"selain piawai mengangkat senjata, juga merupakan perancang kebijakan yang ulung dengan berbasiskan kepada kondisi objektif masyarakat Kuba itu sendiri."
CHE Guevara lelaki kelahiran Rosario, Argentina, pada 1928. Ia –bersama Fidel Castro, adalah Dwi Tunggal pemimpin gerilyawan yang berhasil jatuhkan salah satu rezim otoriter yang disokong Amerika Serikat (AS) saat itu, Fulgencio Batista. Nama besarnya bahkan masih langgeng hingga saat ini. Foto bergaya legendarisnya masih setia menempel di kaos oblong anak-anak muda. Pet yang selalu ada menutupi rambutnya masih banyak diproduksi. Bahkan di Indonesia, mungkin ialah satu dari sedikit Komunis yang namanya bukan hanya dikenal, tetapi juga menjadi idola banyak orang. Kemewahan yang tidak didapatkan oleh Komunis-komunis lain seperti Semaun, Aidit, Lukman, atau Njoto.
Sayangnya, ia dikenal sebatas sebagai seorang gerilyawan, tidak lebih dari itu. Tidak banyak yang tahu, misalnya, setelah menggulingkan Batista, Che segera didaulat Menjadi Menteri Perindustrian (MININD) serta Kepala Bank Nasional Kuba. Dua jabatan yang teramat sentral dalam kaitannya dengan pembangunan Kuba ke arah sosialisme. Tidak dilupakan pula, masa Che memegang kedua jabatan tersebut adalah masa yang sangat berat, mengingat Amerika Serikat (AS) melakukan embargo terhadap negara pulau tersebut sejak Oktober 1960. Dengan demikian, dapat dikatakan Che adalah peletak fondasi ekonomi sosialis Kuba yang keberhasilannya dalam berbagai bidang saat ini diakui oleh banyak negara, bahkan lembaga seperti PBB sekalipun.
Dalam kekaburan tokoh Che selain sebagai gerilyawan inilah buku Helen Yaffe, dosen di University of Leicester menjadi penerangnya. Buku yang berjudul asli Che Guevara: The Economics of Revolution ini menceritakan dengan detail bagaimana sosok Che sebagai Menteri Ekonomi dan Kepala Bank Nasional Kuba dalam periode antara 1959 hingga 1965, tahun dimana akhirnya Che meninggalkan Kuba untuk kembali bergerilya sampai akhirnya ia ditangkap dan ditembak mati di Bolivia pada 1967. Buku ini menerangkan bagaimana Che, selain piawai mengangkat senjata, juga merupakan perancang kebijakan yang ulung dengan berbasiskan kepada kondisi objektif masyarakat Kuba itu sendiri.
Sebagaimana dijelaskan Yaffe pada bagian Pengantar, buku ini pada dasarnya adalah buku sejarah ekonomi, terutama sejarah tentang MININD serta peran sentral Che di dalamnya, dari mulai pendidikan dan pelatihan, pembakuan sistem akunting, investasi dan pengawasan, meningkatkan partisipasi buruh dalam produksi, mendirikan berbagai badan riset untuk menerapkan teknologi dan sains pada produksi, serta pembangunan kesadaran masyarakat Kuba terhadap revolusi. Semuanya terangkum dalam sepuluh bab yang akan diulas dalam lima bagian di bawah ini.
Kondisi Ekonomi Kuba Pra Revolusi 1959
Kuba sebelum revolusi merupakan negara dengan tingkat ekonomi di atas rata-rata. Negara dengan ibu kota Havana ini merupakan salah satu yang memiliki pendapatan perkapita paling tinggi di kawasan Amerika Latin dengan pemasukan terbanyak berasal dari perkebunan gula. Tetapi, kondisi tersebut sangat tergantung pada modal yang berasal dari AS. Bahkan, negara Paman Sam tersebut merupakan tiga besar investor di Kuba. Sejak 1870an, 75 persen gula yang diproduksi di Kuba dikirim ke AS. Sebelum Depresi Besar menghantam dunia, jumlah investasi AS di Kuba mencapai US$ 919 juta, yang mana 62 persen di antaranya merupakan investasi ke perkebunan gula.
Pemerintah AS memang mengkondisikan agar Kuba bergantung pada investasi dari mereka. Hal ini membuat tingkat perekonomian Kuba berbanding terbalik dengan kondisi masyarakatnya. Dari 75 persen perusahaan perkebunan gula, hanya separuhnya yang berproduksi. Hanya seperempat dari tenaga kerja negara yang berpenduduk 6 juta jiwa ini yang bekerja. Bahkan, hanya 25 ribu orang Kuba yang bekerja sepanjang tahun, setengah juta yang harus hidup subsisten di antara musim panen. Akibatnya, sebelum Depresi Besar pengangguran dan upah murah adalah kondisi yang umum terjadi di negara tersebut.
Pasca Depresi Besar, investasi AS merosot, industri gula pun diambil alih oleh orang lokal. Pasca Perang Dunia II, investasi AS kembali datang. Kali ini, mereka lebih memfokuskan investasi ke bidang lain seperti manufaktur, transportasi, dan telekomunikasi karena melihat adanya stagnansi pada industri gula. Akibatnya, secara ekonomi Kuba kembali dikuasai AS. 90 persen layanan telepon dan listrik, 50 persen perusahaan kereta api, dan 40 persen produksi gula mentah dimiliki AS. Karena itu, meskipun infrastruktur Kuba terbilang paling maju di Amerika Latin, kondisi masyarakatnya tidak berbeda jauh sebelum terjadinya Depresi Besar. Pos-pos pekerjaan dikuasai orang non-Kuba, uang pun tidak mengalir di dalam negeri, tetapi mengucur balik ke negara investor.
Selain panorama dominasi industri gula serta ketergantungan pada modal AS, salah satu ciri mencolok lain dari Kuba pra revolusi adalah ketimpangan yang sangat kentara antara Havana sebagai ibu kota serta daerah-daerah di sekitarnya. Sementara di Havana infrastruktur dan teknologi begitu maju, di daerah lainnya bahkan tidak banyak penduduk lokal yang memiliki tanah sebagai salah satu alat produksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apa yang diambil alih oleh Che dan Castro saat menggulingkan Batista adalah negara yang mengalami keterbelakangan struktural. Tidak mudah mengelola dan bahkan membalik kondisi serba melarat tersebut.
Fondasi Awal
Masyarakat yang serba terbelakang, tetapi di satu sisi adanya industri berteknologi tinggi adalah kondisi objektif Kuba pasca revolusi. Menghadapi kenyataan ini, beberapa kebijakan yang tepat harus dilakukan oleh Tentara Pemberontak, dimana Che tergabung di dalamnya.
Salah satu kebijakan pertama yang dijalankan oleh pemerintahan revolusioner adalah melakukan reforma agraria, dimana Che turut serta merancang Undang-undangnya. Sebagaimana telah dijelaskan, kebijakan ini dibuat untuk mengatasi masalah tidak adanya lahan bagi rakyat banyak yang selama ini dikuasai para tuan tanah dari AS. Reforma agraria yang langsung menghantam kepentingan tuan tanah AS ini dilaksanakan oleh Institut Reforma Agraria Nasional (INRA) dan didukung sepenuhnya oleh Tentara Pemberontak yang telah bertransformasi menjadi tentara reguler.
Reforma agraria ini sendiri merupakan bagian dari program nasionalisasi yang lebih luas. Para borjuis yang perlahan-lahan pergi dari Kuba dan meninggalkan teknologi tinggi miliknya memudahkah langkah nasionalisasi, yang sebagian besar merupakan aset milik AS. Apa yang dilakukan Kuba, tak pelak membuat geram AS. Pada 1960, AS melakukan blokade parsial ke Kuba. Kuba sendiri melanjutkan konfrontasinya dengan menyita seluruh aset milik AS saat blokade menyeluruh diberlakukan setahun setelahnya. Alhasil, dua tahun setelah revolusi, 84 persen industri ada di tangan negara.
Dalam periode ini, peran Che cukup sentral sebagai Menteri Perindustrian dan Kepala Bank Nasional. Karena peran itu juga, ditambah industri yang berada di tangan negara, membuat Che dapat melakukan berbagai eksperimen ekonomi yang didukung penuh oleh Fidel Castro. Dalam periode ini pula pembangunan mulai di arahkan ke sosialisme, meskipun orientasi tersebut baru dideklarasikan secara resmi pada 1961. Meskipun demikian, Che menolak untuk menerapkan sistem pembangunan sosialisme yang diterapkan oleh Uni Soviet dan menjadi cetak biru sebagian besar negara sosialis di dunia saat itu.
Berbagai kontradiksi yang timbul pada periode 1959-1962 membuat Che melahirkan sistem manajemen ekonomi dengan kekhasan Kuba yang disebutnya Sistema de Financiamiento Presupuestario (SFP) atau Sistem Pembiayaan Beranggaran yang vis a vis dengan sistem manajemen ekonomi Uni Soviet yang disebut Auto-Financing System (AFS). Kedua sistem manajemen ekonomi yang saling bersaing ini akhirnya menjadi prakondisi bagi adanya Debat Akbar yang berlangsung antara 1963 hingga 1965.
Debat Akbar Pembangunan Sosialisme
Dalam Capital, Karl Marx menjelaskan bagaimana sistem ekonomi kapitalis memungkinkan munculnya hukum nilai, yaitu bagaimana sebuah komoditas dapat dipertukarkan secara adil dengan komoditas lainnya dengan ukuran tenaga kerja manusia yang tercurah di dalamnya. Di sana, Marx menjelaskan bahwa hukum nilai dimungkinkan ada dan matang di corak produksi kapitalis, dimana alat produksi hanya dikuasai segelintir orang sehingga barang yang dihasilkan tidak semata memiliki nilai pakai, tetapi juga nilai tukar. Sebagaimana diketahui, kapitalisme pada dasarnya adalah akumulasi keuntungan melalui komoditas, sementara nilai adalah keseukuran dari sebuah komoditas agar bisa dipertukarkan dengan komoditas lainnya melalui mekanisme pasar. Dengan demikian, nilai adalah batu fondasi dari kapitalisme itu sendiri.
Melalui tesis tersebut, Che yang sejak awal revolusi semakin mendalami karya-karya Marx meyakini bahwa untuk membangun masyarakat sosialis, orientasi ekonomi yang bertopang pada produksi komoditas atau nilai mutlak harus dihilangkan. Sebaliknya, produksi yang diarahkan untuk kebutuhan masyarakat—alih-alih pengejaran laba, harus dilakukan. Sebab, “hukum ini… punya dampak lanjutan yang bersifat ekonomis sekaligus prikologis, yang termanifestasikan dalam persepsi tiap-tiap individu mengenai peran mereka di masyarakat.” (hlm. 124).
Perdebatan tentang hukum nilai inilah yang menjadi tema sentral dalam Debat Akbar. Lebih spesifiknya, tema Debat Akbar yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah Kuba pada medio 1963 hingga 1965 adalah pertanyaan tentang mungkin atau tidaknya membangun sosialisme di sebuah negara tanpa modus produksi kapitalis maju, yang pembangunannya telah dikerdilkan oleh eksploitasi imperialis (hlm. 97). Dalam pandangan Marx, revolusi sosialis pertama-tama akan terjadi di negara industri maju seperti Jerman atau Inggris. Tetapi, sebagaimana yang sejarah buktikan, kemenangan revolusi sosialis justru pertama-tama terjadi di Uni Soviet yang industrinya cukup terbelakang. Begitu juga dengan Kuba. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, industri di negara tersebut hanya berpusat di Kuba, itupun tidak menciptakan proletarisasi secara masif.
Menjawab pertanyaan tersebut, pada 1950an blok sosialis yang berpusat pada Soviet memberikan jawaban bahwa untuk mempercepat perkembangan daya produktif untuk menuju masyarakat Komunis dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan metode produksi dan distribusi yang memungkinkan beroperasinya hukum nilai. Dua konsep kunci yang ditawarkan Soviet tersebut adalah desentralisasi dan otonomi finansial bagi perusahaan.
Che tidak sepakat dengan metode AFS tersebut. Menurutnya, manajemen ekonomi seperti itu justru akan merontokkan kesadaran kolektif masyarakat dan pada akhirnya akan menghalangi pembangunan sosialisme. Menurutnya, dengan masih menggunakan hukum nilai, AFS tidak lain mengimplementasikan kapitalisme itu sendiri. Che kemudian menjadikan SFP sebagai antitesis AFS. Poin utama dari sistem yang diajukan Che adalah kontrol terpusat atas administrasi keuangan. Menurutnya, sistem ini digunakan bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas semata, tetapi juga untuk membangun kesadaran sosialis, sesuatu yang menurut Che tidak muncul dari kolektif kelas pekerja di Uni Soviet.
Karena itu pula, ia menolak untuk sepenuhnya menggunakan insentif material, yaitu penghargaan berupa materi seperti uang atau sejenisnya untuk pekerja atau perusahaan yang berhasil mencapai target produksi. Sebaliknya, Che menggunakan apa yang dinamakannya insentif moral, penghargaan yang berbasiskan pada penghormatan tertentu
Meskipun demikian, Che tidak menyangkal bahwa di Kuba masih beroperasi hukum nilai. Sebab menurutnya, belum tersedia prakondisi yang memungkinkan penghapusan secara menyeluruh hukum tersebut (misalnya, sentral informasi tentang produksi, distribusi, hingga konsumsi). Meskipun begitu, Che menganggap bahwa sebuah negara sosialis tugasnya bukanlah untuk memakai atau bahkan mempertahankan hukum nilai ini. Sebaliknya, negara sosialis harus merumuskan dengan sangat jitu lingkup operasi hukum nilai dan lantas membuat terobosan ke dalam lingkup itu untuk menggerogotinya, bekerja untuk menyudahinya (hlm. 103). Diimplementasikan dalam kebijakan konkret, pembatasan hukum nilai dilakukan dengan cara tidak mengizinkan antar perusahaan negara melakukan jual-beli komoditas. Perusahaan negara, kata Che, harus dipandang sebagai kesatuan dari satu pabrik besar yang hanya melakukan pertukaran antar departemen di dalam pabrik tersebut (perusahaan negara) untuk memenuhi kebutuhan bersama. Dalam hal inilah perencanaan terpusat dari negara menjadi penting.
Selain itu, perbedaan lain dalam taraf implementasi antara AFS dan SFP adalah bagaimana metode yang tepat untuk meningkatkan produktivitas. Meskipun keduanya sepakat dengan poin peningkatan produktifitas sebagai bagian yang inheren dalam tujuan menuju masyarakat dengan prinsip Komunis (dari masing-masing sesuai kemampuannya, untuk masing-masing sesuai kebutuhannya), AFS lebih memilih jalan melalui pencarian laba (insentif material), sementara SFP dengan cara inovasi teknologi, organisasional, serta meningkatkan taraf keterampilan buruh itu sendiri.
Debat Akbar ini terangkum dalam dua puluhan artikel. Dari jumlah tersebut, setengah lusin di antaranya ditulis langsung Che. Tak pelak, tulisan-tulisan Che tersebut secara langsung mengkritik dengan amat jeli sistem ekonomi yang dijalankan di Uni Soviet, sesuatu yang mungkin hanya ia yang berasal dari blok sosialis yang melakukannya saat itu.
Debat ini tentu saja berimplikasi langsung terhadap manajemen ekonomi yang diselenggarakan di Kuba. Sementara sistem AFS secara resmi dijalankan di Kementerian Perdagangan Luar Negeri (MINCEX), sistem SFP diimplementasikan di INRA. Kedua kementerian yang berbeda pandangan manajemen ekonomi ini sama-sama berada di bawah Dewan Perencanaan Sentral atau JUCEPLAN. Selain itu, meskipun sedikit yang turut serta secara langsung dalam debat, tetapi peristiwa ini menjadi pemicu para pejabat negara serta masyarakat umum untuk turut serta mempelajari secara lebih serius teks-teks ekonomi-politik Marxisme.[1]
Kebijakan Sosialis Che
Setelah pembahasan tentang Debat Akbar di bab tiga buku ini, bab-bab selanjutnya (bab empat hingga delapan) membahas kebijakan Kuba dalam beberapa aspek. Pada bab empat misalnya, difokuskan pada pembahasan tentang pendidikan, pelatihan, dan pengupahan. Sementara pada bab lima dan enam membahas tentang kontrol administrasi serta kolektivisasi produksi dan partisipasi buruh. Kemudian bab tujuh dan delapan difokuskan pada pembahasan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi serta psikologi dan kesadaran.
Dalam bab-bab lanjutan tersebut, terlihat jelas bahwa apa yang dilakukan Che tidak semata memperbesar produktivitas, tetapi juga membangun manusia Kuba itu sendiri, sesuatu yang telah ia tekankan sejak Debat Akbar. Bahkan, dapat dikatakan sentralisasi kebijakan saat itu terletak pada pembangunan kesadaran manusia.
Dalam kapitalisme, kesadaran manusia ditandai dengan alienasi dan antagonisme. Kedua bentuk kesadaran inilah yang coba Che ubah dalam berbagai kebijakannya. Pembangunan kesadaran ini terlihat, misalnya, pada beberapa masalah terkait perburuhan. Apa yang dilakukan Che tidak lain adalah menguji cobakan kebijakan swamanajemen yang menurutnya vital bagi transisi menuju sosialisme, dan dari sosialisme ke komunisme. Melalui apa yang dinamakan Majelis Produksi, yaitu momen pertemuan antara semua buruh, teknisi, hingga administrator, Che berusaha membuat seluruh buruh terintegrasi ke dalam manajemen produksi. Dalam majelis tersebut, semua masalah dan keputusan-keputusan penting diselesaikan bersama melalui prinsip sentralisme demokrasi. Implikasinya jelas, alienasi terhadap produksi perlahan hilang, buruh pun mulai merasa memiliki produksinya sendiri.
Dalam hal ini, bukan berarti tidak ada hambatan sama sekali. Salah satu masalah yang cukup pelik adalah serikat-serikat buruh yang, menurut Che, masih berwatak ekonomistik yang terwariskan dari rezim yang lama. Dalam arti, serikat-serikat buruh ini masih menempatkan diri sebagai organ konfrontasi terhadap negara. Saat revolusi berlangsung misalnya, serikat buruh masih menuntut kenaikan upah yang biasa mereka tuntut kepada negara kapitalis. Menurut Che, ini tidak tepat. Dalam negara sosialis, serikat buruh harus menempatkan diri sebagai bagian dari pemilik kolektif negara yang bersama-sama dengan masyarakat umum memajukan negara itu sendiri. Mengatasi hal tersebut, Che intensif berkomunikasi dengan pekerja, manajemen pabrik pun dibuka setransparan mungkin agar buruh mengetahui kondisi tempat kerjanya sendiri.
Ini juga berkaitan dengan kesadaran masyarakat Kuba secara umum. Dalam masa-masa awal revolusi, terlihat jelas bagaimana kesadaran masyarakat Kuba tidak lain masihlah merupakan kesadaran yang terwariskan dari rezim lama, yaitu, sebagaimana telah disebutkan di muka, ditandai dengan alienasi dan antagonisme. Menurut Che, tantangan Kuba saat itu adalah bagaimana mengganti alienasi dan antagonisme tersebut dengan integrasi dan solidaritas. Dalam hal ini, konsep emulasi sosialis dan kerja sukarela menjadi tulang punggung peningkatan kesadaran sambil di sisi lain juga tetap meningkatkan produktivitas.
Pada dasarnya, emulasi sosial merupakan pelembagaan terhadap konsep insentif moral yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun emulasi sosialis sendiri adalah persaingan persahabatan antar pekerja sektor produktif, baik sebagai individu atau kolektif (hlm. 357). Jadi, dengan emulasi sosialis ini, pekerja atau kolektif yang berhasil mencapai target produksi, akan diberikan sejumlah insentif material dan setengahnya lagi insentif moral. Insentif material misalnya berbentuk upah atau paket vakansi ke negara Eropa Timur, sementara insentif moral misalnya penganugerahan pada upacara-upacara khusus. Pada 1965, perlahan insentif material dihapuskan dan sepenuhnya diganti dengan insentif moral.
Sementara itu, konsep kerja sukarela adalah jawaban Che atas mendesaknya kebutuhan untuk membuat proyek-proyek sosial sementara uang yang tersedia untuk membayar pekerja sangat terbatas. Awalnya, kerja sukarela ini adalah hasil konsultasi antara Che dengan Asosialis Pemuda Pemberontak (cikal bakal Serikat Komunis Muda). Mereka menyarankan menggunakan kerja sosial untuk membangun jalan, rumah sakit, dan perumahan. Setelah itu, konsep ini juga diterapkan pada sektor agraria dan produksi industri. Awalnya, pada 1963, Che dan beberapa pegawai kementerian di MININD berkomitmen untuk mengerjakan kerja sukarela minimal 80 jam kerja dalam enam bulan. Jumlah ini berlipat ganda setelah secara konsisten dilakukan.
Sekilas, kerja sukarela ini nampak seperti sebuah eksploitasi dalam bentuknya yang lain. Tetapi, hal ini disanggah oleh Borrego Diaz, salah satu penasehat Che. Menurutnya, Kerja sukarela di bawah sosialisme adalah untuk manfaat sosial dan kolektif. Che juga mengatakan bahwa kerja sukarela adalah salah satu aspek untuk merontokkan hukum nilai karena ia mendekomodifikasi tenaga kerja, yang mana ia memiliki fungsi pendidikan politik yang bermanfaat untuk mempercepat jalan menuju Komunisme (hlm. 372). Kerja tanpa kewajiban finansial dan kompensasi ini, tidak lain sejalan dengan visi masyarakat Komunis yang menempatkan kerja sebagai sebuah kewajiban sosial tanpa paksaan sama sekali melainkan berasal dari kesadaran masing-masing individu. Tentu, Che sendiri melakukan kerja sukarela ini. Ia, misalnya, turut serta dengan buruh biasa memotong tebu disaat panen tiba.
Manfaat kerja sukarela ini juga terasa melalui semakin hilangnya jarak antara pekerja fisik dengan pekerja intelektual. Sebabnya, kerja sukarela ini bukan hanya untuk buruh biasa, melainkan juga para administrator yang tidak terbiasa dengan kerja-kerja fisik. Dengan kerja sukarela ini, para administrator mengerti bagaimana masalah riil dalam proses produksi dan paham bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut bukan melalui dokumen dan statistik semata, melainkan melalui pengamatan dan interaksi langsung di lapangan.
Dalam hal ini, lagi-lagi Che berbeda pandangan dengan Uni Soviet. Di negara kiblat Komunisme tersebut, persoalan kesadaran di kesampingkan dan dianggap akan terpecahkan secara mekanis setelah daya produksi dan standar hidup material meningkat. Che tidak sependapat dengan itu. Menurutnya, mengubah kesadaran masyarakat haruslah dicakupkan ke dalam transisi sosialis pada tahap paling awal. Kesadaran adalah persoalan proses dialektis. Ia akan maju seiring dengan pengalaman perubahan material, tetapi juga menjadi katalisator perubahan material itu sendiri.
Apa yang dibahas dalam subbab ini tidak mencakup seluruh kebiajakan yang pernah diaplikasikan di MININD. Di luar yang telah di bahas, masih banyak hal-hal yang yang dilakukan Che. Ia, misalnya, membuat banyak lembaga baru untuk menjawab persoalan konkret yang ada di negara tersebut. Salah satu di antaranya adalah Institut Riset Mineral dan Metalurgi Kuba (ICIMM) yang dibuat untuk menjawab ketiadaan tenaga-tenaga ahli untuk mengolah sumber daya mineral dan metalurgi yang sangat potensial disana. Che bahkan mengalokasikan 53,2 persen angggaran kementeriannya untuk keperluan riset, bukti konkret bagaimana ia sangat fokus pada pengembangan sumber daya manusia Kuba agar terus mampu merealisasikan pembangunan sosialisme di tengah segala keterbatasan yang ada.
Kuba Pasca Che dan Tantangan Dewasa Ini
Banyak hal terjadi pasca Che meninggalkan Kuba untuk melanjutkan jalan revolusi gerilyanya ke berbagai negara Amerika Latin. Dalam bab terakhir buku ini, dijelaskan bagaimana sejarah ekonomi Kuba terangkum dengan konsep pendulum Guevarista yang digambarkan dengan pendulum yang berayun antara yang dikehendaki dan yang diperlukan. Ketika pendulum berayun mendekat, artinya kebijakan ekonomi sejalan dengan apa yang dicita-citakan Che, begitu pula sebaliknya. Pada 1970an misalnya, ekonomi Kuba makin terpengaruh oleh nasihat-nasihat pakar ekonomi dari Soviet yang taat menjalankan sistem AFS yang ditentang Che habis-habisan. Badan Usaha saat itu misalnya, memiliki otonomi finansial dan berdagang secara komersil di antara mereka sendiri dengan dasar untung-rugi.
Dapat dikatakan, sejak ditinggal Che, secara umum Kuba menjadi masyarakat yang lebih egaliter, dengan koefisien gini mencapai 0,24 pada paro 1980an.[2] Jumlah tersebut bersamaan dengan meningkatnya kesadaran nasionalis dan anti-imperialis yang menjadi basis yang kuat bagi pemerintah untuk menjalankan tiap kebijakannya. Sebelum Uni Soviet runtuh, Kuba mampu memberikan perlindungan sosial minimal bagi masyakaratnya seperti pendidikan dan kesehatan, meskipun terdapat beberapa hal yang masih sangat kurang seperti perumahan layak dan barang-barang konsumsi. Perlindungan sosial ini sebagian besar didapatkan melalui transaksi ekonomi Kuba dengan Soviet sejak tahun-tahun pertama revolusi.
Tetapi, setelah blok Soviet kolaps, Kuba mengalami krisis ekonomi, dan dampaknya bahkan terasa hingga hari ini. PDB negara tersebut turun drastis hingga 35 persen, masyarakat kekurangan gizi serius dan memicu wabah penyakit, upah riil di sektor publik turun drastis. Bahkan, hingga akhir 2013, upah riil hanya mencapai angka 27 persen dari yang didapat pada tahun 1989. Lebih penting dari itu semua, sejak seperempat abad jatuhnya Uni Soviet, dukungan dari masyarakat Kuba terhadap pemerintahnya sendiri cukup merosot, khususnya di kalangan anak muda.[3] Ini tidak berarti adanya keberanian untuk menentang pemerintah secara terbuka dan kolektif, melainkan dengan cara individual seperti pergi ke tempat lain yang dianggap lebih baik secara ekonomi dan politik, dimana salah satu negara yang paling sering dijadikan tempat pelarian adalah AS.
Perkembangan terkini dari negara tersebut, sebagaimana kita semua tahu, adalah terjalinnya kembali hubungan diplomatik secara penuh dengan AS pada 20 Juli lalu. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, kedua negara ini akan membuka kembali kedutaan masing-masing.[4] Apa masa depan yang menanti Kuba setelah adanya kesepakatan ini?
Samuel Farber memprediksi bahwa akhir dari blokade AS ini salah satu akibat paling jelasnya adalah akan semakin lemahnya dukungan bagi Raul Castro sehingga memudahkan perlawanan dan perumusan politik alternatif terhadap kekuasaannya.[5] Meskipun begitu, Farber juga mengatakan bahwa belum tentu Kuba akan masuk kedalam dominasi ekonomi AS. Yang terjadi justru bisa sebaliknya. Dengan berakhirnya generasi revolusioner yang dipimpin oleh Che dan Castro, lanskap politik akan cepat berubah dengan lahirnya kekuatan Kiri baru di Kuba yang akan resisten terhadap agenda liberalisasi ekonomi, tetapi sekaligus juga mengoreksi kesalahan-kesalahan dari rezim lama.
Pelajaran untuk Kita
Buku ini sangat penting, bukan hanya untuk intelektual Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya. Mengapa demikian? Sebab, buku ini dengan benderang menjelaskan berbagai kebijakan di Kuba di bawah komando Che Guevara yang menempatkan perkembangan asasi manusia sebagai pusatnya. Membaca buku ini membuat kita berefleksi atas apa yang kita rasakan sebagai Warga Negara yang semakin lama semakin dicerabut hak-haknya sekaligus memperlihatkan dengan gamblang bahwa dunia yang lain itu mungkin. Melalui buku ini, misalnya, kita tahu ada relasi yang lebih manusiawi di dalam pabrik, yang menempatkan buruh bukan semata sebagai alat produksi. Kita juga tahu bahwa pendidikan dan kesehatan yang terjangkau, bahkan gratis untuk seluruh rakyat itu mungkin terealisasikan.
Selain itu, bagi gerakan Kiri dimanapun, buku ini segera mengingatkan bahwa ada tugas yang maha berat setelah dikuasainya negara, yaitu mewujudkan masyarakat yang egaliter. Dalam hal ini, jargon propaganda sebelum mengambil alih negara dari tangan borjuis harus ditransformasikan menjadi sebentuk kebijakan yang, tentu saja, perumusannya memerlukan kerja otak yang lebih banyak. Selain itu, berbeda dengan jargon, perumusan kebijakan sosialis tidak bisa direpetisi dari teks-teks klasik Marxisme, ia harus berangkat dari masalah dan batasan-batasan di dunia objektif dimana kebijakan tersebut coba direalisasikan. Jadi, meskipun dalam buku ini terdapat narasi detail tentang kebijakan-kebijakan Che beserta tantangan dan hambatannya, hal tersebut tidak serta merta dapat di-copy-paste di tempat lain. Kuba punya kekhasan sendiri, begitu pula dengan negara-negara lain.
Kalaupun ada yang kurang dari buku ini, adalah tidak lengkapnya statistik yang menunjukkan berapa pengeluaran dan pendapatan Kuba (atau sejenisnya) setelah revolusi hingga saat ini. Hal ini penting, sebab meskipun di buku ini dijelaskan bagaimana Che dan pejabat Kuba pada umumnya menyelesaikan masalah, tetap saja perlu data-data kuantitatif tambahan untuk melengkapi gambaran pembaca terhadap kondisi Kuba agar lebih menyeluruh.
http://indoprogress.com/2015/07/gerilyawan-di-balik-meja-che-guevara-sebagai-peletak-fondasi-ekonomi-kuba/?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork
Daftar Referensi
Farber, Samuel. Cuba’s Challenge. [internet]. Diakses dari https://www.jacobinmag.com/2015/06/cuban-revolution-fidel-che-raul-castro/ pada 28 Juli 2015
Samuel Farber. The Alternative in Cuba. [internet]. Diakses dari https://www.jacobinmag.com/2014/12/cuba-castro-obama-embargo/ pada 28 Juli 2015
Marx, Karl. Capital I (ebook). Moscow: Progress Publisher, 1887.
[1] Dalam buku ini diilustrasikan bagaimana buruh-buruh biasa menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca teks-teks Marxisme. Setelah merasa menemukan jawaban atas salah satu tema Debat Akbar, mereka pun berdebat satu sama lain. Tentu, dengan nuansa penuh solidaritas.
[2] Samuel Farber. Cuba’s Challenge. [internet]. Diakses dari https://www.jacobinmag.com/2015/06/cuban-revolution-fidel-che-raul-castro/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar