KREMATORIUM: Kondisi di areal Krematorium Desa Adat Buleleng saat difoto beberapa waktu lalu. Kelian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna. (Putu Mardika/Bali Express)
Krematorium di Desa Adat Buleleng kini resmi sudah beroperasi. Sejak diresmikan pada awal Januari 2021 lalu, krematorium ini sudah melayani hampir 27 umat yang keluarganya meninggal. Krama pun bisa menggunakan untuk upacara Pangabenan dengan biaya yang terjangkau.
Krematorium yang berlokasi di areal setra sebelah timur laut, Kelurahan Kendran ini, sudah tertata rapi. Kebersihannya pun sangat terjaga. Areal taman juga sudah ditanami tanaman hias. Sehingga jauh dari kesan angker, seperti setra pada umumnya.
Kelian Adat Buleleng Jro Nyoman Sutrisna mengatakan, Desa Adat Buleleng terdiri dari 14 banjar adat yang tersebar di 10 kelurahan. Kramanya 7 ribu kepala keluarga (KK).
Baca juga: Sekeluarga Terjun ke Sungai, Pengendara Hilang, 1 Tewas, Anak Selamat
Dari 14 banjar adat itu, Desa Adat Buleleng memiliki tiga setra, yakni Setra Kayu Buntil, Setra Kelurahan Banjar Tegal, dan Setra Kelurahan Kendran. Khusus setra adat yang berlokasi di Kelurahan Kendran luasnya mencapai 1,9 hektare. Dari jumlah itu dibagi menjadi 14 wawidangan sesuai dengan jumlah banjar adat.
Dijelaskan Jro Sutrisna, khusus di Setra Adat Buleleng, pembangunan krematorium merupakan program jangka menengah yang dirancang prajuru adat. Tentu saja, pembangunan ini diakuinya atas seizin krama Desa Adat Buleleng.
“Prajuru desa adat memiliki program kerja. Yakni jangka pendek, jangka menengah dan panjang. Kalau jangka panjang adalah Ngaben Massal. Sedangkan jangka menengah adalah penataan setra, termasuk pembangunan krematorium,” jelas Sutrisna.
Krematorium yang dibangun ini menelan biaya sebesar Rp 1,2 miliar. Dana itu bersumber dari krama sebesar Rp 700 juta. Sisanya dibantu dari Dana BKK Provinsi Bali tahun 2020 sebesar Rp 500 juta.
Disinggung terkait pengelolaannya, Sutrisna menyebut, krematorium ini dikelola Suka Duka Pura Dalem. Biaya yang dipatok pun tergolong terjangkau bagi krama.
Menariknya, krematorium ini tidak hanya diperuntukkan bagi krama Desa Adat Buleleng saja. Tetapi juga dari luar desa adat, baik di Kabupaten Buleleng, luar Buleleng, bahkan luar Provinsi Bali.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Hal itu diakuinya sudah sesuai dengan Perarem Desa Adat Buleleng. “Apabila dari desa adat kami yang melaksanakan upacara Makinsan di Gni di setra, akan dikenakan punia hanya Rp 1 juta. Kemudian kalau krama di luar desa adat, namun masih berasal dari Kabupaten Buleleng atau masih berada di Bali, maka dikenakan biaya Rp 1,5 juta. Tetapi kalau ada yang di luar Bali dikenakan Rp 3 juta,” imbuhnya.
Besaran biaya krematorium ini beragam sesuai jenjang yang diinginkan. Seperti upacara Makinsan di Gni, Ngaben Alit, Ngaben Madya sampai Nyekah, mulai dari Rp 6 juta, Rp 7,5 juta, Rp 17 juta hingga Rp 35 juta. Bantennya pun sudah komplit.
Pengelola krematorium juga menyiapkan sedikitnya 13 sulinggih/sadaka. Krama bisa memilih sesuai keinginan siapa yang akan muput upacaranya.
Di krematorium ini juga bisa dilakukan prosesi upacara Mabersih. Semunya bisa dilaksanakan di setra. Sampai Ngaskara pun, sebut Sutrisna, bisa dilaksanakan di Setra Desa Adat Buleleng, sesuai dengan banten yang dipilih.
“Besaran biaya itu mulai dari Ngaben Alit Rp 6 juta sampai Rp 7,5 juta. Sedangkan Ngaben Madya itu sampai Rp 35 juta sampai Majar-ajar. Bahkan itu sudah termasuk penjemputan jenazah menggunakan ambulans secara gratis jika jaraknya masih 5 kilometer. Tapi jika jaraknya lebih dari 5 kilometer akan dikenakan biaya,” bebernya.
Lalu, apakah yang menggelar upacara atiwa-tiwa seperti Makinsan di Gni hingga Pangabenan di Krematorium Desa Adat Buleleng tetap mengacu pada ala ayuning dewasa? Dikatakan Sutrisna dalam Perarem Desa Adat Buleleng sudah diatur terkait padewasan upacara Atiwa-tiwa.
Seperti Awig-awig nomor 1 Tahun 2013 pasal 75. Dimana pasal (1) berbunyi larangan Atiwa-tiwa, seperti Pangabenan, Penguburan, Makinsan di Gni. “Bilamana harinya pasah, semut sedulur berturut-turut, kala gotongan, purnama tilem, odalan di kahyangan tiga, hari-hari besar, Panyepian, Melasti, maka bakal dilarang. Tetapi di pasal 75 larangan itu ada pengecualian seperti ada gering agung seperti Covid-19 hingga penyakit menular lainnya,” jelasnya.
Kendati krematorium sudah beroperasi, namun petunon lama, sebut Sutrisna, akan tetap dioperasikan. Krama pun bisa memilih. Biaya kompor mayat disewakan sebesar Rp 850 ribu untuk krama setempat. Sedangkan bagi krama luar dikenakan biaya Rp 1,5 juta saja. “Kalau menggunakan petunon lama, masyarakat menanggung banten sendiri,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar