Pawintenan Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga jenis, tergantung dari banten ayaban yang dipakai :
1. Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati
2. Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit
3. Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur
Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan memuja dua Dewa – Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar Siwa yang berfungsi sebagai pelindung umat manusia.
Kemudian pawintenan dengan ayaban Banten Catur adalah penyucian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pawintenan Pemangku Suami-Isteri
Pemangku suami isteri dalam melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama-sama oleh suami dan istrinya. Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten, maka setelah menikah, pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama seperti ketika suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini disebut pawintenan masepuh. Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri yang salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami maupun istri haruslah sudah disucikan.
Guna untuk mendapatkan kesucian kepemangkuan tersebut
Dalam kemangku Hindu, menurut pandangan beberapa sastra lontar
Secara etimologi, kata Pamangku berasal dari bahasa Jawa Kuna dari kata“Pangku” yang artinya menyangga atau menopang. Kata menyangga atau menopang rupanya parallel dengan arti kata dharma dari kata “dhr” menjadi “dhara” yang artinya juga menyangga. Kata pangku ini mendapat awalan "pa" mengalami nasalisasi menjadi Pamangku dalam lidah Bali diucapkan Pemangku. Dihubungkan dengan kata dharma yang memiliki arti sama, maka seorang Pamangku adalah penyangga dharma sekaligus figur dari perwujudan dharma itu sendiri (Sang Paragan Dharma).
Menurut Lontar Widhisastra kata Pamangku diuraikan menjadi “PA”
bermakna “Pastika pasti” yang artinya paham akan hakekat kesucian diri. “MANG” bermakna “Wruh ring tata-titining Agama” artinya paham mengenai pelaksanaan ajaran agama. “MANG” juga merupakan aksara suci untuk “Iswara” atau Siwa. Menurut pustaka Purwwa gama sasana, Dewa Iswara merupahan Guru Niskala bagi
warga desa pakraman, Baliau Sang Hyang Iswara juga dijuluki Sang Hyang Ramadesa. “KU” bermakna “kukuh ring Widhi” yang artinya teguh dan konsisten berpegangan kepada aturan-aturan kebenaran yang berasal dari Tuhan atau Hyang Widhi Wasa.
Lontar Sukretaning Pamangku, menguraikan bahwa, Pamangku
adalah perwujudan I Rare Angon, yakni manifes, personal dari Dewa Siwa dalam fungsinya sebagai Dewa Gembala, seperti dinyatakan sebagai berikut:
"Iki sukretaning Pamangku ring kahyangan, wenang tegesing Pamangku kawruhakna kang mawak Pamangku ring sariranta, I Rare Angon mawak Pamangku ring sariranta. "
Terjemahannya
"Ini tata aturan tentang Pamangku di suatu pura, yang dimaksud dengan Pamangku untuk diketahui, yang berwujud Pamangku dalam dirimu, sesungguhnya I Rare Angonlah yang berwujud Pamangku. dalam dirimu".
Pemahaman tentang kepemangkuan berserta sesana Pemangku.
Sesana Pemangku adalah suatu landasan moral yang patut menjadi pedoman seorang pemangku di dalam menjalankan profesinya agar Pemangku tetap dipandang sebagai perantara antara Umat dengan Ida Bhatara dan sebaliknya pula anatara Ida Bhatara dengan Umat. Landasan moral dalam berprilaku sebagai seorang Pemangku.Kode etik ini terdiri dari:
1. Wewenang Pemangku. Dalam melaksanakan tugasnya Pemangku berwenang untuk :
a. Memimpin / mengantarkan suatu upacara sesuai dengan pawintenannya dan panugrahan dari Nabe, (Sesuai dengan batasan-batasnnya atau kewenangannya yang diberikan oleh guru Nabe).
b. Memimpin Upacara dipura yang menjadi amongannya.
c. Dalam melaksanakan tugasnya berpakaian serba putih dan bersih. Boleh berambut panjang ataupun bercukur, maupun menutup kepalanyan dengan destar.
d. Mengahaturkan banten, nunas pamarisudha banten, memberi ijin untuk nedunang bhusana, arca, daksina ataupun kelengkapan di Pura, serta melarang orang lain yang melakukan hal-hal tidak baik di Pura.
Menurut Lontar Raja Purana Gama. Ekajati yang tergolong pamangku dibedakan jenisnya, sesuai dengan tempat dan kedudukannya, dimana beliau ini melaksanakan tugasnya, yaitu:
1. Pamangku Kahyangan (Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Kahyangan adalah Pamangku yang bertugas pada Kahyangan yang meliputi Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat maupun Sad Kahyangan. Masing-¬masing pura ini memiliki seorang atau lebih Pamangku pemucuk dan mengemban tugas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan pada pura yang, diemongnya. Selain itu memahami tentang keberadaan pura serta upacara dan upakara yang semestinya dilaksanakan. Pemangku tersebut sering juga disebut Mangku Gde/Mangku Pemucuk. Seperti Pemangku Desa, Dalem, Puseh serta sesungsungan desa lainnya, Kahyangan Jagat serta. Dangkahyangan.
2. Pamangku Pamongomong (Pembantu Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Pamongmomg juga disebut dengan sebutan Jro Bayan, atau dengan sebutan Mangku alit, yang memiliki tugas sebagai pebantu dari Pemangku Gde di suatu pura, yang sering juga disebut Pamangku alit, dengan tugas pokok mengatur tata pelaksanaan dan jalannya upacara, dan hal-hal lainnya sesuai dengan perintah Pemangku Gde.
3. Pamangku Jan Banggul Pamangku Jan Banggul juga disebut dengan sebutan Jro Bahu, disebut juga Pamangku alit, yang bertugas sebagai pembantu Pemangku Gde, dalarn menghaturkan atau ngunggahang bebanten, menurunkan arca pratima, memasang bhusana pada pelingih, nyiratan wangsuh pada dan memberikan bija kepada umat yang sembahyang, serta hal-hal lainnya sesuai dengan perintah / waranuggraha Pemangku Gde pada pura tersebut.
4. Pamangku Cungkub Pamangku Cungkub yaitu: Pamangku yang bertugas di Mrajan Gde yang memiliki jumlah Palinggih sebanyak sepuluh buah atau lebih.
5. Pamangku Nilarta Pamangku Nilarta adalah Pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai pura Kawitan atau pura Kawitan dari keluarga tertentu.
6. Pamangku Pandita Pamangku Pandita memiliki tugas muput yadnva seperti Pandita. Adanya Pemangku jenis ini didasarkan atas adanya tradisi atau purana pada daerah tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan pemuput Pandita. Sehingga segala tugas, menyangkut pelaksanaan Panca Yadnya diselesaikan oleh pemangku tersebut, dengan mohon tirtha pamuput dengan jalan nyelumbung.
7. Pamangku Bhujangga Pamangku Bhujangga adalah pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai paibon.
8. Pamangku Balian Pamangku ini hanya bertugas melaksanakan swadharma Balian, dapat nganteb upacara atau upakara hanya yang berhubungan pengobatan terhadap pasiennya.
9. Pamangku Dalang Pamangku yang melaksanakan swadharma sebagai Dalang, dapat nganteb upacara atau upakara yang hanya berhubungan dengan swadharma Pedalangannya saja, seperti mabayuh pawetonan atau Nyapuh Leger.
10. Pamangku Tapakan / lancuban Pamangku ini hanya bertugas apabila pada suatu pura melaksanakan kegiatan nyanjan atau nedunan Bhatara nunas bawos, untuk kepentingan pura tersebut untuk, memohon petunjuk, dari dunia niskala.
11. Pamangku Tukang Pamangku ini juga disebut Pamangku Undagi, pamangku yang paham akan ajaran Wiswakarma serta segala pekerjaan tukang, seperti Undagi, Sangging, Pande dan sejenisnya, dapat nganteb upacara atau upakara hanya sebatas yang berhubungan dengan tugas beliau sebagai tukang.
12. Pamangku Sang Kulputih Pamangku Sang Kulputih swadharmanya sebagai pemangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dalam pemujaannya.
13. Pamangku Sang Kulpine Pamangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dan Kusuma Dewa dalam swadharmanya sebagai pembantu Pamangku Sang Kulputih.
14. Pamangku Kortenu, Pamangku Kortenu adalah Pemangku yang bertugas di Pura Prajapati, selain nganteb di Pura yang di emongnya, juga dapat nganteb upacara yang berhubungan dengan Pitra Yadnya, seperti Ngulapin Pitra pada saat akan melaksanakan upacara Atiwa-tiwa dan lain sebagainya.
Ada juga yang sistem Ulu Apad
adalah pembagian tugas adat yang terdiri dari 6 tingkatan yang terbagi menjadi dua sisi yaitu sisi kanan dan sisi kiri atau Kebot Tengawan. Sistem ini dipimpin oleh Jero Kubayan .
Jero Kubayan yang bertugas sebagai pemimpin segala upacara Jero Kebawu tugasnya sama seperti Jero Kubayan menghaturkan persembahyangan hanya sifatnya sebagai pengganti apabila Jero Kubayan berhalangan,
Jero Singgukan sebagai asisten Jero Kubayan dalam jalannya upacara,
Juru Saih Nem (Ke-6 juru).
Selanjutnya 3 di bawahnya ini ada
Jero Penyarikan mengurus ternak-ternak peliharaan,
Juru Pemalungan sebagai juru balungan,
Juru Penguan bertugas membuat sarana upakara di Pura,
Hal yang menarik dari Sistem Ulu Apad ini adalah sistem pergantian jabatan yang ditentukan apabila salah satu pewaris ke-6 Ulu Apad tersebut menikah,
Contohnya :apabila putra dari Jero Kubayan menikah maka Jero Kebawu naik tingat menjadi Jero Kubayan, dan putra dari Jero Kubayan sebelumnya yang mengisi posisi paling bawah, begitu juga berlaku untuk putra-putra dari ke-6 Ulu Apad tersebut, jadi dapat dikatakan tugas seorang Jero Kubayan berakhir apabila anaknya sudah menikah.
pada sistem Ulu Apad jika anaknya sudah menikah maka yang orang tua anak tersebut akan pensiun, jika sudah menikah jero yang dibawah naik menjadi Jero Kubayan begitu seterusnya diikuti dengan kedudukan – kedudukan dibawahnya, bisa juga berganti jika salah satunya meninggal,
Maaf jika ada yang kurang pas mohon bantuannya untuk melengkapi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar