Senin, 11 Juli 2022

Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti

 


“Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti”
Mahawakya itu adalah penegas dan perekat sebagai pemahaman Advaita atau dalam bahasa arabnya adalah Tauhid (Jaman now kita banyak memakai istilah dalam bahasa arab saat ini misal: Adat (Desa Adat daripada Desa Pakraman), Nikah, Iman, dst,. Meski berusaha diluruskan yang usianya senior malah tidak peduli).
Secara garis besar saya dan anda semua saat ini adalah orang-orang yang telah meninggalkan Tuhan yang dipuja oleh leluhur tanpa terkecuali. Bila mahawakya Weda itu tidak dipakai atau ditiadakan.
Leluhur kita apapun statusnya dimasa lalu baik sebagai Sulinggih dan tidak, baik sebagai penguasa dan tidak. Akan memiliki istadewatanya masing-masing. Yang dipanggil adalah Nama Tuhannya tersebut yang diangungkan paling awal untuk perlindungan dan dalam berbagai hal.
Kakek buyut saya menyembah Istadewatanya yaitu Ida Bhatara Dalem Tungkub. Ida Bhatara Dalem Tungkub adalah sebenarnya sama dengan Dhanwantari. Beliau juga memperoleh anugrah “Manik ‘Gni” sehingga tak terbakar oleh api meski sekujur wajah dan rambutnya menyala oleh api yang dipakai wangsuh wajah tiap upacara.
Dengan memiliki Istadewata demikian maka ketika ia memarahi balian yang berlaku tidak sesuai dengan kewajibannya maka yang bersangkutan sama dengan menerima hukuman mati. Sehingga ada kejadian dimana keluarga kami diberikan segala pusaka yang merupakan pesan terakhir sebelum mangkat dari seorang Balian. Kegaiban sesabukannya bahkan ada dibuktikan bukan omong kosong oleh salah satu kerabat kami. Hanya saja kemudian satu persatu diminta kembali oleh pewaris dari Balian tersebut dan tidak dipersulit oleh keluarga kami untuk mengambilnya kembali.
Dalam satu keluarga kami bisa menyembah Istadewata berbeda dan itulah yang selalu disebut dan di panggil. Jadi bahkan saya sendiri memiliki Istadewata berbeda dengan Kakek Buyut saya tersebut meski disebut numadi yang sama dari leluhur yang pungkusannya (nama gelarnya) sama. Wajah saya sendiripun tidak sama persis dengan kakek buyut saya. Meski demikian visi saya adalah sama dengan beliau. Satu kitab lontar yang paling ditinggikan oleh beliau adalah Rajapeni yang telah kami simpan dengan baik.
Dari jaman ke jaman hal demikian tetap berlangsung dimana tiap umat Hindu di Bali tampak “terkonversi” menerima Tuhan lain meski masih berada didalam agama yang sama. Inilah uniknya tradisi Hindu dengan Istadewatanya. Orang luar bisa menilainya sebagai sektarian atau cult. Akan tetapi bagi kita yang ada didalamnya bahkan tidak memusingkan masalah klasifikasinya.
Tuhan yang Nirgunabrahma atau Impersonal disebut juga dengan berbagai nama sebutan yang paling populer adalah: Sang Hyang Embang, Sang Hyang Reka, Sang Hyang Acintya, Sang Hyang Taya, Sang Hyang Sangkan Paran, Sang Hyang Tan Aran, dst., Karena ada banyak nama maka Hindu dimanapun berada diklasifikasikan orang luar sebagai menyembah banyak Tuhan. Tuduhan apapun dari orang luar adalah tidak bisa kita cegah dan bahkan umat Hindu yang terkonversi menjadi Non-Hindu yang mustinya kita anggap mengerti pada akhirnya ikut menuding Hindu menyembah banyak Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar