Menurut Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari kata “sayut” yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam bukunya Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater Dwi Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan sebagainya.
Kulit sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit sesayut terdapat isehan. Ada dua jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian plaus yang kedua tangkihnya digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan. Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan potongan jejahitan sebanyak 8 buah.
Dalam banten sesayut banyak terdapat jenis yang digunakan dalam upacara, terutama dalam Panca Yadnya. Jenis-jenis sesayut yang digunakan disesuaikan dengan fungsi dan maknanya masing-masing. Adapun yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Sesayut Sidha Karya dan Sesayut Sidha Purna.
Sesayut Sidha Karya
Seperti yang telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu mahasiswa IHDN Kampus Singaraja. Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya memang digunakan dalam Panca Yadnya seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih, Mlaspas, Ngaben, Topeng Sida Karya dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’ berarti puput, dan ‘karya’ berarti yadnya. Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut, maka dikatakan suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini dapat dikatakan sebagai pemuput dalam suatu rangkaian upacara yajna.
Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut (2006; 3) menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara Mahesora dimana untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah ‘kelod-kangin’ (tenggara). Hal senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam bukunya Warnaning Sesayut Lan Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Bhatara Mahesora.
Ini adalah salah satu Cara pembuatan Sesayut Sidha Karya yang terdapat dalam buku Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Niken Tambang Raras (2006; 194).
Alat dan Bahan:
- Kulit Sesayut
- Segehan bentuk segi empat
- Tumpeng kecil
- 4 buah kwangen
- 2 buah tulung berisi nasi
- Raka-raka (jajan-jajan dan buah-buahan)
- Daun sirih dan pinang
- Sampian Sesayut
Cara Menatanya:
Kulit sesayut diletakkan di atas nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan ditengah-tengah segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka (buah dan jajan) serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
Sesayut Sidha Purna
Sesayut Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya. Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida Hyang Widi agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan bencana.. Banten ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas pelangkiran rumah (Raras, 2006: 196). Banten Sesayut Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa Yadnya baik itu pada saat otonan, mesangih dan yang lainnya. (Jro Anom).
Cara Pembuatan
Alat dan Bahan:
- Kulit Sesayut
- nasi 3 bulung
- telur itik rebus dibagi 3
- bunga tunjung
- raka-raka (buah dan jajan)
- sampian nagasari
Cara menatanya:
Untuk alasnya bisa digunakan nampan atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya diisi telur itik yang dibagi 3. Di atas nasi ditancapi bunga tunjung, disampingnya diisi raka-raka (bunga dan buah) dan terakhir disusun dengan sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006; 196
Adapun beberapa makna yang terkandung di dalam komponen sesayut sidha karya dan sesayut sidha purna meliputi:
a. tetebasan atau kulit sesayut lambang kesungguhan hati dalam mempersembahkan yadnya.
b. segehan, simbol Sang Hyang Panca Dewata
Segehan pun dibuat harus berdasarkan tattwa, dengan nasi yang berwarna seperti halnya dengan canang. Nasi pada segehan untuk yang dihaturkan di dalam lingkungan rumah seharusnya di kepel (di padatkan dengan kepalan tangan) sebagai simbol keteguhan dan kesatuan, agar keluarga dalam rumah tinggal dianugerahkan kedamaian, keteguhan dan kerukunan.
- Arah Timur, warna nasi adalah putih.
- Arah Selatan, warna nasi adalah merah. Dapat menggunakan nasi dari beras merah atau diwarnai dengan warna alami seperti pamor (kapur) dan sirih.
- Arah Barat, warna nasi adalah kuning. Dapat diwarnai dengan kunyit.
- Arah Utara, warna nasi adalah hitam. Dapat diwarnai dengan arang atau kopi.
Di dalam segehan, selain nasi kepel juga berisi :
• Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
• Bunga,.
• Garam sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
• Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan.
• Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan.
Garam, bawang dan jahe adalah simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya.
c. kwangen, merupakan symbol dari Ongkara, yaitu kojong adalam simbol ‘angka tiga’, potongan bagian atas yang lonjong adalah merupakan simbol “ardha candra”, uang yang bentuknya bulat adalah simbol “windu”, sedangkan cili, bunga serta daun-daunan/plawa adalah simbul “nada”.
d. raka (jajan dan buah), melambangkan hasil bumi
e. porosan, melambangkan Tri Murthi
f. bunga, sebagai symbol kesucian hati
Tebasan sidhapurna
2 tumpeng sidhapurna, 2 tumpeng sodan, 1 kwangen
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar