Tampilkan postingan dengan label Gamelan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gamelan. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 September 2015

EKAM SAT WIPRAH BAHUDA WADANTI



sebenarnya tidak ada orang yang atheis, agnostic dan lain lain sebutan seperti itu.
Mengapa demikian ?
Sesuai dengan konsep Hindu di atas yang artinya Tuhan itu satu,manusia menyebut dengan nama berbeda.
Oleh karena bahasa orang menjadi bingung. Dengan konsep ini yang satu itu dalam bahasa kenegaraan, di Indonesia disebut Tuhan, di Inggris disebut God.
Dalam bahasa keagamaan, Hindu menyebut Sanghyang Widhi, Islam menyebut Allah.
Sedangkan dalam bahasa keilmuan ( Fisika ) disebut ZAT yang berasal dari bahasa Sansekerta Tat/ Sat yang kemudian berkembang menjadi Dzat dan ZAT.
Orang Indonesia tentu tidak percaya dengan God karena tidak ada kata God dalam bahasa Indonesia, sebaliknya orang Inggris tidak percaya dengan Tuhan karena tidak ada kata Tuhan dalam bahasa Inggris.
Sedangkan yang menyebut dirinya Atheis atau sebutan yang lain, boleh saja tidak percaya/ meyakini dengan sebutan Tuhan, God, Sang Hyang Widhi, Allah, tetapi mereka yang menyebut dirinya Atheis pasti percaya dengan sebutan ZAT ( Tat/ Sat/ Dzat ). Zat dan Energi, dimana Hindu menyebut dengan istilah Nirguna dan Saguna Brahman, Siwa dan Shakti, Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya.
MANUSIA BINGUNG KARENA BAHASA/ ISTILAH/ SEBUTAN.


Senin, 07 September 2015

SAKTYA-AVESHA BUDDHA

Dagang Banten Bali


Ada pula beberapa orang Hindu yang mengatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha Avatara. Saktya-avesha berarti seorang jiva-tattva atau makhluk hidup biasa yang diberikan kuasa khusus dan kekuatan khusus dari aspek tertentu Tuhan. Sebagai contoh adalah para Avatara seperti Narada, Mahidasa, dan Empat Kumara. Kekuatan Tuhan bekerja melalui mereka, sekalipun mereka sendiri adalah makhluk hidup biasa. Seperti dibahas pada posting-posting sebelumnya, dalam tradisi Vaishnava-vedanta kita memahami adanya tiga tattva utama, atau adanya tiga kenyataan yaitu ishvara, cit, dan acit. Cit dan acit tergantung pada ishvara, sedangkan ishvara atau Tuhan Tertinggi adalah merdeka sepenuhnya, tidak tergantung pada apapun juga (paramasvatantra). "Biasa" di sini dengan pengertian bahwa mereka bukan tergolong ishvara-vargam atau ishvara-tattva, namun adalah cit-tattva. Memang benar Buddha dianggap salah satu Saktya-avesha sesuai dengan keyakinan bahwa Tuhan Sendiri secara Pribadi tidak menjelma pada jaman Kali sebagai Avatara. Dalam Veda dengan jelas dikatakan bahwa tidak ada Avatara pada Kaliyuga, sehingga dengan demikian tentu saja Buddha bukan termasuk golongan Avatara seperti Rama, Nrisimha, Vamana, dan sebagainya, tetapi termasuk golongan Saktya-avesha.
Walau demikian, menurut berbagai catatan dalam Veda dan Purana, yang juga diperjelas oleh Sri Jiva Gosvami dalam Sri Krishna Sandarbha, Sarva-samvadini-tika, dan Vishnu-dharmottara, dikatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha yang turun pada saat jaman Kali sudah berjalan selama 2000 tahun (tatah ity ayam kaler abda-sahasra-dvitiye gate vyaktah). Itu berarti sekitar 3500-4000 tahun yang lalu, sedangkan Sakyamuni atau Buddha Gautama hidup 2500 tahun yang lalu. Jadi jelas bahwa Buddha yang dimaksud dalam Veda bukanlah Buddha historis, melainkan Buddha lain yang oleh Amarasingha disebut sebagai Sugata Buddha. Sugata Buddha inilah yang disebut sebagai Saktya-avesha dari Vishnu, bukan Sakyamuni Buddha. Kemudian dalam Dasa-avatara-stotra, Sri Vadiraja Tirtha menjelaskan bahwa Vishnu-avatara Buddha mengajarkan dharma Kebuddhaan di alam surga kepada para deva, sedangkan Sakyamuni, yang dikatakan sebagai putra Suddhodana mengajar di alam manusia. Buddha yang dipuja oleh umat Hindu, khususnya para Vaishnava, adalah Sugata Buddha ini atau yang oleh Sri Vadiraja disebut Paramatma Buddha. Saat ini biografi Sakyamuni atau Gautama Buddha yang tersedia adalah kitab-kitab Lalitavishtara, Jatakamala (kisah-kisah kelahiran Buddha sebelum mencapai kebuddhaan), dan Buddhacarita yang lebih baru. Di sisi lain Sugata Buddha dikisahkan dalam bentuk prediksi oleh Purana-purana Hindu, karena Purana dalam bentuk tertulis disusun oleh Vedavyasa hampir 6000 tahun yang lalu. Ribuan tahun lebih awal dari kemunculan Buddha, baik Sugata Buddha maupun Sakyamuni Buddha. Bahkan dalam Srimad Bhagavatam juga dikisahkan adanya 2 Buddha berbeda karena Purana Hindu mencatat hampir semua kejadian relijius penting di setiap kalpa yang berbeda. Bila kita bandingkan kisah kehidupan Buddha Hindu dalam Purana dengan Buddhanya umat Buddha, maka akan jelas tampak sekali perbedaannya.
Hindu dan Buddhisme, sekalipun memiliki banyak persamaan, namun juga berdiri pada dasar konsep ketuhanan yang berbeda. Umat Buddha tidak perlu merasa keberatan dengan keyakinan Hindu bahwa Buddha adalah salah satu Avatara Vishnu. Di luar ada tidaknya dampak politis dari keyakinan ini, setidaknya secara filosofis Buddha yang dimaksud oleh kedua belah pihak tidaklah sama. Umat Hindu juga tidak benar memaksakan bahwa Sakyamuni merupakan Buddha-avatara dari Vishnu. Dalam literatur Veda sendiri tidak ada bukti-bukti yang mendukung hal ini, tidak pula dalam tulisan para guru Hindu terdahulu. Tampaknya keyakinan bahwa Sakyamuni Buddha merupakan Avatara adalah kesalahpahaman yang terlanjur populer dan disebar luaskan oleh mereka yang berada di luar tradisi Veda otentik. Satu-satunya penjelasan adalah oleh karena kebesaran nama Buddha historis sendiri dan juga oleh pemikiran para sarjana Barat yang menganggap tidak mungkin ada catatan sejarah lebih tua lagi dari jaman Buddha historis 2500 tahun yang lalu. Mereka tidak percaya bila sebelum masa itu sudah ada peradaban rohani Vaidika yang telah berkembang sangat tinggi.

Rabu, 12 Agustus 2015

Svara Semesta

Dagang Banten Bali


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini

Rabu, 01 Juli 2015

Lontar Bubuksah



Menurut Lontar Bubuksah
 Diceritakan dua bersaudara kakak beradik bernama Kebo Milir dan Kebo Ngraweg. Keduanya belum mengenal etika, budhi pekerti, sehingga mereka selalu membuat onar, sekaligus mereka kurang disukai oleh saudara dan keluarga. Pada suatu hari mereka meninggalkan wilayah Kediri menuju pertapaan Mandhalangu atas petunjuk dari seorang siswa pertapaan tersebut yang bernama Hulukembang. Di sana mereka berdua akhirnya diterima untuk menjadi murid, lalu diganti namanya: Kebo Mili menjadi Gagaking, sedangkan Kebo Ngraweg menjadi Bubuksah.
Mereka menemui seorang pertapa suci, dari sanalah mereka lalu belajar tentang ajaran yang sangat rahasia, yakni ajaran keabadian. Banyak hal yang diperoleh di pertapaan Mandalangu. Mereka juga belajar kepada Sang Jugulwatu, salah seorang dari putra sang mahamuni yang telah berhasil dalam tahap ujian pantangan-pantangan, dikatakan berbadan gaib meski usianya masih muda, ia tidak ragu-ragu jika akan menemui ajalnya. Diceritakan bahwa suatu hari, lebih sepekan badan beliau seperti mati tidak ada yang mengetahui kerahasiaan beliau, tubuhnya menebar keharuman “pati nira keh wong gawok dening anilih tan katon”. Wafat beliau sangat gaib oleh karena badan beliau tidak terlihat.
Setelah mendengarkan petuah-petuah dari sang mahamuni, mereka berdua ingin melakukan tapa brata di pegunungan, pada bulan Purnama Kapat. Dalam perjalanan mereka beristirahat di sebuah balai, di balai tersebut terdapat lukisan wayang yang menceritrakan Sudamala. Lalu mereka tiba di sebuah alas angker, hutan yang menakutkan, banyak binatang buas. Sang Gagaking memutuskan untuk mengajak adiknya membuat pertapaan di tempat itu. Sang Gagaking mengambil tempat di sebelah barat sedangkan Sang Bubuksah di sebelah timur. Sebelum membuat tempat pertapaan, mereka menuju ke sebuah pancuran air, dilihatlah sebuah patung yang menceritakan lakon Arjuna Tapa, saat Arjuna melaksanakan tapa yang hebat, Sang Arjuna meskipun digoda oleh bidadari cantik Supraba, Gamarmayang, dan Tilotama namun tidak mengurungkan tapa semadinya.
Dikisahkan Gagaking dan Bubuksah melakukan tapa berata dengan cara yang berbeda. Gagaking menjalankan tapa dengan tidak memakan daging dan segala yang berasal dari hewani, hanya tumbuhan yang dianggap makanan suci. Sedangkan Bubuksah sebaliknya, dia melakukan tapa bratanya dengan tekun namun aneh, segala jenis makanan akan dimakannya, sesuai dengan janjinya, apapun yang terkena jebag / jebakan yang dipasangnya akan dimakan habis, tidak saja kancil, tikus, dan binatang lainnya juga dimakannya. Diolah menjadi makanan sambil menyanyikan kidung-kidung suci, mimum air nira (tuak). Bubuksah sangat ketat dalam menjalankan tapa bratanya. Bubuksah tidak kalah mengagumkan dalam menjalankan tapa bratanya, siang dan malam selalu ingat dengan makanannya, karena masakan yang dibuat harus habis, tidak tersisa sedikitpun. Ini disebut berawa.
Dalam pertapaannya, pada suatu hari mereka terlibat dalam diskusi yang hangat. Gagaking memberi tahu kepada adiknya “adinda, apakah yang adinda lalukan itu adalah suci? kenapa kita tidak menjalankan tapa brata yang sama saja dengan memakan makanan yang suci?”.
Bubuksah rupanya tetap teguh dengan pendirian tapa bratanya, meski sang kakak menyatakan ajarannya keliru dan tidak akan dapat mencapai kesempurnaan batin. Bubuksah tetap menjalankan tapa bratanya dengan tekun.
Dikisahkan pada suatu hari Betara Guru (Dewa Siwa) mendapatkan laporan dari dewa Indra bahwa ada dua orang manusia yang melakukan tapa untuk mendapatkan surga. Atas laporan tersebut kemudian Dewa Siwa berkehendak menguji kesetiaan dan keteguhan keduanya dalam menjalankan tapa brata. Maka diutuslah Sang Kala Wijaya untuk menguji keteguhan hati kedua pertapa tersebut, serta menguji siapa yang telah mencapai tyaga pati yakni kepasrahan  atau kesiapan dalam menyambut kematian. Sang Kala Wijaya kemudian mengambil wujud sebagai seekor harimau putih menuju ke tempat pertapaan mereka. Harimau tersebut pertama kali menuju ke tempat Gagaking untuk memangsanya. Namun Gagaking menyarankan agar harimau menghampiri adiknya yang badannya gemuk, berbeda dengan dirinya yang berbadan kurus yang tak akan membuatnya kenyang. Gagaking tidak rela jika dirinya yang memakan makanan suci dimakan oleh binatang yang tidak suci.
Mendengar perkataan dari Gagaking, harimau tersebut lalu menghampiri Bubuksah untuk memangsanya. Melihat kehadiran dari harimau tersebut menghampirinya untuk memangsanya, Bubuksah yang pemberani dan siap meskipun ajal menjemputnya. Dia meminta menunggu sebentar, selesai dia menyucikan tubuhnya dan melaksanakan japa, mempersilahkan kepada harimau putih itu untuk memakannya.
Mendengar perkataan Bubuksah, sang harimau kemudian mengurungkan niatnya untuk memangsa Bubuksah, lalu mengatakan bahwa dirinya diutus oleh Betara Guru untuk menguji tapa mereka. Sang harimau lalu mengajak mereka berdua untuk terbang ke suargaloka menghadap Betara Guru. Bubuksah menunggangi harimau putih itu, sedangkan Gagaking diterbangkan menggelantung di ekornya. Keduanya dapat mencapai kesempurnaan, keduanya mendapatkan sorganya masing-masing. Kemudian Gagaking mendapatkan sorga tingkat kelima sedangkan Bubuksah mendapatkan sorga tingkat ke tujuh (sorga tertinggi). Demikian ceritanya singkatnya.
Lontar Bubuksah di tulis pada Wadoprana Aburih, wuku Kurantil, pada hari kesembilan bulan terang, menjelang bulan (sasih) Jyesta (bulan sebelas) tahun saka 1619. Kemudian di gubah pada Menail Umanis, bulan Kartika, hari ke dua belas bulan gelap tahun saka 1811.
Kutipan Lontar Bubuksah ini sengaja penulis kutip sebagai bahan renungan bagi kita bersama, karena hakekat dari pencapaian kebebasan abadi adalah ketulusan, kepasrahan, dan ketidakterikatan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Pada jaman sekarang, laku spiritual yang dijalankan kerapkali atas motif untuk kemasyuran, kemuliaan di masyarakat, kerapkali terselubung kegiatan dagang, dan sejenisnya. Artinya dalam tindakan tersebut masih ada ego serta keterikatan untuk pencapaian yang sifatnya duniawi.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Rabu, 17 Juni 2015

MAKNA BANTEN PARAYASCITA DALAM UPACARA NYAMBUTAN





Oleh : Ni Made Ratini Abstrak Manusia selalu mendambakan kehidupan sejahtera dan bahagia, suci lahir dan batin, untuk mewujudkannya ia harus menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang pencipta (tuhan), dengan sesama manusia dan dengan lingkungan alam sekitarnya. Cara yang ditempuh untuk mewujudkan dengan melaksanakan upacara Yadnya. Upacara Yadnya memerlukan sarana yang disebut Upakara atau Banten. Salah satu upakara/banten yang digunakan dalam Upacara Nyabutan adalah banten Prayascita. Banten parayascita dibuat berbentuk bundar dari janur kelapa gading. Unsur-unsur Banten parayascita adalah Sorohan Alit, Penyeneng, Sampaian Padma, Lis Sanjata Panca Dewata, Sampian Nagasari, Bungkak Kelapa Gading, Tirta Parayascita, beras Kuning. Banten Paryascita dipergunakan sebagai pendahuluan dari upacara Nyambutan yang berfungsi sebagai pembersihan dan penyucian leteh, kotoran dari pengaruh dasa mala di lingkungan kegiatan Upacara Nyambutan. Makna Banten Parayascita dalam Upacara Nyambutan adalah sebagai simbol penyucian rohani / alam pikiran dari pengaruh mala atau kotoran, dengan pikiran yang suci sehingga keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup tercapai. Kata kunci : Banten Parayascita simbol penyucian rohani. 

Agama Hindu adalah agama yang mengajarkan ajaran yang bersifat universal. Agama Hindu memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk menghayati dan mengamalkan serta merasakan inti sari ajarannya. Dengan sifatnya yang universal itu maka agama Hindu bukanlah agama untuk satu golongan atau satu bangsa saja, melainkan agama Hindu untuk siapa saja yang meyakini dan bersedia untuk melaksanakan ajarannya. Keuniversalan yang dimaksud bahwa agama Hindu berlandaskan pada konsep terciptanya keseimbangan baik lahir maupun batin. Semua ajaran Hindu dijiwai oleh ajaran Weda, walaupun dalam bentuk pelaksanaannya berbeda-beda di berbagai tempat. Keberagaman tersebut merupakan halsangat bernilai bagi umat Hindu karena semua bentuk acara, ritual, etika dipengaruhi oleh budaya setempat di mana Hindu itu tumbuh dan berkembang. Semangat ajaran Weda laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai yang panjang sepanjang abad, melalui daerah-daerah yang luas. Karena lama dan luasnya daerah yang dilalui sehingga wajahnya dapat berubah sesuai daerah yang dilalui namun inti ajarannya tetap sama. Demikian juga dengan kepercayaan kepada Tuhan di setiap daerah selalu mengacu pada tradisi budaya setempat. Dengan adanya budaya, tradisi yang berbeda-beda merupakan keunikan tersendiri bagi umat Hindu yang tidak ada dijumpai pada agama lain. Hal ini merupakan kekayaan yang sangat bernilai bagi umat Hindu. Oleh karena itu umat Hindu perlu bangga dengan adanya beragam budaya, tradisi, upacara yang berbeda, dengan demikian umat Hindu merasa sangat dekat dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan lingkungan alam Sekitarnya. Umat Hindu dalam melaksanakan ajaran Agama Hindu dengan didukung oleh tradisi dan budaya setempat serta orientasi pelaksanaannya mengacu kepada tiga kerangka dasar yang meliputi: (1) Tatwa adalah mengisi kecerdasan otak, melatih kemampuan memandang rahasia-rahasia yang dimiliki oleh Tuhan dan rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri serta rahasia-rahasia yang dalam alam lingkungan. (2) Etika (susila) adalah menyuguhkan ajaran untuk melatih tingkah laku yang berperan menumbuhkan peningkatan rasa pada setiap pemeluk. (3) Ritual (upacara yadnya) adalah menyuguhkan ajaran rela berkorban yang pada hakekatnya untuk memelihara hidup. Sebab semua yang hidup di dunia ini bermula dari yadnya Tuhan yang telah Menciptakan alam semesta beserta dengan isinya berdasarkan Yadnya seperti yang disebutkan dalam kitab Bagawadgita Bab III. 10 sebagai berikut: Sahayajnah Parajah Srishtva, Paro vacha prajapatih, Anema prasavishya dhvam, Esha yo stvashta kamaduk Artinya:

