Senin, 05 April 2021

Fungsi dan Makna Guwungan Bagi Umat Hindu di Bali




Simbol Bayu Sabda Idep dan Sad Ripu



MATEBUS: Guwungan digunakan dalam upacara matebus. Yang bersangkutan akan ditutup dan diberikan panglukatan serta sesajen lainnya. (SURPA ADISASTRA/BALI EXPRESS)





Sangkar ayam atau yang dalam Bahasa Bali disebut dengan nama guwungan merupakan salah satu benda yang akrab dengan kehidupan masyarakat Pulau Dewata. Sangkar ayam yang terbuat dari bambu dengan bentuk dan anyaman yang khas bisa ditemui hampir di setiap rumah di desa-desa. Selain digunakan untuk mengurung ayam aduan, guwungan juga menjadi salah satu perlengkapan ritual.


Guwungan biasa digunakan dalam ritual, di antaranya mengubur ari-ari, abulan pitung dina (satu bulan tujuh hari), dan matebus. Saat ritual menguburkan ari-ari di pekarangan, guwungan digunakan sebagai penutup ari-ari yang telah dikubur dengan beberapa sesajen dan perlengkapan lainnya.



Setelah dikubur, di atas gundukan tanah ari-ari tersebut diletakkan batu hitam dan lampu dari minyak kelapa. Biasanya diisi juga brotowali dan pandan berduri. Semuanya kemudian ditutup dengan guwungan. Tentunya guwungan yang digunakan adalah guwungan yang belum pernah digunakan atau sukla.

Baca juga: Ini Tujuan Pemujaan Saat Purnama-Tilem, Salah Satunya Melebur Mala




Sementara itu, dalam upacara satu bulan tujuh hari dan matebusan, guwungan biasanya digunakan untuk menutup si bayi atau orang yang mengikuti prosesi panebusan. Setelah ditutup, biasanya diperciki tirta panglukatan dan beberapa runtutan sesajen lainnya. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang penasaran tentang fungsi dan makna guwungan tersebut. Di satu sisi, guwungan digunakan sebagai sangkar ayam, sedangkan di sisi lainnya sebagai peralatan ritual.

Direktur Pasca Sarjana IHDN Denpasar, Dr. Drs. I Ketut Sumadi, M.Par kepada Bali Express (Jawa Pos Group) beberapa waktu lalu mengatakan, keberadaan guwungan akrab dengan kehidupan masyarakat Bali secara tradisional. Demikian pula beberapa ritual seperti di atas juga melibatkan guwungan sebagai sebuah alat upacara. Ia mengatakan guwungan merupakan sebuah simbol. Dalam upacara abulan pitung dina dan matebusan, dikatakannya guwungan secara keseluruhan adalah simbol dari kandungan seorang ibu.

"Guwungan dalam proses ritual tersebut merupakan simbol kandungan seorang ibu. Di dalam kandungan tersebutlah tumbuh kehidupan baru yang disebut dengan jabang bayi," ungkapnya.

Oleh karena itu, ketika seseorang ditutup dengan guwungan, secara simbolis ia diberikan berbagai bentuk ruwatan sehingga secara magis yang bersangkutan memperoleh kebersihan jiwa dan fisik. Ia dikurung dengan guwungan yang bermakna agar yang bersangkutan menyadari dirinya lahir sebagai manusia selain memiliki berbagai kelebihan, juga memiliki tanggung jawab untuk mengekang berbagai pengaruh buruk yang ada di dalam dirinya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Setelah prosesi terlewati, guwungan tersebut kemudian dibuka sehingga yang bersangkutan kembali bebas. "Awalnya di dalam kandungan, ketika guwungan dibuka, ia kemudian keluar ke dunia yang baru," jelasnya.

"Dengan prosesi ritual itu, dia lahir kembali lewat pembersihan. Lahir kembali dengan fisik dan jiwa yang bersih," tambahnya.

Selanjutnya, Sumadi menerangkan, jika dibahas secara parsial, guwungan bisa dimaknai dari beberapa segi. Pertama, guwungan berbahan bambu dan rotan. Bambu, sebagaimana diketahui dipercaya oleh orang Bali memiliki sisi magis sehingga disucikan. Namun demikian, dari segi filosofi, dijelaskannya, bambu adalah perlambang bayu (tenaga), sabda (suara), dan idep (pikiran). Dari segi bayu, bambu meskipun memiliki rongga di dalamnya, namun kekuatannya luar biasa dan memiliki tingkat kelenturan tertentu. Sebagai manusia, hendaknya memiliki kekuatan dan keluwesan dalam menjalani hidup.

Selanjutnya, dari segi sabda, bambu jika digunakan sebagai alat musik atau kentungan akan menghasilkan suara yang merdu bila diraut dengan benar. Sebagai manusia, hendaknya memiliki kepandaian alam bertutur kata sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Seperti kata pepatah, lidah bisa lebih tajam dari pedang. Oleh karena itu, dengan bicara manusia bisa menemukan keselamatan atau celaka. Terakhir adalah idep. Di dalam bambu ada rongga yang berisi udara.

"Bambu itu seolah-olah kosong, tapi berisi. Manusia yang lahir itu kosong, melalui pendidikan dan pengalaman ia kemudian berisi," jelasnya.

Di samping itu, bambu juga memiliki sekat-sekat di batangnya atau biasa disebut dengan istilah buku-buku oleh masyarakat Bali. "Buku-buku itu merupakan simbol pengendalian diri," ungkapnya. Buku-buku tersebut tidak hanya satu, tapi banyak. Hal itu sebagai simbol tahapan yang ada dalam hidup. "Hidup itu terdiri dari berbagai tahapan. Salah satu contohnya adalah catur asrama. Hingga suatu saat ketika sudah di posisi puncak, ia merunduk. Namun demikian ia tetap berdiri kokoh," paparnya.

Sementara itu, rotan adalah salah satu jenis tumbuhan yang lentur namun alot. Ia lebih lentur dan alot daripada bambu. Sebagai manusia hendaknya tidak cukup berpuas dengan sebuah pencapaian sementara atau semu. Ketika sudah bisa selentur dan sekuat bambu, tetap meningkatkan kualitas diri seperti rotan. Namun demikian rotan tersebut mengelilingi anyaman bambu yang menyimbolkan bahwa meski sudah mencapai kualitas diri yang baik, tetap merangkul orang lain sehingga timbul persatuan yang kokoh. Dengan demikian, manusia yang memiliki kelebihan tidak boleh sombong, namun merangkul masyarakat dan membagi hal-hal yang bermanfaat guna persaudaraan dan kehidupan sosial yang lebih baik.



Tidak hanya itu, jika diperhatikan, anyaman bambu memiliki bentuk yang unik, yakni segi enam atau perpaduan dua buah segitiga yang menghadap ke atas dan ke bawah. "Lubang dari guwungan berbentuk segi enam sebagai simbol sad ripu atau enam musuh dalam diri manusia," ujarnya. Bagian-bagiannya adalah kama (nafsu), lobha (tamak/rakus), krodha (kemarahan), moha (kebingungan), mada (mabuk), dan matsarya (dengki/iri hati).

Jika ditambah datu lengkungan rotan di atasnya, maka bisa dimaknai sebagai Sapta Timira atau tujuh kegelapan dalam diri manusia. Bagian-bagiannya adalah surupa (mabuk atau sombong karena kecantikan atau ketampanan), dhana (mabuk karena harta), guna (mabuk karena merasa pintar), kulina (mabuk karena merasa keturunan ningrat atau bangsawan), yowana (mabuk karena masa muda), sura (mabuk karena minuman keras), kasuran (mabuk karena kekuatan). "Sifat-sifat ibilah yang harus dibersihkan dari dalam diri," tegasnya.

Sedangkan perpaduan antara dua segitiga yang menghadap ke atas dan ke bawah adalah simbol pertemuan purusha (unsur kejiwaan) dan pradana (unsur kebendaan) yang merupakan proses penciptaan. Dengan demikian, menurutnya juga berkaitan dengan guwungan sebagai simbol kandungan seorang ibu yang di dalamnya berisi benih kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar