Selasa, 12 Juli 2022

Tradisi Matuun

 


Umat Hindu, khususnya di Bali, masih sangat percaya dengan tradisi matuun yaitu berkomunikasi dengan leluhur yang sudah meninggal melalui balian petuun. Lalu apakah tradisi matuun ini dibenarkan dalam agama Hindu?
Prawerti adalah pemeluk agama menjalankan koridor agama sesuai dengan sastra, tanpa diintervensi oleh hal-hal niskala. Sementara Niwerti adalah menjalankan koridor agama sesuai dengan kepuasan bathin.
“Kalau berbicara Prawerti, orang yang melaksanakan upacara tigabulanan, harus sesuai dengan lontar Dharma Kahuripan. Sementara Niwerti, ketika akan melaksanakan upacara ngaben, dilakukan matuun untuk mencapai Atmanastuti atau kepuasan diri. Jadi keduanya dibenarkan. Hanya perlu disaring koridor-koridor yang akan dilakukan,” jelasnya.
Lebih lanjut Jro Panca menjelaskan, fenomena balian petuun saat ini menjadi sebuah trend di masyarakat. Meski dibenarkan secara agama, Jro Panca mengingatkan, bahwa tidak ada tenung atau ramalan yang 100 % benar. Semua kembali kepada kehendak Ida Hyang Widhi.
Untuk membuktikkan benar tidaknya baos yang diucapkan oleh balian petuun, menurut Jro Panca, hanya bisa dibuktikan dengan logika. Saat nunas baos di balian petuun, hindari orang yang psikologisnya lemah berada di dekat balian. “Orang yang psikologisnya lemah, akan mudah tertanam belive system. Ketika balian nangis, ia akan langsung ikut menangis,” ungkapnya.
Pada saat roh leluhur masuk ke dalam tubuh balian, tanyakan nama lengkap leluhur yang telah meninggal. “Kita memiliki wiweka, sehingga harus memfilter baik dan buruk agar tidak mengambil petunjuk yang salah dari balian,” ungkapnya.
“Balian akan mengikuti sifat dari roh yang tedun. Kalau roh leluhur bisa bahasa kasar, balian juga akan menggunakan bahasa kasar. Kalau semasa hidup roh leluhur tidak bisa berbahasa halus, lalu ketika tedun menggunakan bahasa halus, perlu dipertanyakan,” ungkapnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar