Selasa, 12 Juli 2022

Wastra

 


Wastra adalah kain berwarna - warni yang memiliki makna dan simbol tersendiri. Masang wastra berarti menghiasi setiap pelinggih dengan tedung, umbul-umbul dan kain-kain tertentu menjelang menjelang hari raya maupun pelaksanaan upacara yadnya dan piodalan.
Wastra putih-kuning biasanya dipasang pada palinggih-palinggih, kecuali taksu yang biasanya menggunakan warna merah atau panunggun karang dengan warna poleng.
Pemasangan wastra pada palinggih sesungguhnya merupakan salah satu wujud pemuliaan umat Hindu terhadap Tuhan. Wastra yang dipasang pada palinggih tersebut diibaratkan sebuah pakaian. Dengan demikian, perlakukan palinggih tersebut layaknya perlakukan kepada manusia yang sangat dihormati. Dengan demikian, ketika Tuhan, dewa-dewa, atau leluhur beristana di palinggih tersebut, diharapkan ‘’berpenampilan’’ indah.
Secara filosofi, memang banyak pandangan sebagai bentuk pemaknaan kain putih dan kuning. Namun, jika dilihat dari konsep Dewata Nawasanga, perpaduan warna putih dan kuning merupakan simbol kesejahteraan. Jadi, selama ini kebanyakan orang belum mengtahui jika sebenarnya, warna dasar ini yang melambangkan sebuah kesejahteraan untuk masyarakat Bali.
Di Bali, wastra juga biasanya disebut sebagai busana atau pengangge, khususnya wastra dalam penggunaan pelinggih yang dalam Piagem Besakih perihal Padma Bhuwana disebutkan pengertian dari simbol warna wastra atau pengangge pelinggih tersebut yaitu :
• Hitam artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu.
• Putih kuning artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan.
• Merah melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida sebagai Tri Kona.
Sedangkan makna warna kain putih sebagai simbol kesucian disebutkan seperti halnya dalam penggunaan wastra yang digunakan dalam pelinggih Surya sebagai pesaksi dalam setiap upacara yadnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar