Dalam praktek keagamaan, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya dengan lebih berpijak pada “acara”(tradisi). Tradisi mana tentunya tetap mengacu pada sumber tertinggi yaitu Sruti, namun dalam pengamalannya lebih ditampilkan wujud prilaku(etika) dan wujud materi(upacara/upakara jadya). Sedangkan wujud ide/nilai berupa pengetahuan(Jnana) cenderung dikesampingkan(gugon tuwon). Itulah sebabnya, dalam hal menjalankan tradisi keagamaan umat Hindu dapat benar-benar dapat dengan tekun/kuat mempertahankan tetamian leluhur itu. Tradisi leluhur dalam hal menerapkan ajaran agama Hindu inilah yang kemudian berkembang menjadi “dresta” yang arti dan maknanya lebih luas yaitu sebagai pandangan dari suatu masyarakat mengenai tata krama dalam menjalankan hidup dan kehidupa dimasyarakat(desa pekraman). Dan karena setiap masyarakat dalam lingkup desa/wilayah berbeda latar belakangnya(sosial,ekonomi,budaya,sifat keagamaannya) maka meski tidak mencolok, yang namanya perbedaan dalam penampilan selalu muncul dan mewarnai perilaku kehidupan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Munculah istilah pembenaran untuk suatu perbedaan itu seperti: desa-kala-patra(perbedaan menurut tempat,waktu dan keadaan), desa mawa cara(setiap wilayah mempunyai cara/kebiasaan yang berlainan), negara mawa tata(setiap negara memiliki tata cara tersendiri) dan lahir pula istilah “dresta”.
Dresta terdiri dari beberapa bagian dengan acuan pembenarannya bervariasi,
Dresta
Dresta adalah pedoman sebagai pandangan, kebiasaan - kebiasaan maupun aturan - aturan dari suatu daerah tertentu yang terdiri dari empat yang dinamakan catur dresta, sebagaimana disebutkan dalam hukum hindu, catur dresta terdiri dari :
Purwa/Kuna Dresta merupakan kebiasaan-kebiasaan yang sudah melekat pada kehidupan masyarakat secara turun tumurun.
Desa dresta merupakan peraturan-peraturan yang diterapkan untuk lingkungan sempit atau desa adat pakraman.
Loka Dresta yaitu hampir sama dengan Desa dresta hanya saja scope / lingkupnya yang lebih luas. Agar hubungan menjadi harmonis maka kita sebagai warga sepatutnyalah untuk mengikuti aturan - aturan sesuai dengan daerahnya.
Sastra Dresta merupakan aturan pamungkas yaitu jika seluruh dresta di atas tidak dapat diimplementasikan dan menimbulkan perdebatan yang tidak jelas, maka satu-satunya yang harus dipedomani adalah sastra dresta ini yaitu diluar dari tiga aturan tersebut di atas.
Sehingga kesebelan dari seseorang sebagaimana yang disebutkan sebagai cuntaka dapat disesuaikan dengan dresta ataupun aturan - aturan yang sesuai dengan daerah bersangkutan untuk menciptakan kesucian dan hubungan yang hamonis pada lingkungan daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar