Selasa, 12 Juli 2022

Pusat palukatan Hindu-Bali

 


Secara tradisi Hindu-Bali pusat palukatan adalah Pura Puseh dan Pura Desa. Baik tirta pangentas, panglukatan 3 bulan (telung bulan), 6 bulan (oton), pawiwahan, diksa, semuanya berpusat di sana.
Filolog Sugi Lanus mengatakan, jika ini tidak dikembalikan ke pemahaman yang mendasar, krama Bali yang berporos pada pakraman dan Pura Puseh berpotensi memicu menguapnya kecintaan dan kehormatan pada Puseh-Desa yang semakin tidak mantap lagi.
Masyarakat Bali perlu kembali ke esensi ajaran Mpu Kuturan yang berporos pada Puseh-Desa sebagai pusat tradisi prayascita dan panglukatan bhuana-alit (krama) dan bhuana agung (desa-grama). “Ini yang akan merapuhkan peran desa pakraman jika ditinggalkan atau diabaikan akibat kelalaian memahami esensi dan eksistensi palukatan agung dari Bhatara Puseh,” paparnya.
Masyarakat Hindu Bali yang berporos pada prayascita dan panglukatan Puseh Desa, mendesak dikembalikan ke jalurnya. Ini berpotensi bukannya hanya ancaman gabeng-magama (kegamangan beragama), tapi juga akan menjadi ancaman ekologis.
Palukatan, patoyan, patirtaan, dan semua sumber air yang secara tradisi menjadi sumber tirta panglukatan di Puseh, telah diganti air mineral botolan. Tirta di Pura Puseh bukan lagi dari sumber alami yang sepantasnya dirawat.
“Dengan hilangnya kesadaran Puseh sebagai poros palukatan, akan berdampak tidak akan ada lagi yang mengawal dan urati menjaga secara ekologis dan spiritual sumber air di desa, yaitu bulakan, palukatan, beji, patirtaan, empul, dan semua sumber air,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar