·
Dagang Banten Bali |
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Renungan Sabtu
Hewan yang Dibunuh untuk Yadnya
SERINGKALI ada yang bertanya, apakah boleh hewan dibunuh untuk dipersembahkan sebagai yadnya dalam ritual Hindu? Pertanyaan ini muncul beberapa tahun terakhir, sesuatu yang tak pernah ditanyakan di masa lalu. Pertanyaan muncul karena ada “aliran dalam Hindu” yang ketat dalam melaksanakan prinsip ahimsa (tak boleh menyakiti apalagi membunuh) yang disertai pula prinsip vegetarian yang kuat. Dengan prinsip seperti itu maka semua persembahan kepada Tuhan tidak memakai daging.
Bahkan konon ada ritual caru yang tidak memakai hewan karena bisa diganti dengan bahan lain yang bukan binatang. Nah, apakah itu yang benar atau apakah membunuh hewan untuk korban itu yang benar, ajaran Hindu tak memberikan pembenaran yang absolut. Semuanya ada rujukan dan umat silakan memilih sesuai keyakinan. Beragama itu berdasarkan “rasa hati” yang tentu saja pijakannya adalah keyakinan. Setelah itu baru keiklhasan dan ketulusan.
Dalam lontar Sunarigama disebutkan ada dua cara untuk melakukan ritual. Pertama dengan menghaturkan sesajen (banten), terutama bagi masyarakat umum. Yang kedua dengan tapa brata yoga samadhi, terutama untuk mereka yang sudah mencapai tingkat kerohanian tertentu dan “wruh ring tattajnana”. Sama-sama dengan tujuan mencapai suatu kesucian, baik suci lahir dan batin maupun suci pada lingkungan.
Bagi yang menggunakan sesajen memang diperbolehkan mempersembahkan segala hasil bumi termasuk hewan peliharaan. Justru hasil bumi dan hewan yang dipakai persembahan itu akan tumbuh semakin baik dan hewan yang dibunuh akan “lahir kembali” dalam status yang lebih tinggi dari keadaan semula. Ini juga disebutkan dalam sloka Manawa Dharmasastra V.40. Bunyinya: Osadyah pasawa wriksastir, yancah pakhanam praptah, yajnartham nidhanam praptah, praapnu wantyutsritih punah. Terjemahannya: Tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, ternak, burung lainnya yang telah dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.
Karena korban itu adalah “penyucian” maka buah yang dipetik dari pohonnya untuk persembahan akan membuat pohon itu berlipat buahnya pada musim selanjutnya. Dan hewan, termasuk burung dan ikan, akan menjadi “suci” sehingga pada kelahirannya kelak, statusnya lebih baik dari semula.
Dalam ritual Hindu di Bali pada tingkat caru yang lebih besar dengan menggunakan banyak binatang, ada upacara yang disebut mepepada. Ini adalah ritual untuk membuat hewan itu “suci” sebelum dijadikan korban. Pendeta yang memimpin ritual akan memberikan doa-doa sesuai dengan wujud hewan itu, apakah berkaki dua atau empat, apakah burung atau ikan dan seterusnya. Inti doa adalah agar roh hewan itu “menghadap” pada dewa sesuai dengan yang telah digariskan arahnya dan jika kemudian lahir kembali akan menjadi manusia, bukan lagi binatang. Hewan itu kemudian diberikan busana (dililitkan kain) di bawa berkeliling di tempat upacara sesuai putaran jarum jam, diperciki tirta (air suci) dan seterusnya disembelih dengan “penuh kasih sayang tanpa kebencian”. Begitu aturannya, bahwa pelaksanaannya mungkin tak terasa ada “kasih sayang” saat menyembelih itu soal lain.
Dalam sloka Manawa Dharmasastra sebelumnya (MD V.39) sudah ditegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara korban dan korban ini sudah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi dan isinya. Dengan begitu unsur ahimsa tidak berlaku di sini karena baik hewan korban maupun umat yang beryadnya sama-sama untuk mencapai kesucian dalam ritual itu.
Bagaimana dengan pantangan makan daging? Jika hewan yang disembelih itu untuk yadnya yang berarti sudah dilaksanakan “penyucian” maka dagingnya pun tak masalah untuk disantap. Tapi untuk hal ini terjadi silang pendapat karena sumber sastra pun ada banyak. Manawa Dharmasastra sloka V.33 menyebutkan bahwa seorang dwijati (pendeta) haruslah tidak makan daging. Namun disebutkan “jika memakannya tidak bertentangan dengan aturan”. Nah ini sering dijadikan pembenar, karena hewan yang disembelih “sesuai dengan aturan” maka dagingnya bisa dimakan. Itu sebabnya pendeta Hindu di Bali tak semuanya vegetarian, ada yang masih makan daging tapi terbatas, misalnya, hanya daging bebek.
Dengan begitu marilah kita arif, tidak mencemoh orang melakukan yadnya dengan mengorbankan binatang, tetapi juga tidak menyalahkan orang yang tak mau mengorbankan binatang. Biarkan mencari jalannya sendiri sepanjang tidak ada yang dirugikan.
Hewan yang Dibunuh untuk Yadnya
SERINGKALI ada yang bertanya, apakah boleh hewan dibunuh untuk dipersembahkan sebagai yadnya dalam ritual Hindu? Pertanyaan ini muncul beberapa tahun terakhir, sesuatu yang tak pernah ditanyakan di masa lalu. Pertanyaan muncul karena ada “aliran dalam Hindu” yang ketat dalam melaksanakan prinsip ahimsa (tak boleh menyakiti apalagi membunuh) yang disertai pula prinsip vegetarian yang kuat. Dengan prinsip seperti itu maka semua persembahan kepada Tuhan tidak memakai daging.
Bahkan konon ada ritual caru yang tidak memakai hewan karena bisa diganti dengan bahan lain yang bukan binatang. Nah, apakah itu yang benar atau apakah membunuh hewan untuk korban itu yang benar, ajaran Hindu tak memberikan pembenaran yang absolut. Semuanya ada rujukan dan umat silakan memilih sesuai keyakinan. Beragama itu berdasarkan “rasa hati” yang tentu saja pijakannya adalah keyakinan. Setelah itu baru keiklhasan dan ketulusan.
Dalam lontar Sunarigama disebutkan ada dua cara untuk melakukan ritual. Pertama dengan menghaturkan sesajen (banten), terutama bagi masyarakat umum. Yang kedua dengan tapa brata yoga samadhi, terutama untuk mereka yang sudah mencapai tingkat kerohanian tertentu dan “wruh ring tattajnana”. Sama-sama dengan tujuan mencapai suatu kesucian, baik suci lahir dan batin maupun suci pada lingkungan.
Bagi yang menggunakan sesajen memang diperbolehkan mempersembahkan segala hasil bumi termasuk hewan peliharaan. Justru hasil bumi dan hewan yang dipakai persembahan itu akan tumbuh semakin baik dan hewan yang dibunuh akan “lahir kembali” dalam status yang lebih tinggi dari keadaan semula. Ini juga disebutkan dalam sloka Manawa Dharmasastra V.40. Bunyinya: Osadyah pasawa wriksastir, yancah pakhanam praptah, yajnartham nidhanam praptah, praapnu wantyutsritih punah. Terjemahannya: Tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, ternak, burung lainnya yang telah dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.
Karena korban itu adalah “penyucian” maka buah yang dipetik dari pohonnya untuk persembahan akan membuat pohon itu berlipat buahnya pada musim selanjutnya. Dan hewan, termasuk burung dan ikan, akan menjadi “suci” sehingga pada kelahirannya kelak, statusnya lebih baik dari semula.
Dalam ritual Hindu di Bali pada tingkat caru yang lebih besar dengan menggunakan banyak binatang, ada upacara yang disebut mepepada. Ini adalah ritual untuk membuat hewan itu “suci” sebelum dijadikan korban. Pendeta yang memimpin ritual akan memberikan doa-doa sesuai dengan wujud hewan itu, apakah berkaki dua atau empat, apakah burung atau ikan dan seterusnya. Inti doa adalah agar roh hewan itu “menghadap” pada dewa sesuai dengan yang telah digariskan arahnya dan jika kemudian lahir kembali akan menjadi manusia, bukan lagi binatang. Hewan itu kemudian diberikan busana (dililitkan kain) di bawa berkeliling di tempat upacara sesuai putaran jarum jam, diperciki tirta (air suci) dan seterusnya disembelih dengan “penuh kasih sayang tanpa kebencian”. Begitu aturannya, bahwa pelaksanaannya mungkin tak terasa ada “kasih sayang” saat menyembelih itu soal lain.
Dalam sloka Manawa Dharmasastra sebelumnya (MD V.39) sudah ditegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara korban dan korban ini sudah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi dan isinya. Dengan begitu unsur ahimsa tidak berlaku di sini karena baik hewan korban maupun umat yang beryadnya sama-sama untuk mencapai kesucian dalam ritual itu.
Bagaimana dengan pantangan makan daging? Jika hewan yang disembelih itu untuk yadnya yang berarti sudah dilaksanakan “penyucian” maka dagingnya pun tak masalah untuk disantap. Tapi untuk hal ini terjadi silang pendapat karena sumber sastra pun ada banyak. Manawa Dharmasastra sloka V.33 menyebutkan bahwa seorang dwijati (pendeta) haruslah tidak makan daging. Namun disebutkan “jika memakannya tidak bertentangan dengan aturan”. Nah ini sering dijadikan pembenar, karena hewan yang disembelih “sesuai dengan aturan” maka dagingnya bisa dimakan. Itu sebabnya pendeta Hindu di Bali tak semuanya vegetarian, ada yang masih makan daging tapi terbatas, misalnya, hanya daging bebek.
Dengan begitu marilah kita arif, tidak mencemoh orang melakukan yadnya dengan mengorbankan binatang, tetapi juga tidak menyalahkan orang yang tak mau mengorbankan binatang. Biarkan mencari jalannya sendiri sepanjang tidak ada yang dirugikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar