Rabu, 01 Juli 2015

kepus pungsed bayi





Bicara agama Hindu, khususnya umatnya yang ada di Bali memang tak lepas dari yadnya yang selalu dilaksanakan. Yadnya yang merupakan sebuah usaha untuk menjembatani diri dengan kebenaran tertinggi yakni Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Di Bali sendiri beragam tradisi maupun yadnya yang masih erat kaitannya dengan upacara agama, yang tetap melekat dalam diri umatnya. Seperti Upacara Kepus Pungsed atau ada juga yang menyebut Kepus Udel dan Kepus Puser. Upacara ini biasanya dilaksanakan ketika si jabang bayi setelah beberapa hari lahir, tali pusarnya yang menempel di pusarnya sejak lahir terlepas secara alami.

Upacara ini pun menurut sumber lainnya disebut dengan istilah Upacara Mepenelahan atau Penelahan, yang bersumber dari kata telah yang memiliki arti habis. Hal ini tentu saja tak lepas dari keyakinan bahwa ketika bayi tersebut masih dalam kandungan, dijaga oleh empat unsur, yang biasa disebut Catur Sanak. Meliputi yeh nyom, ari-ari, dan getih, tiga dari empat unsur tersebut sudah terlepas disaat bayi tersebut lahir. Sedangkan satu unsur lainnya yang tetap melekat saat bayi itu lahir yakni puser atau udel.


Maka ketika lepasnya sisa tali pusar atau udel tersebut, maka terlepas sudah semua unsur Catur Sanak yang sebelumnya melekat pada bayi tersebut, baik ketika masih di dalam kandungan maupun ketika lahir. Inilah yang membuat terlepasnya sisa tali pusar itu diupacarai dengan Upacara Mepenelahan.


Lantas apa maksud dari upacara ini, menurut Mangku Nyoman Suparta serta beberapa sumber disebutkan, upacara ini bermakna pembersihan raga dan jiwa dari jabang bayi tersebut. Karena lepasnya satu unsur terakhir itu, membuat bayi tersebut sudah lepas dari pengaruh Catur Sanak. Pengertian yang nyaris sama juga tertulis dalam salah satu artikel yang termuat dalam situs PHDI. Disebutkan, bahwa setelah puser bayi terlepas, maka akan dibuatkan upakara. Tujuannya untuk membersihakan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya.

Lantas bagaimana dengan puser si jabang bayi yang sudah terlepas. Masih dalam artikel PHDI itu, puser tersebut selanjutnya dibungkus dengan secarik kain, yang selanjutnya dimasukkan dalam sebuah kulit ketupat kecil. Tak hanya itu, ketupat tersebut juga disertai dengan sejenis rempah-rempah yang khasiatnya menghangatkan, seperti cengkeh. Ketupat kecil ini kemudian digantungkan pada arah kaki tempat tidur si bayi.

Sedangkan di beberapa daerah di Bali, seperti diutarakan Mangku Nyoman Suparta, begitu tali pusar itu terlepas maka akan dimasukkan ke dalam sebuah potongan bambu kuning berukuran kecil. Secara kasat mata, ukurannya bambu tersebut tak lebih dari seukuran pensil, dengan panjang sekitar 3cm. Selanjutnya di tiap ujung lubang bambu kuning itu ditutup dengan menggunakan tetesan lilin, atau jika ada lebih baik lagi dengan menggunakan malem (lem dari sarang lebah). Tujuannya tak lain supaya tidak ada bagian dari puser tersebut yang terlihat dari luar. Lalu setelah tertutup setiap ujungnya, bambu tersebut diikat menggunakan benang, dan benang diikatkan pada tangan sang bayi. “Tapi tiap daerah memang berbeda-beda, cuma mungkin maknanya sama,” papar Mangku Nyoman Suparta.




Sedangkan terkait dengan upacara tersebut, disebutkan jika menurut kepercayaan umat Hindu, maka mulai saat upacara itu dilangsungkan, maka ketika itu pula bayi tersebut mulai diasuh Sang Hyang Kumara. Karena itulah, maka dibuatkan sebuah stana Sang Hyang Kumara di atas kepala bayi tersebut ketika tidur, yang disebut Pelangkiran Kumara. Sang Nyang Kumara akan menjadi pelindung dan pengasuh bayi tersebut sebelum gigi bayi tersebut tanggal.

Sementara itu, terkait dengan sarana banten yang digunakan saat Upacara Kepus Pungsed, meliputi Ajuman yakni Ajengan, Sodan, Rayunan, memakai nasi putih dan kuning yang berisi lauk telur dadar, dan rerasmen, raka-raka, dan sampyan plaus, termasuk beberapa perlengkapan lainnya. Dalam bebantenan itu juga berisi kekiping, pisang emas, tebu nyah-nyah geringsing, canang sari, canang burat wangi, lenge wangi, miyik-miyikan (bunga-bunga yang harum terutama yang berwarna putih kuning).

Tak hanya itu, seperti tertulis dalam salah satu artikel di situs PHDI itu, sarana bebantenan juga disertakan dengan guli-guli, batu buah salak, ketela rambat, keladi, kunyit. Sarana upacara atau bebantenan itu pun diakui Mangku Nyoman Suparta hampir sama dengan yang biasa digunakan di daerahnya.

Lantas dimana saja upacara tersebut dilaksanakan. Menurutnya, ada beberapa tempat yang biasa menjadi rangkaian pelaksanaan Upacara Kepus Pungsed. Mulai dari di sungai atau tukad, kemudian di nyaman (saudara) sang bayi (tempat ari-ari dikubur), dan di paon (dapur). Kemudian barulah sang jabang bayi metataban. “Untuk rangkaian ini bisa jadi berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lain. Tapi maknanya hampir sama,” pungkasnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar