Sanatana Dharma memiliki nama international yaitu Hindu yang disebut berasal dari penyebutan geograpikal Sindu yang merupakan nama Sungai. Sebutan Hindu untuk Sindu sepertinya berasal dari penyebutan bangsa Arab seperti yang tertuang dalam naskah kuno Sayar Ul Okul yang tersimpan di sebuah perpustakaan kuno di Turki yang kini menjadi Universitas ternama.
Kita umum mengetahui bahwa perantara atau penengah budaya timur untuk Eropa adalah Arab yang juga disebut sebagai wilayah Timur Tengah.
Dunia juga telah mengetahui bahwa sistem bilangan yang kita warisi saat ini berasal dari kebudayaan sungai Sindu yang oleh Khawarizmi diperkenalkan dalam kompediumnya sebagai Hindu-Arabic Numerals.
Penyebutan Sindu sendiri di jepang menjadi Sinto. Sehingga pada keyakinan Sinto di Jepang memiliki banyak kemiripan juga dengan kita yang berada di Nusantara. Misal saja penyebutan Wisnu yaitu Bichnuten (Bichnu). Wisnu sendiri kita kenal juga memiliki dua simbol Aksara yaitu Ang dan Ung.
Bichnuten juga dikenal sebagai Angyo dan Ungyo yang dimana ketika bersatu membentuk AUM atau AM atau OM atau terbaca ON.
Di India bagian selatan dan Bali sendiri sebagai ONG. Ada banyak bukti keterkaitan Sinto menuju Sindu atau apa yang secara internasional saat ini disebut Hinduisme yaitu: Naraen (Narayana), Makeishura (Maheswara), Amatarasu (Dewi Ama/Amba), Bonma (Brahma), Karura (Garuda), dst.
Pada kebudayaan mesir kuno sekalipun kita bisa temukan jejak Hinduisme yaitu pada simbol kepercayaan Mesir Kuno misal saja sebagai beberapa contoh: Amon atau “YMN” kata ini merujuk Yamuna bersimbolkan Dewa dengan kulit biru dan memiliki simbol Kobra, jadi penyebutan Amon Ra sendiri setara dengan penyebutan kita di Bali yang menggunakan istilah Siwa Raditya. Reruntuhan pura Amon Ra yang terkenal yaitu Oracle Temple berada disebuah wilayah yang disebut Siwa Oasis (Dalam Bahasa Arab penyebutan Siwa Oasis “Wahat Siwah”).
Kemudian mari kita telusuri sekarang istilah adat adalah berasal dari bahasa Arab yang diserap kedalam bahasa Indonesia, yang kemudian kita pakai juga di bali. Kata desa adat sebenarnya tidak di kenal di Bali, yang ada adalah sebutan Desa Pakraman.
Jadi pada desa Pakraman memang ada aturan yang dibuat bersama krama desa demi tertibnya kehidupan di desa setempat. Aturan yang dibuat itu adalah berupa undang-undang kecil yang disebut awig-awig desa. Sebab diatasnya masih ada aturan atau Kerta yang cakupannya lebih luas sebab memakai acuan juga dengan Dharmasastra yang di tegakkan dan di putuskan oleh Ida Pedanda Kerta.
Jadi bila ada perselisihan yang tidak bisa di selesaikan di Desa maka masalah tersebut akan dibawa ke Pengadilan Kerta.
Tiap desa pakraman adalah berdiri secara merderka atau autonomi tanpa harus diatur oleh pihak luar kecuali bila terjadi perselisihan hebat internal yang sama sekali tidak bisa diselesaikan ataupun bila terjadi perang antar desa masalah tapal batas, dll., meski demikian tiap desa pakraman itu akan berusaha keras menyelesaikan konflik dengan baik yang disaksikan dan ditangani oleh pemucuk puncak yaitu Jero Bendesanya sendiri.
Sehingga jaman dahulu adalah sangat penting untuk bisa memaksimalkan segala masalah untuk diselesaikan secara internal dengan keputusan Jero Bendesa, Kelian, dan perangkat desa yang terkait bila menyangkut desa pakramannya tersebut. Hal tersebut juga sebaiknya tetap dilaksanakan demikian dimasa ini demi tegakknya nama baik desa masing-masing. Dalam hal ini sama sekali tidak bermakna bahwa aturan desa adalah bersifat supremasi multlak akan tetapi sifatnya yang benar adalah humanism sesuai makna pakraman.
Menyangkut berkeyakinan sebagai manusia kita harus bisa merdeka dalam menentukan pilihan dan jalan sendiri dalam berkeyakinan.
Meski pilihan dan jalan itu kita tempuh adalah berbeda-beda akan tetapi intinya tetap satu yaitu pada Dharma. Hindu men-encourage pemeluknya untuk bisa menentukan jalannya sendiri dan menjadi dirinya sendiri. Ia harus bisa menyadari dirinya sendiri secara utuh “Aku adalah Aku”. Aturan awig-awig desa sendiri mengatur hal umum yang tidak sampai mengatur hal pribadi kecuali menyentuh taboo bersama misal: Perselingkuhan, Pertumpahan Darah, Menghina Martabat, Kemalasan, dll., pada umumnya awig-awig desa bersifat bagi umum dan tidak mengatur hingga perindividu supaya seragam dalam berkeyakinan. Bila kita memakai kata adat maka maknanya lain lagi sebab di Dunia Arab berbeda keyakinan meski dalam satu rumpun agama yang sama bisa menjadi masalah besar dan bentrokan yang tidak ada habisnya.
Pada Hindu jarang dan sulit ditemukan terjadinya perselisihan karena masalah keyakinan yang berbeda.
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, kita memang menyadari perbedaan itu wajib ada sebab pemikiran dan kecocokan kita akan suatu hal tidak mungkin bisa sama secara seragam dan meski demikian kita bisa menyatukan persepsi untuk melihatnya sama.
Atiti dewa bawa, Atiti Puja====Kita di Hindu selalu diajarkan memperlakukan tamu itu seperti Tuhan yang datang meski tamu itu bertindak dan mengajarkan hal yang kurang ajar bagi kita atau istilahnya membalas perlakuan baik dengan perbuatan tidak baik. Segala hal di Hindu dipandang sebagai Tuhan termasuk diri ini.
Matru dewa bawa : Ibu adalah Tuhan
Pitru dewa bawa : Bapak adalah Tuhan
Acarya dewa bawa : Guru adalah Tuhan
Sehingga bila ada kelompok pesraman yang menuhankan Gurunya adalah sama sekali tidak salah sebab itu juga adalah sama-sama sebagai perwujudan bakti kepada Tuhan sendiri (Acarya Dewa Bawa).
Leluhur, pemerintah, pemimpin Negara juga dipandang sebagai Tuhan. Perbedaanya pada Sad dan Asat (Wujud dan tanpa wujud). Pandangan non dual tanpa deskriminasi status ini disebut sebagai Advaita di Hindu.
Semoga pemaparan ini bisa dijadikan sebagai renungan kita bersama dan semoga kita selalu bisa bijaksana dalam menyingkapi perbedaan yang ada diantara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar