Menurut Lontar Bubuksah
Diceritakan dua bersaudara kakak beradik
bernama Kebo Milir dan Kebo Ngraweg. Keduanya belum mengenal etika, budhi
pekerti, sehingga mereka selalu membuat onar, sekaligus mereka kurang disukai
oleh saudara dan keluarga. Pada suatu hari mereka meninggalkan wilayah Kediri menuju
pertapaan Mandhalangu atas petunjuk
dari seorang siswa pertapaan tersebut yang bernama Hulukembang. Di sana mereka
berdua akhirnya diterima untuk menjadi murid, lalu diganti namanya: Kebo Mili
menjadi Gagaking, sedangkan Kebo Ngraweg menjadi Bubuksah.
Mereka
menemui seorang pertapa suci, dari sanalah mereka lalu belajar tentang ajaran
yang sangat rahasia, yakni ajaran keabadian. Banyak hal yang diperoleh di pertapaan
Mandalangu. Mereka juga belajar kepada Sang Jugulwatu, salah seorang dari putra
sang mahamuni yang telah berhasil dalam tahap ujian pantangan-pantangan,
dikatakan berbadan gaib meski usianya masih muda, ia tidak ragu-ragu jika akan
menemui ajalnya. Diceritakan bahwa suatu hari, lebih sepekan badan beliau
seperti mati tidak ada yang mengetahui kerahasiaan beliau, tubuhnya menebar
keharuman “pati nira keh wong gawok
dening anilih tan katon”. Wafat beliau sangat gaib oleh karena badan beliau
tidak terlihat.
Setelah
mendengarkan petuah-petuah dari sang mahamuni, mereka berdua ingin melakukan
tapa brata di pegunungan, pada bulan Purnama Kapat. Dalam perjalanan mereka
beristirahat di sebuah balai, di balai tersebut terdapat lukisan wayang yang
menceritrakan Sudamala. Lalu mereka tiba di sebuah alas angker, hutan yang
menakutkan, banyak binatang buas. Sang Gagaking memutuskan untuk mengajak
adiknya membuat pertapaan di tempat itu. Sang Gagaking mengambil tempat di
sebelah barat sedangkan Sang Bubuksah di sebelah timur. Sebelum membuat tempat
pertapaan, mereka menuju ke sebuah pancuran air, dilihatlah sebuah patung yang
menceritakan lakon Arjuna Tapa, saat Arjuna melaksanakan tapa yang hebat, Sang
Arjuna meskipun digoda oleh bidadari cantik Supraba, Gamarmayang, dan Tilotama
namun tidak mengurungkan tapa semadinya.
Dikisahkan
Gagaking dan Bubuksah melakukan tapa berata dengan cara yang berbeda. Gagaking
menjalankan tapa dengan tidak memakan daging dan segala yang berasal dari
hewani, hanya tumbuhan yang dianggap makanan suci. Sedangkan Bubuksah sebaliknya,
dia melakukan tapa bratanya dengan tekun namun aneh, segala jenis makanan akan
dimakannya, sesuai dengan janjinya, apapun yang terkena jebag / jebakan yang dipasangnya akan dimakan habis, tidak saja
kancil, tikus, dan binatang lainnya juga dimakannya. Diolah menjadi makanan
sambil menyanyikan kidung-kidung suci, mimum air nira (tuak). Bubuksah sangat ketat dalam menjalankan tapa bratanya. Bubuksah
tidak kalah mengagumkan dalam menjalankan tapa bratanya, siang dan malam selalu
ingat dengan makanannya, karena masakan yang dibuat harus habis, tidak tersisa
sedikitpun. Ini disebut berawa.
Dalam
pertapaannya, pada suatu hari mereka terlibat dalam diskusi yang hangat. Gagaking
memberi tahu kepada adiknya “adinda, apakah yang adinda lalukan itu adalah suci?
kenapa kita tidak menjalankan tapa brata yang sama saja dengan memakan makanan
yang suci?”.
Bubuksah rupanya
tetap teguh dengan pendirian tapa bratanya, meski sang kakak menyatakan
ajarannya keliru dan tidak akan dapat mencapai kesempurnaan batin. Bubuksah
tetap menjalankan tapa bratanya dengan tekun.
Dikisahkan
pada suatu hari Betara Guru (Dewa Siwa) mendapatkan laporan dari dewa Indra
bahwa ada dua orang manusia yang melakukan tapa untuk mendapatkan surga. Atas
laporan tersebut kemudian Dewa Siwa berkehendak menguji kesetiaan dan keteguhan
keduanya dalam menjalankan tapa brata. Maka diutuslah Sang Kala Wijaya untuk
menguji keteguhan hati kedua pertapa tersebut, serta menguji siapa yang telah
mencapai tyaga pati yakni
kepasrahan atau kesiapan dalam menyambut
kematian. Sang Kala Wijaya kemudian
mengambil wujud sebagai seekor harimau putih menuju ke tempat pertapaan mereka.
Harimau tersebut pertama kali menuju ke tempat Gagaking untuk memangsanya.
Namun Gagaking menyarankan agar harimau menghampiri adiknya yang badannya
gemuk, berbeda dengan dirinya yang berbadan kurus yang tak akan membuatnya
kenyang. Gagaking tidak rela jika dirinya yang memakan makanan suci dimakan
oleh binatang yang tidak suci.
Mendengar
perkataan dari Gagaking, harimau tersebut lalu menghampiri Bubuksah untuk
memangsanya. Melihat kehadiran dari harimau tersebut menghampirinya untuk
memangsanya, Bubuksah yang pemberani dan siap meskipun ajal menjemputnya. Dia
meminta menunggu sebentar, selesai dia menyucikan tubuhnya dan melaksanakan
japa, mempersilahkan kepada harimau putih itu untuk memakannya.
Mendengar
perkataan Bubuksah, sang harimau kemudian mengurungkan niatnya untuk memangsa
Bubuksah, lalu mengatakan bahwa dirinya diutus oleh Betara Guru untuk menguji
tapa mereka. Sang harimau lalu mengajak mereka berdua untuk terbang ke suargaloka
menghadap Betara Guru. Bubuksah menunggangi harimau putih itu, sedangkan
Gagaking diterbangkan menggelantung di ekornya. Keduanya dapat mencapai
kesempurnaan, keduanya mendapatkan sorganya masing-masing. Kemudian Gagaking
mendapatkan sorga tingkat kelima sedangkan Bubuksah mendapatkan sorga tingkat
ke tujuh (sorga tertinggi). Demikian ceritanya singkatnya.
Lontar Bubuksah di tulis pada Wadoprana
Aburih, wuku Kurantil, pada hari kesembilan bulan terang, menjelang bulan
(sasih) Jyesta (bulan sebelas) tahun saka 1619. Kemudian di gubah pada Menail
Umanis, bulan Kartika, hari ke dua belas bulan gelap tahun saka 1811.
Kutipan
Lontar Bubuksah ini sengaja penulis kutip sebagai bahan renungan bagi kita
bersama, karena hakekat dari pencapaian kebebasan abadi adalah ketulusan,
kepasrahan, dan ketidakterikatan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Pada
jaman sekarang, laku spiritual yang dijalankan kerapkali atas motif untuk
kemasyuran, kemuliaan di masyarakat, kerapkali terselubung kegiatan dagang, dan
sejenisnya. Artinya dalam tindakan tersebut masih ada ego serta keterikatan
untuk pencapaian yang sifatnya duniawi.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar