Dagang Banten Bali |
Lontar-lontar yang ada di Bali umumnya bercorak Siwaistik, hal ini erat kaitannya dengan dasar kepercayaan Hindu yang berkembang di Indonesia dan di Bali khususnya. Adapun jenis-jenis lontar yang bercorak Siwaistik (dalam Sura, 1993), adalah sebagai berikut :
......
Lontar-lontar Tattwa.
Lontar-lontar jenis ini memuat ajaran Ketuhanan, di samping itu juga ajaran tentang penciptaan alam semesta, ajaran tentang kelepasan dan sebagainya. Yang tergolong lontar-lontar jenis ini antara lain : 1) Bhuwanakosa, 2) Ganapatitattwa, 3) Jnanasiddhanta, 4) Bhuwana Sangksepa, 5) Sanghyang Mahajnana, 6) Tattwajลฤna, 7) Wrhaspati Tattwa, Siwagama, 9) Siwatattwapurana, 10) Gong Besi, 11) Purwabhumi Kamulan, dan lain-lain.
......
Lontar-lontar Etika
Lontar-lontar jenis ini berisi ajaran tentang etika, kebijakan tuntunan untuk menjadi orang sadhu, dan yang termasuk jenis lontar ini yaitu : 1) Sarasamuscaya, 2) Slokantara, 3) Siwasasana, 4) Agastyaparwa, 5) Wratisasana, 6) Silakrama, 7) Pancasiksa, Rsi Sasana, 9) Putra Sasana.
......
Lontar-lontar Yajna
Lontar-lontar tentang yajna banyak sekali jenisnya. Umumnya lontar ini berisi petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan yajna, baik mengenai jenis banten atau sesajennya, perlengkapannya dan sebagainya. Beberapa jenis lontar ini antara lain :
.....
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Dewa Yajna meliputi lontar : (1) Dewa Tattwa, (2) Sundarigama, (3) Wrhaspatikalpa, (4) Catur Wedhya.
.......
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Pitra Yajna adalah lontar : (1) Yama Purwana Tattwa, (2) Yama Tattwa, (3) Empu Lutuk Aben, (4) Kramaning Atiwa-tiwa, (5) Indik Maligya, (6) Putru Sesaji, (7) Bacakan Banten Pati Urip.
......
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Rsi Yajna, meliputi lontar : (1) Kramaning Madiksa, (2) Yajna Samkara.
.....
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Manusa Yajna yaitu lontar : (1) Dharma Kahuripan, (2) Eka Pratama, (3) Bacakan Banten Pati Urip, (4) Janma Prawerti, (5) Puja Kalapati, (6) Puja Kalib.
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Bhuta Yajna adalah lontar : (1) Ekadasarudra, (2) Pancawalikrama (3) Indik Caru (4) Bhama Krtih (5) Lebur Sangsa, (6) Pratingkahing Caru.
Lontar-lontar yang erat hubungannya dengan pelaksanaan Yajna adalah lontar-lontar Wariga, antara lain : (1) Wariga, (2) Purwaka Wariga, (3) Wariga Gemet, (4) Wariga Krimping, (5) Wariga Pararasian, (6) Wariga Palalawangan, (7) Wariga Catur Winasa Sari, ( Wariga Winasa Sari.
Lontar-lontar Puja
Lontar-lontar puja erat sekali kaitannya dengan lontar-lontar Yajna. Kalau lontar Yajna berisi petunjuk-petunjuk pelaksanaan Yajna, maka lontar puja berisi puja untuk menghantarkan Yajna dalam upacara agama. Lontar-lontar ini juga dijadikan pegangan oleh para sulinggih/pedanda pada waktu “memuja” dan “muput” upacara agama. Lontar-lontar puja ini antara lain: 1) Weda Parikrama, 2) Surya Sewana, 3) Arghapatra, 4) Puja Ksatrya, 5) Puja Mamukur, 6) Kajang Pitra Puja,dan 7) Kusumadewa.
Menurut Lontar Wariga Catur Winasasari ada sembilan jenis Padmasana sebagai sthana Tuhan dalam wujud Siwa-Buddha. Padmasana ini diberikan nama sesuai dengan posisinya di dalam arah mata angin: dik dan widik. (1) Padma Kencana di Timur, (2) Padmasana di Selatan, (3) Padmasari di Barat, (4) Padma Lingga di Utara, (5) Padma Asta Sadana di Tenggara, (6) Padma Noja di Barat Daya, (7) Padma Kara di Barat Laut, ( Padmasaji di Timur Laut, dan (9) Padma Kurung di tengah-tengah (madya) beruang tiga dan menghadap ke "lawangan" (pintu keluar).
Berdasarkan atas ruang singgasana dan tingkat pepalihannya, Padmasana dibedakan atas:
1. Padmasana Anglayang: Padmasana ini beruang tiga mempergunakan bedawang nala dengan palih tujuh.
2. Padma Agung: Padmasana ini beruang dua mempergunakan bedawang nala dengan palih lima.
3. Padmasana: Padma beruang satu dengan palih lima mempergunakan bedawang nala.
4. Padma Sari: Padma ini beruang satu dengan palih tiga, tidak mempergunakan bedawang nala.
5. Padma Capah: Padma ini beruang satu dengan palih dua dan mempergunakan bedawang nala.
Padma Sari dan Padma Capah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai tempat pengayatan (penyawangan) dan pedagingan-nya hanya diisi pada bagian puncak dan dasar saja. Sedangkan yang lain, yang menggunakan bedawang nala, pedagingan pada saat upacara pemelaspas (penyucian) menggunakan tiga pedagingan pada saat upacara, yaitu dasar, tengah (madya) dan atas (puncak). Melalui proses ini bangunan Padmasana yang merupakan manifestasi konsep Padma dalam Siwa-Buddha Tattwa menjadi tersucikan dan menjadi sthana Bhatara Siwa dan/atau Bhatara Buddha. Pada bangunan (pelinggih) ini Bhatara Siwa dan Buddha berwujud niskala, gaib, parama suksma, parinirmala sehingga tidak lagi diwujudkan dalam bentuk nyasa-nyasa, seperti arca, lingga, dan sebagainya. Ini juga disebut Acintya Puja, tidak lagi Murti Puja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar