Selasa, 12 Juli 2022

UNCAL BALUNG pantangan NANGUN YADNYA

 


Rahayu, Rahayu, Rahayu……
Semoga Ida Bhetara memberikan kita pencerahan terhadap pemahaman kita tentang makna Rerainan yang merupakan Loka Dresta berdasarkan Sastra Agama, Tabik Pekulun
Istilah Uncal Balung tak asing lagi, kata ini sering terdengar dalam masyarakat Hindu Bali, cuman bagi masyarakat awam mungkin mereka bertanya, apa itu uncal balung?
Secara sederhana, bahwa kurun waktu dari Buda Pon Sungsang sampai dengan Buda Kliwon Pahang masa itu yang disebut dengan Uncal Balung.
Mereka hanya tahu bahwa pada kurun waktu tersebut tak boleh megaenan (Nangun Karya), yang artinya pada masa uncal balung tak boleh merencanakan atau membangun dan melaksanakan upacara baik itu manusa yadnya, pitra yadnya maupun dewa yadnya kecuali upacara odalan dan terkait dengan kelahiran manusia seperti nyambutin, ngotonin dan lainnya.
Masyarakat Bali juga memahami bahwa kalau Nangun Karya atau Nangun Yadnya pastilah mereka menunggu sampai Buda Kliwon Pegatwakan (buda kliwon pahang), namun mereka tak pernah tahu kenapa tak boleh nangun yadnya, mereka mengikuti saja petunjuk dari orang tua atau orang yang mengerti akan hal tersebut, tanpa pernah repot untuk mencari jawabannya.
Mereka berpikir kalau sudah tak boleh ya jangan, tentang alasannya sesungguhnya ini adalah masyarakat Bali masih memegang teguh “Etika atau Susila”, karena orang awam berpikir bahwa adanya larangan merupakan “kode etik” dari sesana yang masih di pegang melalui Ajaran Gugon Tuwon dari para leluhurnya.
Rahayu Semeton bali dan semeton Bakti Pertiw Jati, kembali ke masa uncal balung, untuk ketentuan uncal balung ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Bali secara umum, namun di beberapa daerah sudah ada mulai hal yang sangat kontradiktif dengan banyaknya masyarakat melaksanakan upacara perkawinan, ngaben dan upacara lainnya yang sifatnya nangun karya pada saat masa uncal balung, artinya semua itu sebenarnya sudah menyimpang dari sastra agama.
Masyarakat yang melakukan pelanggaran sastra agama merasa biasa saja karena sudah mendapatkan petunjuk dari “sulinggih” atau sudah di lakukan secara turun temurun melakukan upacara yang melanggar ketentuan uncal balung tersebut, tanpa pernah terasa efek sekala dan niskala.
Namun sebagian masyarakat Bali mencari pembenaran dengan berlindung pada desa kala patra dari masing-masing wilayah, masing-masing kelompok masyarakat memiliki dresta tersendri, sehingga kerapkali dikatakan Agama Hindu Bali bertengger pada desa kala patra berlandaskan Weda dan diukur dengan Rasa.
Inilah pemikiran BEBELOGAN dari orang WIKAN di Bali, bebelogan artinya bukan bodoh tetapi sejatinya orang yang pandai namun dapat menyederhanakan masalah, sehingga tak terlibat dalam polemik, tak terlibat dalam debat kusir, tak terlibat dalam pro kontra mengenai sebuah konsep, orang wikan ini memberi petunjuk dengan sengaja melanggar sastra agama apakah karena mereka tak tahu sastranya atau memang karena drestanya sudah seperti itu.
Sekarang tergantung dari kesepakatan kita bersama sebagai krama Hindu Bali, apakah akan menggunakan sastra agama sebagai pegangan atau berpijak atau di biarkan saja…………?
Ini mesti menjadi bahan renungan dan pemikiran serta bahan diskusi kita bersama.
semoga kita mendapat perlindungan dari Ida Bhatara…..
Sebab dalam filosofinya, bahwa kurun waktu dari Buda Pon Sungsang sampai dengan Buda Kliwon Pahang adalah masih rangkaian Galungan artinya rangkaian Rerainan Galungan seperti yang sudah di jelaskan bahwa merupakan Rerainan dari Sang Prabu sehingga dalam konteks konstitusi kita harus tunduk terhadap keputusan Sang Prabu dan Pura-Pura yang ada adalah merupakan system yang dimiliki oleh Sang Prabu dan oleh sebab itu, diharapkan pada kurun waktu itu menjalankan Tapa Brata Yoga Semadi, sampai akhirnya dilebar atau ditutup pada dina Buda Kliwon Pahang yang di sebut dengan Buda Kliwon Pegatwakan.
Kalau di tinjau dari cerita, bahwa perayaan Galungan tak terlepas dari sejarah Sri Jaya Kesunu yang beryoga Samadi di Pura Dalem Puri untuk mencari jawaban atas situasi prihatin kerajaan saat itu, dimana raja berumur pendek, dan rakyat yang tak sejahtera, maka Sri Jaya Kesunu menjalankan laku pihatin, sehingga Hyang Betari Durga berkenan dan memberikan jawaban atas segala keprihatinan tersebut, dimana rakyat dan kerajaan mesti melaksanakan Galungan dengan benar, karena sebelumnya perayaan Galungan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pertanayaan sekarang sudahkan galungan di jalankan sesuai petunjuk sastra agama?
Demikian juga dengan mitologi Mayadanawa, bahwa Galungan diawali dengan keprihatinan akibat dari peilaku dari Sang Raja Mayadanawa yang menganggap dirinya adalah sesuhunan manusia atau menganggap diri sebagai penguasa manusia dan mahluk hidup, sehingga ia melarang para pertapa untuk melakukan Tapa Brata Yoga Samadi.
Atas semua itu lalu Bhetara Indra turun dari kayangan bersama para Dewa yang lain dan manusia di dunia bersatu untuk menumpas kelaliman dari Sang Mayadanawa, atas kemenangan tersebut manusia kembali dapat menyelengarakan upacara, dan kembali melakukan Tapa Brata Yoga Samadi tanpa ada yang melarang, dan masa Uncal Balung yang seharusnya melakukan Tapa, Brata Yoga Semadi pun menjadi kabur, memudar, lalu lenyap seiring dengan perkembangan jaman dan akibat kemabukan manusia akan kemenangan itu sendiri.
Uncal Balung sebagai bulan pendalaman batin (rohani) untuk mencapai kesucian jasmani rohani mesti perlu dipahami oleh umat, lalu ditradisikan sebagai tradisi pendalaman spiritual, agar terhindar dari pengaruh negatif dari Sang Kala Tiga, dan untuk mendapatkan kekuatan para dewa karena pada masa Uncal Balung kekuatan Rwa Binedha sedang berada diantara manusia yakni kekuatan Dewata sebagai unsur positif dan kekuatan Kala yang berwujud Sang Kala Tiga Galungan sebagai unsur negatif.
untuk jelasnya dapat diperhatikan beberapa kutipan Lontar Sindarigama lembar 17. b. koleksi Universitas Hindu Indonesia,
”Buda Kliwon Pegatwakan, yatika pegating warah, manelasing dyana semadhining dunggulan, nga, wekasing pralina ngranasika, pakena Wiku lamakna sindyanasemadhi, umaring kala naya nguni, saha widhi widhananya sarwa pawitra, wangi-wangi, aturakna ring sarwa dewa, muang sesayut dirgayusa, saha puja hatur ring Sang Hyang Tungal”.
Masa Uncal Balung yang dilandasi oleh Tattwa, Susila dan Upacara sesungguhnya sudah dilaksanakan di Bali dengan baik walaupun sekarang ini sudah mulai di langgar.
Kalau di lihat dari Tattwanya adalah pengendalian diri dalam hidup ini untuk mencapai kesucian lahir dan bhatin, yang lebih sering disebut dengan kemenangan Dharma melawan Adharma, Etikanya Sang Prabu melakukan Tapa Brata Yoga Semadi yang di iringi oleh para Pendetanya serta masyarakat yang sudah masuk ke jenjang spiritual dan semua umat Hindu Bali harus melakukan usaha pengendalian diri selama masa uncal balung serta Upacaranya adalah semua kegiatan upacara pada masa uncal balung mempunyai keterkaitan upacara satu dengan lainnya mulai dari sugihan tenten sampai buda kliwon pegatwakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar