Kenapa kemudian orang Bali membangun tempat pemujaan bernama Sanggah Kamulan..?? Apa gerangan makna dari pemujaan Kawitan itu...?
*Radite Umanis Wuku Ukir* Hari penting bagi masyarakat Bali
Hari itu dilakukan pemujaan kehadapan *Bhatara Hyang Guru* yang dipuja di *Sanggah Kamulan*. Ada juga yang menyatakan pemujaan kehadapan *Hyang Paramesti Guru* atau *Hyang Siwa Guru*. Ada sejumlah kata kunci, siapa sejatinya Hyang Guru yang dipuja di Sanggah Kamulan itu.
Pengertian awal bisa kita runut kenapa pemujaan itu dilakukan pada *Raditรฉ Wukir* Kata Radite, disamping merujuk sebagai *hari pertama dalam hitungan hari bersiklus tujuh* sebagaimana dibentangkan dalam kalender Jawa-Bali, Radite mengingatkan juga pada Siwa Raditya [Surya], Tuhan sumber segala penghidup, sumber maha energi. Kata Wukir merujuk pada pengertian gunung sebagai "lingga acala", simbol Siwa abadi. Kata Kamulan [ka- mula-an] merujuk pada pengertian perihal muasal, atau kawitan. Terhubung pula pada pengertian perihal *"sangkan paraning dumadi"* sumber *dari mana kelahiran, kehadiran ini datang*.
Sementara kata GURU dalam pemaknaan teks-teks Tantra, di samping juga berarti berat, GURU juga bermakna yang pengusir kegelapan. Dalam pemujaan menuju Tuhan yang tunggal, orang Bali selalu melewatinya dari jalan yang berlapis dan berjenjang, dalam beragam entitas kedewaan.
Dalam proses yoga, undagan-undagan ini layaknya kebangkitan prana muladara, lalu.. menaik meniti meru danda hingga sampai ke Brahma Randra .atau Sahasrapadma, padma dengan helai seribu. Begitu bila kita umpamakan perjalanan seorang peyoga, kebangkitan pasti dimulai dari cakra bawah.
Begitu pula bila orang Bali memuja Tuhan bersifat saguna, *pertama-tama ia memuliakan Tuhan-nya paling dekat dan paling nyata,* yakni
*mulai dari orang tua yang melahirkan kita*. Bila *"Tuhan" yang nyata bisa dibuat tersenyum bahagia, undaggan-undagan berikutnya, mulai dari Kaki [Kakek], Kumpi, Buyut, Kelab, Kelambiung, Krepek, Canggah, Bungkar, Wareng, Kalewaran, Klakat, Kawitan, dan seterusnya,* hingga kawitan paling akhir *Siwa Guru* dipastikan juga ikut termuliakan. Lalu dalam konteks pemujaan itu lapisan-lapisan inilah yang dimuliakan, leluhur didoakan supaya bersatu dengan lapisan paling absolut bernama Hyang Tunggal.
Bila hari ini kata "sembahyang" telah menjadi kosa kata umum bahasa Indonesia, kata bentukan ini bisa dieja menjadi "sembah hyang" maknanya menautkan puja kehadapan Hyang. Kata 'hyang' adalah kata asli Nusantara, artinya: yang dimuliakan.
Memang dalam bahasa orang awam, sepintas terlihat orang Bali mengambil jalan berbeda dengan doktrin yang diajarkan Bhagawad-Gita,
yang memuja pitra cuma sampai ke surga pitra, yang memuja dewa hanya sampai ke surga dewa. Intinya tidak ada jalan by pass ditempuh orang Bali bersatu dengan Sang Maha Pencipta. Seluruh entitas, seluruh lapisan roh didoakan menuju sempurna. Jalan ini saya sebut sebagai "jalan leluhur".
*"tar malupeng pitra puja, tak lupa memuja leluhur, "* begitu kata Mpu Yogiswara, dalam karya sastra terpanjang Nusantara, Kakawin Ramayana. Ini juga yang menjadi alasan paling masuk akal, kenapa orang Bali memuliakan leluhurnya di Sanggah Kamulan.
Orang Bali yakin, *dengan memuliakan kawitan sama artinya memuliakan sang pengada paling absolut*.
Dia dinamai *Batara Kamimitan, Hyang Kamulan, yang berarti Tuhan maha muasal semua*. Disadari dari leluhur yang numadi , leluhur yang terlahir kembali itu diyakini membawa watak masa silamnya, watak atau sifat turunan [hereditas] ini dialirkan lewat *benang halus bernama GEN dan DNA*.
Dari sini pula segala *kecerdasan, bakat, watak, dan guna karma diturunkan*. Dari situ pula "Gen Tuhan" dititipkan.
Inilah *keyakinan-keyakinan orang Bali* yang kelak dibahasakan lisan dengan frase :
*mulih ngidih daar dan mantuk pawayangan, yang tak cuma diartikan sebagai lahir kembali (numitis, numadi),* namun lebih dari itu ada pengertian penurunan sifat, watak, heriditas, termasuk bekal atau titipan perihal kemampuan fisik dan rohani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar