Sabtu, 27 April 2024

Kisah Anggulimala Thera/ si pemotong jari.

  


Angulimala sebenarnya orang yang terpelajar,karna seringnya membunuh, maka kesadarannya mulai hilang.
Ahimsaka melakukan pembunuhan manusia, dan tidak pernah lalai menghitung. Dia merangkai setiap jari dari setiap orang yang dibunuhnya. Oleh karena itu dia terkenal dengan nama Angulimala, dan menjadi pengacau daerah itu. Raja mendengar perihal perbuatan Angulimala, dan ia membuat persiapan untuk menangkapnya. Mantani, ibu dari Angulimala, mendengar maksud raja. Karena cinta kepada anaknya, ia memasuki hutan, dan berusaha untuk menyelamatkan anaknya. Pada waktu itu, kalung jari di leher Angulimala telah mencapau sembilan ratus sembilan puluh sembilan jari, dan tinggal satu jari akan menjadi seribu.
Pagi-pagi sekali pada hari itu, Sang Buddha melihat Angulimala dalam penglihatan-Nya, dan berpikir bahwa jika Beliau tidak menghalangi Angulimala, yang sedang menunggu orang terakhir untuk memperoleh seribu jari, akan melihat ibunya dan bisa membunuhnya. Karena hal itu, Agulimala akan menderita di alam neraka (niraya) yang tiada akhirnya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan di mana Angulimala berada.
Angulimala, setelah lama tidak tidur siang dan malam, sangat letih dan lelah. Pada saat yang sama, dia sangat cemas untuk membunuh orang terakhir agar jumlah seribu jari terpenuhi, dan menyempurnakan tugasnya. Dia memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya. Ketika sedang menunggu, tiba-tiba dia melihat Sang Buddha dan ia mengejar-Nya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat dikejar sehingga dirinya sangat lelah. Sambil memperhatikan Sang Buddha, dia menangis, “O bhikkhu, berhenti! berhenti!” dan Sang Buddha menjawab, “Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti.” Angulimala tidak mengerti arti kata-kata Sang Buddha, sehingga dia bertanya, “O bhikkhu! Mengapa engkau berkata bahwa engkau telah berhenti dan saya belum berhenti?”

Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “Aku berkata bahwa Aku telah berhenti, karena Aku telah berhenti membunuh semua mahluk, Aku telah berhenti menyiksa semua mahluk, dan karena Aku telah mengembangkan diriKu dalam cinta kasih yang universal, kesabaran, dan pengetahuan tanpa cela. Tetapi, kamu belum berhenti membunuh atau menyiksa mahluk lain dan kamu belum mengembangkan dirimu dalam cinta kasih yang universal dan kesabaran. Karena itu, kamulah yang belum berhenti.”
Begitu mendengar kata-kata ini dari mulut Sang Buddha, Angulimala berpikir, “Ini adalah kata-kata orang yang bijaksana. Bhikkhu ini amat sangat bijaksana dan amat sangat berani, dia pasti adalah pemimpin para bhikkhu. Tentu dia adalah Sang Buddha sendiri! Dia pasti datang kemari khusus untuk membuat saya menjadi sadar.” Dengan berpikir demikian, dia melemparkan senjatanya dan memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Kemudian di tempat itu juga, Sang Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu.
Ibu Angulimala mencari anaknya di dalam hutan dengan menyebut-nyebut namanya, tetapi gagal menemukannya. Ia kembali ke rumah. Ketika raja dan para prajuritnya datang untuk menangkap Angulimala, mereka menemukannya di vihara Sang Buddha. Mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan perbuatan jahatnya dan menjadi seorang bhikkhu, raja dan para prajuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin dan tekun melatih meditasi, dalam waktu yang singkat dia mencapai tingkat kesucian arahat.
Pada suatu hari ketika Angulimala sedang berjalan untuk menerima dana makanan, dia melewati suatu tempat dimana terjadi pertengkaran antara sekumpulan orang. Ketika mereka saling melemparkan batu, beberapa batu mengenai kepala Angulimala dan melukainya. Dia berjalan pulang menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya, “Angulimala anakku! Kamu telah melepaskan perbuatan jahat. Bersabarlah. Saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan. Perbuatan-perbuatan jahat itu bisa menyebabkan penderitaan yang tak terkira lamanya dalam alam neraka (niraya).” Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana).
Para bhikkhu yang lain bertanya kepada Sang Buddha di manakah Angulimala akan bertumimbal lahir, Sang Buddha menjawab, “Anakku telah merealisasi kebebasan akhir (parinibbana).”
Mereka hampir tidak mempercayainya. Sehingga mereka bertanya lagi kepada Sang Buddha apakah mungkin seseorang yang sudah begitu banyak membunuh manusia dapat mencapai parinibbana. Terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan jahat karena dia tidak memiliki teman-teman yang baik. Tetapi kemudian, dia menemukan teman-teman yang baik dan dengan bantuan mereka serta nasehat yang baik dia telah dengan mantap dan penuh perhatian melaksanakan Dhamma. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan jahatnya telah disingkirkan oleh kebaikan (arahatta magga).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 173 berikut:
Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan
dengan jalan berbuat kebajikan,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagai bulan yang bebas dari awan.

Ida Pedanda Ngoerah

  



Ida Pedanda Ngoerah adalah salah satu contoh Brahmana yang masih menerapkan tradisi Brahmana Weda dimana Beliau melakukan perjalanan suci.
Beliau menyadari bahwa sebagaimana tersirat dan tersurat pada Kidung Yadnyeng Ukir ada tujuh gunung yang ada di dalam diri (sapta parwwatĕ minusti haneng garbbha), tujuh sungai suci (sapta gangga), tujuh danau (sapta ranu), hingga tujuh tingkat kasunyatan (sapta sunya). Dengan kekuatan jnyana, amerta diturunkan dengan gagelaran wisarga dan nungswara. Maka menyadari hal tersebut sejatinya penyucian dilakukan di dalam sarira.
===
Pada tahun 1919 dalam Tirta Yatra Beliau ke Bali utara dengan pengiring yang membawa bedil yang dipinjam dari seorang tokoh di Desa Wanagiri oleh karena akan melintasi hutan malam hari, Beliau turun dari Gobleg sampai di Banjar dan kemudian melanjutkan perjalanan lewat laut ke Pulaki lalu terus ke arah barat. Terekam dalam kidung perjumpaan Ida Pedanda Ngoerah dengan tiga ekor Harimau Bali saat sampai di Banyuwedang.


===
Dari Banjar Beliau menaiki perahu ke Pulaki dan di segara “laut”, Ida Padanda Ngoerah menyaksikan jajaran keindahan giri “gunung‟ (katon kalangwaning ukir). Berbagai gunung yang dilihat di sepanjang perjalanan disebutkan oleh Ida Padanda Ngoerah seperti Gunung Gondhol, Gunung Patas, Gunung Malang, Gunung Candi Bunga, Gunung Rebuk, hingga akhirnya tiba di Gunung Pulaki.

Di Pulaki, Ida Padanda Ngurah menguraikan keindahan pegunungan dengan sangat mempesona. Gunung itu seperti bersinar ketika diterangi oleh matahari. Di puncaknya ada dua batu besar yang bercahaya bagaikan candi bentar. Batu di pinggir jurang yang tinggi bagaikan pendeta suci yang kata-katanya utama dan nirmala.

Ida Pedanda Ngoerah kemudian berkonsentrasi pada tujuh gunung yang ada di dalam diri (sapta parwwatĕ minusti haneng garbbha), termasuk pula tujuh sungai (sapta gangga), tujuh danau (sapta ranu), hingga tujuh tingkat kasunyatan (sapta sunya). Dengan kekuatan jnyana, amerta diturunkan dengan gagelaran wisarga dan nungswara. Maka, penyucian dilakukan di dalam sarira.

Lalu Ida Pedanda melanjutkan perjalanan ke Barat merekam berbagai telaga suci yang ditemui dari sekitar wilayah pemuteran ke barat. Ketika sampai di Banyuwedang tengah malam dan air laut surut, rombongan Ida Pedanda tersentak melihat di dalam hutan ada tirta yang berkilau karena disinari Hyang Sitangsu (Bulan). Ketika air suci itu hendak diambil saat itu terlihat Tiga Ekor Harimau yang sedang berendam ditengah telaga.

Hana rakwa tinon dhening wadwanning ngwang, mrĕggha natta ya katriṇi, ring saṇdhinging sĕndhang, sigra yā umintar (Kidung Yajnyeng Ukir, bait 315).

Terjemahan.

Ada yang dilihat oleh pengiringku, yaitu tiga ekor harimau, di tengah telaga, dengan segera mereka pergi.

Mreggha natta disini bermakna Samong atau Harimau kendaraan dari Bhatari Durga.

Melihat sempat ada Harimau di sekitar telaga itu, para pengiring Beliau melarang Ida Pedanda Ngoerah untuk menyucikan diri di telaga tersebut. Ida Pedanda tetap teguh untuk menyucikan diri di tempat itu. Ketika menyentuhkan kaki untuk pertama kalinya di air, beliau terperangah karena airnya ternyata panas. Sesuai dengan nama wilayahnya, tirta itu memang Banyu Wedang: Tirta/Air Panas. Ida Padanda Ngoerah sangat meyakini air panas tersebut dapat mengobati berbagai penyakit.
Silakan
Sumber Putu Eka Guna Yasa Tatkala.co


KEMULAN PENUNGGUN KARANG

  


Ajaran Langit di Ajarkan oleh Bhatara Siwa bergelar Bhatara Guru melinggih di Pelinggih Kemulan perwujudan Purusha.
Sedang Ajaran Bumi di Ajarkan oleh Bhatari Durgha bergelar Durgha Manik melinggih di Pelinggih Penunggu Karang perwujudan Predana.

Ajaran Bhatara Siwa bernama Trisula Weda yaitu :
1. Weda
2. Weda Angga
3. Weda Sirah
Pengetahuan untuk memahami tentang Kelahiran , Kehidupan dan Kematian sehingga Pandangan menjadi Terang ( terbukanya mata ketiga ).

Ajaran Bhatari Durgha bernama Kanda Pat yaitu :
1. Kanda Pat Butha
2. Kanda Pat Sari.
3. Kanda Pat Atma
4. Kanda Pat Dewa
5. Kanda Pat Budha di kenal dengan nama Kanda Sanga.


Ajaran Kanda Pat yaitu Pemurnian Unsur Tubuh dengan Metode Somia Butha menadi Budha sehingga di tingkat Budha Bathin menjadi Bersih dan Ketika Butha Sanga berubah menjadi Dewata Sanga maka Bathin menjadi Bercahaya ini di namai Kanda Sanga.

Ketika Ajaran Siwa dan Durgha manunggal maka Pandangan menjadi Terang dan Bathin Bercahaya ini yang di sebut Mencapai Ke _ Budha _ an yaitu Tercerahakan Sempurna.

Dari Rumusan Angka Samkya Trisula Weda mewakili angka 3 dan Kanda Pat mewakili angka 4 dan ketika 3 + 4 maka menjadi 7 oleh sebab itu mereka yang mencapai Ke_ Budha _ an bisa Menembus Sapta Petala dan Sapta Lokha karena Sapta Atma ( 7 Cakra ) di Penuhi oleh Cahaya dari Sapta Surya.
Ida Bodhi 


Rajapatni Gayatri Sang Ibu Negeri

  

Kematian Jayanegara menghempaskan mimpi sebagian orang di putaran lingkup kelompok Pamalayu. Jayanegara belum memiliki keturunan. Kerajaan sebesar Majapahit tidak mungkin membiarkan dampar kencananya kosong.
Tak ada yang lebih berhak selain Sang Rajapatni Prameswari Gayatri, beliau yang di gambarkan sebagai sosok tiga jaman mulai dari Kertanegara, Kertarajasa dan Jayanegara.
Di era ayahanda Kertanegara , Gayatri adalah seorang putri yang memiliki kecerdasan dan rasa ingin tahu yang sangat luar biasa , bagi Kertanegara , Gayatri adalah teman diskusi soal visi sang Kertanegara “Mandala Dwipantara”, sebuah gagasan penyatuan Nusantara. Gayatri yang mencatat semua “wejangan “ mimpi dari visi besar sang Ayahanda . Namun semesta berkehendak lain tiba tiba laskar Jayakatwang datang menyerbu dan membumihanguskan Kutaraja Singasari, jadi abu tanpa tersisa .disaat kekuatan Militer Singasari sedang pada titik “ terlemah “ karena sebagian besar Pasukan Singasari sedang melakukan ekspedisi Pamalayu .
Ketika Singasari disergap tanpa ampun oleh pasukan Kediri sehingga menewaskan kedua orang tuanya. Gayatri yang sedang berada di kaputren dalam luput dari pembantaian. dengan kecerdasan seorang wanita yang tanggap sasmitha akan situasi yang dihadapi. Segera menyadari kekisruhan yan terjadi dalam keraton , Gayatri muda melepas seluruh pakaian kebesaran seorang Putri Raja dan mengganti dengan pakaian anak seorang abdi dalem istana.
Untuk menyamarkan dirinya Gayatri berganti nama menjadi Ratna Sutawan, putri seorang abdi dalem Pekaktik istana , yang kemudian digiring menuju Kediri sebagai tawanan .
Saat itu Lembu Sora , juga melepas segala atributnya sebagai seorang senapati Singasari , karena kaget melihat kenekatan Putri Gayatri yang bergabung dengan para abdi dalem dan langsung bergabung untuk memastikan keselamatan si Bontot , putri kinasih sang Kertanegara yang terkenal keras kepala , bersama mereka ikut diboyong ke Kediri menjadi tawanan dan ditempatkan di bangsal perempuan Keraton Kediri.
Sebelum meninggalkan istana, ia mengjak Lembu Sora melihat jasad kedua Orang tuanya yang telah gugur , untuk memberi sembah terakhirnya dan melakukan sumpah setia akan melanjutkan cita cita sang Kertanegara .
Dengaan kecerdasanya dan keberaniannya Gayatri , mengumpulkan informasi inteljen tentang kekuatan pasukan Jayakatwang . dan Lembu Sora lah yang bertugas sebagai Pengelasan yang melaporkan semua kepada sang Raden Wijaya .
Ketika Pangeran Wijaya masuk ke Kediri sebagai laskar yang menyerah, dalam sebuah arak-arakan, Gayatri ada diantara para kawula yang menyabut laskar yang telah dsarankan untuk “menyerah” oleh Sang putri . Agar dapat membangun kekuatan dari dalam benteng Kediri. Itu jauh lebih baik daripada terus bergerilya di tengah hutan tanpa kejelasan persenjataan dan logistik.
Dan cinta diantara keduanya memang bersemi di tengah pahitnya perjuangan mewujutkan cita cita membangun sebuah kerajaan baru dari puing puing kehancuran Singasari , demi kawula dan martabat sebagai warga Singasari .

Dan kelak Kertarajasa menitahkan untuk menuliskan semua itu dalam prasasti, atas pengakuan akan cintanya pada istri istri beliau terutama sang Rajapatni di tahun 1296 di desa Sukamerta yang menceritakan perkawinan dan perjuangan Raden Wijaya selama pelarian dari pengejaran oleh Pasukan Jayakatwang .
Kemudian untuk mengambarkan secara lebih romantis tentang kecintaan dan kegaguman beliau pada seorang Gayatri maka diperntahkan untuk menuliskan bahwa kisah kasih asmara mereka adalah Dewa Siwa dan Dewi Uma sebagai Prasasti kertarajasa tahun 1305 di desa Balawi .
Dan diera Jayanegara , Prameswari Gayatri juga tak tinggal ,diam meredam setiap gejolak yang ditimbulkan ulah kekanak kanakan an Kala Gemet , selama berkuasa , Bahkan Ra Kuti sejatinya tidak bisa menguasai Kedaton Wilwatikta secara utuh . Karena Istana Gayatri tidak tersentuh tangan tangan pemberontakan Ra Kuti.
Jika beliau menjadi Ratu rasanya jauh dari pada sekedar pantas. Prapanca mengambarkan sosok sang Putri sebagai berikut kepada Pritha sahabatnya
“ Adalah watak Rajapatna Gayatri yang agung, sehingga mereka menjelma pemimpin besar dunia, yang tiada tandingannya. Putri, menantu, dan cucunya menjadi raja dan ratu. Dialah yang menjadikan mereka penguasa dan mengawasi semua tindak tanduk mereka (Negarakertagama, bab 48).”
Hingga di malam seperti yang dijanjikan kepada Mentri Mada , yang datang menghadap sang Putri , sebelum peristiwa kematian Kala Gemet . Dengan kawalan abdi dalem menuju sebuah ruang yang teramat rahasia , sebuah ruang yang berada di puser Kedaton Kediri . Ruangan yang tidak sembarang orang bisa memasukinya , abdi dalem dari kelompok Kalachakra yang telah disumpah mati oleh kutuk pastu bila khianat., berdinding panel yang berukiran Surya Majapahit dalam ukiran sangat indah , berhiaskan kepulauan Nuswantara terpahat sisana, yang dapat digeser sebagai tameng rahasia dan pelindung bila ada sergapan musuh dan terhubung ke bebetapa lorong rahasia .
" Mada apa yg kau sampaikan semalam sudah kami pelajari secara seksama"
selanjutnya sang Bukan siapa Siapa yang akan menjelaskan secara lebih terperinci , dan rasanya tak pantas aku bicara keliwat duniawi " lirih suara sang Putri Gayatri.
"Baiklah , atas titah dan restu Yang MuliaTuan Putri ,hamba ambil alih seluruh tanggung jawab mulai sekarang"
" Mada, engkau lelaki terhornat dan memiliki kehormatan seorang prajurit Majapahit"
" sendiko Bopo...
“Ingatkah kau saat masih seorang bocah kabur keanginan , kau terdampar di pertapaan Gunung kawi, dan kau bertemu seoeang Wanita yang menjelaskan panjang lebar tentang sebuah ajaran Mandala Dwiparna. Penyatuan pulau pulau nuswantara ?
“ hamba bopo, hal tersebut yg membuat hamba bertekat mengabdi menjadi seorang prajurit yang memiliki tekat untuk ikut mengawal menyatukan Nuswantara menjadi satu di bawah panji Singasari pada waktu itu. Sesuai yang diajarkan oleh seorang “ibu” yang sangat Bijkasana yang ajarannya begitu meresap di hati hamba hingga saat ini, hingga menjadi cita cita yang rasanya jika diberi kesempatan akan hamba upayakan terwujud bagaimanapun caranya.”
“ Namun hamba tidak ingat siapa beliau , karena hamba tak berani menatap wajahnya, saat itu tak pantas rasanya sebagai kawula yang kabur keanginan , menatap kepada seorang wanita yg terlihat sangat agung dan bijaksana”
" Menteri Mada , atas perkenan beliau yang kini berada dihadapan mu , beliaulah wanita agung tersebut “ tegas sang Bukan siapa Siapa
Tergagap Mada , sontak memberi penghormatan degan meredahkan kepala ke bhumi, memohon belas ampunan dan pangestu, kepada sosok guru yang telah lama ia cari. Yang membentuk karakternya selama ini , teryata adalah sosok yang ia dan seluruh kawula Majapahit cintai dan hormati , Sang Rajapatni Gayatri.
"Mada , bangkitlah , anggap smua itu adalah “ Cakra Manggilingan owah gingsir gilir gumanti", kehidupan ini senantiasa berputar, berubah, berkembang, berganti situasi-dinamis. Sesuatu Manifestasi dari Cakra Manggilingan inilah yang kemudian disebut sebagai wolak-walike zaman ini semua adalah berkat restu Sang Murbeng Jagad, agar kawula mampu Memayu Hayuning Bawana.”. dan tugas kami disini adalah memastikan arah negeri Majapahit melangkah kedepan sebagai sebuah kerajaan yang bisa mengayomi , seluruh kawulanya menjadi sebuah bhumi pertiwi yang Gemah ripah Lohjinawi Tata Titi Tentrem Kerta Rajasa , sambil menyiapkan kelahiran Sang Surya Majapahit . demi cita cita wangsa Kertarajasa mewujutkan Mandala Dwiparna dan kami menyebut diri kami adalah Kalachakra penjaga semangat Mandala Dwiparna.
“ Dan Menteri Mada . kini kau telah lebih dari cukup untuk mengetahui rahasia ini , kau adalah sekutu atau musuh terbesar kami saat ini “ tegas Sang Bukan siapa siapa
dua keplokan tangan Sang Bukan siapa siapa ,
membuat dinding berukir bergeser , 20 orang berkelebat keluar dari balik panel berukir dari kayu jati , menghunus belati di kedua tanganya. mengarah ke Mada.
" AKU MADA BERSEDIA HIDUP MATI ATAS SEMANGAT MANDALA DWI PARNA DAN MENJADI BAGIAN DARI KSATRIA KALACHAKRA "
Pasukan mundur menghilangdan seolah tak pernah terjadi apa apa di ruang tersebut.
Dan Putri Gayatri dan Sang bukan siapa siapa , menerima sembah bekthi dari Sang Menteri Mada yang berjanji Prasetya , untuk mengabdi kepada Majapahit.
Putri Tribuwana Tungga Dewi bergelar Sri Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.. naik taktha mengantikan Jayanegara menjadi ratu Majapahit di tahun 1329 , sebagai perwujutan bakthi seorang anak kepada Ibundanya yang sangat beliau cintai dan hormati Gayatri dan kelak Gajah Mada menuliskan pada prasasti Gajah Mada pada tahun 1351 di Singasari.
Semua Kawula Majapahit mengadakam pesta selama tujuh hari tujuh malam atas pengakatan Ratu mereka yang baru . Ratu dari wangsa Kertarajasa yang diberkati oleh “ Ibu” kawula Majapahit sang Rajapatni Gayatri . yang sangat mereka hormati dan cintai. Pesan damai didengung dengungkan oleh para pemuka agama dan para Narapraja atas perintah Putri Gayatri yang mengajak seluruh kawula Majapahit untuk bersatupadu membangun negeri mereka.
Putri Gayatri sang Rajapatni atau pendamping raja , tidaklah gelar kosong Mulai Kerta negara sang Ayahnda, Kertarajasa sang kekasihnya, Jayanegara sang Anak tirinya , Tribuwana Tunnga dewi anak Kandungnya dan Hayam Wuruk sang cucu kesayanganya , Semua merasakan “sentuhan “ ilham yang semestawi dari seorang putri tang tidak saja memiliki kecantikan dan kecerdasan yang paripurna namun sang putrid diberkati dengan kemampuan sasmitha yang weruh sang durunge winarah . beliau mampu menerjemahkan Visi menjadi sebuah bentuk keputusan yang “ tepat “ dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapi orang orang disekitarnya , Dialah Pamomong yang bekerja di balik layar kesuksesan Majapahit. Putri Gayatri adalah sosok yang digambarkan sebagai Prajnaparamita adalah seorang dewi dengan kedudukan tinggi dalam Buddhisme Tantra Mahayana; dia dianggap sebagai “sakti “ atau pendamping, dari Buddha tertinggi; Prajnaparamita : wanita yang memiliki pengetahuan dan kebijksanaan yang Paripurna atau gambaran seorang wanita nareswari./ wanita utama yang dianngap sebagai “ibu” bagi Majapahit secara keseluruhan dan ialah Sang Rajapatni Sri Rajendra Dyah Dewi Gayatri
Boyolangu2024
PEKIKHENING