Mengapa dominasi Adat di Bali mengalahkan agama? Sadarkah efek domino ini? Mau jujur kah dengan diri sendiri dan di perlukan pikiran terbuka untuk memahami ini.
Pernahkah kita bertanya secara jujur dan betul betul jujur, kita menjalankan agama dengan tulus ikhlas–atau melakoni ritual adat, budaya, dan tradisi Bali yang kadang menuntut pengorbanan waktu dan biaya besar dan mana yang lebih utama di zaman sekarang? Sudah pasti gengsi dong lebih utama daripada agama ya kan? Begitulah fakta in majority di lapangan.
Banyak orang setuju bahwa inti ajaran agama adalah ketulusan, keikhlasan, dan rasa syukur yang sederhana. Namun, realitas di Bali hari ini justru menampilkan wajah adat dan tradisi yang semakin kompleks dan mahal. Khususnya di beberapa daerah seperti Badung, Denpasar, Gianyar, Karangasem, dan sebagainya. Upacara adat yang rutin seperti bulanan, tahunan, terlebih lagi prosesi besar seperti ngaben atau pernikahan bisa menguras dompet mulai dari jutaan hingga ratusan juta rupiah per keluarga. Maaf jika keluarga bersangkutan dari keluarga yang kaya dengan aset yang banyak, probabilitas tidak akan menjadi beban untuk melakoni adat yang membutuhkan biaya sampai ratusan juta. Nh, bagaimana jika keluarga itu miskin, pasti sudah akan terbebani dan terpaksa mengambil hutang untuk melakoni ritual adat dan tradisi.
Tidak sedikit yang akhirnya terjebak pada “kewajiban sosial” takut dicap tidak ikut adat, takut “tidak layak” di mata masyarakat, atau bahkan takut “kurang sreg” di mata leluhur. Ironisnya, pengorbanan itu sering dilakukan atas nama agama, padahal esensi agama adalah kebaikan hati dan keikhlasan, bukan prestise sosial atau beban ekonomi. Ada generasi muda dan kelompok kritis yang mulai mempertanyakan: apakah semua ini sejalan dengan spirit agama yang sejati? Ataukah tradisi sudah menjadi beban yang menindas atas nama identitas, bukan lagi ruang untuk kebermaknaan hidup?????.
Generasi tua jangan baper ya, ini adalah critical thingking generasi muda yang mewarisi peradaban.
Bali kaya tradisi, itu fakta. Tapi keberanian untuk berpikir kritis demi memastikan adat dan budaya tetap relevan serta membumi juga satu bentuk cinta pada tanah ini. Ritual boleh lestari, tapi jangan sampai menelan semangat ketulusan yang jadi inti semua agama.
KONSULTASI ATAU PESAN BANTEN KEBUTUHAN UPAKARA WA: 08976687246 ATAU KLIK DISINI


Tidak ada komentar:
Posting Komentar