Jumat, 15 April 2022

Buda Kliwon Matal dan Kajeng Kliwon

 


#Buda Kliwon Matal merupakan hari suci umat Hindu yang dirayakan dan jatuhnya setiap 6 bulan sekali untuk memuja Sang Hyang Ayu atau Sang Hyang Nirmala Jati guna memohon keselamatan serta anugrah rejeki yang melimpah dsb.
Buda Kliwon Matal merupakan pertemuan antara Sapta wara Buda yang berstana dibarat dengan lambang warna kuning, panca wara Kliwon yang berstana ditengah dengan lambang warna panca warna dan
wuku matal.
Dan pada saat hari Buda Kliwon Natal yang bertepatan juga dengan jatuhnya hari kajeng Kliwon.
#Kajeng Kliwon merupakan hari suci bagi umat Hindu yang jatuhnya pada setiap15 hari sekali, Kajeng Kliwon merupakan pertemuan dari dua unsur triwara dengan unsur pancawara.
Kajeng merupakan bagian dari unsur triwara sedangkan Kliwon merupakan bagian dari unsur pancawara.
#Kajeng merupakan hari prabhawanya dari Sang Hyang Durga Dewi yang merupakan perwujudan dari Ahamkara yang merupakan manifestasi dari kekuatan Bhuta, Kala dan Durga yang ada di muka bumi.
#Sedangkan Kliwon merupakan hari prabawanya Sang Hyang Siwa sebagai kekuatan dharma yang merupakan manifestasi dari kekuatan Dewa.
#Dan pada saat hari Kajeng Kliwon sering dikaitkan dengan
hal - hal yang berbau mistis dan diyakini oleh umat Hindu sebagai harinya Sang Hyang Siwa untuk melaksanakan yoga semadinya untuk
keselamatan dunia.
#Untuk itu setiap umat diharapkan pada saat Kajeng Kliwon untuk melakukan penyucian diri dan bersikap lebih berhati - hati karena kekuatan negatif cenderung lebih besar dari pada kekuatan yang positif, dan itu semua dapat mempengaruhi kehidupan manusia
dimuka bumi ini.



#Karena pada saat hari Kajeng Kliwon umat meyakini bahwa Sang Tiga Bhucari memohon restu dari Sang Durga Dewi untuk menggoda manusia yang melanggar atau berbuat kesalahan juga membuat mara bahaya, mengundang semua desti, teluh, terang jana guna menggoda orang yang tidak menjalan ajaran dharma ataupun
orang yang tidak berbuat baik.
#Dengan demikian sudah sepatutnya dan sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Hindu untuk menghaturkan persembahan dimerajan, pura dan tempat suci lainnya
kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Durga Dewi berupa canang sari, canang raka, puspa harum, tipat dampulan, segehan kepelan, segehan cacahan, segehan putih kuning, segehan panca
warna dsb.
#Semua itu hendaknya disesuaikan dengan tempat atau keadaan dan kemampuan dari masing - masing umat.
#Dan dengan kita menghaturkan semua persembahan dan segehan itu diharapkan agar bisa mewujudkan keseimbangan alam niskala dari alam Bhuta menjadi alam Dewa.
#Semua jenis Banten atau upekara adalah merupakan simbul diri kita, lambang kemaha - kuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung.
(Lontar Yajna Prakrti)
#Banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya bawang merah, jahe, garam dan juga dipergunakan api takep dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda (+) atau swastika disertai beras dan tetabuhan berupa air, arak serta berem.
#Segehan dihaturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu ,
dinatar merajan dihaturkan segehan panca warna ditujukan pada Sang Bhuta Bhucari, dinatar pekarangan rumah dihaturkan pada Sang Kala Bhucari, didepan pintu pekarangan rumah atau angkul - angkul dihaturkan pada Sang Durga Bhucari dan juga ditempat lainya, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun
waktu tertentu.
#Dan dengan sarana segehan ini diharapkan nantinya dapat untuk menetralisir dan dapat untuk menghilangkan pengaruh negatip dari limbah tersebut. #Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari atau pada saat rahinan dan hari - hari tertentu.
#Setiap kepala keluarga hendaknya agar melaksanakan upacara Bali atau suguhan makanan kepada alam
dan menghaturkan persembahan ditempat - tempat terjadinya pembunuhan seperti pada ulekan, sapu, kompor, asahan pisau, dan talenan.
(Manavadharmasastra)


SUNARI

 


Sunari di buat sebatang bambu
(bambu uri ) dan pada bambu tersebut di buatkan lubang- lubang yg berbentuk melengkung atau tegak lurus, sebagai simbul suci " ARDHA CANDRA ," kemudian memiliki lobang berbentuk lingkaran sebagai simbul suci " WINDHU," dan memiliki lobang berbentuk segitiga, sebagai simbul suci " NADHA", sehingga makna dari sunari secara utuh adalah sebagai simbul suci aksara " ONGKARA", sunari di gunakan bila ada pelaksanaan upacara Dewa yadnya dalam ukuran utama seperti KARYA NGENTEG LINGGIH di pemerajan, atau di pura-pura.




sunari ini biasanya dipasangkan pada utamaning mandhala di bagian arah timur laut, dan bila sunari itu di tiup angin maka akan keluar bunyi menyerupai lagu-lagu kesucian.
oleh karena itu sunari juga merupakan simbul-simbul suci dari sloka-sloka atau syair-syair
dari weda dan juga mantram, termasuk SAHA SANG PEMANGKU , KEKIDUNGAN, KEKAWIN yang di sampaikan oleh umat, sebagai kekuatan RELIGIOMAGIS untuk menarik kekuatan SANG HYANG WIDI beserta manifestasinya
maka dari itu sunari ini patut di lestarikan dgn menjaga kesakralannya.
sesungguhnya dengan adanya sunari ini , merupakan penjabaran dari ajaran ITIHASA RAMAYANA, yg intinya pada saat sang ANOMAN naik di pohon Trijata sambil bersenandung dgn tujuan, agar DEWI SITHA cepat keluar dari gedong batu agar sang Anoman dapat menunjukan sebuah cincin emas bermatakan mirah sebagai bukti bahwa dia adalah merupakan utusan dari SRI RAMA , serta dpt memberikan informasi kehadapan Dewi sitha bahwa sri rama masih di hutan dalam keadaan selamat , dan beliau akan siap menjemput -
( kekawin ramayana ).

Turus lumbung hingga merajan




 PULAU Bali juga disebut sebagai ‘Pulau Seribu Pura’. Pura selain merupakan tempat suci Hindu, juga sebagai “sentra rohani”.

Apa saja yang melatarbelakangi perkembangannya dan bagaimana sebaiknya konsep rancangan sebuah pura ke depan?
Sumber prasasti kerap menyebut gunung dan bukit sebagai sthana para dewa. zaman dulu, tempat – tempat tinggi di Bali, di hulu atau di tanah bervibrasi suci, orang-orang membuat suatu bangunan peribadatan, meski sederhana dan sifatnya sementara.
Ketika itu tiangnya dibuat dari turus pohon dapdap, dan sebuah ruangan dengan balai-balai dirakit dari bambu untuk tempat meletakkan sajian (sesajen). Bangunan suci jenis ini disebut Turus Lumbung, bermakna kias “melindungi dan menghidupi pemujanya”.
"Turus dapdap" bermakna tameng atau perisai-alat pelindung diri.
“lumbung” mengandung makna: ranah penghidupan.
Bangunan Turus Lumbung ini sifatnya sementara yang lambat laun diganti menjadi bangunan yang lebih permanen.


Perkembangan teknologi, berimbas juga pada bangunan Turus Lumbung, yang semula berbahan sederhana, lalu dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal), digunakan untuk tempat sesajen. Dari rong tunggal inilah muncul sebutan nama bangunan suci Kemulan yang dipuja suatu keluarga sekelompok kecil. Jika belakangan kepala keluarga kecil sudah berkembang menjadi beberapa keluarga, mereka kemudian mendirikan beberapa buah palinggih.
Seiring perkembangan kultur manusia yang kian maju, bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (me-rong kalih). Lantas berkembang lagi menjadi tiga ruangan (rong telu), untuk menghormati atau memuja para leluhur yang telah disucikan. Palinggih-palinggih baru disejajarkan tempatnya dengan bangunan Kemulan, sehingga keseluruhannya disebut Sanggah atau Pamerajan. Bangunan-bangunan di dalamnya sangat bervariasi, umumnya terdiri dari bangunan Menjangan Saluang, Gedong, Sanggar Agung, Saka Ulu, dan Taksu.
Perkembangan bangunan rong telu lalu disesuaikan dengan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), bermanifestasi selaku pencipta, pemelihara dan pelebur. Kesatuan ketiga dewa inilah disebut dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Dari pengaruh konsep ini bangunan rong telu berfungsi ganda, selain untuk tempat memuja arwah leluhur yang telah suci, pun untuk memuja Sang Hyang Tri Murti.

topeng Sidhakarya

 


Om Swastiastu. Saya berbagi pengalaman sedikit. jika dihitung, saya sudah menarikan sidhakarya sejak saya duduk dibangku kuliah, hingga sekarang. Menjadi Pregina Topeng Siddhakarya itu, tidak cukup paham dan mengerti Agem, tandang, tangkep, Takeh, Olah vokal, Babad, Wirama, Wirasa, miwah Wiraga. Dimana patut nanjek, ngalih angsel dan sebagainya. Tapi juga wajib Mawinten. Tarian ini sakral, dan bukan kesenian profan. Topeng Sidhakarya menyempurnakan yajna (Siddha) sehingga berhasil baik.
Maka dipentaskan juga tidak sembarangan. Urutannya begini, ketika Ida Sulinggih sampun munggah ring pawedan, barulah Topeng dan Wayang Lemah mulai. Tidak dibenarkan mendahului sulinggih, dan Ketika sudah "ngayab", maka sebaiknya Siddhakarya juga nganteb banten sinarengan. Bukan sebaliknya. Setelah Ida Sulinggih wusan ngayab, wusan masegeh, topeng masih bebondresan. Ini agak kurang pas. Sebab Ida Sulinggih adalah representasi akasa, dan Sidhakarya adalah representasi Bumi. Maka topeng ini tarian sakral. Nah, kalau urutan pementasannya begini.
1. Panglembar Keras
2. Panglembar Tua
3. Panglembar monyer (situasi)
4. Pensara dan Wijil
5. Dalem Harsawijaya
6. Tokoh Dukuh atau Pedanda
7. Bondres
8. Siddhakarya. Puput.
.... Adnyana

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Ciri Karang Panes - Lontar Bhama Kertih

 



berikut ini ciri-ciri pekarangan perumahan yang bermasalah, sesuai dengan petunjuk Lontar Bhama Kertih;
Iki ling ira BHAGAWAN WISWAKARMA, pangalihan karang, anggen karang paumahan, mangde tan kabheda-bheda dening lara kageringan, helingakna pidhartania,
lwirnia :
Yan wenten karang tegeh ring paschima, hayu, nga, manemu labha sang ngumahin.
Yan karang seng ring utara, hayu ika, sawetunining anaknia, putunia, tan kurang bhoga sang ngumahin.
Yan karang hasah natarnia, hala ayu kojarania, tan kurang pangan kinum, sang ngumahin.
Yan ana tanah bang alus, mahambu lalah, hayu ika, sibin kadhang warga, nga, tekeng anaknia, menemu hayu sang momahin iriya.
Yan tanah selem magobe hucem, mahambu, panes, haywa nguma­hin.
Yan ana tanah mahambu bengu, halid, hala dahat, haywa nguma­hin.
Yan ana karang tunggal pameswan, manyaleking, nga, hala, mwah karang ne nyakitin.
Yan karang tumbak jalan gde, hala nyakitin, karubuhin jalan, nga.
Yan karang tumbak rurung, sandang lawe, nga, gering maderes.
Yan karang singkuhin rurung mwang hapit jalan, kutha kabhan­da, nga, hala.
Yan ana umah nanggu, nora matabeng umah di harepe hala dahat.
Yan karang saling suduk papagerania, suduk angga, nga, hala.
Yan ana wang matunggalan sanak, mangapit jalan umahnia, sang tunggal bhaga urus, sandang lawang, nga, hala dahat sang momah iriya, amada-mada Bhatara, nga.
Yan umah mapemeswan dadwa, hala dahat, boros wang, nga.
Mwah ne tan wenang genahin umah, lwirnia, karang wit pura, wit ibu, wit sma, pabajangan, wit payajnyan sang brahmana, karang lebon amuk, karang genah wang mati magantung, yan sampun ping tiga kalebon amuk, tan wenang genahin umah, hala dahat.
Iki PANGAWAS CAYAN KARANG mwang Kahyangan :
Yan dhemdhem renteb hinang katon (katonang), Dewa ngukuni karang ika, tan kurang pangan sang ngumahin.
Mwah cayan karang tenget, karasa ngawang-awang katonang, twi suwung katonang, tri bhuta dengan mangumahin, henggal manemu bhaya sang ngumahin.
Malih ingon-ingon pathikawenang, metu salah rupa, iki cirin gumi rusak.
Mwah karang panes, asu, bangkung, manak tunggal, cirin panes karang ika, wenang hanyut, bhuta salah wetu, nga.
Mwah bhumi sayongan, katiban kuwung-kuwung, panes bhumi ika.
Mwah ring pakarangania metu kukus, panes karang ika.
Mwah karang tumbak rurung, tumbak jalan, tumbak tukad manamping marga pempatan, namping pura, namping bale banjar, makadinia ngulonin bale banjar, panes karang ika.
Malih babi baberasan, satha asaki ring salu, mwang tabwan ring pakubonan, lalipi masuk ring pakubonia, panes karang ika.
Mwah pakubonia, yan puhun lakare, taler kari ingangge, pada cacada lawan naga-sesa, tan pegat milara.
Mwah yan ana bale pungkat, malih jujukang, sajawining gebug lindu maka bhumi, pada cacade ring balene ring balene puhun lakare.
Mwah yan ana bale mesu adegania ring legungane, balu maka­bun nga, hala.
Yan ana bale materestes bunter sami, cacad, dongkang maka­hem, nga, tan wenang hingangge, hala dahat.
Mwah yan ana bale tarojogan, magerantang mahileh, cacad, dongkang makabun, nga, hala.
Iki PAMANAS KARANG, salwirning, panes, sane ngadakang panes karang,
lwirnia :
Kapanjingan gelap mwang puhun, wenang ngadegang linggih Padma-Handap, palinggih Sanghyang Indra­blaka, tan pegat hamanggih lara bhaya, yadin ping dasa carunin tan sida purna dening caru ika. Apan Sanghyang Indrablaka, dadi Sanghyang Kalamaya, dadi Kala-Desti. Mangkana kojarniya.
Mwah yan ana kayu rempak, pungkat, mwang punggel, tan pakarana, pada panese, tan pegat hamilara.
Mwah nyuh macarang, bwah macarang, jaka macarang, ntal macarang, byu macarang, mwang wetunya kembar, tunggal pa­nese, kadi kageni – bhaya, nga, panes.
Yan ana sanggah pungkat, mwang jineng, pawon, pungkat tan pakarana, mwang katiben amuk, kaleban amuk, panca bhaya, nga, panes.
Yan ana hanggawe pungkate, panas karang ika, kewala cacad, tan kawenang malih ingangge, wenang gentosin lakare sami.
Mwah yan ana wong mentik ring babatar ing salu, wong bhaya, nga, panes.
Yan ana lulut metu ring pakarangan, kalulut bhaya, nga, panes.
Yan ana getih kentel ring pakarangan, mwang sumirat ring umah, ring pakubwan, tan pakrana, karaja-bhaya, nga. Yan ana samangkana, apang sampunang langkungan ring petang dasa dina, mangda puput macaru, dados caru ika alitan. Yan langkung ring petang dasa dina, ageng nagih waru, ika kangentakna.
Yan ana karang katumbak rurung, tumbak jalan, katumbak labak, katumbak jalinjingan, mwang tukad, katumbak pangkung, panes karang ika, Sanghyang Kala Durgha anglarani, wenang ngadegang Padma Alit, palinggih Sanghyang Dhurgamaya.
Yan ana tabwan sirah, tabwan kulit, mwang nyawan ring salu, ring paumahan, ring kubwan, pateh panese.
Yan ana manipi ring umah, ring salu, ring kubwan, pateh panese.
Yan ring lumbung, ring kamulan, hayu ika.
Mwah yan ana ingon-ingon patik wenang-wenang, salah rupa wetune, panes karang ika, wenang rarung kasagara, tugel gulene, kawandaniya rewekan ring rwi walatung, talining dening budur, bwangen ring payonidi. Raris glarana Panca – tawur.
Yan ana taru salah pati, mwang manusa salah pati ring pakarangan, panes karang ika.
Mwah salwir ing jadma salah pati, hanuli pejah, sagenah-genahniya pejah, ika tan wenang malih hantukakna maring pagenahan, hala dahat, hanuli pendhem ring setra, nganut linging Sastra-Bwana-Purana. Mangkana kramanya.
Mwah yan ngingsirang Lumbung mwang Dengen, Pabrahmana ku­nang, wenang tuntun dening lawe, panyunjungniya, taruma tangkis pang tiga, saha banten pangulapan, daksina 1, pras, sodan, asep menyan astanggi. Mangkana kramaniya. Yan tan tuntun, ila-ila dahat.

Tajen itu Himsa Karma, Melanggar Ajaran Hindu

 



Mpu Jaya Prema
MASALAH tajen atau adu ayam di Bali kembali diperbincangkan. Tak bosan-bosan para elit di Bali bernafsu menghidupkan judi tradisional ini. Karena judi itu sudah menjadi candu di masyarakat dan otak para elit pun kemasukan candu maka berbagai upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali tajen. Kali ini lewat celah rancangan peraturan daerah yang bertajuk Ranperda ABTB (Atraksi Budaya Tradisional Bali).
Pro kontra pun digiring ke arah bahwa tajen itu berunsur judi.
Yang kontra lalu menolak keras tajen dihidupkan karena ada judi di dalamnya dan ini melanggar undang-undang yang ada. Peraturan daerah tentu tak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tetapi yang setuju tajen dihidupkan berdalih unsur judinya biasa ditiadakan. Dengan menghilangkan unsur judi itu maka tajen sebagai atraksi budaya tradisional Bali layak untuk dilindungi dan dilestarikan. Pendapat ini bahkan muncul dari tokoh agama Hindu bahwa tak apa-apa tajen dimasukkan dalam perda asalkan tidak ada unsur judi.
Semua pro kontra ini salah besar. Tajen bertentangan dengan ajaran agama Hindu, ada judi mau pun tidak. Semasih budaya adu ayam itu bernama tajen maka itu melanggar ajaran Hindu. Tajen itu berasal dari kata taji, itu pisau kecil tajam yang diikatkan di kaki ayam. Dengan senjata taji itu ayam bertarung hidup dan mati. Darah bercucuran sebelum ayam yang kalah itu dipotong sebagai pecundang.
Tindakan mengadu ayam dengan membiarkan salah satu mati dengan kesakitan ini tergolong himsa karma dalam ajaran Hindu. Ajaran yang melarang untuk menyakiti semua makhluk hidup. Di seluruh dunia tak ada orang mengadu binatang sampai ada yang mati karena itu menyiksa binatang. Adu domba populer di Kabupaten Garut tak sampai ada domba yang mati. Begitu satu domba tak mau berkelahi maka domba itu dianggap kalah, tetapi tetap dipelihara baik-baik. Adu ayam yang disebut tajen di Bali harus ada yang kalah sampai mati. Kalau satu ayam tak mau lagi berkelahi dipaksa berkelahi di dalam sangkar (kurungan) untuk menentukan siapa yang kalah. Lalu yang kalah langsung dipotong kakinya yang ditempelkan taji. Betul-betul himsa karma.
Pustaka Wrtisasana menjelaskan panjang lebar tentang himsa karma ini. Ada perkecualian binatang yang bisa dibunuh. Yakni jika hewan itu dibunuh untuk tujuan dewapuja (memuja para dewa), untuk atithipuja (persembahan kepada tamu) dan untuk walikramapuja (upacara korban seperti mecaru atau tawur yang lebih besar). Namun hewan itu sebelum dibunuh harus dibuatkan upacara penyucian karena akan dijadikan korban suci, sehingga kelak dalam kehidupannya nanti berubah menjadi makhluk yang lebih mulia dibanding hewan. Ada satu lagi pembunuhan hewan yang tidak melanggar himsa karma yaitu pembunuhan dengan maksud mempertahankan atau melindungi diri. Misalnya membunuh nyamuk, kutu dan sebagainya.
Itulah himsa karma dalam kaitan membunuh hewan. Namun ajaran himsa karma tak cuma berurusan dengan hewan. Menyakiti orang lain pun termasuk himsa karma. Tetapi ada yang dibenarkan sampai membunuh orang, yakni dalam hal terjadi peperangan di mana musuh boleh dibunuh.
Dalam kasus tajen kemudian pembicaraan yang berkembang selalu tajen dikaitkan dengan tabuh rah, seolah-olah tajen itu adalah bagian dari tabuh rah. Atau setidaknya tajen “pengembangan” dari tabuh rah. Ini juga salah besar. Tajen tidak sama dengan tabuh rah. Orang yang berpendapat begini pasti tidak tahu sejarah adanya tabuh rah. Atau tak tahu bahwa tabuh rah sudah pernah dibahas panjang lebar oleh para pemuka agama Hindu dan para sulinggih di Bali.
Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu pada tahun 1982-1983 sudah merumuskan masalah tabuh rah ini. Tabuh rah harus dikaitkan dalam upacara Bhuta Yadnya (mecaru, tawur dengan berbagai tingkatannya). Dalam keputusan itu sudah dirinci. Rincian pertama: Tabuh rah dilaksanakan dengan "penyambleh" disertai Upakara Yadnya. Yang dimaksudkan “penyambleh” adalah memotong leher ayam atau binatang lain dengan terlebih dahulu melaksanakan upacara ritual penyucian. Upacara tawur penyucian itu disebut dengan upacara mepepada. Di situlah pandita Hindu “meminta” roh para binatang itu untuk korban suci disertai puja mantra dengan berharap hewan itu mendapatkan kelahiran yang lebih mulia.
Rincian kedua: Tabuh rah dibolehkan didahului dengan "perang sata" sesuai dresta yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya kemudian tetap dengan "penyambleh". Upacara Bhuta Yadnya yang boleh disertai "perang sata" adalah Caru Panca Kelud (Pancasanak madurgha), Caru Rsi Ghana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Pancawalikrama dan Tawur Eka Dasa Rudra. Hewan dalam hal ini ayam, diadu dan itu disebut perang sata, tetapi ayam tidak memakai taji. Yang dipakai adalah pamor warna putih yang dilumurkan di kaki ayam. Setelah ayam itu berperang, ayam yang tubuhnya banyak kena pamor dianggap kalah lalu diadakan penyemblehan. “Perang sata” atau adu ayam ini paling banyak tiga parahatan atau kini disebut tiga sehet atau tiga pasang. Upacara ini harus ada runtutannya dengan mengadu benda lain yakni mengadu tingkih (kemiri), mengadu pangi, mengadu telur, mengadu kelapa.
Rupanya “perang sata” ini juga mengalami modifikasi di kemudian hari dengan mengganti pamor menjadi taji dengan alasan toh ayam yang kalah akan diadakan “penyamblehan” pula. Masih dengan alasan yang bisa diterima. Tetapi lambat laun tabuh rah ini mengalami degradasi ritual karena runtutannya sudah menghilang yakni mengadu kemiri, telur, kelapa dan lainnya itu. Bahkan kemudian di antara penonton mulai ada yang bertaruh. Padahal berjudi di pura sebagai tempat suci sangat bertentangan dengan ajaran Hindu. Pura harus menjadi tempat yang bersih termasuk bersih dari nafsu penjudi.
Kalau sekarang kita memasukkan tajen ke dalam Ranperda ABTB, dari mana pun kita memasukkannya, semuanya melanggar ajaran Hindu. Masuk dari “tajen tanpa judi” salah karena itu himsa karma dan ini akan menodai agama Hindu. Manusia Hindu haruslah taat menjalankan ahimsa. Kalau masuk dari tabuh rah juga salah karena ritual ini sudah mulai tidak mematuhi lagi tata krama asalnya. Lebih baik lupakan saja soal tajen itu dalam Ranperda ABTB. Bagi pemuka agama Hindu lebih baik meluruskan kembali pelaksanaan ritual tabuh rah yang sesuai dengan Seminar Kesatuan Tafsir yang dihasilkan terdahulu. Inilah inti melestarikan budaya termasuk budaya agama. (*)

LABUH GENTUH LEMBU IRENG

 



Ogoh2 ST. Santi Yowana. Br Yangbatu Kangin, Saka 1939
Berawal dari perjalanan Ida Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu dalam persiapan moksah. Dalam perjalanan beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tak terasa sampailah di suatu tegalan di pesisir barat. Di tempat ini beliau beristirahat sambil berbincang berdua. Pembicaraan beliau didengar oleh sosok niskala penjaga tegalan itu yakni I BHUTA IJO. Danghyang Dwijendra kemudian memanggil lalu menitipkan pecanangan (tempat sirih) beliau yang berbentuk peti kepada I Bhuta Ijo, karena Sang Maha Muni akan ke Uluwatu. Untuk menjaga pecanangan tersebut, maka I Bhuta Ijo pun dianugrahkan kesaktian. Danghyang Dwijendra lalu berpisah dengan Betara Masceti. Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu, sedangkan Betara Masceti kembali ke alam sunia.
Singkat cerita, Ida Danghyang Dwijendra telah sampai di Uluwatu, sedangkan I Bhuta Ijo setia mengemban amanat menjaga dan mengkramatkan pecanangan. Semenjak itu terjadi keanehan di masyarakat Kerobokan. Siapa saja yang ke tegalan itu selalu mengalami sakit. Para tetua masyarakat Kerobokan mendatangi Ida Danghyang Dwijendra di Uluwatu untuk memohon petunjuk.
Beliau memberitahukan bahwa di sana adalah tempat Beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tempat itu pula dihuni oleh I Bhuta Ijo yang menjaga pecanangan. Danghyang Dwijendra menyarankan agar dibuatkan pelinggih untuk memuja Betara Masceti. Agar I Bhuta Ijo tak ngrebeda (mengganggu), maka pada Tilem Keulu laksanakan LABUH GENTUH LEMBU IRENG (caru bersaranakan sapi warna hitam). Pada Purnama Kesanga lakukan upacara Nangluk Merana bersaranakan LEMBU BIYANG BELANG KEBANGSAPI (sapi yang sudah pernah beranak serta terdapat tompel / belang di balik kaki belakang atau depan). Pada setiap pujawali, sajikan I Bhuta Ijo berupa segehan dengan ulam jejeron bawi mentah dan segehan agung dilengkapi tetabuhan tuak arak berem.
Atas petunjuk dari Ida Danghyang Dwijendra, maka di bangunlah pura yang diberinama PURA PETI TENGET sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhawa sebagai Ida Betara Masceti untuk memohon keselamatan dan kemakmuran. (Sumber: Dwijendra Tatwa, dan beberapa sumber lainnya)

TINGKATAN CARU DAN BINATANG YANG DIPAKAI

 


CARU pada hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru dimaknai sebagai upacara untuk menjaga keharmonisan alam,
manusia dan waktu.
Di Bali Dikenal Tiga Jenis Caru
1. Caru Palemahan Bumi Sudha yaitu upacara caru untuk tempat atau wilayah. Baik itu untuk mengharmoniskan tempat untuk dipakai tempat suci,
dibangun rumah, atau sebuah wilayah yang tertimpa musibah.
2. Caru Sasih yaitu caru yang dilaksanakan berkaitan dengan waktu-waktu tertentu yang dipandang perlu diharmoniskan. Misalnya Caru Sasih
Sanga (sehari sebelum Nyepi)
3. Caru Oton yaitu caru untuk orang atau benda sebagai unsur bhuana agung yang mengalami berbagai siklus, baik terhadap waktu maupun
perkembangannya. Misalnya caru oton untuk anak yang baru lahir, untuk perkawinan, akil balik, kematian dll. yang sering juga disebut dengan
byakala.
Banten caru biasanya berisikan hal-hal khas
1. Aneka macam nasi, baik warna maupun bentuk
2. Aneka bumbu-bumbuan (bawang, jahe, terasi, garam)
3. Daging (terutama bagian jeroan)
4. Arang
5. Darah
6. Blulang atau bayang-bayang binatang
7. Tuak, arak dan berem
8. Api takep
9. Aneka bunyi-bunyian
Dewasa Caru
Upacara caru yang baik dilakukan pada:
- Sasih Kanem, Kapitu, Kawolu dan Kasanga.
- Hari/tanggal Panglong, atau Tilem
- Kajeng Kliwon
- Ingkel Bhuta.



Jenis Caru Palemahan:
* Caru Eka Sata
Sarana: Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang --bahasa Bali-red) dialasi sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina,
penyeneng dan canang (untuk semua jenis caru).
* Caru Panca Sata
Sarana memakai 5 (lima) ekor ayam.
Ayam bulu hitam tempatnya Kaja (utara), putih siung (kuning) tempatnya Kauh (barat), ayam bulu merah (barak) Kelod (selatan). Kangin (timur) ayam bulu
berwarna putih dan di tengah ayam bulu berwarna brumbun (segala warna). Selain itu dilengkapi juga dengan seekor bebek blang kalung.
* Caru Panca Sanak
Untuk Caru Panca Sanak dasarnya adalah caru Panca Sata sedangkan kelengkapannya ada beberapa jenis binatang, jika dilengkapi:
a. Asu atau Anjing maka tempatnya terletak di arah Barat Daya/Kelod-Kauh.
b. Bebek bulu Singkep diperuntukkan diletakan di arah Kelod-Kangin (Tenggara).
c. Angsa letaknya Timur Laut/Kaja-Kangin
d. Kambing nerupakan caru yang diperuntukkan pada arah Kaja Kauh (Barat Laut)
Itulah beberapa caru dari segi sarana hewannya dan masih banyak lagi caru sesuai dengan namanya dan sarana hewan yang dipersembahkan.
Yang disebutkan tadi dengan sarana bebek, kambing, anjing, ini merupakan tingkatan caru yang disebut dengan Panca Sanak. Ini pun dapat dibagi lagi
menjadi Panca Sanak yang sarananya asu, dan bebek bulu sikep. Sedangkan Panca Sanak Agung sarananya, hewan angsa dan asu atau anjing.
* Caru Panca Sanak Madurga
Sarananya sama dengan Caru Panca Sanak ditambah dengan anak babi jantan hitam yang belum dikebiri (kucit selem butuhan) dengan tambahan bebek
atau yang lain.
* Caru Sanak Magodel
Sarana tambahannya dipakai anak sapi atau yang dalam bahasa Balinya disebut godel.
* Caru Rsigana
Adalah Caru Panca Sanak yang disertai dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai dewa penghalau rintangan.
* Caru Balik Sumpah
Di tingkat yang lebih tinggi ada juga caru yang dikenal dengan nama Caru Balik Sumpah yang sarana hewannya berupa kerbau dan kambing. Sedangkan yang
lebih tingi lagi ada sejenis upakara Malinggia Bhumi dan ini sarana binatangnya adalah sebanyak 45 kurban.
CARU secara wedik hanya mempersembahkan 10 nasi kepel yang diolisi minyak ghee. Caru ini dipersembahkan kepada 10 dewa penguasa butha, yaitu: 1) agnaye, 2) soma, 3) agnesomabyam, 4) danvantaraye, 5) kuhwae, 6) visvebyo devabyah, 7) anumatyae, ðŸ˜Ž prajapataye, 9) diawahpertivibyah, 10) suistakrte. Nasi kepel dipersembahkan ke dalam kunda.