Kepakisan.
Dengan diangkatnya Çri Kresna Kepakisan maka pucuk kepemimpinan di Bali berpindah dari Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel(I )( d/h. Ki Patih Ulung) kepada Çri Kresna Kepakisan. Dengan demikian berakhirlah masa jabatan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I) (d/h. Ki Patih Ulung) sebagai pemimpin di Bali selam 7 tahun.


Masa Pemerintahan Dalem Sri Kresna Kepakisan th. 1350-1373 M
Çri Kresna Kepakisan diangkat menjadi Adipati (semacan gubernur-sekarang) di Bali sebagai raja bawahan Majapahit -berkedudukan di Samprangan, daerah Gianyar. Dipilihnya desa Samprangan atas petunjuk dari Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada, karena di desa tersebut pasukan Majapahit dikonsentrasikan untuk menyerang Ibu Kota Kerajaan Bali.
Sri Kresna Kepakisan diangkat menjadi Adipati Bali, didampingi oleh para Arya dari Majapahit yang ikut memenangkan peperangan. Para Arya didudukkan sebagai penguasa Wilayah, dibeberapa Desa diantaranya :
1. Arya Wang bang
2. AryaKuthawaringin di Klungkung
3. Arya Belog di Kaba-kaba
4. Arya Kenceng
5. Arya Dalancang
6. AryaTemenggung
7. Arya kanuruhan
8. Arya Pemacekan-anak dari Mpu Pemacekan Keluarga Pasek Sanak Pitu dari garis keturunan Mpu Ketek di Bondalem
9. Arya Getas
10. Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel tetap di Gelgel
Dengan diangkatnya seorang Adipati baru di Bali maka Kedudukan Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I) kembali menjadi Patih sedangkan para Arya dari Majapahit disebar disetiap desa untuk mengawasi tata tertib dan keamanan desa taklukan, sedangkan Patih Amangku Bumi diberikan kepada Arya Kepakisan/ Krian Nyuh Aya.
Adhipati Çri Kresna Kepakisan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Samprangan. Pemerintahan beliau menganut system kepemerintahan di Majapahit serta beliau kurang memahami apresiasi rakyat Bali. keberadaan tempat suci orang Bali Aga tidak dapat perhatian dan diabaikan. Sikap inilah yang sangat menyinggung perasaan orang Bali Aga, pemerintahan beliau dijauhi. Lama kelamaan rasa tersinggung ini meningkat menjadi rasa anti pati, yang puncaknya orang Bali Aga tidak mau mengakui pemerintahan Adhipati Samprangan. Mereka lalu kembali melakukan pemeberontakan dengan mengangkat senjata.
Pemberontakan ini diawali dari Desa Tampurhyang Batur sebagai pusat pemerintahan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh Kyayi Kayuselem, kemudian diikuti oleh desa Batur, Terunyan, Abang, Buahan, Kedisan, Cempaga, Pinggan, Peladu, Kintamani, Serai, Manikliyu, Bonyoh, Sukawana, Alas Gunung Sari, Taro dan Bayad. Kemudian pemeberontakan ini mendapat simpati dari desa-desa timur bali yaitu, Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga, Sekulkuning, Garinten, Lokasrana, Puhan Bulkan, Sinanten, Tulamben, Batudawa, Muntig, Juntal, Carutcut, Bantas, Kuthabayem, Watuwayang, Kedampal, dan Hasti, serta desa-desa lainnya sehingga jumlahnya adalah tidak kurang dari 39 desa
Adhipati Samprangan mencoba memadamkan pemberontakan ini dengan cara mengerahkan pasukan yang berasal dari Majapahit,diantaranya dikirim seorang Kstarya Dalem Majapahit yang bernama : I Dewa Madenan dengan didampingi oleh para Arya diantaranya :
a. Arya Dakeh
b. Arya Dangab
c. Arya Cempaka
d. Arya Mangun
Namun usaha tersebut gagal, I Dewa Madenan dan para Arya pengiringnya ditawan oleh orang-orang Bali Aga.
Dengan kekalahan Prajurit Majapahit itu menyebabkan beliau Dalem Sri Kresna Kepakisan, putus asa, sebab itu beliau berniat meletakkan jabatan dan kembali ke Majapahit.
Namun sebelum mengambil keputusan, beliau mengutus Ki Patih Ulung (Kiyayi Gusti Agung Pasek GelgelI ) untuk melaporkan situasi ini ke Majapahit. Raja Majapahit di damping oleh Maha Patih Gajah Mada menerima utusan yang dipimpin oleh Ki Patih Ulung dengan baik, tetapi menolak niat Adhipati samprangan untuk mengundurkan diri dan tetap menduduki jabatannya. Tatkala itu Maha Patih gajah Mada mengatakan “sampai dimana kekuatan orang-orang Bali Aga yang pernah dikalahkan dulu”.
Melalui utusan yang dikirimkan oleh Adhipati Samprangan ke Majapahit, Raja Majapahit menganugrahkan Adhipati Samprangan seperangkat pakaian kebesaran, pending emas, keris Ki Ganja Dungkul dan satu keropak lontar yang memuat Sasananing Nithi Praja (Pedoman Kepemimpinan terhadap rakyat). Sedangkan Maha Patih Gajah Mada mengirimkan sepucuk surat untuk adhipati Samprangan, yang berisi petunjuk untuk mengadakan konsultasi dan kerjasama dengan Ki Patih Ulung dan sanak saudarannya dan menjadikan Ki Patih Ulung sebagai Patih Hamangku Bumi, mendampingi Krian Nyuh Aya, serta mengirim Keluarga Pasek keseluruh Bali untuk menjadi pemimpin di desa-desa menjadi Bendesa dan Bekel, karena menurut Patih Gajah Mada, orang-orang Bali Aga masih menganggap Ki Patih Ulung dan sanak saudaranya adalah pemimpin mereka yang sah , disegani dan dihormati, sedangkan kepemimpinan para Arya dari Majapahit dianggap sebagai orang asing yang menjajah dan menjarah kekayaan orang-orang Bali Aga. Apabila strategi ini dijalankan, Gajah Mada yakin orang-orang Bali Aga akan mau tuntuk dengan pimpinan adhipati Sri Kesna Kepakisan.
Adhipati Samprangan sangat senang menerima anugrah yang diberikan oleh Raja Majapahit dan sepucuk surat yang diberikan oleh Maha Patih Gajah Mada. Beliau segera mengadakan rapat dihadiri para mantri dan pejabat lainnya. Dalam rapat itu hadir juga Ki Patih Ulung sebagai pimpinan Utusan Adipati Samprangan, juga hadir
1. Kiyayi Gusti Agung Padang Subadra,
2. Arya Pacekan/Pemacekan dan
3. Arya Kepasekan
4. Kiyayi Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa,
Dalam rapat tersebut adhipati Sampranganlangsung mengangkat Ki Patih Ulung sebagai Patih Amangku Bumi dengan mengembalikan Gelar Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel(I) yang dulu pernah disandangnya, tetapi kini kedudukannya bukan sebagai Raja, melainkan sebagai Patih Amangkubumi. Gelar Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel (I) sesuai dengan gelar yang diberikan oleh rakyat Bali Aga kepada Ki Patih Ulung saat Ki Patih Ulung diangkat sebagai caretaker Adipati di Bali (1343-1350) yang disetujui oleh Mahapatih Gajah Mada. Sejak saat itu Ki patih Ulung kembali menyandang Gelar Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel (I) dan menghapuskan embel-embel Patih Ulung-nya.
Dalam Babad Pasek yang diterjemahkan oleh Ktut Soebandi disebutkan :
“Setelah siap semuanya maka sekawanan utusan itu pulang ke Bali dengan diberi juga hadiah oleh Krian Patih (Gajah Mada)……besoknya pagi-pagi Dalem (sri Krsna Kepakisan) sedang dihadap oleh para menterinya sekalian, datanglah menghadap para utusan itu yaitu Ki Patih Ulung, Kiyayi Pemacekan, Krian Kepasekan dan Krian Padang Subadra.
Dalem turun dari singasananya berdiri dihalaman menjemput utusan yang baru datang dari Majapahit, para menteripun turun dari tempat duduknya menurutkan raja. Oleh para utusan itu dipersembahkan sekali nasehatnya Krian Patih Gajah Mada. “Jika demkian baiklah, senang juga hatiku” kata dalem seraya melihat Krian Nyuh Aya. Para menteri sekalian senang mendengar sabda dalem demikian”
Ternyata isi surat yang dikirimkan Gajah Mada kepada Dalem Sri Kesna Kepakisan berisi perintah untuk selalu melibatkan Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (d/h Patih Ulung) dalam pemerintahan, bahkan diperintahkan oleh Gajah Mada supaya mendudukkan Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (d/h Ki Patih Ulung) sebagai Patih Amangkubumi, guna meredam pemberontakan orang-orang Bali Aga di pegunungan. Perintah ini tentu akan membuat perubahan dalam hati Krian Nyuh Aya yang saat itu menjabat sebagai patih Amangkubumi, sehingga Sri Kresna Kepakisan menyempatkan melihat ekpresi roman muka Krian NyuhAya.
Kembali ke Topik Bahasan
Kemudian setelah rapat selesai maka diutuslah Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel I ( d/h Ki Patih Ulung) beserta Kiyayi Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, untuk pergi ke Tampurhyang guna melakukan pembicaraan perdamaian dengan orang-orang yang masih setia terhadap raja Sri Tapohulung.
Ketika utusan tersebut sampai disana, pada saat itu sedang diadakan rapat yang dihadiri utusan dari desa Tenganan Pegringsingan, Seraya, Kuthabayem, Sidatapa, Jimbaranagunung, Padawa, Sukawana, Alas Gunung Sari, Taro, dan lainnya, tampak juga di dalam rapat tersebut tokoh-tokoh Bali Aga diantaranya Ki Taruhulu, Ki Kayuselem, Ki Wreska, Ki Tarunyan, Ki Badengan, Ki Kayutangi, Ki Celagigentong, Ki Tarum, Ki Panarajon, Ki Kayuputih, Ki Pasek Sukalwih, dan lainnya. Ketika sedang asyiknya mereka berdialog, datanglah Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel I ( d/h Ki Patih Ulung) bersama Kiyayi Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa. Mereka diterima dengan baik oleh peserta rapat terutama Kiyai Kayuselem, karena mereka sudah mengenal betul Kiyai Gusti Agung pasek Gelgel(d/h Ki Patih Ulung) karena beliau dulunya adalah seorang PatihAmangkubumi bernama Ki Patih Ulung, pada zamannya Sri Tapohulung/ Sri Astasura Ratna Bumi Banten.
Di pesamuan itu Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel I (d/h Ki Patih Ulung) menjelaskan tujuannya ke pada peserta rapat, dan peserta rapat setuju dan tidak akan memperpanjang persoalan kalau itu adalah perintah dari Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel I (d/h Ki Patih Ulung). Karena orang-orang Bali Aga menganggap Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel adalah Raja/pemimpin mereka yang disah dan disegani.
Kiyai Kayuselem mengajukan syarat kepada Adipati Samprangan melalui Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel I (d/h Ki Patih Ulung) yaitu untuk tidak mengabaikan tempat pemujan rakyat Bali terutama Kayangan Tiga, Sad Khayangan, terutama Pura Besakih.
Setelah masalah tersebut disetujui , Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel I (d/h Ki Patih Ulung) mengutus salah seorang untuk melaporkan bahwa orang-orang Bali Aga telah menghentikan pemberontakan, dan telah membebaskan I Dewa Madenan dan yang lainnya, sedangakan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I), Kiyayi Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa beserta rombongannya tetap tinggal di Tampurhyang Batur, guna mengawal perdamaian tersebut, peristiwa itu terjadi pada tahun Çaka 1274 (tahun 1352 M).
Pd thun Caka 1277 (1355 M) Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel I (d/h Ki Patih Ulung) kembali ke Samprangan kemudian ke Gelgel, istri (Ni Luh Madri putri Kiyayi Kayu Selem)bersm kedua putranya(Kyai Gst Pasek Gelgel Songan) ditinggal di Tampurhyang Batur. Sdgkan I Gusti Pangeran Tohjiwa kmbali ke Desa Kejiwan.Ktk itu turut pula beberapa orang pimpinan orang2 Bali Aga, diantaranya Kyayi Kayuselem, Ki Pasek Bali dan lainnya. Sesampai di Samprangan mereka diterima dgn baik oleh Adhipati Sri Kresna Kepakisan. Stlh itu mereka menyampaikan telah menghentikan pemberontakan yang dilakukan dan memohon untuk tidak mengabaikan tempat pemujaan orang-orang Bali, dan adhipati berjani tidakakan mengabaikan tempat2 pemujaan dan akan merubah segala kekeliruan yang telah beliau lakukan.
Atas kesuksesan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel I (Ki patih Ulung) dan sanak saudaranya, itu membuktikan bahwa Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel masih memiliki pengaruh yang sangat kuat dan masih sangat disegani serta dihormati oleh orang2 Bali Aga.
Pergolakan Politik di Pemerintahan Samprangan.
Tidak lama Dalem Sri Kresna Kepakisan menikmati aman damainya pemerintahan dengan dibantu oleh Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel yang mengendalikan Orang-orang bali Aga dari Gelgel, kembali terjadi intrik politik dalam pemerintahan Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Intrik politik yang dilancarkan oleh para Arya Majapahit keturunan Kediri yang tidak puas akan kedudukannya dan menginginkan patih Amangkubumi diserahkan penuh kepadanya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dan mengingat rakyat Bali yang baru mulai bangkit dan mulai percaya dengan kepemimpinan Dalem Sri Krsna Kepakisan, maka Kyayi Gusti Agung PasekGelgel (I) (d/h. Patih Ulung) mengundurkan diri dari patih Amangkubumi dan memilih menetap di desa Mas. Sedangkan kedudukannya sebagai pemimpin para Pasek di Gelgel (semacam Fraksi atau partai dizaman kini kali ya????) diserahkan kepada anaknya yang bernama Kiayi Gusti Smaranata- bergelar Kyayi Gusti Pasek Gelgel II. Dan Patih Amangkubumi Dalem Sri Krsna Kepakisan kembali di jabat oleh Arya Kepakisan keturunan Kediri.
Oleh Sri Krsna Kepakisan niat Ki patih Ulung yang sudah bergelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I) untuk mengundurkan diri dari Gelgel dikabulkan dengan mengangkatnya menjadi Kepala Desa Otonom /Bendesa di Desa Mas. Karena dalem Sri Krsna Kepakisan sangat paham akan kepribadian Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (d/h. Ki Patih Ulung, d/h Mpu Jiwaksara), karena beliau Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel sejatinya adalah seorang Brhamana yang karena situasi politik saat itu terpanggil untuk nyineb menjadi Ksatrya (Ksatrya-pandita).
Pada tahun 1358 M, Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel ( d/h. Ki Patih Ulung) pergi meninggalkan Gelgel menuju Bali tengah dan menetap di Desa Mas. Oleh Dalem Sri Kresna Kepakisan keberangkatan Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel ke Desa Mas dihadiahi beberapa ratusan rakyat pengiring, serta dibekali berbagai pusaka pemberian Dalem Sri Krsna Kepakisan dan disertai Wejangan/Bhisama dari Dalem Krsna Kepakisan yaitu : “Kekayaan, harta benda, pusaka-pusaka dan lain-lain yang menjadi milik Bendesa Mas tidak boleh diambil atau dijarah/dikuasi untuk kerajaan”.
Di Desa Mas Ki Patih Ulung (Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel I)menjadi Bendesa dengan Gelar Kyayi Gusti Pangeran Manik Mas dan memimpin Desa Mas secara turun temurun.
Di Desa Mas Ki Patih Ulung (Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel I) yang telah berganti nama menjadi Kyayi Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas I, mempunyai seorang putra bernama Kyayi Gusti Pangeran Manik Mas II (mengambil nama jabatan orang tuanya) atau disingkat I Gusti Bandesa Manikdan melanjutkan memerintah di desa Mas. Kyayi Gusti Pageran Manik Mas II mempunyai putra-putri sbb :
1. Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (III),
2. Gusti Luh Made Manik Mas yang kemudian menikah dengan sepupunya yang bernama Rare Agon (anak Kiayi Smaranata/Ki Gusti Agung Pasek Gelgel II)
3. Gusti Luh Nyoman Manik Mas Genitri, yang kemudian diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Nama Bendesa Mas tetap tercantum sebagai pengenal garis keturunan. Dari sinilah menurun para Bendesa Mas yang tersebar di seluruh Bali antara lain di Gading Wani.
Pada Waktu masih menetap di Gelgel Ki Patih Ulung ( Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel I ) menikahi Gusti Luh Tohjiwa anak dari Pangeran Tohjiwa. Dari pernikahannya dengan Gusti Luh Tohjiwa 😊 Ni Gusti Ayu Swara reka??), kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel I (d/h Ki Patih Ulung) mempunyai seorang putra diberi nama Kyayi Gusti Smaranatha. Kiyayi Gusti Smaranata menikah dengan Ni Gusti Rudani (anak Mpu Wiradangka) mempunyai anak bernama Ki Gusti Rare Angon. Gusti Rare Angon menikahi sepunya yang tinggal di Desa Mas yang bernama Gusti Luh Made Manik Mas (anak dari Kiyayi Gusti Pangeran Manik Mas II) dan mempunyai putra diberi nama I Gusti Agung Pasek Gelgel III (memakai gelar/nama yang pernah disandang oleh kumpi-nya dahulu sewaktu menjadi raja Bali 1343-1350 M
Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel III – anaknya rare Angon di Gelgel mempunyai putra:
A. Dari istrinya yang bernama Ni Luh Tangkas Kori Agung menurunkan putra yaitu :
1. Pasek Pangeran Tangkas Kori Agung,
2. Bandesa Tangkas Kori Agung,
3. Pasek Bandesa Tangkas Kori Agung.
4. Pasek Tangkas Kori Agung.
B. Dari Istri beliau yang berasal dari Desa Gelgel, berputra 6 orang laki-laki dengan nama yang sama masing-masing adalah :
1. I Gusti Pasek Gelgel Aan,
2. I Gusti Pasek Gelgel Akah,
3. I Gusti Pasek Gelgel Mandwang,
4. I Gusti Pasek Gelgel Sangkanbhuwana,
5. I Gusti Pasek Gelgel Bhudaga
6. I Gusti Pasek Gelgel Pegatepan.
Catatan kaki :
Pada babad Pulasari tulisan Bhagawan Dwija dijelaskan sbb:
Gusti Gede Balangan menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari GUSTI AGUNG PASEK GELGEL.
Setibanya Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel, langsung menghadap Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan. Betapa gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan beliau, namun terasa agak kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir. Tetapi akhirnya beliau maklum setelah mendapat penjelasan DARI GUSTI AGUNG PASEK GELGEL bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah dipertimbangkan dengan baik.
Pembahasan:
Gusti balangan adalah cucu dari Sri Kresna Kepakisan (generasi ke 3 Sri Krsna Kepakisan).
Jadi : Ki Gusti Agung Pasek Gelgel dalam babad Pulasari ini sejaman dengan Dalem Taruk (ayah Gusti Balangan).
Jadi kemungkinan Ki Gusti Agung Pasek Gelgel ini adalah genreasi ke 2 dari Ki Patih Ulung yang bernama Kiyayi Smaranata yg mengantikan jabatan Ki Patih Ulung sebagai Patih di Kerajaan Gelgel. Kiayi Smaranata (Ki Gusti Agung Pasek Gelgel II) mempunyai putra bernama Ki Gusti Rare Angon. Ki Gusti Rare Agon mempunyai anak bernama Ki Gusti Agung Pasek Gelgel. Nama Ki Gusti Agung Pasek Gelgel muncul lagi pada generasi ke 4 Patih ulung. Jadi Untuk Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel-anak dari pada Rare Angon (kumpi dari Ki Patih Ulung) kita sebut saja dengan Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel IV
Keluarga Ki Gusti Agung Pasek Gelgel IV (anaknya Rare Angon) pergi meninggalkan Gelgel menyebar keseluruh Bali akibat kekacauan Politik di Gelgel.
Nama Ki Gusti Agung Pasek Gelgel selalu muncul dalam babad-babad sejak dari zamanya Sri Kresna Kepakisan sampai jamannya Dalem Waturenggong. ini berarti Ki Gusti Agung Pasek Gelgel adalah Nama Gelar/Jabatan yang disandang oleh keluarga Pasek di Gelgel yang menjabat di Ke Adipatian Bali, bukan nama untuk 1 orang.
Nama I Gusti Agung pada Keluarga Pasek berakhir pada masa Dalem Waturenggong dan setelah Restrukturisasi Masyarakat Bali kedalam 4 kasta oleh D. Nirarta, yang disahkan oleh Raja Waturenggong - Keluarga Pasek tidak lagi memakai nama Ki Gusti Agung dan atau I Gusti.
Akibat diskriminasi politik ini ditambah lagi dengan semakin sewenang-wenangnya para Ksatrya (Raja) dalam memerintah (bahkan dengan kekerasan merampas kaum wanita yang disenanginya untuk dikawin) dan bagi yang menentang kehendak raja maka dihukum dengan dikirimnya sebagai budak. Sasana kesinatryannya benar-benar di abaikan diakbatkan oleh momo duniawi. Maka timbullah pemberontakan-pemberontakan dikalangan para kesatrya sendiri diantaranya Pemberontakan Krian Batan Jeruk kemudian pemberontakan Gusti Agung Maruti.
Akibat situasi kemasyarakatan yang terkotak-kotak oleh kastaisme (bukan oleh Jabatan public) dan ulah Penguasa yang mengumbar napsu Syahwat, dan bertindak sewenang wenang.
Maka para pejabat kerajaan yang berhati bersih banyak yang meninggalkan Gelgel dan menetap di Desa-desa.
Kesimpulannya :
1. Ki Patih Ulung, Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I), Kiyayi Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (I) adalah satu orang yang sama, beliau adalah Mpu Jiwaksara yang nyineb dari seorang Brahmana (Mpu) menjadi seorang Ksatrya (Patih, Raja dan kembali menjadi Patih) karena situasi politik di Bali saat itu.
2. Mpu Jiwaksara adalah benar-benar seorang yang berkepibadian Brahmana, meskipun peluangnya sangat besar untuk menjadi Raja Bali dan sudah diangkat oleh Mahapatih Gajah Mada menjadi Raja Bali dan direstui oleh Ratu Tribuwana Tungga Dewi dari Majapahit, dengan Abhiseka Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel (I), tetapi minatnya untuk tetap sebagai Pandita (Brahmana) membuatnya kembali memohon kepada Ratu Tribuwana Tungga Dewi untuk mengangkat Adipati baru di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar