Kamis, 19 Juli 2018

Bhāgavad Gītā disebut sebagai Pañcama Veda karena Mahābhārata dan Rāmāyana (Itihāśa) dan Purāṇa




Om Swastyastu, pada tanggal 10 September 2020 yang lalu, seorang "pejuang" memposting sebuah pertanyaan di wall Facebook nya, yaitu :
//Sekarang serius ini saya bertanya kepada ahli kitab karena ketidaktahuan. Kenapa Bhagawad Gita dikatakan Pancamo Weda dan Mahabarata tidak disebutkan Pancamo Weda sementara Gita ada dalam Mahabarata itupun di dalam Bhisma Parva ????//
Atau bisa juga di akses dalam link ini :
Atas pertanyaan ini, maka saya akan menjawabnya, bahwa Bhāgavad Gītā disebut sebagai Pañcama Veda karena Mahābhārata dan Rāmāyana (Itihāśa) dan Purāṇa telah di sebutkan sebagai Veda kelima.
Itu lah dasar mengapa Bhāgavad Gītā disebut sebagai Pañcama Veda, karena Gītā terhimpun didalam Mahābhārata yang adalah Pañcama Veda, makanya di identifikasikan sebagai Pañcama Veda juga.
Mengenai dasarnya, sebenarnya terdapat banyak referensi yang dapat kita temukan, namun saya akan memberikan 1 saja referensi mengenai keberadaan Itihāśa dan Purāṇa sebagai Pañcama Veda, yaitu didalam Kautumiya Chandogya Upanisad 7.1.4 yang merupakan himpunan yang ada dalam Śruti :
नाम वा ऋग्वेदो यजुर-वेदह साम-वेद अथर्वनस कथि इतिहास-पुरानाह पंचमो वेदानम् वेदः ||
Artinya :
"Sungguh, Rg, Yajur, Sama dan Atharva adalah nama dari empat Veda. Itihāśa dan Purāṇa adalah Veda kelima."
Jelas disini dapat kita lihat bahwa Itihāśa dan Purāṇa merupakan bagian dari Veda. Terdapat beberapa referensi lain yang bisa didapatkan dalam Veda, seperti misalnya dalam himpunan Veda yang biasanya di jadikan referensi dalam Hindu Nusantara, yaitu Sarassamucaya sloka 39 yang menyebutkan juga bahwa pembelajaran Veda harus melalui Itihāśa dan Purāṇa.
Satu komentar menarik yang dapat saya lihat dalam post nya adalah komentar tentang Pañcama Veda yang katanya hanya di lontarkan bagi orang yang tidak paham akan Veda :
//Karena yg mengatakan seperti itu adalah orang sejatinya tidak memahami Wedha, tapi mengaku paham. Disamping itu yg mengatakan begitu punya kepentingan untuk menyebarkan ajaran kelompoknya untuk mencari pengikut.//
"Pejuang" yang satu ini mungkin juga tidak mengetahui bahwa konsep Itihāśa dan Purāṇa sebagai Pañcama Veda sesungguhnya telah terdapat dalam Śruti itu sendiri.
Mungkin sekian tanggapan saya saat ini, saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisannya, terimakasih.
Om Śānthi Śānthi Śānthi Om

PERISTIWA BANJIR BESAR DALAM TRADISI AGAMA SEMIT DAN ARYA




By: Menachem Ali
Airlangga University
SANSKRIT COSMOPOLIS
1. Prof. Sheldon Pollock menegaskan adanya "Sanskrit Cosmopolis" dalam karyanya yang berjudul "The Language of the Gods in the World of Men: Sanskrit, Culture and Power in pre-Modern India (University of California Press, 2006).
2. "Sanskrit Cosmopolis" dapat dibuktikan melalui kajian inskripsi, linguistik diakronis, dan kajian sastra keagamaan.
3. "Sanskrit Cosmopolis" membuktikan adanya migrasi teks Sanskrit ke Asia Tenggara dan migrasi teks Sanskrit dalam budaya Semit (Asia Barat).
INSKRIPSI "BOGHAZKOI" (1400 BC).
1. Inskripsi perjanjian antara Suppiluliuma, raja Hitti dan Mattiwaza, raja Mitani, ditulis dalam bahasa Akkadia.
2. Tertulis nama-nama para dewa: "Mitra", "In-da-ra", "Varuna" dan "Natasya" (lihat Rig-Veda I.64.46).
Indram, Mitram, Varunam, Agnim ahur
athodivyah sa suparno Garutman
ekam sad vipra bahudha vadanti
Agnim Yamam Matarisvanam ahuh
SRIMAD BHAGAVATAM, TABLET EPIK GILGAMESH (BABEL) DAN BIBLE
1. Peristiwa banjir besar tercatat dalam teks keagamaan rumpun Arya dan Semit, yakni kitab Srimad Bhagavatam Purana, Epik Gilgamesh dan Bible (Sefer Bereshit).
2. Intertekstualitas pada level tekstual dan pada level tradisi. Ada 4 opsi dalam membahas kesejajaran narasi "BANJIR BESAR" yang meliputi seluruh bumi.
* Epik Gilgamesh mengadopsi dari Bible
* Bible mengadopsi dari Epik Gilgamesh
* Keduanya mengadaptasi dari sumber yang sama.
* Srimad Bhagavatam Purana sbg sumber.
LINTAS TRADISI: MANU - NOACH - NUH
1. Semua teks dari berbagai latar agama yang bermacam-macam, sebenarnya merekam "the great heritage" yang sumbernya berasal dari Yang Maha Agung yang mengisahkan tentang keturunan orang yang saleh, yang naik ke bahtera Nuh. Itulah sebabnya kita dapat berkata: אנחנו בני אב אחד - Anahnu b'nei Av echad (Kita berasal dari Bapa yang satu), yakni Nuh atau Manu, dan dialah sebenarnya nenek moyang kita semua.
2. Agama-agama Abrahamik yang merujuk pada 3 agama besar, yakni Yahudi, Kristen dan Islam faktanya memang belum lahir dalam pentas sejarah.
3. Kitab Manu Smriti-veda sebagai kitab hukum memang diwahyukan TUHAN dan diterima oleh Manu pasca peristiwa banjir besar yang menenggelamkan seluruh bumi. Manu saat itu mempunyai 3 orang putra; dalam teks Vedic Sanskrit namanya disebut Charma, Sharma, dan Yapeti; dan dalam teks Septuagint Yunani dan teks Vulgata Latina - nama mereka disebut dengan nama Cham, Sem, Iapheth (Genesis 7:13). Sementara itu, dalam kitab تنوير المقباس من تفسير ابن عباس (Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni 'Abbas) nama-nama bertradisi Arya tersebut juga ada kesejajarannya dalam versi tradisi Arab-Islam, yakni حام (Cham), سام (Sam) dan يافث (Yafats).
Tatkala membahas teks Quran khususnya ayat dari QS. Hud 11:48 maka Ibnu 'Abbas berkata:
وكان معه ثلاتة بنين سام وحام ويافث
"Wa kana ma'ahu tsalastah banin Sam, wa Cham wa Yafats" (dan Nuh disertai 3 putranya yakni Sam, Cham dan Yafats), see al-Fayruzabadi (ed.), Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn 'Abbas (Lubnan: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2011), hlm. 237
Manu diperintahkan TUHAN untuk menaiki bahtera besar sehingga hanya Manu dan orang-orang suci saja yang selamat dari banjir besar tersebut. Peristiwa banjir besar ini merupakan "pralaya" atau "total destruction." Catatan mengenai peristiwa banjir besar yang melanda seluruh permukaan bumi tersebut diabadikan dalam teks suci Hindu.
"Srimad Bhagavatam Purana." I.3.15.
rupam sa jagrhe matsyam
caksusodadhi-samplave
navy aropya mahi-mayyam
apad vaivastavam manum.
"Ketika terjadi banjir bandang pasca periode Caksusa Manu dan seluruh dunia tenggelam. Tuhan berinkarnasi sebagai ikan dan melindungi Vaivasvata Manu, dengan menempatkan beliau ke atas kapal." Lihat AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana). Skanda Satu - Jilid 1 "Ciptaan" (Jakarta: Hanuman Sakti, 2015), hlm. 205-206
Dalam kitab Srimad Bhagavatam Purana VIII.24.41 tertulis demikian:
tata samudra udvelah
sarvatah plavayan mahim
vardhamano maha-meghair
varsadbhih samadrsyata
"Thereafter, gigantic clouds pouring incessant water swelled the ocean more and more. Thus the ocean began to overflow onto the land and inundate the entire world." see AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam. Eighth Canto-Part Three (New York: the Bhaktivedanta Book Trust, 1976), pp. 253-254.
"Kemudian, awan-awan mahabesar mencurahkan hujan mahadahsyat yang membuat permukaan lautan terus semakin meninggi. Demikianlah kemudian lautan mulai meluap membanjiri daratan di seluruh dunia." Lihat AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) Skanda VIII Jilid 3 "Peleburan Ciptaan Alam Semesta" (Jakarta: Hanuman Sakti, 2015), hlm. 288.
Itulah sebabnya, kitab hukum yang diterima Manu ini disebut juga kitab Manu Smriti-veda atau disebut kitab Manawa Dharmasastra. Menariknya, nama Manu seakar dengan penyebutan "Man" atau "human" dalam bahasa English, yang satu rumpun dengan bahasa Sanskrit, dan dari istilah Manu inilah kita semua disebut "manusia", sebab kita semua adalah keturunan Manu yang selamat dari peristiwa banjir besar tersebut. Menariknya, istilah Manu dalam bahasa Sanskrit bermakna "berpikir" atau "kecerdasan", dan itulah sebabnya "manusia" disebut sebagai "animale rationale." Sementara itu, dalam tradisi agama-agama Abrahamic bertradisi Semitik, tokoh Manu ini ternyata sejajar dan identik dengan figur Nuh (نوح) ataupun Noach (נוח), yang juga diperintahkan oleh TUHAN untuk membuat bahtera besar. Pasca peristiwa banjir besar itulah maka akhirnya TUHAN memberikan hukum Nuh (Noach) yang kemudian disebut Noachic Laws, sebagaimana yang tercatat dalam kitab Mishnah, sebagai תורה שבעל-פה (Torah she be'al phe) bagi penganut agama Yahudi.

Pariprashna bukan Intelektual Extravaganza


Dalam meniti jalan spiritual, jalan Dharma, Sanatana Dharma, peran intelek sangatlah penting. Itulah sebabnya dlm do'a, dlm Rk Savitri yg populer sbg Gayatri Mantra kita memohon kpd Tuhan yg disebut sbg Savita, agar membimbing dan menuntuk Intelek kita shg bergerak menuju pencerahan.
"Bhargo devasya dhiimahi,
dhiiyo yo nah pracodayat..."
Apakah peran intelek shg begitu penting dlm meniti dharma? Dan mengapa pula Intelek perlu dituntun? Apakah jadinya bila intelek kita tdk dituntun/diarahkan dg benar?
Adalah fakta bahwa manusia sbg mahluk berpikir dan inteleknya sangat menentukan arah pikirannya. Itu pula sebabnya dr Catur Marga ada JINANA MARGA, yaitu jalan Intelektual, jalan analisa, path of reasoning.
Lalu apa itu Pariprashna? Mungkin kita pernah membaca/mendengar buku bernama Prashna Upanisad. Yg isinya adlh pertanyaan2 dan dr pertanyaan itu diberikanlah jawaban yg mencerahkan.
Dlm Bhagavad Giita juga dijelaskan pentingnya Pariprashna,
Tad viddhih pranipatena pariprashnena sevaya,
Upadiksyantite jinanam jininah tattva darsinah.
Pelajarilah kebenaran itu dari para bijaksana melalui pranipatta (bhakti), pariprashna (pengetahuan), dan sewa (pelayanan-karma).
Jadi Pariprashna adalah pertanyaan2 yg diajukan guna memperoleh jawaban dan dg jawaban tersebut dpt memberikan pencerahan, penerangan bgmn melangkah meniti jalan Dharma.
Lalu apakah intelektual extravaganza? Dia adlh pertanyaan2 yg bukan untuk mendapatkan jawaban, tapi semata untuk menguji, mencari celah perdebatan, atau menunjukkan superioritas diri dg beradu argument (berdebat). Intelektual semacam ini nanyak sekali kita temukan sekarang, ya... manusia sekarang perkembangan intelektualnya sdh cukup berkembang baik dibandingkan generasi sebelumnya, tetapi akibat absennya "PARIPRASHNA" potensi intelektual ini terbuang sia2, hanya menghabiskan waktu dan energy untuk memperdebatkan sebuah topik tanpa manfaat pd akhirnya. Dan ironisnya lbh banyak menyumbangkan kebingungan bagi kaum awam akibat dispersi pendapat pr intelektual yg cenderung saling menjatuhkan/menyalahkan.
Oleh karena itu mari kita giatkan PARIPRASHNA dan hindari INTELEKTUAL EXTRAVAGANZA. Agar seperti do'a yg setiap hari kita panjatkan,
Dhiiyo yo nah pracodayat....
Bimbinglah intelek kami agar menuju pencerahan...
Melalui Pariprashna, bukan dg Intelektual Extravaganza.

Rabu, 11 Juli 2018

Perkembangan Sanatana Dharma Global





Perkembangan Sanatana Dharma (Hinduisme)di Afrika (1)
Afrika Selatan dan Arya Samaj bagian pertama
Sejak dari jaman dahulu Afrika khususnya Afrika Utara (Mesir) memiliki hubungan dagang dan peradaban dengan India. Penyakit cacar di India konon ditularkan lewat perdagangan dengan Mesir. Beberapa cantrik Yunani yang belajar matematika dan filsafat ada yang melanjutkan pelajaran hingga ke India misanya Pherekides, salah satu guru Phytagoras yang mengajarkan Phytagoras konsep reinkarnasi, dan salah satunya orang yang menginspirasi Phytagoras belajar ke Mesir.
Negeri India disebut Punt oleh orang Mesir kuno dan orang Mesir mengimpor resin, kayu jati, cendana, binatang eksotik liar untuk kaum bangsawan dan orang kaya Mesir, emas, kayu eben, dan lain-lainnya. Perdagangan Mesir -India dilakukan lewat jalur laut laut dan pelabuhan India di selatan yakni Ovir. Sejumlah sejarahwan ada yang mengkaitkan peradaban bangsa Dravida yang berkulit hitam dengan peradaban bangsa Mesir kuno yang berkulit hitam dan bangsa Sumeria (di Irak kuno) yang juga berkulit hitam. Mitlogi ketiga bangsa pun memiliki banyak kesamaan. Namun catatan tertulis Mesir pertama tentang ekspedisi ke India adalah pada mas firaun Sahure (abad ke-25 Sebelum Masehi) atau lebih dari 4000 tahun yang lalu.
Ketika Afrika dan India adalah jajahan Inggris, pemerintah Inggris sering memakai orang India sebagai pegawai adminstrasi kolonial, tentara, dan pekerja kasar ; misalnya untuk pembangunan jalur kereta api di Afrika. Migrasi orang India ini kemudian membuat kantong -katong diaspora India di Afrika hingga sekarang. Negeri Afrika yang didominasi keturunan India adalah Mauritius dengan populasi lebih dari 50 persen. Negara lain yang memiliki populasi diaspora India yang besar adalah Afrika Selatan yang mencapai lebih dari 500.000 orang. Mahatma Gandhi muda misalnya pernah tinggal di Afrika Selatan.
Orang India di Afrika memiliki banyak kepercayaan terutama Hinduisme, Islam, dan Nasrani. Akan tetapi di Afrika Selatan jumlah penganut Hindu mengalami penyusutan karena ada yang beralih ke Protestanisme khususnya ajaran Pantekosta. Angka resmi konversi tak diketahui dan tak dicatat di Afrika Selatan yang sekuler. Selain misionarisme, hal ini disebabkan oleh problem orang Hindu sendiri di Afrika Selatan, Orang Kristen India di Afrika Selatan berasal dari kalangan rendah India yang terkonversi pada masa kolonial sedang konversi setelah abad ke-20 selain disebabkan pelayanan sosial kemanusiaan berupa layanan kesehatan dan pendidikan juga karena celah kelemahan sistem kasta yang mendapat serangan dari paham-paham luar Hinduisme. Di Afrika Selatan, orang kaya India dari umumnya kasta atas sangat mempertahankan status sosial mereka dan menjaga jarak dengan kaum kasta rendah. Pernikahan antara dua golongan pun sulit sehingga ada yang beralih kepercayaan untuk pernikahan. Menurut Hindusm Today hal ini desebabkan oleh kurangnya pemahaman kaum Hindu Afrika Selatan akan sendi-sendi utama ajaran Veda., serta kurangnya pengetahuan akan sastra dan aksara Hindu. Para pemuka agama Hindu kurang memberikan pencerahan dan pengajaran spiritual kepada umat dan sibuk dengan tradisi dan upacara. Sistem kasta yang bukan ajaran Veda tapi sistem sosial bentukan manusia seiring zaman menenggelamkan kemuliaan Hinduisme.
Di lain pihak di luar dugaan angka orang Arika asli khususnya yang berkulit hitam yang memilih paham Sanatana Dharma di Afrika mengalami peningkatan signifikan. Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi di tengah penurunan umat Hindu keturunan India di Afrika?. Ternyata paham paham Sanatana Dharma yang masuk dan diambil oleh orang Afrika kulit hitam adalah paham-pham Sanatana Dharma yang spiritual (sering disebut secara populer paham Yoga), dan paham Hinduisme modern semisal Arya Samaj yang bebas sistem kasta.
Di Afika Selatan nektar Hinduisme disampaikan terutama oleh sebuah organsasi Vaishnava dan Arya Samaj. Paham Arya Samaj dibawa ke Afrika Selatan oleh Bhai Pharmanand dan Svami Shankarand yang diutus oleh gerakan reformasi Hindu ini pada tahun 1905. Ia memberikan pracar/dharma wacana (dakwah) kepada komunitas India tentang ketuhanan, peradaban dan agama Hindu yang benar menurut paham Arya Samaj yang reformis, serta pentingnya bahasa Sanskerta dan bahasa ibu. Salah satu pendengar setia kelas-kelas Arya Samaj di Afrika Selatan adalah Mahatma Gandhi muda.
Arya Samaj (Masyarakat yang Mulia) didirikan di India tepatnyadi Mumbai oleh Dayananda Saraswati seorang yang anti sistem kasta pada 10 April 1875. Pada masa aktifnya beliau berusaha untuk mematahkan hegemoni pendidikan a la Ingris di India dengan membuat sistem pendidikan berdasarkan ajaran kuno India yang ia bangkitkan lagi yakni sistem Gurukula. Ia mengajarkan pengajaran berbasis nilai Veda, pemisahan kelas antara anak lelaki dan anak perempuan, budaya, Satya (kebajikan) dan Sanantana Dharma nama kuno untuk Hinduime yang bermakna menurut Arya Samaj esensi dari kehidupan.

Senin, 09 Juli 2018

ARDHANARESWARI







onsep Ardhanareswari mempunyai latar belakang Weda dan kesusastraan Weda. Di dalam simbologi Weda dijelaskan melalui beberapa nama yang merupakan pasangan: Pita-Mata, Parardha-Avarardha (setengah atas-setengah bawah), Katamardha-Visvardha (setengah tak diketahui-setengah dunia), Prana-Apana, Yuvan-Yuvati, Mitravaruna-Urvasi, Purnakumbha-Kumbhini, Nara-Nari, Deva-Devi, Dasa-Aditi, Manas-Kama, Uparisvit-Adhahsvit, Prayati-Svadha (energi-material), Parastat-Avastat, Visvasrj-Visvasrsti, Suparna-Suparni dan pasangan-pasangan lain laki-laki dan wanita yang muncul bersama-sama di dalam kosmogoni Veda.
Kata 'Ardhanareswari' terdiri atas tiga kata: 'ardha', 'nari', dan 'isvara' bermakna 'isvara' (adalah Siwa) dengan 'nari' (yaitu Parwati) sebagai 'ardha' (yaitu setengah/separoh). Sebuah bentuk atau wujud dimana tubuh yang sama dibagi oleh Siwa dan Parwati masing-masing mencerminkan separuh bagian dari bentuk yang sama. Artinya, satu bagian berwujud Siwa, satu bagian lainnya merupakan perwujudan Parwati, pasangannya, namun dalam satu wujud. Satu wujud mempunyai dua bagian: setengah laki-laki, setengah wanita. Kedua belahan ini menyatu dan menunggal di dalam satu wujud. Acintya atau disebut juga Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Licin merupakan wujud penunggalan itu. Dalam wujudnya sebagai Acintya jenis kelamin: laki-laki atau wanita tidak nampak lagi. Di sini tidak ada batas pemisah atau pembeda Siwa dengan Sakti, Purusa dengan Pradhana, laki-laki dengan perempuan, Siwa dengan Buddha, Adwaya dengan Adwaya Jnana. Dikatakan Siwa-Buddha tunggal.
Pada dasarnya konsep ini memposisikan dua kekuatan yang berbeda, saling bertolak belakang dalam sifat sebagai kekuatan yang disatukan untuk mencapai penunggalan.
Di dalam mazab Tantrayana, Ardhanareswari merupakan konsep penunggalan antara Siwa dan Sakti. Penunggalan ini merupakan asal muasal alam semesta beserta segala isinya.
Ardhanareswari adalah juga konsep penunggalan Siwa-Buddha. Konsep ini sebagai wujud konsep Rwa Bhineda, dua kekuatan yang saling bertolak belakang namun saling memerlukan untuk diajak bekerja sama menuju kepada satu tujuan tertinggi. Dunia dengan segala isinya berasal dari dua kekuatan berbeda: Purusa-Pradhana, Siwa-Parwati, Siwa-Sakti, laki-laki-wanita. Di dalam ajaran Buddha ini diistilahkan dengan Adwaya-Adwaya Jnana, Adi Buddha-Prajnaparamita. Persatuan dari dua kekuatan yang antagonis ini disebut Ardhanareswari. Di Bali disebut Bhatara Ardhanareswari sebagai Sang Hyang Tunggal. Di Pura Besakih penyatuan Siwa-Buddha diwujudkan dalam wujud Sang Hyang Surya-Chandra.
Ikonografi Ardhanareswari atau Ardhanareswara sangat banyak jumlahnya tersebar di penjuru India dan Indonesia. Inilah salah satu murti dari Siwa. Di Bali arca Ardhanareswari disimpan di Pura Puseh Tejakula, Buleleng dan di Pura Melanting Pejeng Gianyar, Bali. Dalam masa klasik arca ini disebut Hari-Hara. Hari sebagai aspek Pria, sedangkan Hara sebagai aspek wanita.
Dalam praktek keagamaan Hindu di Bali eksistensi konsep Ardhanareswari dijabarkan ke dalam berbagai bentuk dalam berbagai tataran. Banten Ardhanareswari dibuat manakala membangun yajna Ngenteg Linggih di Pura/parhyangan. Banten (sesajen) ini dipersembahkan melalui puja stuti ketika digelar Upacara Mejejiwan di bale Peselang. Pendeta Siwa dan Buddha juga dipandang sebagai aspek-aspek dari konsep Ardhanareswari. Pendeta Siwa dipandang sebagai representasi aspek Purusa; sementara pendeta Buddha sebagai representasi aspek Pradhana; jika pendeta Siwa dipandang sebagai langit, maka pendeta Buddha sebagai pertiwi; jika di dalam prosesi pemujaannya pendeta Siwa dari atas ke bawah; sementara pendeta Buddha dari bawah ke atas. Mereka melakukan pendakian rohani dan menunggal di dalam pemujaan Yang Maha Tunggal disebut Siwa-Buddha yang ber-sthana di atas Padmasana. Karena konsep inilah dihadirkan dua Pendeta (Siwa dan Buddha) di dalam muput suatu karya yajna, apalagi tergolong uttama.

Yadnya Kurban Hewan





Pasu Yadnya ke-6
Weda adalah merupakan sumber tertua daripada tradisi intelektual orang Asia khususnya India dan pada umumnya Dunia. Para insan intelektual saat ini memiliki tafsiran beragam atas kapan kebudayaan Weda yang muncul pertamakali di India (Jambu Dwipa/Hindustan) ini dimulai. Weda tersebut disebutkan didapat oleh Para Maharsi berbeda-beda dalam samadinya.
Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa Weda ini mulai dikumpulkan dan dirangkum atau dikompilasi pada masa 5000/4000 tahun sebelum masehi dan paling akhir adalah 1000 tahun sebelum masehi. Sedangkan kita ketahui bahwa usaha merangkum Weda ini dilakukan oleh Bhagawan Wyasa menjadi Catur Weda. Jadi penerimaan Para Maharsi berbeda dibagi dalam 4 Weda: Rig, Sama, Yayur dan yang terakhir disebut Atharwa Weda karena disebut datang dari Atharwan.
Weda sebenarnya adalah Yajna (Yadnya) hanya saja Yadnya yang dimaksud disini adalah bukan bermakna Yadnya Kurban Hewan seperti yang akan saya bahas saat ini. Yadnya Weda bermakna sangat luas dan disebutkan bahwa Yang Agung juga melakukan Yadnya sehingga Dunia Material ini terbentuk atau terlahirkan dan juga akan mengalami akhir disuatu masa adalah merupakan dalam siklus Yadnya dari Sang Pencipta yang telah menjadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Rig Weda ada memuat berbagai stanza yang menyebut masalah persembahan yang dihaturkan saat Yadnya dijalankan dan dimaklumi bahwa pemujaan yang bersifat murni adalah amat sangat jarang muncul sebagai landasan dari Yadnya sebab umumnya kita ajukan harapan dan permintaan pada proses Yadnya tersebut. Sama Weda dan Yayur Weda lebih dikaitkan pada ritual daripada Yadnya. Kemudian sloka-sloka text Brahmana menerangkan berbagai hal mengenai Yadnya Kurban dengan umumnya berisi perbandingan dan hubungannya sebagai contoh untuk mudah dimengerti. Misalkan Kurban dibandingkan atau di indentifikasi sebagai pakaian atau Wastra, Kijang dibandingkan dengan sebuah kendaraan, dst.
Pada bekas reruntuhan Kota Mohenjodaro dan Harrapa di lembah sungai Sindu ditemukan altar pemujaan homa atau hotra yang juga berisi persembahan Kurban Hewan sesuai juga yang tersurat pada Atharwa Weda. Juga dari hasil temuan bukti arkeologi dapat dikatakan dengan pasti bahwa ada praktek Yoga dan pemujaan kepada Dewi.
Yadnya dalam artian diluar daripada apa yang dimaknai Kurban Suci Hewan adalah merupakan aspek penting dari tradisi Weda. Yadnya bermakna mempersembahkan dan juga diperkenankan untuk berisi permintaan dan permohonan. Karena Yadnya yang murni tersebut adalah amat sangat jarang.
Untuk di Bali persembahan Kurban Yadnya Hewan kemungkinan dimulai dari Era Kertarajasa, Maharaja dari Singosari Jawa yang telah mengakusisi Bali pada masanya. Beliau disebut sebagai Bhakta Bhairawa yang sangat taat. Dan sejak saat itu Bali kemudian juga memiliki penganut Hindu atau Sanatana Dharma agama Siwa Bhairawa. Sedangkan bila dilihat masih dipertahankannya persembahan sate tanpa daging oleh penduduk desa-desa tertua di Bali maka dapat dipastikan bahwa Hindu atau Sanatana Dharma dari agama Waisnawisme dan Buddhisme adalah yang pertamakali dianut di Bali (Dugaan Para Ahli juga demikian).
Istilah Kurban Hewan di Bali adalah juga berasal dari Sanskerta yaitu kini disebut Jatah. Jatah sendiri sebenarnya bermakna penyembelihan hewan sehingga pada persembahan yang disebut Jatah akan berisi sebelumnya proses penyembelihan hewan dan umumnya dari Babi dan Hewan yang dianggap suci lainnya. Daging dan kepala hewan itu kemudian dirangkai sebagai persembahan. Istilah Jejatah kini lebih umum bermakna sate dari daging kurban hewan pada persembahan tersebut. Kemudian Gayah adalah persembahan dari tulang Hewan Kurban atau dari hasil Jatah. Akan tetapi untuk dibeberapa tempat di Bali istilah Gayah dan Jatah adalah disamakan.
Pada aspek banten Bali yang dibagi dua maka persembahan ini termasuk rangkaian Yadnya harapan atau permohonan penyucian kepada aspek Bhutakala serta penyucian bagi hal-hal yang bersifat lahiriyah dan duniawi.
Sangat disayangkan kini juga ada yang ikut latah dalam mispersepsi prihal Siwa Bhairawa. Sebagaimana dengan masalah perbantenan di Bali yang dimana juga kebanyakan orang tidak bisa menyebutkan maknanya kecuali dengan istilah “memang demikian” atau “mule keto”. Pemahaman tentang Bhairawapun juga ada yang semena-mena melihatnya dari sudut ketidak tahuan dan bahkan menjurus penghakiman negatif. Hal demikian sangat dimaklumi karena terbatasnya pengetahuan kita akan sejarah masa lalu. Konon Pura dengan juga disematkan nama Siwi disebut adalah Pura yang didedikasikan bagi Bhairawa dimasa lalu. Sebab nama Siwi tersebut adalah nama lain dari Bhairawa.








Minggu, 08 Juli 2018

upacara homatraya





Dalam lontar Widhi Sastra Roga Sangara Bumi dijelaskan tentang upacara homatraya, harus dilakukan jika teijadi berbagai keanehan, seperti;
a. sapi kawin dengan kerbau,
b. musim kemarau berkepanjangan,
c. wabah penyakit (gering/pandemi) dan hama merajalela
Upacara tersebut dilaksanakan oleh para dwijati dengan tujuan untuk membersihkan jagat.
Barkaitan dengan makna homatraya, lontar Nitisastra Purbasesana , menyebutkan berasal dari kata;
a. homa berarti yoga sakti, dan
b. traya berarti tiga.
upacara homa tersebut mesti dipimpin oleh ; Brahmana Siwa, Brahmana Budha dan Ksatrya Putus
Dalam lontar Nitisastra Pedanda Sakti Wawu Rauh juga dijelaskan tentang kondisi yang mengharuskan agar dilaksanakan upacara homa.
Disebutkan, jika berbagai keanehan dan penderitaan melanda dunia, maka harus dilakukan upacara Panca Bali Krama, upacara Ngelukat Jagat yang disebut upacara Homa Traya.

sampradaya sesat?


Oleh Ida Pedanda Asraya Jati Manuaba
sampradaya sesat?
Jika orang sudah menekuni tattwa, akan memahami bahwa sampradaya bukanlah hal asing dalam Hindu.
Sampradaya artinya garis aguron-guron atau garis perguruan di mana ilmu Weda itu diajarkan dari guru ke murid.
Jadi, umat Hindu yang belajar di Sampradaya artinya belajar menekuni ajaran Weda.
Seharusnya, umat Hindu malu karena tidak pernah tahu bagaimana caranya belajar Weda. Sementara itu, umat Hindu digempur habis-habisan oleh agama lain karena tidak bisa ‘membela diri’ dengan ilmu pengetahuan agama yang mapan.
Kehadiran sampradaya atau garis aguron-guron ini sebenarnya sudah lama ada dalam Hindu. Sebagai contoh, semua pedanda yang ada saat ini adalah produk dari sistem aguron-guron Dang Hyang Dwijendra yang dimulai 500 tahun lalu. Jadi, sistem perguruan ini turun-temurun, dari guru (nabe) ke murid (sisya). Ini adalah ‘sampradaya’ yang sudah ada lama di Bali yang kita kenal dengan sistem siwa dan sisya.
Orang yang ingin belajar di sampradaya itu bukan main-main. Pantangannya banyak. Mereka tidak boleh berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak berhubungan di luar nikah dan bahkan dilarang makan daging (ahimsa).
Orang yang belajar Weda dalam sampradaya adalah orang yang mempraktikkan semua pantangan itu sehingga mereka sesungguhnya bukan manusia sembarangan. Merekalah yang sesungguhnya menegakkan ajaran dharma secara nyata. Merekalah benteng Hindu di masa depan.
Ini mengingatkan saya pada ramalan kuno di tahun 1478, saat Majapahit hancur oleh serbuan Demak. Saat itu, pendeta kerajaan Majapahit, yang kita kenal sebagai Sabda Palon Nayagenggong bersabda bahwa lima ratus tahun setelah runtuhnya Majapahit akan ada agama buddhi, agama cinta kasih yang mengingatkan semua orang akan jati dirinya.
Sabda Palon Nayagenggong adalah Dang Hyang Dwijendra, atau Bhatara Sakti Wawu Rauh.
“Kelak lima ratus tahun setelah ini aku akan kembali, membawa ajaran agama buddhi (agama cinta kasih) dan akan kusebarluaskan. Barangsiapa yang tidak mau mengambil ajaran ini akan ditelan oleh zaman.