simbol dalam upacara perkawinan di antaranya sebagai berikut:
1. Banten byakala, bertujuan untuk memisahkan (bya) unsur negatif (kala) dalam badan sehingga memunculkan kesucian yang diharapkan.
2. Sarana panglukatan, fungsinya menyuciken badan astral pasangan pengantin sehingga siap untuk melanjutkan ke jenjang grhasta asrama (kehidupan benimah tangga).
3. Melakukan persembahyangan yang ditujukan kepada Semara Ratih. Pemujaan ini bermakna memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manisfestasi sebagai Dewa Cinta (Dewa Kama dan Dewi Ratih) sebagai perwujudan cinta kasih, agar perkawinan itu diberkahi kelanggengan.
4. Simbol Kala Ngadeg, sebuah lambang dalam perkawinan terbuat dari pohon dadap (kayu sakti) atau ada yang menggunakan srumbu lanang wadon yang dihiasi pakaian, layaknya orang laki-perempuan. Kala ngadeg sebagai pertanda kokohnya pondasi perkawinan yang dibangun dan diharapkan bisa menyatu hingga akhir hayat.
5. Mategen-tegenan (alat memikul). Sarana ini diperuntukkan bagi pengantin pria yang umumnya dibuat menggunakan ranting pohon dadap atau menggunakan cangkul (dikaitkan dengan kondisi di Bali sebagai daerah agraris). Tegenan atau alat pikul ini dilengkapi buah dan umbi-umbian (pala bungkah dan pala gantung) dan diserahkan oleh orang tua laki-laki kepada pengantin laki. Makna yang bisa dipetik sebagai simbol penyerahan tanggung jawab orangtua kepada anaknya.
6. Alat dagangan (madagang-dagangan) untuk pengantin perempuan. Sarana ini dibuat
menggunakan wadah sebuah sok-sokan (bakul) khusus yang dinamakan sok panganten. Di dalamnya ada kelengkapan berupa barang dagangan sandang, pangan, ditambah beberapa bibit tanaman. Sarana ini diserahkan oleh mertua perempuan
kepada pengantin wanita sebagai lambang punyerahan tanggungjawab dalam memulai ke hidupan bermasyarakat, di samping mulai bertanggung jawab untuk mencari penghidupan sekaligus mengisi kehidupan ke depan dengan karma (perbuatan).
7. Damar pamebyan (lampu minyak kelapa), merupakan simbol penerangan agar dalam
mengarungi kehidupan berumah tangga kedua pasangan selalu pada kondisi terang,
tanpa mengalami kegelapan hati. Dengan begitu, bahtera rumah tangga bisa berjalan
baik.
8. Cemeti (pecut) yang terbuat dari lidi. Alat ini biasanya dipegang pasangan pengantin pria. Memiliki makna arah yang mesti dituju oleh pasangan mempelai dalam mencapai tujuan yang diidam-idamkan. Keduanya mesti selalu dalam kebersamaan, layaknya ikatan lidi sampat (sapu).
9. Matanjung sambuk. Sarana yang dipakai berupa sambuk (serabut kelapa) utuh. Sambuk ini ada yang belah tiga, ada juga dibelah lima. Di dalamnya berisi kwangen dengan 11 keteng uang kepeng dan sebutir telur bebek mentah diikat benang tiga warna. Sarana ini biasanya ditendang (matanjung) setiap kali pasangan memutar tempat upacara. Sambuk merupakan simbol mala (kotoran jasmani dan rohani, layaknya komponen yang ada dalam sambuk, yakni kulit kasar dan kulit halus. Jadi, jasmani maupun rohani harus dibersihkan agar benih yang disimbolkan dengan telur mentah bisa berwujud menjadi janin yang suci (itik/bebek disebut ulam suci) sehingga menghasilkan putra yang suputra.
10. Kekeb (alat penutup menanak nasi yang biasanya terbuat dan tanah hat yang dibakar). Kekeb dalam upacara perkawinan melambangkan bentuk kebersamaan kedua mempelai dalam mengarungi kehidupan. Mereka mesh selalu saling mendukung, saling memberi agar tujuan bersama bisa dicapai.
11. Benang putih yang dibentangkan di antara dua pohon dadap, mempakan simbol lepasnya pasangan yang bersangkutan dari masa lajang (brahmacari asrama) menuju masa grhasta asrama. Dalam menuju dan melakoni masa-masa berumah tangga tentu penuh lika-liku dan tanggung jawab yang harus diemban masing-masing pasangan.
12. Tikeh dadakan. Sarana ini dibuat dari daun pandan yang masih hijau yang dianyam layaknya tikar. Tapi, ukurannya kecil (± 25 cm). Tikeh dadakan merupakan simbol kewanitaan (vagina). Tikar ini nantinya akan dirobek pengantin pria menggunakan keris sebagai tanda pecah atau robeknya kewanitaan pengantin wanita, sehingga secara lahiriah pasangan yang bersangkutan sudah berhak melakukan hubungan badan (senggama).
13. Keris. Kehadiran keris dalam upacara perkawinan sebagai lambang kelaki-lakian (purusa). Benda ini akan dipakai merobek tikeh dadakan yang merupakan simbol pradana.
14. Bale oyodan (rumah-rumahan). Sarana ini dibuat menggunakan pelepah pisang, ada juga menggunakan tangkai daun keleki yang pada saat habis upacara akan dirusak oleh kedua pasangan. Bale oyodan memiliki makna bersatunya dua keluarga yang berbeda untuk membentuk suatu keluarga baru dengan restu kedua keluarga mempelai.
15. Mengitari tempat upacara tiga kali. Ini dikutip dari ajaran Weda, khususnya dalam Siwa Purana. Pada saat perkawinan Ganesa (putra Siwa dengan Parwati) saat melangsungkan perkawinan mengitari orang tuanya (Siwa dan Parwati) sebanyak tiga kali. Mengitari tiga kali tersebut sebagai simbol sahnya suatu upacara perkawinan, karena sudah mendapat restu orangtua (yang merupakan simbol Tuhan).
Inilah beberapa simbol upacara di dalam upacara perkawinan (wiwaha samskara) yang dapat diangkat dan masih banyak sejatinya lagi simbol-simbol lain yang bisa dijelaskan.
Dengan mengetahui simbol-simbol tadi, diharapkan menambah mantap dan khidmat kita dalam melaksanakan suatu upacara. Di samping dapat menepis cibiran orang lain yang mengatakan orang Bali berupacara mula keto (tanpa dasar).
Bahwa, apa yang selama ini dilakukan umat Hindu di Bali lewat pelaksanaan upacara, sesungguhnya berdasarkan pada norma-norma luhur yang bersumber dari Weda. Cuma, dalam penerapannya berpijak pada kearifan lokal dan dibahasakan dalam bentuk bebantenan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar