Ruwatan dalam tradisi Hindu Nusantara bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, ada banyak naskah kuno atau teks atau pustaka suci yang menyebutkan tentang ritual ini. Salah satunya dalam Lontar Bhuwana Kosa tentang lima sarana yang digunakan.
Penekun lontar Ida Bagus Made Baskara dari Griya Gunung Kawi Manuaba, Tampaksiring, Gianyar mengatakan, banyak ditemukan berbagai peninggalan sejarah yang berkaitan dengan prosesi ruwatan.
Dalam Lontar Bhuwana Kosa, yang merupakan salah satu teks berbasis Siwa Tattwa, khususnya pada Adhiaya 7 sloka 2-3 disebutkan istilah Soca. Dikatakan Baskara, Soca ini disamakan dengan Sauca atau upaya pembersihan diri atau bathin.
Pada Adhyaya 7 sloka 2-3 juga disebutkan setidaknya ada lima sarana yang dapat digunakan untuk Sauca. Masing-masing sarana memiliki level kekuatan untuk penyucian secara lahir dan batin.
Sarana pertama adalah Rondon. Ron itu berarti daun. Yakni upaya pembersihan dapat dilakukan dengan sarana dedaunan. Konon efeknya sampai 100 kali. Sarana kedua adalah tanah. Sarana ini dapat digunakan sebagai pembersihan diri. Ini memiliki efek pembersihan.
Sarana ketiga adalah jala atau air. Sarana ini dapat digunakan sebagai pembersihan atau Sauca. Bukan hanya secara fisik saja. Sarana keempat adalah Basma atau abu suci.
Biasanya abu ini dibuat oleh sang meraga sulinggih. Basma dibuat dari biji beras dan cendana. Ini juga memiliki efek Sauca atau pembersihan. Yang paling utama adalah jnanam atau pengetahuan suci. Ini sifatnya aprameya atau tanpa batas. “Jadi pembersihan yang paling utama menurut Bhuwana Kosa adalah justru jnanam atau pengetahuan,” paparnya.
Di Bali, proses peruwatan sudah menjadi tradisi. Ruwatan berasal dari ruwat yang merupakan upaya pembersihan batin. “Di Bali ruwatan juga dikenal dengan panglukatan. Kata panglukatan ini konon berasal dari kata lugas yang berarti pembersihan diri,” sebutnya.
Dirangkum dari Bali Express
Tidak ada komentar:
Posting Komentar