Om Swastyastu
Om Awighnam Astu Namo Sidham
Dikisahkan dalam Kitab Suci Purana, ada pasangan suami istri melakukan perjalanan suci Dharma Yatra, untuk memenuhi makanannya, mereka mencari sisa-sisa dari orang yang selesai panen di suatu ladang. Setelah selesai dimasak, buburnya dijadikan 2 mangkok dan setelah berdoa, begitu mereka mau makan, tiba-tiba ada orang tua renta menghampiri mereka. Orang tua ini berkata: Anakku kakek lapar sekali, sudah 2 (dua) hari tidak makan dan minum, kalau sekiranya Anaku tidak keberatan mohon dibagi buburnya. Kedua orang bhakta-yatra ini dengan senang hati melayani kakek ini, kedua mangkok bubur ini dipersilahkan untuk dimakan. Tetapi, Kakek ini memakannya hanya sedikit, lalu pergi dan menghilang.
Bhakta-yatra ini sangat kaget dengan menghilangnya Kakek ini, dalam benaknya orang tua yang datang tadi itu bukan orang sembarangan. Tidak lama kemudian, ada sabda gaib menggema dari langit.
Isi sabdanya:
Wahai AnakKu yang menghampiri kalian tadi adalah Aku "Dewa Siwa". Apa yang kalian persembahkan tadi merupakan "Yadnya Agung" yang nilainya melebihi dari nilai "Yadnya Asvameda", yang pernah dulu dilakukan pada saat selesai perang Bharata Yuddha di kerajaan Astina Pura.
Mengapa hanya semangkok bubur tergolong Yadnya Agung?
Kalian mendapatkan bahan bubur itu dengan cara yang benar (dharma).
Bubur yang kalian persembahkan itu tergolong yadnya satwika (segar, bersih, dan suci).
Kalian memasaknya dengan memanjatkan doa terlebih dahulu.
Sebelum kalian memakan bubur itu, kalian persembahkan terlebih dahulu kepada Tuhan.
Kalian telah mempersembahkannya dengan tulus dan iklas.
Yadnya banten yang kita warisi dari Leluhur sebenarnya ada 4 jenis yadnya banten yaitu:
Banten perwujudan:
banten daksina tapakan, banten dewa-dewi, dan banten catur.
Banten penyucian;
banten pedudusan untuk dewa-dewi, banten dyuskamaligi untuk orang meninggal, banten byakala untuk butha, dan banten byakala dan prayascita untuk manusia.
Banten persembahan:
banten ajuman, rayunan, dan boga untuk dewa-dewi, banten saji tarpana untuk pitra, dan banten segehan untuk butha.
Banten permohonan: banten peras, sesayut, dan tebasan.
Dalam setiap melakukan yajña harus selalu mengacu kepada weda. Ada 5 (lima) dasar pertimbangan yang dipakai di dalam mewujudkan masyarakat sejahtera (dharma siddhyartha) yang disebut dengan “Pañca Tarka. Hal ini, tersurat dalam pustaka śuci Manawa Dharmaśastra:
karyan so wekṣya saktimca,
desa kalañca tattwatah,
kurute dharma siddhyartham,
Wisva rupam punah- punah.
Setiap beryadnya supaya mempertimbangan:
1 Tujuan (iksa)
2 Sesuai kemampuan (sakti)
3 Sesuai kondisi setempat (desa)
4 Sesuai waktu (kala)
5 Sesuai filsafat (tattva)
Supaya setiap melakukan yajña, mendapatkan anugrah dari Hyang Widhi, Para Dewa, dan Leluhur, maka waktu, tempat, dan caranya harus tepat. Seperti mencari susu sapi, harus dilakukan tepat tempatnya, tepat waktunya, dan tepat cara memerasnya.
Di sekujur tubuh sapi mengandung zat susu, tetapi susu hanya bisa ke luar hanya dari putingnya, diperas pada pagi hari, dengan cara yang tepat.
Begitu juga untuk memproleh anugrah dari Hyang Widhi, Dewa-Dewi, dan Leluhur harus pada tempat, waktu, dan cara yang tepat.
Dalam kitab suci juga sudah tercantum bahan yang dipakai membuat yadnya yaitu
1 Bunga (puṣpam).
2 Buah, bije (phalam).
3. Air (toyam).
4. Dupa
Begitu juga hirarki landasan yang dipakai dalam setiap melakukan yajña, yaitu:
Śruti,
Smṛti,
Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang bijaksana sebagai penghayat veda),
Acara (tradisi-tradisi dari orang suci), dan
Atmanastusti (rasa puas diri sendiri).
Om samastha lokha sukino bhavantu Om
Om Hyang Widhi, semoga semua makhluk hidup berbahagia di alam semesta ini.
Om Santih, Santih, Santih Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar