Rabu, 26 Agustus 2020

Kembali Mulat Sarira

https://phdi.or.id/images/artikel/

Sarira itu tubuh. Kata ‘mulat’ dalam bahasa Kawi berarti melihat. Jadi, ‘kembali mulat sarira’ ialah kembali melihat tubuh. Jargon ‘mulat sarira’ seringkali disinonimkan dengan ‘introspeksi diri’. Tubuh dan diri seringkali diperlakukan sama, padahal sekaligus berbeda. Masalahnya adalah bagaimana menyamakan sekaligus membedakan keduanya.
Oleh karena bertubuh maka mampu berdiri. Ia yang terampil menubuh disebut mandiri. Jadi, tubuh adalah sebab, diri adalah akibat. Menubuh atau bersetubuh itu luar biasa nikmatnya, karena di situ ada segala rasa, campuhan rasa. Teks-teks tattwa kuno juga berkata demikian. Semisal, ketika berkendara, terjadi persetubuhan antara pengendara dengan kendaraan. Begitu nikmatnya berkendara hingga disebut lupa diri sedang berkendara, seperti dalam kalimat, “Saya ngebut tadi lho!” Tidak ada jarak antara pengendara dengan motornya. Dalam posisi itu, kata ‘saya’ berarti diri dan tubuh. Berbeda halnya jika, “Saya berkendara ngebut tadi lho!”, tapi kalimat ini terlalu kaku diujarkan.
Keadaan ini disebut pengalaman estetis yang berpuncak pada peristiwa ekstase, lango, lupa diri. Keadaan ini mirip seperti yang digambarkan Claire Holt (2000:122) sebagai “ketiadaan yang terkonsentrasi, seperti tidak yang dikejar para seniman, yang kemudian diekspresikan dalam suatu ciptaan, karya (struktur). Jadi, menubuh atau bersetubuh adalah sebab kehadiran sesuatu, lingga harus menubuh dalam yoni dalam lupa untuk menghadirkan suatu ciptaan.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Kemudian, pembedaan atau penjarakan diri dengan (tubuh) kendaraan terjadi ketika kendaraan mengalami masalah, misalnya, “Motor saya bannya pecah”. Begitu juga dengan tubuh, “Tangan saya kotor”; “Tangan saya sakit terkena pisau”; “Kaki saya patah”. Artinya, tubuh hanya diberi kesempatan memperlihatkan dirinya secara subjektif ketika ia mengalami masalah, itupun dengan tetap dikontrol pronomina posesif saya’, tetapi sudah membedakan. Alain Badiou (2018) menyatakan, “Kalau kamu ingin hidupmu punya makna, kamu harus tetap berada dalam suatu jarak dari kekuasaan.” Artinya, dalam situasi keberjarakan atau perbedaan itulah dimungkinkan terjadinya pemaknaan. Inilah yang disebut fase etis yang memungkinkan momen' untuk memilih, ingat dengan kebertubuhan, lalu melakukan sesuatu seperti, membiarkan atau membersihkan dan mengobati tubuh itu.
Dengan demikian, diri harus berjarak dengan tubuh untuk memberinya peluang subjektif secara kebahasaan. Lalu, bagaimana mungkin terdapat dua subjek? Artinya, ketika dua subjek terbentuk, terdapat peluang saling mengobjekkan satu sama lain, saling melihat satu sama lain, saling mengadakan. Sehingga, dengan begitu terdapat bahasa, “Itu adalah aku.” Karena sejatinya diri bersifat subjektif, maka tugas berat yang harus dilakukan adalah meletakkan diri pada posisi objek. Dengan mengobjekkan diri, dimungkinkan peristiwa diri menguasai diri, memerintah diri, mengkritik diri, bahkan membunuh diri.


Cara tradisional untuk mengobjekkan diri atau paling tidak dapat dikatakan sebagai suatu cara latihan pengobjekan adalah dengan mewujudkan diri menjadi suatu objek di luar diri, yang seringkali disebut ‘simbolisasi’ atau ‘pangawak’. Para kawi mewujudkan diri dalam sastra adiluhung seringkali dengan nama samaran sebagai penanda “bunuh diri’’ secara puitis. Para anak muda mengekspresikannya dalam wujud ‘ogoh-ogoh’. Analogi ini juga mengisyaratkan bahwa kata ‘mulat’ juga identik dengan kata bahasa Bali ‘(ma)ulat’, menjalin ikat. Mudahnya, ogoh-ogoh tidak ubahnya salah satu pemurtian diri dengan cara mulat, refleksi lihat saja wajah dan bentuk ogoh-ogoh seringkali mirip pembuatnya-umumnya berbentuk demonik.
Posisi subjek tidak pemah bisa dilepaskan dari suatu pengobjekan; diri sebagai subjek melihat diri sebagai objek yang sekaligus subjek yang juga mengobjekkan dengan memakai kata ganti orang ketiga, “ia melakukan sesuatu terhadap sesuatu”. Cara mengobjekkan diri paling mudah selanjutnya adalah dengan bercermin. Dengan bercermin, kita melihat bayangan diri dan bentuk tubuh. Bayangan di cermin itu disebut refleksi. Tentu saja, refleksi pada cermin bersifat terbalik antara kiri-kanan dan menampilkan satu sisi saja. Untung saja tidak membalik antara atas dan bawah, tetapi paling tidak sudah mampu melihat diri.
Namun, semakin jauh dari cermin diri terlihat makin kecil, namun makin utuh. Mirip dengan selfie atau swafoto dan swavideo. Selanjutnya, cara lain adalah dengan mengandalkan logika, perbandingan, dan kata para nabi. Sekali lagi, itu juga terbatas.

Dagang Banten Bali




Cara yang paling sulit adalah dengan menutup mata (baca: indera) dan membayangkan diri dalam meditasi. Mata terpejam artinya menarik diri dari luar dan memungkinkan imajinasi. Agama menyarankan, ketika menutup mata imajinasikanlah Tuhan, penguasa jagat raya, dewa idola, istadewata. Apakah lalu kita mengobjekkan Tuhan? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Iya, ketika posisi kesadaran memuja, “Aku memuja Tuhan”. Tidak, ketika dalam posisi mensubjekkan, “Tuhan datang dan memberkatiku.” Juga tanpa keduanya, posisi setara, “aku adalah Tuhan, Tuhan adalah aku”.
Situasi mata terpejam hampir sama dengan sedang tidur lalu bermimpi. Di dalam mimpi kita bisa melihat diri sedang melakukan apa terhadap apa. Namun, kata ‘mimpi’ selalu diidentikkan dengan keadaan bawah sadar atau ketidaksadaran. Padahal, menurut Freud, dalam mimpilah pengalaman melihat diri yang sejak lama direpresi oleh kesadaran. Dalam mimpi juga, diri sejati dapat dialami, diri yang melihat diri yang jujur atau tanpa represi.
Setelah itu, apakah kita terus-menerus memejamkan mata dalam meditasi atau bermimpi agar dapat melihat diri yang jujur? Dalam meditasi ternyata ada jebakan ‘lupa diri’ tadi, lupa makan, lupa minum, lupa mendunia, lupa daratan, dan tentu saja lupa sedang menjadi manusia. Di situlah jargon mulat sarira memegang posisi kunci sebagai epistemologi Bali; tubuh sebagai gudang pengetahuan. Mulat sarira juga kritik terhadap doktrin pencerahan, cogito ergo sum, akal sebagai pusat pengetahuan yang mengesampingkan tubuh.
Mulat sarira memungkinkan terkikisnya jarak antara mata terpejam dan terbuka, setengah terbuka setengah terpejam; mengecilnya jarak mimpi dan realitas; jarak tidur dan sadar; jarak ketidaksadaran dengan kesadaran menipis. Semakin menipis lalu manunggal. Itulah klimaks, segala objek yang diwujudkan, diimajinasikan, “dibunuh” secara religius, termasuk diri yang lain dan Tuhan yang diobjekkan, ogoh-ogoh pun dibakar. Yang tinggal hanya diri se-ati, diri yang jujur, diri yang sepi, diri yang religius. Diri kembali kepada tubuh, menyatu bersatu padu tanpa sekat dalam mulat sarira dan manusia kembali pada kemanusiaannya.
Oleh: W.A. Sindhu Gitananda
Source: Majalah Wartam Edisi 48 l Februari 2019

Mengembangkan Disiplin Kepemimpinan Spiritual Melalui Bhagavad Gita


(Foto: Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya (tengah baju putih) berfoto bersama dengan peserta Gita Camp On Leadership)
Cibubur - Dalam rangka merayakan hari disabdakannya Bhagavad Gita ke dunia ini, panitia Gita Jayanti Nasional 2017 menyelenggarakan Gita Camp On Leadership di Buperta, Cibubur, pada tanggal 7–8 Oktober 2017.
Menurut Ketua Pelaksana, Yadu Nandana, Gita Camp On Leadership merupakan salah satu rangkaian kegiatan Gita Jayanti Nasional tahun 2017 yang puncak kegiatannya akan dilaksanakan pada bulan Desember mendatang. Kegiatan ini sebagai ajang pendidikan karakter kepemimpinan bagi pemuda-pemudi Hindu berdasarkan Kitab Bhagavad Gita. “Acara ini adalah untuk membentuk karakter pemimpin bagi pemuda-pemudi Hindu dan juga untuk memperdalam ajaran kitab Bhagavad Gita, sebagai salah satu kitab suci umat Hindu” ujarnya.
Yadu Nandana mengatakan, kegiatan Gita Camp on Leadership diikuti kurang lebih 300 orang peserta yang merupakan pemuda–pemudi dari 11 provinsi di Indonesia. “Ada dari Bali, Palembang, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan DI Yogyakarta,” jelasnya. Sebagai awal dari rangkaian acara Gita Camp on Leadership ini dilakukan Gita Puja yaitu Pemujaan kepada kitab Bhagavad Gita dan juga pelafalan mantra–mantra Veda guna memohon karunia dari Hyang Widhi Wasa.

Dagang Banten Bali



Acara Gita Camp on Leadership dibuka secara resmi oleh Dirjen Bimas Hindu, Prof. Drs. I Ketut Widnya. M.A., M.Phil., Ph.D. sekaligus sebagi pemateri pada sesi pertama bersama KRT Gaura Mancacaritadipura, Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Pada sesi pertama dibahas materi mengenai “Spiritual Awarness – Kesadaran Atman” yang dimoderatori I Wayan Kantun, S.Ag, M.Fil.H.


Sementara Pada sesi kedua diisi Ketua Umum Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya yang membahas mengenai “Mengambil Tanggung Jawab Dharma”.
Total ada lima sesi pada hari pertama. Pokok pembahasan lainnya yang dibahas pada hari pertama adalah “Pengendalian Diri & Karakter Sattvika” yang dibawakan KRT Gaura Mancacaritadipura dan “Kerjasama & Saling Ketergantuangan” yang dibawakan I Wayan Kantun, S.Ag, M.Fil.H.
Pada malam harinya, terdapat satu sesi special tentang berbagi pengalaman dan juga penerapan Bhagavad Gita dalam kehidupan sehari-hari oleh KRT Gaura Mancacaritadipura, yang mana beliau ini sebelumnya adalah warga negara Australia yang kini telah menjadi warga negara Indonesia dan memeluk Hindu secara taat yang awalnya didasari oleh Bhagavad Gita. Acara pada hari pertama ditutup dengan pelaksanaan Agni Hotra Yadnya dan juga pembacaan Bhagavad Gita.
Keesokkan harinya, para peserta mengikuti kegiatan Yoga. Adapun kegiatan Yoga ini dimulai dari subuh pada saat brahma muhurta, yang mana dikatakan bahwa pada saat inilah kondisi Sattvika (kebaikan) berada. Persembahyangan Tri Sandya dan kegiatan yoga ini dibimbing oleh Yayasan Anand Krishna dan STAH Dharma Nusantara Jakarta.
Setelah pelaksanaan yoga, para peserta mengikuti outbond dan juga games yang bertujuan untuk melatih kedisiplinan dan juga pembentukan kerjasama antar pemuda-pemudi Hindu. Games bernama “Reinkarnasi” ini dibawakan I Nyoman Lasya yang berasal dari kesatuan Koppasus. Para peserta mengikuti games ini dengan sangat antusias dan penuh dengan kegembiraan.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Selanjutnya pemaparan materi “Swadarma Membela Negara” diisi Rektor Universitas Pertahanan, Letjen TNI Dr. (Cand) I Wayan Midhio M.Phil. “Generasi muda seperti para peserta Gita Camp on Leadership harus menjadi pemimpin yang selalu berada dalam jalan Dharma, sesuai dengan ajaran Bhagavad Gita” ujarnya.
Sesi terakhir mengambil tema “Menjadi Pemimpin Muda Dharma” dikemas dalam acara Talk Show yang dibawakan tokoh-tokoh muda Hindu yang berprestasi dibidangnya, yaitu Dr. I Nyoman Marpa, S.E., M.BA., M.M., Agung Wiradana (Golden Memories Indosiar), KS. Arsana, S.Psi dan Drs. I Ketut Ardana, M.Pd dan dimoderatori Pande Kadek Yuda Bakti selaku ketua panitia Gita Jayanti Nasional 2017.
Kegiatan Gita Camp on Leadership diselenggarakan Panitia Gita Jayanti Nasional 2017 (Perkumpulan ISKCON) dan didukung Kementerian Agama RI, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) dan organisasi-organisasi Hindu Nasional lainnya.
Oleh: admin
Source: Press Release dari Panitia Pelaksana

Pura Luhur Sri Rambu Sedana Jatiluwih


Pura Luhur Sri Rambut Sedana berlokasi di lereng Gunung Batukaru, tepatnya di Desa Pekraman Jatiluwih, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan. Pura yang terletak di kawasan hutan lindung ini masih sangat alami. hanya terdapat beberapa pelinggih pemujaan, yang sebagian besar masuh berupa baturan atau tahta batu, yang diyakini merupakan peninggalan tradisi megalitik di jaman perundagian.
Pura yang luasnya kurang lebih 8 are ini, merupakan salah satu stana Ida Btara Rambut Sedana. Dewa Kesejahteraan. Karenanya diyakini bahwa dengan bersembahyang di pura ini, seseorang akan dimudahkan rejeki dan kesejahteraannya.


Image by: Desa Jatiluwih
Pura Luhur Sri Rambut Sedana Jatiwulih ini sudah ada sejak tahun 1400-an, dimana pada waktu itu pura diempon oleh warga dari Desa Buduk, Badung yang mengalami kekalahan ketika melawan Raja Mengwi sehingga warga Buduk melarikan diri ke kawasan Desa Jatiluwih, yang saat itu belum bernama Jatiluwih. Sampai di kawasan Desa Jatiluwih mereka mencari nafkah penghidupan, termasuk dengan mengembangkan perkebunan di wilayah pura, sampai akhirnya mereka menemukan tumpukan batu-batu yang diyakini sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Hal itu terbukti ketika warga menyembah tumpukan batu tersebut dan warga kemudian mendapatkan rezeki. Sejak saat itu, tempat tersebut disucikan oleh warga yang masuk dalam Pasek Badak, kemudian semakin banyak didatangi oleh warga untuk memohon kesejahteraan dari warga pasek lainnya sehingga warga satu Desa kemudian mensucikan tempat tersebut.
Pura ini memiliki konsep Nyegara Gunung. Seiring berjalannya waktu, masyarakat membangun satu buah palinggih untuk pangayatan Ida Betara Segara yang lebih dikenal dengan pasimpangan Ida Betara Batu Ngaus sebagai wujud penghormatan terhadap laut dan ikan yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Selain itu juga dibangun palinggih Gerombong Nakaloka sebagai wujud penghormatan kepada hutan dan gunung.
Keberadaan Pura Luhur Sri Rambut Sedana yang dikabarkan sudah ada sejak zaman dahulu, kembali dikuatkan dengan ditemukannya ribuan uang kepeng yang tertanam dibawah pohon kelapa pada tahun 2004, saat dilakukan Pemugaran. Dipercaya uang itu tertanam bersama kelapa yang pada tahun 1933 digunakan saat Karya Ngenteg Linggih di pura tersebut.
Pura ini terdiri dari Tri Mandala, di Utama Mandala terdapat Palinggih Utama atau Palinggih Rambut Sedana, dan di belakangnya terdapat Jemeng linggih Ida Betara Sri. Kemudian ada Palinggih Pasimpangan Betara Luhur Batu Ngaus, Pasimpangan Ida Betara Gerombong Naga Loka, Pasimpangan Ida Betara Suranadi, Gedong Simpen, Gedong Jemeng, Gedong Suranadi, Pungsing Panyimpangan, Bale Piasan Ageng, dan Bale Pelaspas.
Pada Madya Mandala terdapat Palinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan yang berfungsi memberikan izin kepada pamedek yang datang untuk melanjutkan persembahyangan ke palinggih utama. Bale Pasayuban Pamebek dua buah dan Apit Lawang. Terakhir di Nista Mandala terdapat Bale Pasamuhan, Lumbung Agung, Bale Kulkul, Bale Gong, Dapur Suci, Bale Panegtegan, Palinggih Ida Betara Surya dan Ida Betara Candra.


Jero Mangku Gede mengatakan selain sebagai tempat untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, ada pula Palinggih Taksu tempat memohon kebijaksanaan. Di mana sekitar tahun 2007 silam, seekor burung hantu pernah bertengger pada Palinggih Taksu tersebut, kemudian tiba tiba mati, dan langsung dikubur di lokasi tersebut. Saat ditanyakan kepada orang pintar, ternyata burung hantu atau celepuk itu menyimbolkan kebijaksanaan, sehingga hingga saat ini Palinggih Taksu dipercaya sebagai tempat memohon kebijaksanaan. “Jadi, jika pamedek yang tangkil ke sini, pertama-tama bersembahyang di Palinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan untuk memohon izin. Setelah itu, lanjut bersembahyang di Palinggih Taksu untuk memohon kebijaksanaan, baru kemudian bersembahyang di palinggih utama,” tegasnya.
Jika dilihat dari etimologi Sri Rambut Sedana, kata Sri artinya cantik, makmur dan subur serta kemuliaan, sedangkan Sedana berarti memberi sehingga Ida Betara Sri Sedana dapat diartikan sebagai beliau pemberi kemuliaan, kemamuran, kesuburan. Maka tak heran banyak pedagang atau pelaku usaha yang pedek tangkil ke pura ini untuk memohon kemakmuran. “Jadi, bisa dikatakan yang terkait keuangan banyak yang tangkil dan mapunia ke sini. Pedagang, pengusaha, instansi keuangan, bank. dan lainnya,” ujar Jero Mangku Gede.
Tak sedikit juga pengusaha yang tangkil ketika dm mendapatkan pawisik dan bercerita jika usahanya sedang carut marut, sehingga memohon petunjuk di pura ini.
Terima kasih: Bali Express.

Banten Tumpek Landep

 Seperti halnya Rahina Tumpek Kandang dan Tumpek Wariga atau Tumpek Bubuh, Tumpek Landep dirayakan setiap 210 hari sekali atau 6 bulan sekali. Rahinan Tumpek Landep jatuh setiap rahina Saniscara (hari Sabtu) Wuku Landep secara perhitungan kalender Bali. Secara harfiah Tumpek berasal dari kata “METU” yang artinya bertemu dan kata “MPEK” yang artinya akhir, jadi rahina Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran PANCA WARA dan SAPTA WARA, dimana PANCA WARA diakhiri oleh Kliwon dan SAPTA WARA diakhiri oleh Saniscara(hari Sabtu). LANDEP berarti TAJAM atau RUNCING, itulah mengapa TUMPEK LANDEP identik dengan Upacara terhadap benda-benda pusaka yang bersifat tajam seperti keris, tombak dll.


Flickriver

Hari raya TUMPEK LANDEP merupakan rangkaian hari raya Saraswati. Pada hari TUMPEK LANDEP umat Hindu melakukan upacara terhadap semua peralatan rumah yang terbuat dari logam dan tajam seperti pisau, parang, sabit, cangkul dan peralatan pertanian yang lain. Umat Hindu melakukan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati atas anugerah ketajaman tidak saja pada peralatan-peralatan yang dimiliki namun juga ketajaman berpikir dan kecerdasan kita.


Dagang Banten Bali




Bebantenan Tumpek landek terdiri dari beberapa sorohan yang mungkin harus disesuaikan sesuai desa, kala patra setempat. Berikut adalah banten tumpek landep:

Sesayut Jayeng Perang
Kulit sesayut dari daunan dong, tumpeng putih memuncuk barak 2 buah. Tumpeng selem memuncuk putih 1 buah. Medasar beras triwarna (injin, baas barak, baas biasa). Be ati bungkulan, yeh asibuh, muncuk dadap 11, tulung urip apasang (2), kewangen 3 (tiga) sekar pucuk bang tirta asuhun keris mewadah sibuh.

Sesayut Kesuma Yuda
Beras mepisela padma medasar beras barak, kulit sesayut busung nyuh gading, penyeneng nagasari, nyuh gading ring tengah pinaka agung, tindakan sekar mancawarna, bawang putih padang kasna, prayascita dikelilingi antuk tumpeng pancawarna metanceb pucuk bang lima katih. Getih megoreng atakir, ati dan batukan (betukan ayam) megoreng pada metakir tirta pasupati, tirta betara, tirta sulinggih sesari 76.500 kepeng, tetebusan benang hitam.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sesayut Pasupati
Tumpeng barak amusti, kulit tebasan antuk don andong 1 ring ajeng tumpange daksina, ring bilang samping tumpenge kulit peras medaging tumpeng barak dua, soda ajengan penek barak 2, tipat kelan, tipat tampulan asiki, sampeyan nagasari penyeneng peras canang antuk don andong. Maulam ayam biing (barak) jeroan megoreng wadah taku, takir keruh meserana kacang saur. matah apalet anggen ring segehan pasupati.

Segehan Agung Pasupati
Peras barak sodan barak (sampeyan canang don andong). Daksina tampi serobong, ketipat kelan, nasi kepelan 9 kepel metatakan don andong medaging ulam jeroan matah 9 takir raung ring sowang-sowang. Asep 9 katih, nasi wong-wongan barak 5, api takep 5.

Sesayut Guru
Kulit sesayut beras akulak metatah kain putih tampelan tetebu jinah 11 kepeng. Tumpeng guru, tulung 2, kewangen 1, peras alit, pesucian, pembersihan, penyeneng, sampeyan nagasari, meulam ayam putih mulus.

Banten lain
ayaban, suci, byakawon +prayascita (anggen mereresik). Yening membanten ring mobil, genahang jayeng perang atanding.

Artikel ini diolah dari berbagai sumber.

PURA AGUNG SANTI BHUWANA DI BELGIA


SEJARAH PANJANG PURA AGUNG SANTI BHUWANA DI BELGIA.
Kita patut bersyukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang maha Esa) yang diberikan kepada umat Hindu perantauan di Eropa atas dibangunnya sebuah Pura ditengah lokasi wisata dengan luas 55 hektar, di dirikan oleh orang belgia yang bernama ERIC DOMB. Eric Domb mengenal Bali dan Hindu dengan baik, atas dasar itulah Pura tersebut dibangun. Proses pembangunan Pura tersebut dilakukan secara bertahap. Material seperti paras batu, kayu jati, raab duk dan bahan lain yang diperlukan untuk pembangunan Pura itupun didatangkan langsung dari Bali sampai 300an Container!

Image by: Leak Bali
Menurut penuturan petinggi Taman Wisata Parc Paradisio ini, mengatakan idea pertama dari pendirian Pura Hindu yang mirip atau sama persis dengan Pura yang ada di Bali ini adalah bermula dari kunjungan Mr. Eric Domb, CEO dan President yang juga pemilik dari Parc Paradisio ke Bali 30 tahun yang lalu bersama orang tuanya. Kemudian setelah memimpin Parc Paradisio, muncul keinginan untuk membuat Parc Paradisio tidak hanya menjadi sebuah Taman wisata Flora dan dan Fauna, yang menawarkan keakraban alam, tumbuhan, binatang, dan manusia tapi juga menawarkan informasi kebudayaan dunia yang memiliki karakter serta peradaban yang kuat yang masih ada di bumi ini serta bisa mendukung promosi permanen bagi pariwisata.
Teringat akan kunjungan ke Bali yang pernah dilakukan Mr. Eric Domb bersama orang tuanya ke Bali, Mr. Eric Domb kemudian mengunjungi Bali lagi untuk “Brain Storming” dengan mengelilingi seluruh pelosok Bali untuk mencari idea lebih lanjut. Kolaborasi antara agama, adat istiadat, budaya dan masyarakat balinya yang mendukung pariwisata di Bali serta bisa diterima oleh masyarakat dunia (universal), membuat Mr. Eric Domb jatuh cinta akan Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Image by: Leak Bali
Sekembali Mr. Eric Domb dari Bali, beliau kemudian menceritakannya kepada jajaran direktur dan team yang ia pimpin. Ibarat Pucuk di cinta ulam tiba, dimana para direktur dari Parc Paradisio yang juga sering mengunjungi Bali, akhirnya seia sekata, dan gayung pun bersambut dengan melakukan kunjungan bersama ke Bali untuk merealisasikan idea membuat Indonesian Garden dengan bangunan utamanya Pura yang sama persis seperti di Bali. Sepulang dari Bali, proyek inipun di mulai pembangunannya di tahun 2006. Pada tahun 2006 dimulailah pembangunan pura dengan mendatangkan arsitek muda Bali I Ketut Padang Subadra. Ketut Padang dibantu oleh para pemahat dan pengukir dari Bali yang berjumlah 8 orang. Selama 2 tahun lebih bekerja siang dan malam dalam suasana berkabut dan bersalju. Berkat semangat ngayah yang dimiliki oleh para seniman Bali ini akhirnnya Pura itupun terwujud. Untuk menjaga keaslian pura dan bangunan lainnya di area taman Indonesia, batu paras hitam dan batu lereng gunung merapi sengaja diimpor dari Bali dan Jawa Tengah sampai 320 kontainer.
Bermula Dari Kastil Tua Kemudian Berdiri Pura di Belgia
Pembangunan Kompleks Taman Indonesia yang di mulai dari pembangunan Pura ini, bukannya tanpa hambatan dari masyarakat Belgia ataupun pemerintah Belgia. Karena dilokasi Parc Paradisio terdapat kastil tua, yang di Belgia sendiri sungguh sangat dihormati keberadaannya. Pemerintah maupun masyarakat pun khawatir dengan berdirinya bangunan baru akan mengurangi makna dari keberadaan Kastil tua yang menjadi kebanggaan masyarakat Belgia ini. Mr. Eric Domb dengan ketulus hatiannya serta kecintaannya yang mendalam akan Bali dan tentunya dengan pengetahuannya yang luas tentang Bali dan Hindu, kemudian bisa meyakinkan Pemerintah Belgia beserta masyarakat Belgia sehingga pembangunan Pura Agung Santi Bhuwana ini bisa di wujudkan di taman Parc Paradisio.
Demikian juga ketika mendatangkan para pekerja langsung dari Bali, juga bukannya tanpa hambatan dari masyarakat Belgia ataupun departement tenaga kerja Belgia. Lagi-lagi Mr. Eric Domb, yang sepertinya memang sudah mendapatkan restu dari Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widi Wasa), tidak hanya bisa meyakinkan masyarakat Belgia, tapi juga bisa membuktikan kepada mereka bahwa keahlian para pemahat dan tukang ukir dari Bali dan Jawa tengah memang tidak tergantikan oleh masyarakat Belgia. Ketika tukang ukir dari Bali sedang bekerja memahat dan mengukir batu menjadi sebuah patung, masyarakat belgia memang dibuatnya terkagum-kagum, mereka seolah-olah tidak percaya karena mereka terbiasa bekerja dengan mesin, sementara Tukang ukir dari Bali bisa merubah sebuah batu balok dengan pahat dan alat ukir lainnya yang berukuran kecil-kecil menjadi sebuah patung dengan nilai seni yang tinggi.
Proyek pembangunan Pura Agung Santi Bhuwana dimulai tahun 2006 dengan mendatangkan arsitek dari Bali. Selama dua tahun lebih bekerja siang dan malam dalam suasana berkabut dan bersalju. Untuk menjaga keaslian dan aroma magis ke-Indonesiaan, batu-batu untuk membangun pura besar dan seluruh lapisan tempat berjalan berasal dari Indonesia. Sekitar 320 kontainer batubatu candi diimpor dari lereng gunung Merapi, Jawa Tengah. bagi pengunjung yang mengunjungi kompleks Taman Indonesia ini, seperti terhipnotis dan merasakan seperti memang sedang berada di Indonesia di kompleks candi Prambanan dan candi Boroobudur di Jawa tengah, ataupun berada di kompleks Pura Besakih di Bali yang puranya juga terbuat dari Batu alam, walaupun sesungguhnya mereka sedang berada di Brugelette Belgia di Pura Agung Santi Bhuwana.
Peresmian Pura Hindu dan Taman Indonesia
Peresmian Pura tersebut merupakan bagian dari satu rangkaian acara Peresmian Taman Indonesia (The Kingdom of Ganesha ), yaitu sebuah Kompleks Taman Indonesia seluas 5 hektar di dalam area Taman Wisata Parc Paradisio yang berukuran 55 hektar. Peresmian acara itu di hadiri lebih dari 800 undangan, serta lebih dari 200 umat Hindu yang datang tidak hanya dari Belgia melainkan juga dari negara tetangga juga seperti Belanda, Jerman, dan Perancis. Setelah berakhirnya rangkaian upacara peresmian yang di langsungkan pada hari Senin 18 May 2009, Selanjutnya adalah giliran masyarakat bali yang berdomisili di belgia pada khususnya atau yang berdomisili di eropa untuk terus melestarikan keberadaan Pura ini melalui persembahyangan rutin sehingga spirit dan aura dari Pura Agung Santi Bhuwana ini terus bersinar. Walaupun sesungguhnya Pura ini adalah milik dari Mr. Eric Domb, namun di akhir proses upacara peresmian Mr. Eric Domb sempat berbincang-bincang dengan pemimpin agama yang meminpin jalannya upacara saat itu dan mengatakan “This (Temple) is for you” (Pura ini adalah untuk anda umat hindu di belgia / eropa). Oleh karenanya adalah kewajiban masyarakat bali ataupun umat hindu yang bermukim di Belgia atau di Eropa untuk melaksanakan ritual upacara setiap 6 bulan sekali, atau melakukan persembahyangan di bulan Purname setiap bulannya, sehingga spirit dan aura Pura tersebut terus terpancarkan.

Image by: Leak Bali
Dengan berdirinya Pura di Eropa seperti Pura Agung Santi Bhuwana Belgia, Pura Sangga Bhuana Hamburg, dan Pura Tri Hita Karana Berlin, secara automatis keberadaan Pura tersebut memerlukan keberadaan rohaniawan Hindu selaku pemimpin upacara untuk menuntun (memimpin) jalannya upacara dan persembahyangan yang berlangsung di Eropa.
Rohaniawan Hindu di Eropa yang termasuk ekajati dan digolongkan sebagai pinandita (pemangku) semuanya telah menjalani upacara yadnya berupa pawintenan sampai dengan Adiksa Widhi di pura dimana pemangku tersebut “ngemong”. Rohaniawan Hindu atau Pinanadita tersebut memang sangat diperlukan oleh umat Hindu yang ada di Eropa. Hal ini karena persoalan hidup beragama dimasa depan nampaknya akan menjadi semakin kompleks.

Dagang Banten Bali


Sesuai dengan Desa (tempat) Kala (waktu) Patra (kondisi) di eropa kewenangan para rohaniawan hindu tersebut diharapkan memang tidak hanya sebagai “Sang Pemuput Karya Odalan” atau hanya bertanggung jawab atas kesucian Pura yang dipimpinnya, tapi juga diharapkan dapat menjadi panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dengan selalu ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang maha Kuasa).
Dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan lainnya umat memerlukan tuntunan dari Rohaniawan Hindu atau Pemangku. Tujuannya tidak lain adalah agar semua umat manusia dapat hidup rukun dan damai, hidup tenang dan tentram, selalu dijauhkan dari perselisihan dan pertentangan, dijauhkan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak baik.
Pinandita Pura Agung Santi Bhuwana Belgia
Bersamaan dengan upacara pemlaspasan (peresmian) Pura Agung Santi Bhuwana di Belgia pada hari Senin Umanis Medangkungan 18 Mei 2009, proses pemilihan pemangku seperti layaknya di Bali juga berlangsung di belgia. Upacara pemlaspasan dan ngenteg linggih yang di pimpin oleh Ida Pandita Putra Telabah (d/h. Prof. Dr dr IB Narendra) dan Ida Pandita Agastya, meminta kepada semeton Bali yang berdomisili di Belgia untuk berkumpul melaksanakan persembahyangan secara khusus untuk pemilihan menjadi pemangku pura.
Salah satu diantara mereka yang akhirnya terpilih adalah Made Sutiawijaya MBA, seorang mantan staff KBRI Belgia. Bila di lihat dari sisi umur dan kedewasaan, terpilihnya Made Sutiawijaya ditanggapi oleh sebagian besar semeton bali yang berdomisili di belgia memang merupakan orang yang paling tepat. Keseluruhan tahapan proses pawintenan seperti layaknya di bali untuk menjadi seorang Pinandita langsung di selesaikan oleh Ida Pandita saat itu.
Adapun tugas pertama pinandita Sutiawijaya sesegera setelah di tetapkan menjadi pemangku di Pura Agung Santi Bhuwana Belgia adalah menentukan hari pujawali pura. Mengingat hari pemlaspasan Pura dilaksanakan di hari senin yang merupakan hari kerja bagi sebagian besar umat yang ada di Eropa, dan bila pujawali dilaksanakan persis seperti hari pemlaspasan pura, kemungkinan umat yang hadir akan sedikit karena sebagian besar dari mereka bekerja. Kemudian bersama dengan Ida Pandita dan semeton Bali di belgia, Pinandita kemudian mencoba mengusulkan agar pawedalan pura dilaksanakan di hari sabtu, seperti mempertimbangkan pemilihan hari raya tumpek yang jatuh di hari sabtu.
Harapan
Akhir kata, Keberadaan Pura di Eropa ini sungguh sangat membantu mengobati kerinduan masyarakat Bali yang merantau di Eropa akan tempat kelahiran, tanah leluhur serta sanak saudara nun jauh di Bali. Seperti memang sudah suratan dan takdir bahwa masyarakat bali memang tidak bisa di pisahkan dari berkesenian, setiap kali melaksanakan ritual persembahyangan di Pura Belgia ini, tari tarian bali yang diiringi dengan irama gamelan bali selalu dipentaskannya, sehingga selalu menarik perhatian pengunjung Taman Wisata Parc Paradisio untuk berdesak desakan menonton tarian bali ini. Ibarat pepatan sambil menyelam minum air, buat masyarakat bali yang ada di Belgia, selain bisa melakukan persembahyangan mereka secara bersamaan bisa selalu berkontribusi mempromosikan Kesenian serta kebudayaan asli Indonesia kepada masyarakat Belgia atau masyarakat Eropa.
** terima kasih untuk semua pihak

Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman


Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman. Terletak di Hamburg tidak jauh dari pusat kota, Pura Sangga Bhuwana dibangun dan terlihat kokoh & simple dengan Tinggi 8 meter didepan museum Voelkerkunde. Sebuah museum Etnologi. Pura ini digunakan sebagai tempat persembahyangan umat Hindu yang bermukim disana, untuk mencapai pura ini bisa menggunakan transportasi bus atau kereta api yang lokasinya dekat dengan kota Hamburg. Sejak awal dibangun pura bernuansa Bali ini, oleh karena adanya anjungan budaya Bali di museum dan membuat pihak pengelola museum dan publik ingin mengenal lebih jauh tentang budaya Bali. Dibarengi dengan ide tersebut tempat persembahyangan diantara warga Bali yang sudah menetap di Hamburg membuat mereka bersemangat membuat pura dan diresmikan pada tahun 2010. Pura pun dibangun berdasarkan aturan sakral Hindu dan mendatangkan pendeta yang memimpin upacara dari Bali, pura disumbang oleh donatur dari Jerman, warga Bali yang menetap di Hamburg dan pemerintah federal Hamburg melalui pengelola pihak museum dengan biaya 200.000 euro atau sekitar 3 milyar rupiah.
Dalam proses pembangunan pura Sangga bhuwana hamburg Jerman,semua perlengkapan dari Batu,ukiran,Patung dan arsitek ahli bangunan Bali didatangkan dari pula Dewata Bali dengan dipandu ahli arsitek dari jerman agar sesuai dengan suasana alam dan iklim saat musim salju di wilayah Hamburg. Upacara persembahyangan senantiasa dilakukan oleh umat Hindu di Hamburg Jerman dihari baik dalam kalender Hindu seperti Purnama dan Tilem.
Upacara piodalan Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman dilakukan tepat pada Hari Raya Kuningan dimana jatuh setiap 210 hari sekali.
Dagang Banten Bali



Jika kebetulan semeton berkunjung (tangkil maturan) saat musim dingin ke Pura Sangga Bhuwana Hamburg jangan lupa untuk menggunakan pakaian hangat agar nyaman karena pernah terjadi pemedek kedinginan dan tirta menjadi beku. Dengan adanya pura membuat masyarakat Indonesia yang berada Jerman dapat sesering mungkin berkunjung ke museum untuk berwisata dan sekaligus bertirtha yatra bagi yang Hindu. Hal ini dapat mempererat hubungan baik antar sesama warga Indonesia di Jerman dan yang beragama Hindu, sehingga terjalin hubungan yang harmonis.
Untuk mempermudah mencari letak Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman gunakalah keyword dan titik koordinat ini : Voelkerkunde Museum Rothenbaumchaussee 64, 20148 Hamburg, Germany pada google maps