Senin, 15 Maret 2021

Delapan Jenis Pernikahan, Dapatkan Anak Suputra






Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga (ISTIMEWA)





Anak Suputra bisa membuat orang tuanya bahagia di dunia dan akhirat. Namun, banyak orang tua cenderung lebih memperhatikan pendidikan tinggi yang diutamakan. Lantas, bagaimana bisa mendapatkan anak yang baik?


Anak Suputra adalah idaman setiap orang tua. Untuk mendapatkan anak baik yang berbakti itu, prosesnya sedari awal sebelum menikah. Sepasang kekasih yang hendak menikah harus mulai menjalani proses yang benar, jika ingin punya anak yang suputra.





Menurut Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga, 50, orang tua adalah Tuhan dalam dunia sekala (nyata). Ida Sang Hyang Widhi melalui orang tua menyebabkan adanya seorang anak. "Sama seperti penciptaan alam semesta, Tuhan tentu merancang dengan baik, sehingga alam ini bekerja dengan sistem yang sangat teratur walau kompleks sekali. Jadi, orang tua pun harus merencanakannya dengan matang," ujarnya saat ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) kemarin.


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI



Perkawinan salah satu tujuannya untuk mendaptkan seorang anak. Namun, umat Hindu harus memilah jenis perkawinan atau pernikahan mana yang bisa dilaksanakan, agar bisa mendapatkan anak yang Suputra. “Dalam Manawadharmasastra terdapat delapan jenis perkawinan. Sepasang calon mempelai bisa melihat mana kategori yang baik buat mereka,” tegasnya.


Delapan jenis perkawinan dalam Hindu adalah Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Arsa Wiwaha,
Prajapati Wiwaha, Asura Wiwaha, Gandharwa Wiwaha, Raksasa Wiwaha, Paisaca Wiwaha.
Brahma Wiwaha adalah perikahan dimana si wanita menikah dengan pria ahli Weda, sedangkan Daiwa Wiwaha, dimana orang tua menikahkan anaknya kepada pria yang sudah berjasa melaksanakan upacara yadnya ataupun jasa non material kepada si orang tua wanita itu. kemudian
Arsa Wiwaha adalah sebuah perkawinan yang dilakukan, dimana si pria memberikan sesuatu (material) kepada keluarga si wanita.


Selanjutnya, Prajapati Wiwaha adalah perkawinan yang dilakukan setelah orang tua si wanita berpesan dengan mantra (semoga kamu bisa melaksanakan kewajibanmu bersama). Berikutnya adalah Asura Wiwaha, yakni pernikahan dengan pria memberikan mas kawin sesuai kemampuannya dan oleh keinginannya sendiri alias tidak ada paksaan. Jenis berikutnya adalah Gandharwa Wiwaha, yakni sebuah perkawinan dengan dasar suka sama suka antara pria dan wanita. Ada juga Raksasa Wiwaha, pernikahan terjadi karena si pria menculik paksa si wanita. Kemudian Paisaca Wiwaha, yang berarti perkawinan dilakukan karena membuat bingung pasangan, contohnya dengan membuat dia 'mabuk'.


“Dari kedelapan itu, untuk masa sekarang yang paling bagus untuk kebanyakan orang, Arsa Wiwaha dan Asura Wiwaha. Kelemahan Arsa Wiwaha ini karena mas kawinnya bisa diluar kemampuan si pria, berbeda dengan Asura Wiwaha yang mas kawinnya sesuai kemampuan,” ungkapnya.


Jika sudah bisa memilih cara perkawinan yang baik, lanjutnya, maka proses mendapat anak suputra bisa dilanjutkan dengan mensahkan pernikahan. Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga memaparkan, di Bali sahnya perkawinan ada tiga, Manut Agama, yakni perkawinan dimulai dengan adanya upacara pernikahan seperti Makalan kalan. “Proses ini akan mensahkan secara niskala pernikahan mempelai,” terang sulinggih asal Griya Natar Agung, Banjar Laplap, Desa Penatih Dangin Puri, Denpasar.


Tahapan berikutnya adalah Manut Dresta, dimana mempelai dalam prosesi perkawinan akan mengundang pihak desa adat. Prajuru adat adalah orang yang tahu syarat dan aturan sahnya pernikahan secara adat. Terakhir adalah Manut Tata Suluh Hukum Panagara. Mempelai juga mengundang pihak dari kelian dinas di desanya, yang mengurus sahnya pernikahan di negara ini.

"Apabila syarat pernikahan sudah dipenuhi, maka sah pula pernikahannya di mata hukum.
Ingat juga persetujuan keluarga kedua belah pihak pun harus ada, agar perkawinan penuh keberkahan,” sambungnya.


Setelah sah, maka tahapan selanjutnya adalah membuat anak. Sebuah langkah, dimana nantinya sperma bertemu dengan sel telur sehingga terciptalah janin. “Jika sudah tebentuk janin, si jabang bayi mulai diupacarai dengan Magedong-gedongan,” urainya.


Kemudian prosesnya adalah ketika si bayi sudah lahir ke dunia. Dalam ajaran Hindu khusunya di Bali, ada berbagai upacara yang dilakukan. Mulai dari menanam ari-ari, kepus puser, ngalepas hawon (memberi nama pada usia 12 hari), tutug kambuan (usia 42 hari), tiga bulanan, otonan, dan lainnya. “Berbagai upacara ini dilakukan agar si anak kelak menjadi anak yang suputra melalui doa yang dipanjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,” terang Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga. Bayi yang sudah lahir diupacarai dan memanjatkan doa saja untuk mendapatkan anak yang Suputra, belumlah lengkap. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah pola asuhnya yang baik.





(bx/sue/yes/JPR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar