Senin, 11 Juli 2022

Dewa (Dev)-Deus-Deo

 


Kata Tuhan dari bahasa Melayu adalah berakar dari kata Tuan. Kata Tuan atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Lord. Sehingga kata “Oh my Lord” diterjemahkan “Oh Tuhanku” dan dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) penyebutan Lord itu adalah Gusti. Manusia dari jaman dahulu hingga saat ini tidak akan pernah mempunyai ide yang sama dalam menjelaskan mengenai Tuhan yang dimaksud. Segala usaha manusia dalam mejelaskan dan mengerti tentang Tuhan sangat beragam. Sebab mereka dibekali sifat alam material yang beragam atau dwaita. Karena inilah disebutkan pola pikir dan sudut pandang tiap individu manusia itu sangat beragam atau bhinneka. Sehingga kecocokan tiap manusia juga tidak akan persis bisa sama untuk kesuluruhan, meski mereka saudara kembar sekalipun.
Sehingga disiplin ilmu mengenai manusia atau antropologi dan masalah psikologinya sebenarnya adalah sebuah ilmu yang mencoba mengurai dan mengklasifikasi hal yang sebenarnya tak terpikirkan dari fenomena manusia dan kompleksnya system sosialnya. Dhang Hyang Dwijendra sendiri juga membuatkan symbol untuk menggambarkan Tuhan yang Acintya. Sehingga hal yang acintyapun juga bisa dimaknai sangat beragam dan tentunya juga di masing-masing individu yang menyimak hal ini juga pasti mereka akan memiliki berbagai ide yang bisa digunakan dalam menjelaskan Acintya.
Maka disinilah kita diajarkan untuk mampu melihat sama dan tunggal (menyamakan persepsi) pada segala hal yang tampak berbeda dan bertentangan. Semboyan persatuan Bangsa Indonesia sendiripun berasal dari catatan naskah Sutasoma dimana Sang Mpu penyusunnya menyadari bahwa Hindu senantiasa menilai perbedaan pemahaman akan Dharma itu dalam kacamata seimbang “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Selain dari hal itu maka akan menyebabkan perselisihan tanpa akhir yang sebenarnya sangat konyol.
Rig Weda 8.58.2 menyatakan “Lihatlah Keekaan dalam kebhinekaan; lihatlah Wujud Tunggal Ilahi di balik wujud-wujud yang tampak berbeda” pada dasarnya penjelasan tentang adanya keragaman dalam keyakinan adalah juga bisa dijawab sloka ini. Jadi semua hal terlihat terbagi-bagi oleh kita padahal itu semua adalah tunggal adanya seperti yang juga tersirat di Bhagawad Gita 13.16.
Tradisi untuk berbeda pandangan
Di dalam Hindu kita memiliki tradisi untuk berbeda pandangan. Kita semua tidak mungkin memiliki pandangan yang sama atas segala konsep. Apa yang penulis paparkan disini sudah barang tentu bisa diperdebatkan dengan pandangan yang berbeda meski demikian sudah pasti apa yang penulis paparkan bisa diambil sebagai inspirasi untuk membentuk pandangan atau ide sendiri.
“Nana Matam Maharsinam Sadhunam Yoginam Tatha”
Para Maharsi, Orang Suci dan Yogi sekalipun melalui proses perbedaan pendapat atau perdebatan
-Astawakra Gita 9.5-
Karena kita berada pada dunia yang terikat hukum dwaita yang pasti berlaku maka untuk memiliki pemikiran dan pandangan yang berbeda atas satu konsep yang sama adalah sangat wajar. Wrshaspati Tattwa menyebut mengenai sekolompok orang buta yang meraba Gajah, hal ini tentu adalah suatu pengingat bagi kita yaitu sebagai para pencari kebenaran (Dharma) supaya tidak mengedepankan Ego yang malah akan menjerumuskan kita pada pertengkaran dan bukan kepada pencerahan atau untuk menuai inspirasi dari perbedaan pendapat yang muncul dari hasil rabaan kita atas kebenaran yang sama. Sebuah gunung yang sama sangat umum terlihat terletak pada posisi berbeda-beda dari posisi masing-masing kelompok pendaki yang datang memulai dari arah berbeda.
Ajaran Hindu mengajarkan kita untuk memandang golongan yang memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda sebagai Maitrah yang artinya Mitra, Rekan, Kerabat, Kawan, Sahabat, dan Saudara bukan sebagai musuh ataupun sebagai orang kafir.
“Wahai Tuhan yang Maha Agung, berkahilah kita supaya selalu dipandang sebagai mitra, dan kitapun memandang semua sebagai mitra; semoga senantiasa terjalin hubungan harmonis Antara kita semua!”
-Yayur Weda 36.18-
“Ia satu adanya… Semua jalan menuju padaNya; Ia tunggal adanya.”
-Sama Weda Soma Pavana 372-Rig Weda 9.62.27-
“Bagaimanapun perjalan manusia mendekatiKu, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalanKu dalam segala jalan.”
-Bhagawad Gita 4.11-
“Aku adalah sama bagi semua mahluk; bagiKu tiada yang terbenci dan terkasihi; tetapi mereka yang berbakti kepadaKu dengan penuh pengabdian, mereka ada padaKu dan Aku ada pada mereka.”
-Bhagawad Gita 9.29-
“Hendaknya hati kita dalam kesetaraan dan persatuan.”
-Rig Weda 10.191.4-
“Berkaryalah demi kejayaan bangsa dan sesama anak bangsa,Walaupun mereka berbeda Bahasa. Hormatilah kepercayaan dan harapan mereka semua secara sebanding.”
-Atharwa Weda 12.1.45-
“Perlakukan orang lain sebagaimana kamu memperlakukan diri sendiri. Semua adalah percikan dari sang Jiwa Agung yang satu dan sama.”
-Yayur 40.6-
Juga berdasarkan sloka tersebut kita bisa mengetahui dengan jelas bagaimana pandangan kita sebagai Hindu menyingkapi keyakinan lain dan atau orang lain yang berbeda pandangan ataupun tradisi atau budaya. Hindu menyadari keragaman adalah nafas penciptaan sehingga nilai-nilai dorongan kesadaran untuk bersatu dalam keragaman hanya bisa ditemukan atau berasal dari Hindu. Hindu sebagai sebuah kelompok para pencari tidak bertujuan mengkonversi keyakinan orang, bahkan istilah konversi dan murtad oleh karena keluar dari kelompok Hindu tidak pernah disebut, mereka yang merasa dirinya sebagai orang yang sedang berusaha mencari kebenaran akan tiba dan datang dengan sendirinya kepada pelukan Hindu. Selain itu adalah tidak wajar bila seorang ibu mengadopsi anak kandungnya kembali. Oleh karenanya di Hindu tidak ada doktrin mengkonversi orang sebanyak-banyaknya.
“Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
-Sutasoma 139.5-
Hanya ada satu yang bisa disebut sebagai ambisi dalam Hindu yaitu “Hidup Dalam Berkesadaran Sang Diri Utama atau Narayana” dalam kata lain adalah mampu untuk melihat sama atas segala hal sebagaimana makna dari sebutan manusia yaitu untuk mampu senantiasa menyadari persamaan atau untuk memiliki sifat manusiawi. Disinilah pentingnya untuk kita mengatahui bahwa segala keyakinan ini ada dalam satu perahu yang sama. Maka hendaknya adanya perbedaan pandangan itu bukan dijadikan bahan olok-olokan atau perselisihan (pertengkaran). Kita harus mampu berusaha untuk menyatukan persepsi kita yang bhinneka ini.
A.W. Sudewa Rendi
Vajrapani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar