Ganda rsi
ngiu, 2 aled yi
aled 1 tumpeng muncuk kuskusan, raka, kojong rasmen, nagasari
aled 2 sodan peras n daksina, taluh bebek matah (pejati)
7 daun diikat jadi satu, 7 sengkui masing-masing 1 sate lawar dibungkus daun pisang diikat jadi satu
payuk pere, padma,
tebasan rsigana/gajah/putih
tamas, kulit sayut, raka, coblong carat, peras tulung payasan, payuk pere, padma, 4 kuangen, ceper misi nasi putih, tulung tebasan isi nasi, kojong rasmen, sampyan teterag, nagasari, apak-apak
BACA JUGA :
tebasan asu
tamas, kulit sayut, raka, coblong carat, peras tulung payasan, payuk pere, padma, 4 kuangen, ceper misi nasi kuning, tulung tebasan isi nasi kuning, kojong rasmen, sampyan teterag, nagasari, apak-apak
Makna
Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan
bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada
dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol
dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia
yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha
Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran
(Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang
Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan
keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini
adalah banten yang suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan
perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai
penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan
cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras,
Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten
yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten
Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman.
Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu
bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang
bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang
demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh
karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau
yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai
berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang
memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten
yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina
Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng,
Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda
Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam
semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai
alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya
berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung
anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu
dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini.
Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci,
Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.**
Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya
(mungkin dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah
satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta ) Panca Maha
Bhuta.
Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:
Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada
peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat
dll)
Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya
dalam wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam
kondisi khusus, pembangunan merajan juga memerlukan caru jenis madya
Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia
Biasanya ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai pelengkap panca
sata, urutan penempatan caru (madya) panca sata adalah sebagai berikut:
ayam putih timur
ayam merah/biing selatan
ayam putih siungan barat
ayam hitam/selem utara
ayam brumbun tengah
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang),
sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit artinya
‘keseimbangan/keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan :
Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan
keharmonisan.
‘Keseimbangan/keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Trihita
Karana’ yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhan (parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta
(palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu
terganggu, misalnya : pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan
(gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian,
huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang
merusak palemahan, patut diadakan pecaruan.Kenapa dalam pecaruan
dikorbankan binatang ? Binatang terutama adalah binatang
peliharaan/kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang
dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang
peliharaan.
Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu.
Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura
atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Bahan utamanya adalah nasi berwarna beberapa kepal.
Yang umum segehan: putih dan kuning.
Dalam Lontar Carcaning Caru, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor
ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni:
ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi)
sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing
dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan
campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini
masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja,
sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau
tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan
berikutnya.
Caru
Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud dalam lontar Carcaning
Caru tersebut mulai digolongkan sebagai caru yang berfungsi sebagai
pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini
bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada
tingkatan menengah (madya).
Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi
kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga
lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai
dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama
Kertih digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan
pada pura-pura besar.
Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta).
Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg
linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan
sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki
makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota,
provinsi, maupun negara.
Kembali terusik ingin tahu apakah yang dimaksud caru, segehan dan tawur
dalam suatu upacara…….sekali lagi saya mengetes kesaktian “bli google”
dan melalui sebuah blog, rasa ingin tahu saya terjawab.
Pengertian Banten Caru, Banten Caru, BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti
memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar
tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi,
Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar
ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu:
“Pinaka Raganta Tuwi” artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita
sebagai manusia. “Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara” artinya banten
merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan
“Pinaka Andha Bhuvana” artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam
semesta atau Bhuvana Agung. Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini
dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu
atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku
(Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang
memiliki fungsi sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya
maupun Sanggar Tawang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar