Jumat, 12 Maret 2021

Pemuja dewa akan pergi ke alam dewa; pemuja leluhur akan pergi ke alam leluhur




 Ada 1 rujukan sloka Bhagavad Gītā (9.25) yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat.

— Pemuja dewa akan pergi ke alam dewa; pemuja leluhur akan pergi ke alam leluhur; pemuja roh halus akan pergi ke alam bhūta; pemuja-Ku akan datang kepada-Ku.
Apakah ini bertentangan dengan Viṣṇu Dharmaśāstra (59.20)?
— Manusia harus melakukan 5 jenis pengurbanan suci dalam hidupnya: kepada guru (ṛṣi-yajñaṃ); dewa (deva-yajñaṃ); bhūta (bhūta-yajñaṃ); leluhur (pitṛya-yajñaṃ); & manusia (maṇusyāḥ-yajñaṃ).
Baik Bhagavad Gītā & Viṣṇu Dharmaśāstra keduanya disabdakan oleh 1 Īśvara yang sama, Viṣṇu. Lalu, mengapa terkesan saling bertolak belakang?
Tuhan adalah Parāma Ātmā (Roh Utama) yang bersemayam di batin para dewa (devāḥ-pitaraḥ), leluhur (manuṣyāḥ-pitaraḥ), hantu (devaḥ-bhūta), sesuhunan (devatā-pratimā) & di semua makhluk hidup (pasu). Bhagavad Gītā (9.16/23-24):


— Akulah ritual, Akulah kurban suci, persembahan kepada leluhur. Bahkan ia yang memuja dewa lain dengan penuh keyakinan—sebenarnya hanya memuja-Ku (karena Aku bersemayam di batin mereka). Satu-satunya aku yang menikmati & menguasai segala kurban suci.
Dengan demikian, menyembah dewa/leluhur—pada akhirnya juga menyembah Tuhan dengan mentalitas kesadaran kita bahwa Tuhan adalah Antaryāmin Ātmā yang bersemayam di batin mereka. Selaras dengan pernyataan Gong Besi (3a):— Pada Rong Telu, Aku adalah Sang Hyang Tunggal bergelar Sang Hyang Ātmā.
Mayaiva vihitān hi tān—"Sebenarnya hanya Aku Sendiri yang menganugerahkan berkah-berkah itu melalui perantara mereka." (Bhagavad Gītā 7.22)
Sebagai wujud sikap kerendahan hati umat manusia (tat-tvam-asi), menghormati dewa, bhūta, & leluhur dilakukan secara proporsional karena upāyatya, Tuhan adalah penghuni batin kepribadian-kepribadian agung tersebut. Menghormati leluhur tetapi melupakan Sang Pencipta justru akan mengarah sikap anti-theis. Mānava-Dharmaśāstra (3.205)⁣⁣:
— Hendaknya kau melakukan sembah bhakti kepada leluhur terlebih dahulu & berakhir dengan sembah bhakti kepada para dewa hingga memuncak kepada Tuhan Yang Maha Esa (pendakian spritual dari yang terendah ke yang lebih tinggi). Janganlah kau memulai & mengakhiri dengan upacara leluhur saja.
𝗝𝗮𝗱𝗶 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗗𝗵𝗮𝗿𝗺𝗮𝘀𝗮𝘀𝘁𝗿𝗮 𝗵𝗮𝗿𝗺𝗼𝗻𝗶 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗹𝗮𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮?
Tidak ada kontradiksi antara Bhagavad Gītā (mokṣa-śāstra) dengan Viṣṇu Dharmaśāstra (aturan perilaku hidup sehari-hari). Gītā adalah pengetahuan hakikat (tattwa-jñāna), sedangkan Dharmaśāstra adalah pengetahuan terapannya (vijñāna).
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗶𝗺𝗽𝗹𝗶𝗺𝗲𝗻𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗱𝗶 𝗕𝗮𝗹𝗶?
Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memperkenalkan konsep kesatuan Tuhan (advaita-vāda) melalui kerangka Tripuruṣa & altar pemujaan Padmāsana, tetapi beliau tidak menggusur praktek ajaran Bali kuno yang sudah eksis sebelumnya (paham Trimūrti & penghormatan leluhur). Melalui tutur Gong Besi-nya, secara eksplisit menegaskan Sang Hyang Tunggal berganti nama ketika Beliau berpindah tempat.


Ketika beristana Pura Dalem, Tuhan bergelar Ida Bhaṭāra Dalem. Hengkang dari Pura Dalem, lalu beristana di Pura Puseh bergelar Sang Hyang Triodasa Sakti. Di Pura Deśa bergelar Sang Hyang Tri Upasedhana. Di Catus Pata (perempatan agung) bergelar Sang Hyang Catur Buana. Di pertigaan jalan bergelar Sang Hyang Sapuh Jagat. Di Rong Tiga, kiri (Tuhan yang bersemayam di batin leluhur laki-laki) bergelar Sang Hyang Parātmā, kanan (Tuhan yang bersemayam di batin leluhur perempuan) bergelar Sang Hyang Siwatma, & ditengah (yang bersemayam di batin diri kita) bergelar Sang Hyang Ātmā.
𝗝𝗮𝗱𝗶 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝗵𝗮𝘁𝗶-𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮?
Bhagavad Gītā tidak dapat dipahami hanya dengan mencomot 1 śloka atau menerima/menolak Gītā berdasarkan selera (sentimen pribadi). Kesalahan tafsir pada Gītā dapat menjerumus pada doṣa atau pelanggaran berat yang disebut Aparādha.
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗮𝗹𝗶𝗿𝗮𝗻-𝗮𝗹𝗶𝗿𝗮𝗻 𝗛𝗶𝗻𝗱𝘂 𝗺𝗲𝗺𝗮𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮?
Siapapun yang mengklaim dirinya sebagai Vedāntīn, maka ajarannya tidak pernah lepas dari Praṣṭana-trayā yaitu kitab-kitab Upaniṣad, Bhagavad-gītā, & Brahma-sūtra. Apapun sekolah Vedānta / alirannya selalu ada bhāṣya (ulasan) tentang Bhagavad-gītā & Brahma-Sūtra, seperti halnya gula tidak dapat dipisahkan dari rasa manisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar