Dalam ritual Calonarang banyak perlengkapan yang sarat makna. Seperti halnya Wadah, Pohon Biu (pisang) Saba serta Gedang (Pepaya) yang tak sekadar hiasan. Bahkan, pertunjukan tak akan bisa dilaksanakan, jika sarana tersebut belum dipenuhi. Calonarang merupakan seni pertunjukan yang sampai saat ini sering dipentaskan. Baik sebagai Balih – balihan maupun sebagai ritual tedunnya Ida Bhatara Tapakan. Mengangkat kisah Rangda Dirah sebagai alur cerita, Calonarang identik dengan kesan mistis dan karauhan.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs. I Nyoman Suarka , M.Hum mengatakan, Calonarang bukanlah cerita mengenai sebuah kejahatan, tidak juga mengenai Ilmu Kekebalan, apalagi Ilmu Pangleakan. Lantas, apa makna dari sarana tersebut? Suarka menuturkan, dalam Lontar Andhabhuwana diceritakan tentang asal muasal keberadaan Dewi Uma berubah menjadi Dewi Durga (penguasa kuburan).
Kisah itu berawal saat Bhatara Siwa menyuruh Dewi Uma mencari susu yang tugasnya cukup berat untuk dilakukan. Dalam memperoleh susu, Dewi Uma harus merelakan diri untuk melayani si pengembala. Ketika telah mendapatkan susu dan kembali ke Khayangan untuk menyerahkannya kepada Dewa Siwa, Dewi Uma melakukan kebohongan. Ia tidak menyebutkan asal muasal di mana susu itu diperolehnya.
Singkat cerita pertempuran pun terjadi. Melihat hal tersebut, Hyang Tunggal memberikan pengarahan dan menjelaskan tentang kesalahpahaman tersebut. Mereka diberikan hukuman atas perbuatannya. Lalu setelah dilebur, beberapa anggota tubuh Dewi Uma berubah menjadi berbagai jenis tumbuhan, keringatnya menjadi bunga gemitir, Payudaranya menjadi Pohon Pepaya, air susunya menjadi Pohon Pisang Saba, badannya menjadi Pohon Pule. Kemudian tangan kanan menjadi Pohon Kepuh, tangan kirinya menjadi Pohon Kepah, Semua Tulangnya menjadi Tebu Ireng, jari jemarinya menjadi Pohon Pisang Gancan.
“Maka dari itu, dalam kisah Calonarang digunakan pohon Pisang dan pohon Pepaya disimbolkan sebagai tubuh dari Sang Durga,” paparnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar