Jumat, 11 Juli 2025

Tradisi Matiti Suara



Pewarah-warah atau piteket-piteket pada saat Matiti Suara yang merupakan sabda dari Ida Bhatara yang berstana di Pura Ulun Danu Batur, antara lain sebagai berikut.
1) Jero krama desa lan umat Hindu pirengang becik-becik nggih: “Mule keliki mula biyu, mula abedik mupu liu, balik mesuryak”.
“Apa yang kita tanam, walaupun sedikit akan menghasilkan sesuatu yang lebih. Arti yang lebih luas, yaitu apa yang kita tanam atau persembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kemurahatian Beliau maka hasil yang kita dapat jauh lebih banyak dari apa yang kita harapkan, tentunya jika didasari atas sikap ketulusan hati”.
2) Jero krama desa lan umat Hindu pirengang becik-becik nggih: “baas barak baas putih, sane daak dadi sugih, balik mesuryak”.
“Orang yang kekurangan (miskin) akan menjadi berlebihan (kaya) atau dari keadaan tidak punya menjadi punya. Arti yang lebih luas, yaitu apabila manusia mau menjalankan sesuatu yang menjadi kewajiban kita di dunia dengan bekerja keras dan selalu berusaha maka hasil dari kerja keras karya sendiri itu akan didapatkan. Jika karena tidak ada hasil tanpa adanya perbuatan dan tidak ada orang yang memiliki segalanya tanpa bekerja keras”.
3) Jero krama desa lan umat Hindu pirengang becik-becik nggih: sampunang nganggen kriya upaya, dana upaya anggen, balik mesuryak”.
“Dalam berbuat sesuatu pakailah kemampuan yang dimiliki diri bukan mengandalkan kemampuan orang lain. Arti yang lebih luas, yaitu dalam hidup sebagai manusia tentu membutuhkan interaksi dan kerja sama dengan orang lain dan dalam situasi bekerjasama tersebut janganlah mengandalkan kemampuan orang lain untuk memenuhi segala keinginan, namun haruslah berusaha menggali kemampuan dari diri sendiri”.
--------- 🙏🕉🙏-------
Berkaitan dengan tradisi Matiti Suara ini, Jero Gede Batur Alitan pada tanggal 14 April 2014,16419 menceritakan secara singkat.
“Tradisi Matiti Suara dalam bhakti prapanian serangkaian upacara Ngusaba Kedasa di desa Pakraman Batur sampai saat ini tidak diketahui secara jelas.
Latar belakang pelaksanaannya dari segi historis, sampai saat ini, belum ditemukan sumber-sumber tertulis mengenai sejarah ataupun catatan peristiwa peristiwa yang menjadi latar belakang pelaksanaan tradisi ini. Hal ini dikarenakan pada saat gunung Batur meletus, bukti-bukti sejarah hilang tertimbun material dari gunung Batur. Namun secara filosofis, pelaksanaan tradisi Matiti Suara dalam bhakti prapanian serangkaian upacara Ngusaba Kedasa di Pura Ulun Danu Batur merupakan suatu cara atau jalan keadaan luhur untuk mewujudkan kesejahteraan dunia beserta isinya. Wujud riil perilaku masyarakat Batur, dengan kesadaran yang tinggi melaksanakan amal pekerjaan secara tulus dan ikhlas.”
Jero Gede Batur Mekalihan (Duwuran dan Alitan), dalam laporan sebagai manggalaning (pemimpin) upacara, mengungkapkan tujuan diadakannya tradisi Matiti Suara untuk menjadikan jagat trepti (aman, tenang, damai, dan tentram).
Suasana trepti ini, tercermin dari makna hakiki wacana Matiti Suara, yaitu sabdha saking Ida Bathari sane malinggih ring Pura Ulun Danu Batur sane patut anggen dasar swardharmaning dharma agama kalihdharma negara sane patut kamarginin olih krama desa Batur kalih umat Hindu sareng sami (Sabda dari Ida Bathari yang ber-sthana di Pura Ulun Danu Batur yang patut dijadikan dasar keyakinan saat melakukan kewajiban agama dan negara bagi warga masyarakat desa pakraman Batur dan umat Hindu semuanya). Dalam sabdha Ida Bathari terkandung ajaran sakral agar umat sedharma selalu ingat lahir ke dunia selalu dan senantiasa berbuat atas landasan dharma, terlebih lagi agar berjanji kepada diri sendiri hanya akan memakai kemampuan yang ada di dalam diri untuk dapat menjalani kehidupan dengan baik.
Kata jadian Matiti Suara berasal dari bentuk frasa dasar titi suara, yang artinya pralambang sabda suci jembatan emas untuk mematuhi perintah gaib dari Ida Bhatari-Bhatari yang malingga malinggih di Pura Ulun Danu Batur yang disampaikan kepada krama Desa Batur khususnya dan umat Hindu sedharma pada umumnya agar dalam menjalani kehidupan senantiasa berbuat sesuatu yang berdasarkan dharma.
Matiti Suara ini dilaksanakan oleh seorang Jero Guru atau disebut juga Jero Keraman yang sudah diwinten terlebih dahulu sebelum melaksanakan tradisi Matiti Suara. Jero Guru Bedanginan merupakan orang yang dituakan dalam desa, yang mempunyai tugas sangat penting di pura, yakni mulai dari menyiapkan upakara sampai menempatkan upakara-upakara di setiap pelinggih pelinggih yang ada di areal pura.
Di Desa Batur terdapat enam belas Jero Guru dengan empat tugas yang berlainan, seperti: Jero Pulai, Jero Pemupunan, Jero Pesagian, dan Jero Dis.
Pada saat Matiti Suara ini dilaksanakan, Jero Guru Bedanginan yang menjadi Kasinomanlah yang diperkenankan untuk melaksanakan tradisi tersebut. Tradisi Matiti Suara dilaksanakan di jabe tengah Pura Ulun Danu Batur. Namun, sebelum Matiti Suara, Jero Guru melakukan persiapan terlebih dahulu di jeroan, seperti: ngaturang segehan agung, tapakan, dan pejati di Kori Agung, karena pada saat Matiti Suara Jero Guru Bedanginan akan ke jabe tengah dengan melintasi Kori Agung. Pada saat Matiti Suara Jero Guru akan menyerukan sabda dari sesuhunan sebanyak tiga kali, para krama Desa Batur diminta untuk mesuryak (berteriak) sebagai tanda bahwa sabda telah diterima”.
Jero Guru atau Jero Keraman yang telah menyampaikan sabda sebanyak tiga kali, kemudian masuk kejeroan mengambil sekar ura dan menaburkan sekar ura ke atas sesuai dengan arah mata angin. Biasanya, juga anak-anak kecil mengikuti beliau pada saat menaburkan sekar ura ke arah mata angin dan berlomba untuk mendapatkan pis bolongnya (uang kepengnya). Krama Desa Batur percaya bahwa sekar ura yang ditabur-taburkan ke setiap arah mata angina merupakan perlambang dari kesejahteraan yang disebarkan oleh Ida Sesuhunan dan pis bolong (uang kepeng) tersebut akan disimpan sebagai pica (anugrah) dari Ida Bhatara. Hal ini mengingatkan tentang tarian topeng Sidakarya yang biasanya dipentaskan pada saat berakhirnya sebuah upacara. Tarian ini juga mempergunakan sekar ura yang dihamburkan, yang mana sekar ura merupakan simbol medana-dana (bersedekah). Dengan kata lain, menghamburkan sekar ura berarti menebarkan kesejahteraan pada umat manusia sehingga terwujudnya rahayuning jagat.
Rahayu… 🙏 🙏 🙏
Literatur
1. Dr. Ketut Wirata, S.H., M.Kn. 2015. Kebijakan Pengelolaan Wisata Ekoreligi Berkelanjutan Berbasis Masyarakat Hukum Adat Bali. Surya Pena Gemilang
2. I Nengah Ardika.2018. Maprani Sebagai Rangkaian Pada Ngusabha Kadasa Di Pura Ulun Danu Batur. Jurnal Penelitian Agama Hindu 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar