Rabu, 01 Juli 2015

Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara Otonan pertama bayi Upacara Satu Oton dan Mapetik untuk Melepaskan Dasa Mala

 




Saat bayi berusia 210 hari atau enam bulan pawukon, maka bayi akan dibuatkan upacara Otonan. Di era yang serba modern ini, upacara Otonan tidak hanya dilaksanakan di rumah, namun ada juga yang dilaksanakan di griya. Seperti halnya yang rutin digelar di Griya Wayahan Buruan Manuaba di Desa Buruan, Gianyar.

Menurut Jero Mangku Dalem Rsi dari Griya Gede Tegallingah, Ida Bagus Nyoman Madya, setiap harinya memang ada umat yang melangsungkan berbagai macam upacara di Griya Wayahan Buruan Manuaba, mulai dari upacara Macolongan, Tiga Bulanan, Otonan, Mabayuh hingga Matatah. Khusus untuk upacara Satu (1) Oton, 30 Agustus 2019 lalu diikuti delapan orang anak.



Dijelaskannya, Otonan bertujuan untuk menebus kesalahan terdahulu, sehingga dalam kehidupan saat ini bisa terus melakukan kebaikan. Di samping itu, lanjutnya, upacara yang dilakukan juga ditujukan kepada sang sane manumadi atau yang bereinkarnasi karena telah lahir kembali.

Pada saat Otonan ini, juga dilakukan proses magunting bok atau Mapetik atau menggunting rambut si bayi sebagai simbol menghilangkan Dasa Mala (10 kekotoran) yang ada pada si bayi.

Setelah itu, bayi digundul dan bisa diajak bersembahyang ke berbagai pura.
Yang dimaksud Dasa Mala adalah sepuluh sifat buruk menurut Hindu. Dasa artinya sepuluh, Mala artinya keburukan. Jadi, Dasa Mala adalah sepuluh keburukan.
Sepuluh sifat-sifat manusia buruk dan patut dihindari dalam upaya kesucian dan keluhuran budi, yakni Tandri (malas), Kleda (suka menunda-nunda), Teja (pikiran gelap). Kemudian Kulina, yakni sombong, suka menghina, menyakiti hati orang.
Keras kepala (Kuhaka), Metraya adalah sombong dan berbohong atau melebih-lebihkan, Megata (kejam), Ragastri (suka berzina).Selanjutnya adalah Bhaksa Bhuwana, yakni suka membuat orang lain melarat, Kimburu ( senang menipu). Selanjutnya masih ada kelompok-kelompok sifat negatif lainnya, misalnya Sad Ripu, Sapta Timira, Tri Mala, Sad Atatayi, dan lainnya.


“Ada juga yang usia tiga (3) oton baru Mapetik, sesuai dengan sima atau desa kala patra setempat,” imbuhnya kepada Bali Express ( Jawa Pos Group) pekan kemarin.




Adapun runtutan prosesi Satu Oton dimulai dengan mabiyakaonan, selanjutnya Mapetik atau potong rambut, lalu Majaya-jaya, muspa, kemudian matataban. Saat Mapetik atau potong rambut, rambut bayi akan dipotong secuil di tiga titik, yakni bagian atas kemudian sisi kanan dan sisi kiri. Rambut yang pertama kali digunting atau dipotong, kemudian diletakkan dalam blayag lalu dibawa pulang dan ditanam pada ari-ari si bayi.

“Jadi Mabiyakaon dulu, kemudian Mapetik, dan Majaya-jaya seperti ngamargiang tirta panglukatan, lis, tirta pembersihan, karawista, kartika, sekar, dan basma berupa beras yang diletakkan di sembilan tempat. Lalu Majaya-jaya nunas ica kepada Sang Hyang Siwa Jagatnata. Kemudian natab di Ciwa Duwara atau ubun-ubun, natab ring Netra atau mata langsung di Karna atau telinga, setelah itu baru muspa sesuai kepercayaan,” jelasnya.

Setelah muspa dan nunas wangsuhpada barulah si bayi matataban, mulai dari natab banten Pangambean, sambutan, janganan, natab oton, natab soroan, natab pakoleman, hingga natab pregembal guling. Setelah itu, baru prosesi ngambil panyeneng yang dilekatkan pada bahu, ulu hati, dan ubun-ubun. Kemudian si bayi dipakaikan gelang dari benang putih. Dengan mengenakan
gelang dari benang putih, maka runtutan ritual sudah dianggap selesai.

Soal upacara, sudah sejak tahun 1980an ada umat yang tangkil ke Griya Wayahan Buruan Manuaba untuk melangsungkan berbagai upacara Manusa Yadnya. Terlebih biayanya bisa dikatakan cukup terjangkau.

“Penanganan cara ini untuk membantu masyarajat yang kurang mampu, karena Yadnya tidak bisa diukur dengan besar kecil. Sebab, yang terpenting adalah tulus ikhlas. Jangan memandang banten begini atau begitu, karena apapun bisa kurang kalau dikatakan kurang, dan bisa lebih bila dikatakan lebih. Jangan berpatokan banten besar atau kecil, tetapi kembali ke ukuran kita masing-masing,” pesannya.

Sebab dinamika belakangan ini, lanjutnya, banyak umat yang usai menggelar upacara Yadnya malah stres karena memiliki utang. Ia berharap masyarakat bisa terbantu dengan menggelar upacara di griya. “Agar jangan sampai kita berutang saat memiliki Yadnya. Begitu selesai berupakara malah stres memikirkan utang. Dan, kita juga ngayah disini, tidak mematok berapa biayanya, intinya tulus dan ikhlas,” pungkasnya.

Sementara itu, salah satu anak yang mengikuti upacara Satu Oton di Griya Wayahan Buruan Manuaba adalah I Dewa Gede Sandya Pena Mahottama. Bahkan, bayi lucu yang lahir Februari 2019 lalu ini, juga melangsungkan upacara tiga bulanan atau Nelubulanin di Griya tersebut.

“Di era seperti saat ini menggelar upakara Yadnya tidak perlu dijadikan beban, sehingga kami memilih menggelar upacara Nelubulanin hingga Satu Oton di griya, karena upacara di rumah atau griya sama saja, yang penting niatnya tulus dan ikhlas,” ujar sang ayah, I Dewa Gede Rastana.

Ia pun berharap putra pertamanya senantiasa sehat dan dianugerahi keselamatan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, serta tumbuh menjadi anak yang suputra.
Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar