Kamis, 02 Mei 2024

TRADISI PERANG TIPAT-BANTAL

  


Desa Adat  Kapal merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya. Desa yang berada di antara Kota Denpasar dan Tabanan ini memiliki tradisi yang unik dan menarik yang masih berlangsung hingga sekarang yaitu pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi perang tipat bantal. Tradisi perang tipat-bantal tersebut dilangsungkan di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, tepatnya di Jalan Raya Kapal, Jurusan  Denpasar – Gilimanuk Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,
Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober. Tradisi ini berkaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakatnya, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa. Pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk Perang dengan menggunakan Tipat-Bantal. Tipat/ ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur namun berbentuk lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Pradhana.
Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, dimana segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini.
Perang tipat bantal diikuti oleh petani pria beserta anak laki-lakinya. Sebelum pelaksanaan tradisi perang tipat bantal, semua kelian banjar di desa adat kapal membunyikan kulkul di banjar masing-masing dengan maksud untuk mengumpulkan masyarakat di banjar setempat. Setelah berkumpul, masyarakat kemudian berangkat bersama – sama menuju jaba pura desa lan puseh desa adat Kapal untuk melakukan persembahyangan. Usai sembahyang, masayarakat kemudian membagi dirinya menjadi dua kelompok yang sebelumnya sudah disepakati untuk saling melempar tipat dan bantal dengan maksud agar kedua benda ini bertemu di udara. Kegiatan saling lempar inilah yang kemudian disebut dengan Perang Tipat-Bantal. Perang yang awalnya berlangsung di jaba Pura, kemudian meluas hingga ke jalan raya Kapal. Tentunya pada perang tipat bantal ini ada yang kena lemparan tipat ataupun bantal. Yang terkena tipat ataupun bantal konon  hasil panenya akan mengalami kemerosotan bahkan bisa gagal panen. Setelah perang berakhir tipat dan bantal tersebut dipungut oleh warga desa untuk ditaburkan di  sawah mereka agar ladang mereka subur dan menghasilkan hasil panen yang bagus.

Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini mempunyai kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol. Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi/Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat.
Keberadaan tradisi Perang Tipat  Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar. Salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut :
Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Pulau Bali menggantikan 
kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan mempunyai seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada masa itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.
Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi tersebut.
Pada suatu saat itu desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas keadaan ini kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melaksanakan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana/Energi Feminisme/Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehingga desa ini makmur dan tentram kembali. Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar ( sekarang dikenal dengan nama Bedulu ), sampai akhirnya kemudian Pulau Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun saka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat - Bantal ini di Desa Kapal pada tahun 1337, salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.
Ini adalah sebuah tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan serta sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehidupan itu sendiri dengan konsep menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini. Di tengah kasus penjualan tanah di bali semakin meningkat, terutama penjualan tanah sawah, tradisi - tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita mengenai kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan alam. 

*Penulis: Hendra Setiawan


ulah pati Bunuh Diri : Cara Kematian Paling Mengerikan

  


Di dalam ajaran Siwa-Sogata (Tantra Shiwa-Buddha), satu-satunya cara kematian yang tidak dapat ditolong diseberangkan adalah mati bunuh diri (ulah pati). Orang yang mati bunuh diri, dia akan langsung jatuh ke alam-alam rendah dan mengalami penderitaan berat dan ekstrim selama ribuan tahun. Tidak bisa ditolong. Selain itu, di tempat orang yang melakukan bunuh diri pasti mengalami leteh berat dan energi buruk, serta membawa energi bunuh diri yang menular. Sehingga harus dilakukan suatu ritual khusus untuk nyomia (menetralisir kembali) leteh berat, energi buruk dan energi bunuh diri yang menular.
Ada banyak terdapat lontar-lontar mengenai Atma Tattwa (ajaran tentang kematian dan pembebasan), seperti Yama Purana Tattwa, Yama Purwana Tattwa, Yama Tattwa, Swarga Rohana Parwa, Tetenger Kapatian, Tutur Kalepasan, Tutur Kamoksan, dsb-nya.

Dalam lontar Yama Purwana Tattwa dan Yama Tattwa disebutkan bahwa orang yang mati bunuh diri (ulah pati), mayatnya dilarang berada di dalam pekarangan rumah, karena akan membuat rumah mengalami leteh berat dan membawa berbagai hal yang buruk. Serta dilarang diupacarai (ngaben), hanya boleh dikubur saja dan itupun dilarang dibawa ke setra (kuburan) menggunakan bade, hanya boleh dibawa ke setra dengan tumpang salu dari bambu dan peti mati.
Kemudian harus digelar upacara khusus yaitu Pecaruan Nawa Gempang Lebur Gangsa di tempat orang yang melakukan bunuh diri tersebut, untuk nyomia (menetralisir kembali) leteh berat, energi buruk dan energi bunuh diri yang menular.
Selanjutnya, orang yang bunuh diri tersebut, baru boleh diupacarai (ngaben) paling cepat setidak-tidaknya 5 tahun setelah dikubur.
Hal yang sama berlaku dalam tradisi Bali pada jaman dahulu. Orang yang bunuh diri dilarang diupacarai (ngaben) dan harus dikubur saja. Bahkan di beberapa desa, orang yang mati bunuh diri harus dikubur di tempat lain yang berbeda dengan cara kematian lainnya.
Demikian juga dalam ajaran Hindu, seperti dalam buku suci Parasara Dharma Sastra yang ditulis Maharsi Parasara, salah satu Maharsi dalam Rig Veda dan penulis buku Jyotisha (astronomi Hindu). Disebutkan bahwa orang yang mati bunuh diri, dia akan langsung masuk alam neraka dan mengalami penderitaan berat dan ekstrim minimal 60.000 tahun. Tidak bisa ditolong. Bahkan disebutkan bahwa orang yang menemukan orang bunuh diri, mengurus mayatnya, membawa mayatnya ke kuburan dan menyelesaikan upacaranya, juga akan ikut mendapatkan karma-karma buruk akibat perbuatan bunuh diri tersebut.
Bunuh diri merupakan cara kematian paling mengerikan dan juga tidak bisa ditolong. Bunuh diri merupakan avidya (kebodohan) yang membawa pada kesengsaraan berat dan ekstrim. Setelah mati bukannya seseorang bisa terbebas dari beban-beban berat kehidupan, tapi dia justru akan mengalami kesengsaraan yang jauh lebih berat, keras, gelap dan ekstrim dibandingkan dengan kesengsaraan apapun selama masa kehidupan manusia.
Selain itu, di alam samsara ini, mendapat kesempatan terlahir sebagai manusia tidak terjadi dengan mudah. Kelahiran sebagai manusia yang kita miliki disaat ini sangat sulit diperoleh. Kita perlu mengumpulkan akumulasi karma baik yang amat sangat banyak, dalam jangka waktu amat sangat panjang, agar kita dapat terlahir sebagai manusia.
Sehingga sesedih dan seberat apapun kehidupan ini terasa, jangan pernah sedikitpun terpikir untuk melakukan bunuh diri. Jalan keluar paling baik adalah segera mencari perlindungan dharma, seperti membaca ajaran suci dharma, pergi tirtayatra ke tempat-tempat suci, mencari Guru suci pembimbing, mencari saudara spiritual, dsb-nya.

Banten Pejati

  



Pejati untuk mohon dipersaksikan, mengesahkan dan meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin, agar mendapatkan keselamatan.
Banten pejati juga dihaturkan ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci.
Sesayut pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja .
Banten Pejati/ "Banten Peras Daksina" dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
-Daksina kepada Sanghyang Brahma
-Peras kepada Sanghyang Isvara
-Ketupat kelanan kepada Sanghyang Wisnu
-Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
Selain sastra Weda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Weda dan bahasa Mona itu adalah banten.
Lontar Yajña PrakrtI
“Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka dan bhuana”
Artinya :
Semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:
“Mapiteges pakahyunan Banten, nga; pakahyunane sane jangkep galang ”Artinya
: Banten itu adalah buah pemikiran yaitu pemikiran yang lengkap dan bersih.
BANTEN PEJATI
Pejati berasal dari bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-“. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang berada makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.

UNSUR DAN MAKNA FILOSOFI
Daksina
Banten Peras,
Banten Ajuman Rayunan / Sodaan
Ketupat Kelanan
Penyeneng / Tehenan / Pabuat
Pesucian
Segehan alit
Sarana yang Lain
Daun / Plawa; lambang kesejukan.
Bunga; lambang cetusan perasaan
Bija; lambang benih-benih kesucian.
Udara; lambang pawitra, amertha
Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Daksina mengurung:
bakul / serembeng, simbol arda candra
kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
bedogan, simbol swastika
kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
kojong gegantusan, simbul akasa / pertiwi
telur bebek simbol windu dan satyam
tampelan, simbol trimurti
irisan pisang, simbol dharma
irisan tebu, simbol smara-ratih
benang putih, simbol siwa
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa termasuk kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia..
#DAKSINA terdiri dari serobong dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur / slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan , irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di isi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
#PERAS: memakai alas taledan lalu di isi diisi kulit peras yang diisi beras + benang + base tampelan, lalu di atas kulit peras akomodasi 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan), ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur / slepan yang berisi kacang saur, gerang / terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di isi canang dan sampiyan peras.
SODAAN / AJUMAN RAYUNAN: memakai tamas dari janur / slepan yang diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik yang berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di isi canang dan sampiyan Plaus / sampiyan Soda.
TIPAT KELAN: memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di isi dapat diisi dan sampiyan Plaus / Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang kaya minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk memberi informasi juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura / Tempat suci.
Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita rupa sehingga rupa sehingga tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras + daun dapdap + kunir ditumbuk ) dan irisan bunga cepaka dan jepun patok boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.
Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; waras kakalih sampun masikian “.
Artinya :
Kacang-kacangan penyebab perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu.
“Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos waras becik rinengo ”.
Artinya:
Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan:
“Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; waras tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan “.
Artinya :
Segala jenis buah-buahan merupakan hasil dari perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), perasaan yang menyebabkan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Mengenai Kue / Jajan:
“Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan “.
Artinya :
Gina adalah lambang alarm, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka (ayah-ibu), Dodol is lambang pikiran menjadi setia, wajik is lambang belajar sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang benar-benar- Dan tidak .
Mengenai bahan porosan:
“Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih “.
Artinya:Sirih dan pinang itu lambang dari yang kesejahteraan / kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.
TBB


Rabu, 01 Mei 2024

Kategori Orang Melik; Tak Semua Bisa Melihat Roh Halus

  






Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa dari Griya Agung Batur Sari, Banjar Gambang, Mengwi-Badung (DOK. BALI EXPRESS)



Orang yang melik dalam sebuah keluarga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Seseorang yang lahir melik biasanya lebih sensitif terhadap hal-hal secara niskala. Banyak orang beranggapan seseorang yang lahir melik memiliki umur pendek. Namun jika bisa merawat dan memperhatikan, tentu hal tersebut dapat dicegah. Akan tetapi tidak semua orang melik dapat melihat roh halus. Ada pula orang melik berdasarkan hari lahir yang lebih menjurus ke kehidupan duniawi.





PANDITA Mpu Putra Yoga Parama Daksa dari Griya Agung Batur Sari, Banjar Gambang, Mengwi, Badung menjelaskan, ada tiga kategori orang melik. Yang pertama adalah melik Adnyana. Orang yang lahir dalam kondisi melik Adnyana ini akan bisa merasakan atau bisa melihat roh halus, dan bahkan bisa berkomunikasi dengannya. Orang yang melik Adnyana biasanya diawali dengan mimpi-mimpi ke pura, bertemu orang berpakaian putih, bertemu Petapakan Bhatara (Rangda atau Barong). “Orang melik Adnyana biasanya bisa menjadi balian atau mangku,” jelasnya saat dihubungi via telepon.


Yang kedua adalah melik Kelahiran. Melik ini disebabkan kelahiran manusia itu sendiri. Ada beberapa macam melik Kelahiran seperti orang yang lahir di Wuku Wayang, anak tunggal, anak yang lahir berkalung tali pusar atau tiba sampir, anak yang lahir berbelit tali pusa dan tidak menangis atau tiba angker, anak yang lahir pada Kamis Pon atau Wuku Watugunung atau disebut Lintangan Bade. Kemudian ada anak yang lahir pada Jumat Paing atau disebut Lintangan Bubu Bolong dan anak yang lahir saat Tumpek, Tumpek Landep, Tumpek Kandang juga bisa dikatakan melik. “Tidak semua melik itu buruk. Bahkan bukan buruk, lebih kepada anugerah istimewa yang diberikan Tuhan. Tentu ada kelebihan dan kekurangannya juga. Kembali pada karma masing-masing. Seperti Lintangan Bade, anak yang lahir akan dekat dengan kematian dan Lintangan Bubu Bolong adalah anak melik yang sifatnya boros,” tutur Mpu Yoga.

Selanjutnya adalah melik Ceciren. Orang yang dikatakan melik Ceciren ini adalah orang yang memiliki tanda dalam tubuhnya. Terkadang terlihat di dunia niskala atau sekala. Tanda itu berupa salah satu senjata Dewata Nawa Sanga. Terdapat tahi lalat pada bagian kelamin, sujenan di bokong, rambut putih beberapa helai dan tak bisa hilang, serta jari tangan lebih. “Kelahiran melik terlihat dari tanda-tanda di tubuhnya, antara lain ketika lahir, badannya dililit tali plasenta beberapa kali putaran. Kelahiran seperti ini sangat jarang terjadi, dan kalau ada, kebanyakan mati beberapa saat sebelum keluar dari rahim ibunya. Ketika tumbuh berumur kurang lebih 2 tahun, rambut di kepalanya kusut (sempuut). Walau digundul, tumbuhnya sempuut lagi. Kepalanya mempunyai pusaran (usehan) tiga atau lebih. Lidahnya poleng (ada warna hitam/coklat). Ada tahi lalat besar (maaf) di kemaluannya. Semua itu cirinya,” tambahnya.

Dalam Lontar Purwa Gama disebutkan, anak yang memiliki melik mempunyai rerajahan sejak lahir yang dapat menimbulkan kematian, sehingga diperlukan upacara pebayuhan otonan melik pada si anak untuk menetralisir kekuatan tersebut, dan selalu ingat dalam melaksanakan suci laksana untuk mempertahankan dan meningkatkan kesucian diri. Rerajahan yang terdapat pada orang melik biasanya terdapat di telapak tangan, dijidat atau di bagian tubuh tertentu. Selain itu, juga bisa terdapat tanda senjata terkadang terdapat salah satu dari sembilan senjata pengider bhuwana, tergantung tugas yang diemban sang anak lahir ke dunia, dengan rerajahan senjata para dewa, seperti Bajra, Gada, Nagapasa, Cakra, Dupa, Angkus, Trisula, Moksala, Api dan Angin.

Ciri-ciri orang melik akan dapat diketahui ketika mepinunas atau metuun kepada sulinggih ataupun balian. Tentu jika ingin melihat tanda-tanda berupa sejata diatas pada orang melik tidak dapat dilihat dengan kasat mata atau oleh mata orang biasa.

Semakin cepat seseorang mengetahui dirinya memelik, maka semakin bagus. Sehingga akan segera dibuatkan upacara penebusan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk dari memelik. Sesungguhnya orang melik itu adalah berkah bagi keluarganya, karena dia ibarat lokomitif atau pesawat terbang yang akan mengantarkan keluarganya ke alam kebahagiaan sekala-niskala. Maka tolong bantu dan bimbing orang-orang melik itu, karena dia akan berguna tidak hanya bagi keluarga yang memilikim tetapi juga bagi masyarakat luar.

Dalam sejarah Bali, ada contoh kelahiran melik yang sangat heboh, yakni kelahiran bayi tahun 1599, hasil perkawinan (tidak resmi) Dalem Seganing dengan Si Luh Pasek Panji. Ketika lahir, tubuh bayi itu seluruhnya berwarna merah darah, dan di malam hari dari ubun-ubunnya keluar sinar terang berwarna biru. Oleh karena itu, bayi itu dinamakan Ki Barak Panji. Ternyata setelah besar beliau sangat sakti, sehingga berhasil menjadi Raja Buleleng I dengan gelar I Gusti Anglurah Panji Sakti.

Mpu Yoga juga menuturkan salah satu cerita yang berhubungan dengan cerita orang melik ini. Ada kisah seorang raja bernama Raja Aswataki. Raja ini lama tidak memiliki keturunan. Maka ia melakukan pemujaan berupa Agni Holtra. Ia memuja Dewi Sawitri dan Dewi Gayatri setiap hari. Melihat ketulusannya, ia dianugerahi anak perempuan. Maka dinamai Sawitri. Sawitri tumbuh sebagai gadis yang cantik, baik dan penurut. Menginjak dewasa, Sawitri telah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang Brahmacari. Tiba saatnya ia harus menginjak tahap Grahasta. Raja Aswataki menyarankan kepada putrinya Sawitri untuk memilih salah satu pemuda dari kenalannya. Namun Sawitri tidak mendapat satu laki-laki yang pas.

Suatu hari, Sawitri meminta izin untuk berjalan-jalan ke desa. Ia ingin melihat-lihat desa dan rakyatnya. Dan mungkin akan menemukan jodohnya disana. Raja Aswataki menyetujui dan merestui setiap pilihan putrinya. Ketika berjalan-jalan di desa, ia bertemu dengan pemuda sederhana bernama Satyawan. Putri Sawitri dan Satyawan saling jatuh cinta. Lalu pulanglah Saitri menemui ayahnya dan menyampaikan bahwa ia telah menemukan calon suami. Kemudian ia bertemu dengan Rsi Narada. Dalam penerawangan Rsi Narada, dikatakan Satyawan memiliki umur pendek. Sisa umur Satyawan hanya 4 tahun saja. Kemudian Raja Aswataki dan Rsi Narada menasehati Putri Sawitri. Namun Sawitri tetap bersikeras untuk menikah dengan Satyawan. Jika pun ia akan menjdi janda dalam waktu yang singkat, ia telah siap. Itu adalah karma yang harus ia terima di dunia. Mendengar pengakuan Sawitri, pernikahan pun dilaksanakan dengan restu dari kedua belah keluarga.



Singkat cerita, ajal Satyawan tinggal 4 hari lagi. Sawitri berpuasa dan berdoa setiap hari. Jangankan sebutir beras, setetes air pun tak ia konsumsi. Tibalah hari terakhir bagi Satyawan. Ia pergi ke hutan. Namun Sawitri ingin tetap mengikuti suaminya. Sampai di hutan Satyawan merasa kelelahan dan tidur di pangkuan Sawitri. Namun setelah beberapa lama, Satyawan tak kunjung bangun. Sawitri pun telah paham bahwa suaminya telah meninggal. Ditengah hutan itu Sawitri melihat sosok yang tinggi besar. Padahal sosok itu hanya dapat dilihat orang yang tidak biasa. Kepada sosok itu, Sawitri meminta satu permintaan untuk menghidupkan suaminya. Tanpa negosiasi yang alot permintaan itu pun dikabulkan. Maka hiduplah kembali Satyawan mendampingi Sawitri.

Anak melik biasanya “kerinyi” (sensitif, mudah tersinggung, mudah marah). Jadi ia perlu diperlakukan beda, misalnya kamar tidurnya harus selalu bersih dan suci, ada pelangkiran diatas hulu tidurnya. Ia perlu sering-sering melukat ke grya, makanannya dijaga agar selalu memakan makanan yang satwika. Banyak bergaul dengan orang-orang suci, karena dia merasa dekat dengannya. Kalau makin dewasa, berikan pelajaran agama yang intensif, panggilkan guru agama ke rumah untuk les, dan berikan pelajaran spiritual secara bertahap. “Nanti ia akan berumur panjang dan menjadi orang suci, karena rohnya sudah dalam kondisi siap menerima lanjutan kemampuan supranatural,” ungkap Mpu Yoga.

Selain melakukan pebayuhan, seseorang yang melik juga harus dijaga makanannya, jangan sampai makan makanan kotor sekala niskala. Pada umumnya orang melik pantang makan darah, tulang dan jeroan. Pantang juga memakan daging sapi, ular, anjing serta pantang minum arak, tuak, berem maupun minuman beralkohol lainnya. “Idealnya adalah makan makanan organik dan vegetarian,” kata dia.

Lalu yang terpenting berikutnya adalah, jangan melakukan hubungan sex di luar pernikahan. Jangan menginap dan tidur di sembarang tempat. Kalau terpaksa, maka sebelum tidur harus dilakukan pembersihan dan pengamanan terlebih dahulu. “Sebenarnya jika sudah punya guru, maka guru itu pasti mengajarkan tata cara ini,” tutupnya.

(bx/dhi/yes/JPR)

Sabtu, 27 April 2024

Kisah Anggulimala Thera/ si pemotong jari.

  


Angulimala sebenarnya orang yang terpelajar,karna seringnya membunuh, maka kesadarannya mulai hilang.
Ahimsaka melakukan pembunuhan manusia, dan tidak pernah lalai menghitung. Dia merangkai setiap jari dari setiap orang yang dibunuhnya. Oleh karena itu dia terkenal dengan nama Angulimala, dan menjadi pengacau daerah itu. Raja mendengar perihal perbuatan Angulimala, dan ia membuat persiapan untuk menangkapnya. Mantani, ibu dari Angulimala, mendengar maksud raja. Karena cinta kepada anaknya, ia memasuki hutan, dan berusaha untuk menyelamatkan anaknya. Pada waktu itu, kalung jari di leher Angulimala telah mencapau sembilan ratus sembilan puluh sembilan jari, dan tinggal satu jari akan menjadi seribu.
Pagi-pagi sekali pada hari itu, Sang Buddha melihat Angulimala dalam penglihatan-Nya, dan berpikir bahwa jika Beliau tidak menghalangi Angulimala, yang sedang menunggu orang terakhir untuk memperoleh seribu jari, akan melihat ibunya dan bisa membunuhnya. Karena hal itu, Agulimala akan menderita di alam neraka (niraya) yang tiada akhirnya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan di mana Angulimala berada.
Angulimala, setelah lama tidak tidur siang dan malam, sangat letih dan lelah. Pada saat yang sama, dia sangat cemas untuk membunuh orang terakhir agar jumlah seribu jari terpenuhi, dan menyempurnakan tugasnya. Dia memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya. Ketika sedang menunggu, tiba-tiba dia melihat Sang Buddha dan ia mengejar-Nya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat dikejar sehingga dirinya sangat lelah. Sambil memperhatikan Sang Buddha, dia menangis, “O bhikkhu, berhenti! berhenti!” dan Sang Buddha menjawab, “Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti.” Angulimala tidak mengerti arti kata-kata Sang Buddha, sehingga dia bertanya, “O bhikkhu! Mengapa engkau berkata bahwa engkau telah berhenti dan saya belum berhenti?”

Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “Aku berkata bahwa Aku telah berhenti, karena Aku telah berhenti membunuh semua mahluk, Aku telah berhenti menyiksa semua mahluk, dan karena Aku telah mengembangkan diriKu dalam cinta kasih yang universal, kesabaran, dan pengetahuan tanpa cela. Tetapi, kamu belum berhenti membunuh atau menyiksa mahluk lain dan kamu belum mengembangkan dirimu dalam cinta kasih yang universal dan kesabaran. Karena itu, kamulah yang belum berhenti.”
Begitu mendengar kata-kata ini dari mulut Sang Buddha, Angulimala berpikir, “Ini adalah kata-kata orang yang bijaksana. Bhikkhu ini amat sangat bijaksana dan amat sangat berani, dia pasti adalah pemimpin para bhikkhu. Tentu dia adalah Sang Buddha sendiri! Dia pasti datang kemari khusus untuk membuat saya menjadi sadar.” Dengan berpikir demikian, dia melemparkan senjatanya dan memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Kemudian di tempat itu juga, Sang Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu.
Ibu Angulimala mencari anaknya di dalam hutan dengan menyebut-nyebut namanya, tetapi gagal menemukannya. Ia kembali ke rumah. Ketika raja dan para prajuritnya datang untuk menangkap Angulimala, mereka menemukannya di vihara Sang Buddha. Mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan perbuatan jahatnya dan menjadi seorang bhikkhu, raja dan para prajuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin dan tekun melatih meditasi, dalam waktu yang singkat dia mencapai tingkat kesucian arahat.
Pada suatu hari ketika Angulimala sedang berjalan untuk menerima dana makanan, dia melewati suatu tempat dimana terjadi pertengkaran antara sekumpulan orang. Ketika mereka saling melemparkan batu, beberapa batu mengenai kepala Angulimala dan melukainya. Dia berjalan pulang menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya, “Angulimala anakku! Kamu telah melepaskan perbuatan jahat. Bersabarlah. Saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan. Perbuatan-perbuatan jahat itu bisa menyebabkan penderitaan yang tak terkira lamanya dalam alam neraka (niraya).” Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana).
Para bhikkhu yang lain bertanya kepada Sang Buddha di manakah Angulimala akan bertumimbal lahir, Sang Buddha menjawab, “Anakku telah merealisasi kebebasan akhir (parinibbana).”
Mereka hampir tidak mempercayainya. Sehingga mereka bertanya lagi kepada Sang Buddha apakah mungkin seseorang yang sudah begitu banyak membunuh manusia dapat mencapai parinibbana. Terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan jahat karena dia tidak memiliki teman-teman yang baik. Tetapi kemudian, dia menemukan teman-teman yang baik dan dengan bantuan mereka serta nasehat yang baik dia telah dengan mantap dan penuh perhatian melaksanakan Dhamma. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan jahatnya telah disingkirkan oleh kebaikan (arahatta magga).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 173 berikut:
Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan
dengan jalan berbuat kebajikan,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagai bulan yang bebas dari awan.

Ida Pedanda Ngoerah

  



Ida Pedanda Ngoerah adalah salah satu contoh Brahmana yang masih menerapkan tradisi Brahmana Weda dimana Beliau melakukan perjalanan suci.
Beliau menyadari bahwa sebagaimana tersirat dan tersurat pada Kidung Yadnyeng Ukir ada tujuh gunung yang ada di dalam diri (sapta parwwatĕ minusti haneng garbbha), tujuh sungai suci (sapta gangga), tujuh danau (sapta ranu), hingga tujuh tingkat kasunyatan (sapta sunya). Dengan kekuatan jnyana, amerta diturunkan dengan gagelaran wisarga dan nungswara. Maka menyadari hal tersebut sejatinya penyucian dilakukan di dalam sarira.
===
Pada tahun 1919 dalam Tirta Yatra Beliau ke Bali utara dengan pengiring yang membawa bedil yang dipinjam dari seorang tokoh di Desa Wanagiri oleh karena akan melintasi hutan malam hari, Beliau turun dari Gobleg sampai di Banjar dan kemudian melanjutkan perjalanan lewat laut ke Pulaki lalu terus ke arah barat. Terekam dalam kidung perjumpaan Ida Pedanda Ngoerah dengan tiga ekor Harimau Bali saat sampai di Banyuwedang.


===
Dari Banjar Beliau menaiki perahu ke Pulaki dan di segara “laut”, Ida Padanda Ngoerah menyaksikan jajaran keindahan giri “gunung‟ (katon kalangwaning ukir). Berbagai gunung yang dilihat di sepanjang perjalanan disebutkan oleh Ida Padanda Ngoerah seperti Gunung Gondhol, Gunung Patas, Gunung Malang, Gunung Candi Bunga, Gunung Rebuk, hingga akhirnya tiba di Gunung Pulaki.

Di Pulaki, Ida Padanda Ngurah menguraikan keindahan pegunungan dengan sangat mempesona. Gunung itu seperti bersinar ketika diterangi oleh matahari. Di puncaknya ada dua batu besar yang bercahaya bagaikan candi bentar. Batu di pinggir jurang yang tinggi bagaikan pendeta suci yang kata-katanya utama dan nirmala.

Ida Pedanda Ngoerah kemudian berkonsentrasi pada tujuh gunung yang ada di dalam diri (sapta parwwatĕ minusti haneng garbbha), termasuk pula tujuh sungai (sapta gangga), tujuh danau (sapta ranu), hingga tujuh tingkat kasunyatan (sapta sunya). Dengan kekuatan jnyana, amerta diturunkan dengan gagelaran wisarga dan nungswara. Maka, penyucian dilakukan di dalam sarira.

Lalu Ida Pedanda melanjutkan perjalanan ke Barat merekam berbagai telaga suci yang ditemui dari sekitar wilayah pemuteran ke barat. Ketika sampai di Banyuwedang tengah malam dan air laut surut, rombongan Ida Pedanda tersentak melihat di dalam hutan ada tirta yang berkilau karena disinari Hyang Sitangsu (Bulan). Ketika air suci itu hendak diambil saat itu terlihat Tiga Ekor Harimau yang sedang berendam ditengah telaga.

Hana rakwa tinon dhening wadwanning ngwang, mrĕggha natta ya katriṇi, ring saṇdhinging sĕndhang, sigra yā umintar (Kidung Yajnyeng Ukir, bait 315).

Terjemahan.

Ada yang dilihat oleh pengiringku, yaitu tiga ekor harimau, di tengah telaga, dengan segera mereka pergi.

Mreggha natta disini bermakna Samong atau Harimau kendaraan dari Bhatari Durga.

Melihat sempat ada Harimau di sekitar telaga itu, para pengiring Beliau melarang Ida Pedanda Ngoerah untuk menyucikan diri di telaga tersebut. Ida Pedanda tetap teguh untuk menyucikan diri di tempat itu. Ketika menyentuhkan kaki untuk pertama kalinya di air, beliau terperangah karena airnya ternyata panas. Sesuai dengan nama wilayahnya, tirta itu memang Banyu Wedang: Tirta/Air Panas. Ida Padanda Ngoerah sangat meyakini air panas tersebut dapat mengobati berbagai penyakit.
Silakan
Sumber Putu Eka Guna Yasa Tatkala.co