Pada jaman Dahulu kala Prajapati (Tuhan Yang maha Esa) menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda, dengan ini engkau akan mengembang biak dan biarlah ini jadi sapi perahanmu ( S.Pendit 1989: 69). Jadi yadnya yang bermula dari Tuhan itu patut diteruskan agar kehidupan di dunia ini berlanjut terus dengan saling beryadnya. Ketiga kerangka di atas merupakan landasan bagi umat Hindu untuk mencapai ketenangan dan ketenteraman. Kerangka dasar ini merupakan satu kesatuan yang saling memberikan fungsi atau sistem secara keseluruhan. Seluruh rangkaian upacara dalam agama Hindu pada dasarnya dilandasi oleh susila, sedangkan susila dilandasi oleh tatwa sehingga pelaksanaan upacara tidak terlepas dari tatanan tatwa (Triguna, 1994: 73). Agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia ini. Wujud keseimbangan yang dimaksud adalah terwujudnya keseimbangan antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Ketiga faktor tersebut disebut dengan Tri Hita Karana artinya tiga faktor yang menyebabkan suatu keharmonisan dan kebahagiaan yaitu faktor Tuhan, manusia dan lingkungan. Untuk mewujudkan keharmonisan tersebut umat Hindu Khususnya Umat Hindu Etnis Bali melaksanakan Upacara nyambutan (Upacara Manusa Yadnya) menggunakan salah satu sarana / Upakara Banten Parayascita. Upacara Nyambutan adalah suatu upacara yang dilakukan oleh Masyarakat Hindu. Upacara Nyambutan termasuk upacara manusa yadnya yang dilaksanakan ketika bayi berumur tiga bulan Wuku atau 105 hari, Tujuan upacara ini adalah momohon kepada Tuhan untuk menyucikan jiwa dan raga si bayi sekaligus mengesahkan nama si bayi. proses upacara diawali dengan pembersihan, penyucian dilanjutkan dengan upacara mengelilingi lesung, upacara si bayi pertama kali menginjakkan kaki di tanah. Upacara nyambutan memerlukan sarana dan prasaran berupa banten/ sesajen yang disebut dengan Upakara.

Salah satu Upakara yang digunakan dalam Upacara Nyambuatan berupa banten Prayascita yang memiliki bentuk, fungsi dan makna yang sangat penting. Banten Parayascita digunakan bersamaan dengan Banten Byakala dan durmenggala untuk mengawali upacara sebagai pembersihan Jasmani dan dan rohani. 


II. PEMBAHASAN 

1. Upacara Nyambutan Upacara Nyambutan disebut juga upacara Nelu Bulanin. Upacara Nyambutan dilaksanakan saat bayi berumur 105 hari (tiga bulan wuku). Upacara ini berfungsi untuk menyambut dan menstanakan Atman si bayi di dalam raga sariranya. ini bersifat ritual formal yang mengandung makna sakral. Upacara ini mengandung nilai untuk menumbuhkan kesadaran Atman pada umat manusia bahwa badan manusia ada jasmani dan Rohani. Dalam praktiknya umat Hindu Etnis Bali yang berkaitan dengan membersihkan Jasmani dan rohani tidak bisa lepas dengan menggunakan sarana banten sebagai wujud korban dalam beryadnya, hal ini bersifat spiritual. Pada upacara Nyambutan memerlukan beberapa jenis Banten seperti Banten Byakala, Parayascita, penyambutan, ayaban, pulogembal dan lain-lain sesuai tingkatan besar kecilnya upacara. Namun pada tulisan ini khusus membahas tentang makna Banten Parayascita dengan unsurunsurnya. 

2. Pengertian Upakara Banten Parayascita Upakara atau Banten merupakan salah satu alat atau sarana dalam pelaksanaan upacara bagi mereka yang menempuh jalan bhakti, karena manusia memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam menghubungkan dirinya dengan Ida Shang Hyang Widhi Wasa. Di dalam Catur Marga Yoga, Upakara tersebut diwujudkan melalui Karma Marga Yoga yang artinya jalan bekerja atau berbuat, karena upacara menjadi bagian integral dari Umat Hindu yang diungkapkan melalui pelaksanaan upacara yang dilengkapi dengan upakara atau banten sebagai bentuk rasa sujud bhakti permohonan maaf serta tuntunan keselamatan yang ditujukan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa (Arwati, 2005: 1). Banten adalah bahasa simbol yang sakral menurut pandangan Hindu. sebagai bahasa simbol maka Banten sebgai media untuk menvisualisasikan ajaran-ajaran Hindu. sebagai media untuk menyampaikan Sradha dan Bhakti pada kemahakuasaan Hyang Widhi. Banten sebagai satu bentuk budaya sakral keagamaan Hindu yang berwujud lokal, namun di dalamnya terdapat nilai-nilai universal. Sesuai pendapat Sudharta, 2003; 64 landasan konsepsinya universal namun aplikasinya haruslah menurut kondisi kontekstual yaitu: (Iksa, Sakti, Desa, kala) yang penting tidak bertentangan dengan Tattwa. Tatwa adalah hakikat kebenaran Weda. Prayascita berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Prayas yang artinya bahagia dan gembira sedangkan kata citta artinya alam pikiran. Pikiran yang suci dan netral disebut Citta. Kalau cita itu ditarik dan dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu maka ia disebut manah. Namun apabila ia dapat membeda-bedakan mana yang baik dan nama yang buruk maka pikiran itu disebut wiweka. Dengan wiweka pikiran itu diarahkan kembali menuju citta. Pikiran yang sempat kotor dapat dikembalikan dengan pemahaman Tatwa Jnana, susila dan Upacara Yadnya. Dalam tradisi umat Hindu etnis Bali salah satu Banten yang dipakai dalam upacara nyambutan untuk mengembalikan alam pikiran yang kotor adalah Banten parayascita. Banten ini biasanya dipergunakan bila seseorang melakukan penglukatan (menghilangkan sebel/ Cuntaka). 

3. Bentuk Banten Parayascita Alasnya menggunakan kulit sesayut berbentuk bundar dari janur di atasnya berturut-turut diisi peras dari janur, daun tabia bun 8 lembar dijahit menjadi satu berbentuk bundar seperti padma, di atasnya diisi nasi yang berbentuk bundar dikelilingi oleh jejahitan yang berbentuk Tri Kono yang di atasnya lima iris telor dadar yang diletakan sedemikian rupa sehingga menunjukan ke lima arah mata angin. Banten ini juga dilengkapi dengan buah-buahan, lauk pauk, jajan dan sampinya nagasari, canang genten, canang buratwangi. Satu unit Banten Prayascita dilengkapi dilengkapi dengan unsur-unsur banten yang lain seperti: a. Banten Penyeneng b. Banten Sorohan alit (peras kecil, Tulung, Sesayut kecil) c. Canang Pesucian/ pengesikan d. Padma e. Lis Sanjata Panca Dewata menggunalan janur kelapa gading f. 1 takir beras kuning g. 1 takir daun dadap diulek h. 1 buah bungkak kelapa gading yang sudah dikasturi (dibuka dengan bukaan berbentuk segi tiga) i. Mohon Tirta pengelukatan Kepada Tuhan dipimpin oleh Pandita/ Rohaniwan yang memimpin upacara. 

4. Fungsi Banten Parayascita Dalam Upacara Nyambutan, Banten parayascita menyertai Banten Byakala dan Durmenggala, dapat dipergunakan sebagai pendahuluan dari suatu yadnya. Rohaniwan sebelum menghaturkan upakara didahului dengan penyucian ( ngelukat). Dengan menggunakan sarana Banten byakala, durmenggala dan parayascita yang berfungsi sebagai pembersihan dan penyucian leteh, kotoran dari pengaruh dasa mala di tempat lingkungan kegiatan Upacara Nyambutan. Pembersihan/ penyucian diawali dari sanggar surya, pelinggih-pelinggih yang ada di merajan, tugu karang, rumah, dapur, sumur dan semua upakara/ Banten disucikan dan dilanjutkan pembersihan penyucian terhadap anggota keluarga terutama Ibu Bapak dan anak yang akan diupacarai Nyambutan. 

5. Makna Unsur Banten Parayascita Banten Parayascita merupakan salah satu sarana yang digunakan pada upacara Nyambutan yang setiap unsurnya memiliki makna masingmasing seperti: 

a. Alas dasar dari Banten Parayascita menggunakan sesayut dari janur. Sesayut berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari kata Ayu yang artinya hidup yang baik. Kata Ayu ini sudah menjadi warga dalam bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Bali. Dalam bahasa Bali Kata Ayu ini menjadi kata Rahayu artinya selamat. Sesayut artinya keaselamatan atau kebahagiaan. Alas seayut berbentuk bulat ini melambangkan bahwa perjuangan untuk mencapai hidup yang sejahtera dan selamat harus dilaksanakan secara bertahap. Bentuk bundar sesayut, nasi bundar dan peras bundar sebagai lambang Windu yaitu sebagai perwujudan simbol Kemahakuasaaan Hyang Widhi yang tidak berawal dan berakhir. 

b. Banten Penyeneng pada parayascita Penyeneng adalah jenis bentuk sampian yang di atasnya diisi tiga konjong diranglai menjadi tiga petak yang dirangkai jadi satu, masing masing petak diisi beras dan benang, Tepung tawar dari daun dadap diisi kunir, tepung beras. Tepung tawar sebagai simbol keseimbangan hidup dan kekuatan Penyeneng ini melambangkan konsep hidup yang seimbang, dinamis, produktif dan kuat. Seperti yang dapat dilihat pada puja mantra penyeneng yang berbunyi: Om Kaki penyeneng Nini Peneyeneng Kajenenin Dening Brahma, Wisnu, Iswara Kaki dan Nini penyeneng tiada lain Hyang Widhi sebagai Purusa dan Predana sebagai sumber terjadinya kehidupa. Kata Nyeneng dalam bahasa Bali artinya hidup (Wiana, 2001: 3). 

c. Banten Sorohan alit terdiri dari (peras, tulung, sayut) - Banten Peras sebagai lambang Tri Guna Sakti. Tari Guna adalah Sattwam, Rajas dan Tamas. Kalau ke tiga guna itu berada pada struktur yang benar maka ia akan menjadi kekuatan yang luar biasa membawa orang pada sukses dalam hidupnya. Struktur yang ideal dari Tri Guna ini apabila struktur tersebut didominasi oleh guna Sattwam dapat menguasai guna Rajas dan Tamas maka perjuangan mencapai sukses. - Banten Tulung adalah berbentuk seperti mangkok kecil tiga buah berisi nasi lauk pauk jajan buah-buahan. Kata tulung dalam bahasa Bali artinya tolong menolong. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kemampuan untuk melakukan kerja sama dengan sesamanya untuk mencapai tujuan bersama. Banten tulung sebagai lambang wujud kerja sama saling tolong menolong dengan sesama untuk mencapai hidup yang sejahtera. - Banten Sayut sebagai simbol perjuangan untuk mencapai Rahayu, selamat dan sukses. 

d. Banten Pesucian / Pengeresikan Banten pesucian / pengeresikan dibuat beralaskan ceper diisi celemek tujuh buah, masing-masing celemek berisi ambuh dari daun kembang sepatu yang diiris, Tepung tawar, kekeosok putih dari tepung beras, kekosok kuning dari tepung beras berwarna kuning minyak wangi, sisig dibuat jajan yang dibakar sampai gosong, dan beras. Banten canang pesucian sebagai simbol pembersihan dan penyucian dari pengaruh negatif. 

e. Padma Padma adalah sejenis jejahitan yang diabuat dari janur kelapa gading berbentuk bundar diisi reringgitan. Padma ini sebagai simbol senjata Dewa Siwa yang dapat menyucikan leteh/ cuntaka. 

f. Lis senjata Lis Senjata yang dibuat dari daun janur Kelapa Gading ini umumnya dibuat dalam bentuk sampian Lis dengan lima macam senjata saja. Misalnya reringgitanya dari yang paling bawah melukiskan senjata Naga Pasa senjatanya Dewa Maha Dewa, terus diatasnya Gada senjatanya Dewa Brahma, berikutnya Padma senjata Dewa Siwa, diatasnya Cakra senjata Dewa Wisnu. Di atas Cakra adalah Bajra senjata Dewa Iswara. Di atas senjata Bajra ada mata dan terus paling diatas menggambarkan rambut. Ini menggambarkan bahwa seluruh sejata kekuatan Dewa itu adalah satu dari Hyang Widhi Wasa. Sejata para Dewa itu lambang kesucian Tuhan yang akan melenyapkan segala kekotoran alam pikiran. Dengan Sampian Lis Senjata inilah kita dimotivasi dengan cara ritual agar terus kita memikirkan nama Tuhan. Kalau pikiran selalu diarahkan pada Nama Tuhan dengan kesucianya maka pikiranpun menjadi suci. 

g. Bungkak kelapa gading yang dikasturi berbentuk segi tiga yang digunakan airnya diperciki dengan sarana lis senjata panca dewata untuk menyucikan bangunan suci dia area merajan, sarana upacara, sumur, dapur, rumah dan dicipratkan di atas kepala keluarga yang melaksanakan upacara nyambautan (Penyucian buana agung dan Bhuana alit). 

h. Tirta parayascita Tirta parayascita diperoleh dengan memantrai air oleh pandita atau rohaniwan sebagai pemimpin upacara penggunaanya sama dengan air bungkak kelapa gading namun dicipratkan dengan jejahitan padma, sebagai simbol penyucian Bhuwana agung dan buana alit (Putra, 2001 ;15) 6. Makna Banten Parayascita dalam Upacara Nyambutan Dalam tradisi Umat Hindu etnis Bali salah satu Banten yang dipakai dalam Upacara Yadnya untuk mengembalikan alam pikiran yang kotor itu adalah Banten Prayascitta. Kalau Banten Byakala yang bermakna sebagai lambang penyucian yang bersifat lahiriah. Sedangkan Banten Prayascitta sebagai lambang penyucian rohaniah. Karena itu Banten Prayascitta ini selalu menyertai Banten Byakala atau Banten Durmangala. Banten Prayascitta ini biasanya dipergunakan setelah Banten Byakala atau Banten Durmengala dihaturkan. Ini berarti penyucian Sakala (lahiriah) terlebih dahulu barulah penyucian Niskala (rohaniah). Seluruh bahan Banten Prayascitta hendaknya sedapat mungkin menggunakan daun kelapa Gading terutama sampian Padma dan Lis Senjata. Khusus Kelapa Gading disebutkan dalam Lontar Taru Premana sebagai keturunan Dewa Surya yang dibentuk dari sari-sari ilmu Kepanditaan. Ilmu Kepanditaan ini dalam Taru Premana berwujud dalam Kelapa Gading. Karena itu Kelapa Gading dapat dijadikan sarana untuk mengobati berbagai macam penyakit. Disamping itu dalam Lontar Taru Premana disebutkan Kelapa Gading memiliki kekuatan magis untuk Ngelukat berbagai kekotoran. Dalam Lontar Taru Premana disebutkan: Titiyang I kelungah Nyuh Gading Sesarin Sang Pandita, titiyang wenang Anglukat sekancan Leteh, Titiyang pinaka warih Bhatara Surya mumi (Wiana,2001: 172) Dari uraian Lontar inilah ada keyakinan dikalangan umat Hindu bahwa Kelapa Gading itu memiliki kekuatan magis religius. Kelapa Gading disamping digunakan air buahnya yang muda (dalam bahasa Bali disebut Bungkak) sebagai Tirtha Panglukatan, juga digunakan daunya sebagai Lis Senjata dan sebagai Sampian Padma. Padma ini khusus sebagai lambang senjata Dewa Siwa sebagai pemusnah kekotoran. Lis Senjata yang dibuat dari daun janur Kelapa Gading ini umumnya dibuat dalam bentuk sampian Lis dengan lima macam senjata saja. Misalnya reringgitanya dari yang paling bawah melukiskan senjata Naga Pasa senjatanya Dewa Maha Dewa, terus diatasnya Gada senjatanya Dewa Brahma, berikutnya Padma senjata Dewa Siwa, diatasnya Cakra senjata Dewa Wisnu. Di atas Cakra adalah Bajra senjata Dewa Iswara. Di atas senjata Bajra ada mata dan terus paling diatas menggambarkan rambut. Ini menggambarkan bahwa seluruh sejata kekuatan Dewa itu adalah satu dari Hyang Widhi Wasa. Seluruh senjata para Dewa itu lambang kesucian Tuhan yang akan melenyapkan segala kekotoran alam pikiran. Dengan Sampian Lis Senjata inilah kita dimotivasi dengan cara ritual agar terus kita memikirkan nama Tuhan. Kalau pikiran selalu diarahkan pada Nama Tuhan dengan kesucianya maka pikiranpun menjadi suci. Menurut Puja penganter Banten Prayscitta itu ada lima Mala atau kekotoran diri yang dimohonkan dapat hilang dengan Banten Lis itu, yaitu Sarwa Rogha artinya segala macam penyakit, Sarwa Wighna artinya segala halangan, Sarwa Satru yaitu semua musuh, Papa Klesa yaitu lima klesa yang mengotori hidup dan Sarwa Dusta artinya terhindar dari bencana oleh orang-orang jahat. Dusta dalam bahasa Sanskerta artinya orang jahat. Demikianlah banten Prayascitta bertujuan sebagai sarana ritual yang sakral untuk melindungi pikiran dari lima kekotoran itu. 

III. Penutup 
Berdasarkan beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 

1. Banten Parayascita berbentuk bundar, nasi bundar, laik pauk, jajan buah-buahan, sampaian nagasari, dilengkapi dengan sorohan alit, Pesucian penyeneng, lis senjata panca Dewata, padma, air bungkat kelapa gading, dan tirta. Ditata sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar, indah. 

2. Fungsi Banten Parayascita dipergunakan sebagai pendahuluan dari suatu yadnya. Rohaniwan sebelum menghaturkan upakara didahului dengan penyucian ( ngelukat). Dengan menggunakan sarana Banten byakala, durmenggala dan parayascita yang berfungsi sebagai pembersihan dan penyucian leteh, kotoran dari pengaruh dasa mala di tempat lingkungan kegiatan Upacara Nyambutan. 

3. Makna Banten Parayascita dalam Upacara Nyambutan adalah sebagai simbol menyucikan rohani dari pengaruh Mala atau kotor untuk mencapai keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. DAFTAR PUSTAKA Arwati, Sri Ni Made, Makelem suatu upacara Bhuta Yadnya penerbit Pemerintah propinsi Bali, Muterini, I Gusti Agung Mas, Panca Yadnya, Bali : Pemda Propinsi Bali Pendit Nyoman S, Bhagawadgita, Jakarta,Dharma sarati. Puja,G dan Sudharta tjokorde Rai Menawa DharmaSastra (Manu Dharmasastra atau Weda Smrti Compendium Hukum Hindu, Jakarta: Pustaka Mitra Jaya. Putra,Ny. I Gusti Agung Mas. 2001, Upakara Yadnya, Bali : Pemda Propinsi Bali. Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, Teori Tentang Simbol, 


Denpasar : Widya Dharma. Wiana I Ketut. 2003, Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita.


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771


Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini