Rabu, 01 Juli 2015

tumpek landep



Tumpek Landep salah satu hari raya yang berdasarkan wuku, yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Landep. Hari raya ini masih berkaitan dengan hari raya Saraswati atau hari turunnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diturunkan saat saraswati, pada tumbek landep ini kembali diasah sehingga dapat diimplementasikan secara nyata yang dipergunakan untuk jalan dharma. Dalam hal ini tumpek landep merupakan perayaan untuk mengasah ketajaman pikiran, mental serta spiritual kita. Dalam lontar Sundarigama disebutkan Tumpek Landep merupakan pengastawan ring landeping idep. 

Pada rerahinan Tumpek Landep ini yang dipuja yaitu Tuhan dalam prabawa-Nya sebagai Hyang Siwa Pasupati. Secara etimologi, pasu artinya binatang (hewan) dan pati artinya menaklukkan. Jadi, Pasupati bisa diartikan Tuhan penakluk sifat-sifat kebinatangan. Karena itu barang siapa yang dapat menaklukkan sifat-sifat kebinatangannya, ialah sesungguhnya yang dapat ''bertemu'' dengan Tuhan. Sepanjang sifat kebinatangannya masih merajalela, umat tak dapat menemukan kebahagiaan lahir-batin. Dalam konteks Tumpek Landep, mengupacarai senjata yang merupakan simbolis dari manusia itu sendiri. Diupacarai untuk harapan supaya lebih tajam , Senjata yang diberikan Tuhan kepada umat manusia yaitu pikiran (main) merupakan senjata yang paling esensial. 

Pikiran itulah mesti terus ditajamkan,karena pikiran merupakan senjata yang luar biasa. Tetapi mesti disadari, senjata yang tajam itu bukan untuk menghancurkan, tetapi memberi kebahagiaan bagi semua makhluk. Karenanya, kemanusiaan seseorang bisa bermartabat, jika dapat mengabdi dengan ketajaman pikiran di bawah kendali-kendali kesucian Hyang Siwa Pasupati Pada masa ini, di Bali setiap perayaan Tumpek Landep segala jenis kendaraan, senjata ataupun segala benda yang terbuat dari besi dilakukan upacara. Hal ini maksudnya adalah untuk memanusiakan semuanya. Tetapi, sebelum memanusiakan semua benda yang disebutkan itu, perlu juga dilakukan memanusiakan diri sendiri terlebih dahulu. Dalam Memanusiakan adalah dengan cara bhakti, kasih dan sayang kepada semua benda tersebut. Karena setiap gerak atau segala sesuatu yang kita kerjakan memiliki karma, yang merupakan suatu persembahan. Dan dari karma tersebut nantinya akan ada phala Sarana Upacara Dalam setiap upacara; maka keberadaan upakara tentu tidak dapat dikesampingkan, demikian pula halnya ketika umat Hindu melaksanakan upacara Tumpek Landep ini. 

Adapun sarana/upakara yang dibutuhkan dalam Tumpek Landep, yang paling sederhana adalah canang sari, dupa, dan tirtha pasupati. Yang lebih besar dapat menggunakan upakara Peras, Daksina atau Pejati. Dan yang lebih besar biasanya dapat dilengkapi dengan jenis upakara yang tergolong sesayut, yaitu Sesayut Pasupati. Dari berbagai jenis upakara tersebut yang terpenting barangkali adalah Tirtha Pasupati; karena umat Hindu masih meyakini betapa pentingnya keberadaan tirtha ini. Tirtha Pasupati biasanya didapat melalui Pandita atau Pinandita melalui tatacara pemujaan tertentu. 

Tapi bagaimana halnya dengan individu-individu mat Hindu, apa yang mesti dilakukan jika ingin mendapatkan Tirtha Pasupati? Bisakah memohonnya seorang diri tanpa perantara Pinandita dan atau Pandita? Jawabannya tentu saja boleh…! Cukup menyiapkan sarana seperti di atas (seuaikan dengan desa-kala-patra). Misalnya dengan sarana canang sari, dupa dan air (toya anyar), setelah melakukan pembersihan badan (mandi dsb). Letakkan sarana/ upakara tersebut di pelinggih/ altar/ pelangkiran. Kemudian melaksanakan asuci laksana (asana, pranayama, karasudhana) dan matur piuning (permakluman) sedapatnya baik kepada leluhur, para dewa dan Hyang Widhi, ucapkan mantra berikut ini dengan sikap Deva Pratista atau Amusti Karana sambil memegang dupa dan bunga. 

Hakikat Tumpek Landep Setiap hari suci agama umat Hindu sesungguhnya tak hanya sekadar rerahinan rutin yang mesti dirayakan. Namun, didalamnya ada nilai filosofis yang penting dimaknai dalam kehidupan sehari-hari. Tumpek Landep, misalnya, memiliki nilai filosofi agar umat selalu menajamkan pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan untuk melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan (disucikan) atau diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang jernih dan tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih jernih ketika harus melakukan analisis, lebih tepat menentukan keputusan dan sebagainya. Lewat perayaan Tumpek Landep itu umat diingatkan agar selalu menggunakan pikiran yang tajam sebagai tali kendali kehidupan. Misalnya, ketika umat memerlukan sarana untuk memudahkan hidup, seperti mobil, sepeda motor dan sebagainya, pikiran yang tajam itu mesti dijadikan kendali. Keinginan mesti mampu dikendalikan oleh pikiran. Dengan demikian keinginan memiliki benda-benda itu tidak berdasarkan atas nafsu serakah, gengsi, apalagi sampai menggunakan cara-cara yang tidak benar. Semua benda tersebut mestinya hanya difungsikan untuk menguatkan hidup, bukan sebaliknya, justru memberatkan hidup. Dulu, keris dan tombak serta senjata tajam lainnyalah yang digunakan sebagai sarana atau senjata untuk menegakkan kebenaran, kini sarana untuk memudahkan hidup dan menemukan kebenaran itu sudah beragam, seperti kendaraan, mesin dan sebagainya. 

Sehingga pada saat Tumpek Landep diupacarai dengan berbagai upakara seperti: sesayut jayeng perang dan sesayut pasupati, dengan maksud untuk memuja Tuhan, dan lebih mendekatkan konsep atau nilai filosofi yang terkandung dalam Tumpek Landep. Landep = Lancip/ Tajam Kata Landep dalam Tumpek Landep memiliki makna lancip atau tajam. Sehingga secara harfiah diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran. Dalam Tumpek Landep benda-benda tersebut diupacarai. 

Kini, pengertian landep sudah mengalami pelebaran makna. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda yang terbuat dari besi atau baja yang dapat mempermudah hidup manusia, di antaranya sepeda motor, mobil, mesin, komputer, radio dan sebagainya. Sementara secara konotatif, landep itu memiliki pengertian ketajaman pikiran. Pikiran manusia mesti selalu diasah agar mengalami ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan pikiran, sehingga umat mengalami kecerdasan dan mampu menciptakan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan pulalah umat menjadi manusia yang lebih bijaksana dan mampu memanfaatkan teknologi itu secara benar atau tepat guna, demi kesejahteraan umat manusia. Bukan digunakan untuk mencederai nilai-nilai kemanusiaan. “tad viddhi pranipatena paripprasnena sevaya upadekshyanti te jnanam jnaninas tattvadarsina” (Bhagavadgītā IV.34)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar