“Peniupan atau memadamkan lilin tidak ada dalam tradisi Veda, terlebih lagi jika melakukannya dengan meniup melalui mulut. Menurut tradisi Veda, jika orang meniup lampu Dῑpa (lilin) atau Dupa dengan mulut, maka upacara apa pun yang orang lakukan itu dianggap gagal sebelum mulai.”
Kedua bait mantram di atas adalah mantram untuk menyalakan lampu Dῑpa atau Lilin. Dapat pula diucapkan ketika orang menyalakan Lilin pada peringatan Hari Ulang Tahunnya.
Dunia Barat merayakan hari ulang tahun dengan sebutan Happy Birthday atau Selamat Hari Ulang Tahun. Selanjutnya, dunia Timur khususnya India dan Indonesia (Bali) pun mengikutinya mentah-mentah. Tanpa merasa ada sesuatu yang salah, tanpa pertanyaan apapun juga.
Jika diamati dengan jujur, barangkali hanya orang-orang Bali yang memperingati hari kelahiran yang memang benar-benar hari kelahirannya. Peringatan Hari Ulang Tahun, Hari Kelahiran, “Birthday celebrations” yang kita lihat selama ini, ternyata sesungguhnya mereka tidak memperingati hari kelahiran melainkan tanggal kelahiran. Sekali lagi bukan hari kelahiran, tetapi tanggal kelahiran yang mereka peringati. Seharusnya mereka menyebut “Happy Birthdate” dan bukan Happy Birthday (selamat Tanggal Lahir dan bukan selamat Hari Lahir).
Di Bali, umat Hindu merayakan hari lahir dan bukan tanggal lahir. Pawetonan atau Otonan diperingati dengan mengikuti Pawukon Bali, misalnya orang lahir pada hari Senin (Soma) dan pancawaranya Wage, maka mereka akan memperingati hari kelahirannya selalu pada hari Soma (Senin) yang bertemu dengan Wage dan Wukunya. Setiap Soma Wage mereka akan selalu memperingati hari kelahirannya. Tidak pasti Soma Wage itu jatuhnya selalu pada tanggal yang sama, karena orang Bali tidak memperingati tanggal lahir, melainkan hari lahir yang jatuhnya 6 bulan sekali. Biasanya, sarana peringatannya menggunakan sarana upakara kecil atau besar, semua itu disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan dari yang merayakannya. Adapun jenis sarana upakara yang umum dipergunakan antara lain Banten Bayuhan Durmanggala atau disebut Biyakaon, Sayut Prascita, Sayut Pengambyan, dan Sodan Tataban. Tambahan Banten Sambutan bagi anak-anak yang belum “tanggal gigi”, yaitu Banten Jejanganan, Banten Pekakulan, Banten Gundulan Alit. Tentu saja kita mengenal tingkatan persembahan Banten yang Kanistha (paling sederhana), Madhyama (menengah), dan Uttama (yang peling lengkap). Waktu upacara Otonan dimulai atau dilaksanakan mulai bayi berusia 210 hari. Itulah hari yang sama seperti saat lahimya si bayi (Pancawara, Saptawara, dan Wuku yang sama). Selanjutnya dilaksanakan setiap 210 hari atau 6 bulan sekali. Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana Bantennya, selain setiap daerah juga agak berbeda Banten dan upacaranya. Tempat seluruh rangkaian upacara ini biasanya dilaksanakan di rumah dan pelaksana upacara dipimpin oleh Pandita/Pinandita, atau oleh keluarga tertua (biasanya nenek atau ibu sendiri).
Selain masalah salah kaprah memperingati hari kelahiran dengan tanggal kelahiran, juga cara memperingati hari kelahiran pun dunia Timur mengikutinya secara membuta. Pada umumnya orang-orang merayakannya dengan cara berpesta ria bahkan ada yang melalui pesta mabuk-mabukan. Sebagai catatan untuk direnungkan oleh kita semua, sekarang ini ada pula kecendrungan merayakan Ulang Tahun dengan menghabiskan belasan sampai puluhan juta rupiah. Bagi mereka yang memperingati Hari Ulang Tahun, paling tidak ada keseragaman cara peringatannya, yaitu dengan menyalakan lilin, menyanyikan lagu “happy birthday”, “selamat ulang tahun kami ucapkan”, lalu meniup lilinnya, memotong kue dan membagi-bagikannya kepada semua yang hadir. Ada yang memulai pembagian kue ulang tahunnya anak kecil, ada pula yang mulai pemberian kuenya dari orang tua atau orang yang paling dihormati yang hadir pada peringatan hari ulang tahun kelahiran tersebut.
Dalam tradisi Veda orang-orang menyambut hari ulang tahun, datangnya Tahun baru, memulai suatu upacara, “Utsava” atau Piodalan di Pura, Mandir (sebutan tempat sembahyang di India), atau ketika mulai memasuki rumah baru, dan juga merayakan Hari Lahir seseorang, -- selalu memulainya dengan cara menyalakan lampu Dῑpa (lilin) terlebih dahulu. Penyalaan lampu Dῑpa menandakan orang bersuka cita menyambut datangnya kesenangan, kebahagiaan dalam peringatan Ulang Tahun, memasuki rumah baru, datangnya Tahun Baru, memulai upacara suci, dan lain-lain. Hal sangat penting yang patut dicatat di sini adalah lampu Dῑpa (lilin) itu tidak ditiup, tidak dimatikan karena menyalakan lampu Dῑpa (lilin) menandakan orang berbahagia, sedangkan memadamkan lampu menandakan orang berduka (berbeda dengan mematikan lampu pada hari raya Nyepi untuk tujuan Samādhi).
Lampu suci Dῑpa dibiarkan menyala terus sampai padam dengan sendirinya. Secara spiritual nyalanya lampu Dῑpa (lilin) terus sampai padam dengan sendirinya menandakan Tuhan menjadi Saksi dari peringatan Hari Lahir tersebut atau upacara apapun yang dilakukan pada waktu itu. Menjadi Saksi di sini berarti Tuhan melihat apa yang orang sedang lakukan. Ketika Tuhan melihat artinya Tuhan memberkahi dengan keberhasilan dan kemuliaan, juga melindungi yang bersangkutan agar peringatan atau upacara apa yang sedang dilakukan tersebut dijauhkan dari halangan, cobaan, rintangan (nirwighna) dan akhirnya mencapai kesuksesan dari apa yang sedang dilakukan melalui penyalaan api suci Dῑpa atau lilin tersebut. Api suci Dῑpa (lilin) tidak ditiup atau dimatikan melainkan dibiarkan menyala terus sampai padam dengan sendirinya berarti orang tidak mengahalangi, menutup atau menghentikan kebahagiaannya menyambut Hari Ulang Tahun kelahirannya.
Peniupan atau memadamkan lilin tidak ada dalam tradisi Veda, terlebih lagi jika melakukannya dengan meniup melalui mulut. Menurut tradisi Veda, jika orang meniup lampu Dῑpa (lilin) atau Dupa, maka upacara apa pun yang orang lakukan itu dianggap gagal. Jika kita minum air dengan mulut maka gelas itu dianggap sudah kotor. Gelas tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu barulah boleh dipakai lagi, barulah orang lain boleh memakainya. Demikian pula jika orang meniup lilin maka selain lilin menjadi padam yang berarti kita memadamkan kebahagiaan dan rezeki, juga kue-kue itu sudah menjadi tidak layak dibagikan kepada orang-orang karena dianggap sudah terkotori oleh nafas yang keluar dari mulut. Tentu saja hal ini merupakan hal yang baru bagi kebanyakan umat Hindu khususnya dan bagi dunia pada umumnya, namun ia merupakan suatu hal yang sangat indah untuk dilakukan dan diterapkan dalam keseharian hidup kita.
Peringatan Hari Ulang Tahun dalam bentuk tanggal kelahiran, tentu saja umat Hindu tetap bisa melakukannya dengan mengadakan sedikit pemurnian yaitu lilin atau lampu Dῑpa tidak ditiup, tidak dimatikan, melainkan tetap dibiarkan menyala sampai padam dengan sendirinya. Lampu Dῑpa atau lilin dinyalakan dengan mengucapkan dua bait mantra di atas, ditempatkan di tengah-tengah kue ulang tahun, persembahkan terlebih dahulu ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, barulah mulai menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun atau Happy Birthday. Selanjutnya, pemotongan dan pembagian kue dapat dilakukan. Lilin yang dinyalakan bisa ditempatkan di atas meja atau di tempat lain yang aman, paling baik adalah ditempatkan di luar ruangan supaya api suci atau lilin bisa “bersentuhan” langsung dengan alam, demi mengundang turunnya berkah “alam” untuk kemuliaan mereka yang sedang ber-Ulang Tahun.