Marilah kita perhatikan lebih rinci melihat rerainan Pegorsi ini karena upacara peneguhan jiwa ini terlebih dahulu diawali oleh ritus upacara sebelumnya yaitu: Kajeng Kliwon Pemelastali, Saraswati, Soma Ribek dan Sabuh Mas serta puncaknya adalah Buda Kliwon Sinta yang di sebut dengan Pegorsi.
Ritus (upacara) ini intinya tidak terpisahkan dari tujuannya yaitu peneguhan jiwa (Pagerwesi) yang dilakukan oleh masyarakat secara umum. Sementara Pegorsi lebih penekanannya pada fungsi kesulinggihan yang ritusnya sebagai peneguhan angga sariranya yang menjadi lingga dalam melakukan pemujaan kehadapan Ida Bhatara Siwa Pramesti Guru. Kalau dilihat dari sudut pandang sesana akan berbeda teknis pelaksanaan dan tanggung jawabnya. Sekarang kami akan bahas dari persiapan diri dalam menyambut ritus Pegorsi bukan rerainan Pagerwesi yaitu:
Kajeng Kliwon Pemelastali atau Watugunung
Runtuh merupakan ritus yang sangat vital sekali khususnya bagi seorang Bujangga (Sulinggih) dan seorang Brahmana Guru kalau ingin melakukan pemujaan kehadapan Ida Bhatara Siwa Pramesti Guru. Pada saat ini para sulinggih akan melakukan pemujaan dengan sesayut panca lingga yang mempunyai makna menjadikan angga sariranya sebagai lingga sehingga dirinya akan menjadi dasar bhuana yang akan diciptakan. Dalam kaitannya ini, seperti apa tertulis dalam kisah Watugunung Runtuh bahwa Sanghyang Wisnu ketika mengalahkan Watugunung adalah dengan menjadi kura-kura (bedawang), berkepala cakra, dan berbadankan naga. Dalam implementasi dari cerita tersebut di simbulkan kura-kura sebagai dasar dalam proses linggih lingga didalam diri bersifat kedalam, agar selanjutnya untuk bisa melakukan proses pengringkesan dan ngelinggihin aksara didalam dirinya melalui metode pati urip aksara untuk nantinya bisa menjadikan diri sebagai siwa sekala. Ritus ini secara spesifik sangat rahasia (pingit) yang dilakukan oleh bhujangga resi dan brahmana guru di griya secara turun temurun sejak dulu. Maka dari itu kami tidak akan membabarkan proses ritusnya secara detail.
Saraswati
Sebelum membahas “nyaraswati” sebagai persiapan untuk melakukan pemujaan pada saat Pegorsi bukan piodalan Saraswati, baca dan pahamilah isi lontar Medang Kemulan yang berisi “cerita” Watugunung Runtuh karena cerita Watugunung Runtuh merupakan petunjuk dari ritus “ngelihggihin aksara di awak dan nengetin setra” dalam proses ritus ke bhuana alit, sehingga kita akan mengerti kenapa Watugunung dibunuh oleh Dewa Wisnu dalam wujud kura-kura (bedawang). Selanjutnya dihidupkan kembali oleh Begawan Buda, Wraspati, dan Sukra. Terakhir tidak boleh dibunuh lagi oleh Dewa Siwa.
Artinya bahwa hendaknya pada saat wuku Watugunung harus belajar Pati Urip Aksara. Puncaknya adalah pada saat tengah latri (tengah malam) dina Sabtu Kliwon tepat pada dina piodalan Saraswati, akhir dari pelajaran Saraswati. Ini merupakan ritual khusus bagi yang melaksanakan ritus Saraswati (nyaraswati) yang dimiliki griya yang menjalankan tradisi aguron-guron. Kami tekankan kembali Nyaraswati dilakoni oleh kalangan khusus (sulinggih) dengan prosesi upacaranya hingga tepat tengah malam. Ini berbeda dengan odalan Saraswati dimana masyarakat umum melakukannya cukup dengan persembahyangan saja.
Banyu Pinaruh
Sehari setelah Saraswati dilaksanakan ritus Banyu Pinaruh. Pelaksanaan Banyu Pinaruh bagi kalangan masyarakat umum tentu berbeda dengan pelaksanaan seorang Bujangga (Sulinggih). Paling tampak dalam pelaksanaannya, dimana pada rerainan Banyu Pinaruh ini para sisya akan tangkil (datang) ke griya untuk nunas (memohon) berkat dari Sang Sulinggih (Resi) yang sebelumnya ngelarang panyaraswati. Banyu pinaruh untuk masyarakat nangkil ke griya nunas keputusan dengan ritus: loloh nasi yasa dan pengelukatan banyu pinaruh dan Jika sesana bujangga ngelebar Brata di segara dan pengelukatan ring segara nunas nasi pradnyan metatakan tamas busung nyuh gading dan bungkak nyuh gading. Inilah yang membedakan sesana dan teknis pelaksanaannya bagi yang “ngodalin saraswati” proses nyurud ayu dilakukan oleh masyarakat di griya dan belajar aji saraswati “nyaraswati” nyurud ayu dilakukan oleh Bujangga di segara.
Soma Ribek
Soma Ribek jatuh pada hari Senin (Soma) wara Pon wuku Sinta, sehari setelah Banyu Pinaruh dan dua hari setelah hari Saraswati. Menurut pustaka Sundari Gama pada hari ini Sanghyang Tri Murti Amertha beryoga, dengan pulu/lumbung (tempat beras dan tempat padi) selaku tempatnya.
Pada hari ini disarankan umat menyampaikan rasa syukur atas keberadaan pangan. Aspek perayaan pangan ini dirayakan dengan menghentikan aktivitas pertanian selama sehari, seperti: dilarang menumbuk padi, menggiling beras, dan sebagainya. Hari ini peralatan pertanian, seperti tengala, cangkul, lampit dstnya disucikan dengan sesaji dan doa-doa serta widhi widana dipusatkan pada persembahyangan di pulu, lumbung atau tempat-tempat penyimpanan padi dan beras.
Soma Ribek
Bagi kalangan petani, adalah semacam Hari Pangan. Yang dipuja adalah Sang Hyang Tri Pramana yaitu: Dewi Sri, Bhatara Sadhana, dan Dewi Saraswati, dengan menghaturkan upakara di lumbung dan di pulu (gentong beras). Banten atau sesaji yang dihaturkan adalah nyahnyah, gringsing, geti-geti, pisang mas dan wangi-wangian, tanda syukur atas waranugraha berupa amertha (makanan) dan kesuburan pertanian. Pada hari Soma Ribek juga dilarang melakukan jual beli padi dan beras.
Sabuh Mas
Sehari setelah Soma Ribek adalah Sabuh Mas. Jatuh pada hari Anggara wara Wage wuku Sinta merupakan pesucian Sang Hyang Mahadewa dengan melimpahkan restunya pada “raja berana”, semua aset perhiasan berharga seperti segala perhiasan emas, perak, permata, manik-manik dan sebagainya. Benda-benda berharga ini dikumpulkan dan disucikan dengan upacara yadnya/widhi widhana. Bagi umat Hindu Bali hari ini semacam perayaan Hari Aset Berharga.
Soma Ribek dan Sabuh Mas, kedua rerainan ini adalah ritus bagi masyarakat yang secara sesana merupakan tanggung jawab dari bujangga (sulinggih) dalam memberikan restu. Secara lebih sederhana dapat dimaknai bahwa Soma Ribek sebagai pengingat pentingnya ketahanan pangan dalam kehidupan; “bek” sama dengan penuh (maksudnya penuh akan ketersediaan pangan (tentu juga sandang dan papan). Kemudian Sabuh Mas menandai pentingnya untuk menyimpan harta kekayaan dalam bentuk logam mulia.
Jika seluruh kekayaan dari hasil pengolahan pertanian disimpan dalam bentuk pangan (padi) di (Jineng, Glebeg, Klumpu dll) tentu saja pangan tersebut bisa rusak, karena terlalu lama disimpan atau karena tempat penyimpanan kurang/tidak memadai. Oleh karena itu, sangat penting juga untuk menyimpan logam mulia (disimbolkan dengan emas). Inilah yang bisa sewaktu-waktu dicairkan (Jaman dahulu memaki system barter) untuk memenuhi kebutuhan pangan serta kebutuhan dasar lainnya. Itulah pesan yang bisa diambil dari Soma Ribek dan Sabuh Mas.
Terakhir ada muncul pertanyaan; kenapa pelaksanaan ritus Rerainan ini menjadi bagian dari Pegorsi? Tiada lain karena (syarat) agar terpenuhinya pangan, sandang, dan papan sebagai rangkaian untuk dapat terwujudnya kertha ning jagat (masyarakat yang sejahtera). Mewujudkan kesejahteraan masyarakat ini merupakan tanggung jawab Bujangga (Resi), sebab itu Sang Bujangga juga disebut sebagai Sang Kertha. Ini hendaknya tetap diperhatikan oleh seorang sulinggih Bujangga di Bali, bahwa tanggung jawab Brahmana Bujangga Rsi adalah bagaimana menciptakan dan menjamin kehidupan masyarakat yang sejahtera secara lahir dan batin (raga dan rohani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar