Pernah suatu ketika, dalam kegiatan adat yang melibatkan krama banjar, salah satu diantaranya diganjar "pamidanda", sanksi adat berupa beras sebanyak 5 (lima) genggam. Tak banyak memang, namun bukan nilai denda materinya yang penting, melainkan jauh lebih berat, ketika sanksi diberikan, ada beban moral yang sungguh luar biasa mesti dipikul, sekaligus mengirimkan pesan kepada seluruh krama adat, betapa orang yang disanksi tidak disiplin dalam berprilaku.
Ketika saya mendesak ihwal apa gerangan sehingga sanksi itu diberikan, tetua itu menyatakan bahwa warga dimaksud sempat menelan sejumput parutan kelapa yang sedang dikerjakannya dalam kegiatan adat. Terkesan naif mungkin, atau malah konyol dan kekanak-kanakan. "Apalah arti sejumput kelapa hingga seseorang mesti disanksi sedemikian rupa?" Pertanyaan itulah yang seketika menyeruak dalam ruang batin ini setelah mendengar cerita di atas, dan semoga saja anda tidak.
Tetua itu kembali melanjutkan pembicaraannya sambil mengajak saya membayangkan. Itu baru sejumput kelapa, bayangkan bila yang dimakan adalah segenggam daging, kemudian yang memakan tidak saja satu orang, melainkan semua warga yang beraktifitas dalam acara adat itu. Atau semuanya mengambil sebiji buah-buahan atau keperluan upacara lainnya, kira-kira bagaimana jadinya upacara adat yang akan dilangsungkan? Dan bayangkan lagi, bila hal-hal yang nampaknya sepele itu dibiarkan, kemudian menjadi kebiasaan bagi setiap individu, bukan tidak mungkin tindakan-tindakan keliru lebih besar akan dilakukan pada masa depan, bukan? Sejumput dibiarkan, segenggam diacuhkan, maka bersiap saja bila dimasa depan seisi rumah bisa saja diambil untuk memenuhi dahaga kerakusannya.
Maka pada titik ini, ketika kekeliruan dilakukan, betapapun itu terlihat sepele, tindakan tegas mesti diberikan. Tidak saja akan menjadi pembelajaran bagi warga lainnya, namun jauh lebih penting, mencegah yang bersangkutan agar tidak semakin terbiasa berperilaku memyimpang pada masa-masa berikutnya.
KEBIASAAN KEKINIAN.
Entah ini bagian dari keniscayaan, atau memang kelemahan kita masing-masing, Adat Bali dengan segala instrumen di dalamnya seperti tak memperoleh ruang untuk tetap eksis. Pelemahan dan degradasi kekuatannya seakan semakin meluas berlangsung hampir diseluruh pelosok Bali, entah datang dari luar tubuh adat atau malah datang dari falam diri Adat Bali itu sendiri. Alih-alih gema "Ajeg Bali" mendengung beberapa dekade belakangan, nyatanya itu tak lebih hanyalah buah bibir semata tanpa makna.
Kasepekang malah dipandang sebagai upaya perlawanan terhadap HAM, pelarangan penggunaan kuburan adat dinyatakan sebagai tindakan kuno, tak berprikemanusiaan, belum lagi narasi-narasi miring lainnya baik dilakukan secara sadar maupun tanpa sadar. Miris memang, saat manusia tak lagi taat azas, maka hukum dihadirkan, dan ketika manusia mulai tak taat akan hukum, kira-kira instrumen apa lagi yang akan diupayakan untuk menghadirkan ketentraman itu?
Untuk direnungkan, siapa tau si Dharma yang konon menang melawan Adharma (entah kapan perangnya) bisa dengan segera membantu menemukan jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar