Senin, 12 April 2021

Hukum Alam dan Karma Phala Akibat Kekeliruan Laku Spiritual






TIRTA: Pinisepuh Pasraman Sastra Kencana Jro Nabe Budiarsa memercikkan tirta kepada umat tangkil di pasraman di Banjar Tegak Gede, Desa Yehembang Kangin, Mendoyo, Jembrana sebelum pandemi Covid-19. (istimewa)





Menekuni ajaran spiritual seolah menjadi tren belakangan ini. Pembahasan hal-hal yang berhubungan dengan rohani kian terbuka, lantaran media sosial. Jika dahulu belajar spiritual cukup pingit, kini stigma tersebut perlahan kabur.


Orang-orang bisa dengan mudah mengakses berbagai informasi mengenai spiritual dari berbagai sumber. Jadilah penekun spiritual kian banyak jumlahnya.




Menekuni spiritual tentu merupakan hal yang baik. Hal ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan rohani. Namun, hendaknya berhati-hati dalam menekuninya. Sebab, jika tak cukup cerdas, maka bisa tersesat dan terseret dalam lubang penderitaan. Alih-alih menemukan kedamaian hidup, justru terjatuh dalam problem berkepanjangan.

Baca juga: Pengendalian Inflasi Mengacu 4K, Badung Optimalisasi CAS




Terkait hal ini, Pasraman Sastra Kencana selama ini berupaya mengkaji berbagai hal tentang spiritual. Sebelum menukik ke persoalan menekuni spiritual, Pinisepuh Pasraman Sastra Kencana, Jro Nabe Budiarsa mulai dari penjelasan isi alam semesta.

Alam Bhuana Agung ini, dikatakan terdiri dari zat, gelombang energi dan pancaran sinar. Jenis zat, gelombang energi dan pancaran sinar ini tak terhingga jumlahnya, dari yang bisa disebutkan hingga tak bisa diberi nama.

“Zat alam menurut sastra adalah unsur kebendaan, yaitu Panca Maha Butha dengan seluruh bagiannya. Gelombang energi adalah kekuatan alam yang memiliki getaran dan frekuensi tertentu. Sedangkan pancaran sinar alam adalah korelasi hubungan antar benda alam dalam bentuk bias dan pancaran sinar yang nyata ada, namun tak memiliki bentuk, hanya memiliki warna,” ungkapnya, akgir pekan kemarin.

Alam juga dihuni oleh berbagai makhluk. Ada yang kasat mata maupun makhluk astral yang tak kasat mata. Wujudnya sangat beragam, layaknya makhluk hidup.

Ada yang berwujud seperti manusia, binatang, bahkan seram. Kemudian ada roh yang bersifat suci yang memiliki sifat positif disebut roh suci dan ada roh kotor yang memiliki sifat negatif disebut Butha Cuil alias kotor.

“Roh ini juga banyak sekali tak terhitung jumlah dan wujudnya, termasuk yang sering dibilang roh gentayangan,” ujar Jro Nabe Budiarsa dari Banjar Tegak Gede, Desa Yehembang Kangin, Mendoyo Jembrana.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Dikatakannya, dari isi alam ini, baik yang nyata maupun tidak nyata, gelombang energi, zat, dan pancaran sinarlah yang paling besar. Sedangkan makhluk hidup, baik yang nyata maupun tak nyata, para roh sesungguhnya sangat kecil.

Layaknya manusia yang membutuhkan energi lima unsur untuk bertahan hidup, maka makhluk astral dan para roh pun sama, namun tergantung sifat yang dimiliki oleh makhluk itu sendiri.

“Bagi roh negatif membutuhkan energi negatif dari alam ini, para makhluk positif membutuhkan energi positif dari alam ini,” terang Jro Nabe Budiarsa.

Pada manusia yang cerdas memilih wiweka jnana dyatmika, lanjutnya, akan mampu menata energi agar tercipta energi positif maupun negatif. Ketika mampu menciptakan energi positif dalam tata kelola energi alam, maka dengan mudah mendatangkan dan mengundang roh positif untuk di ajak bersinergi.

Sebaliknya, ketika mampu menciptakan energi negatif dalam sistem tata kelola energi, maka akan dengan mudah untuk mengundang dan mendatangkan makhluk gaib negatif untuk diajak bersinergi dalam spiritual.

“Namun yang perlu dipahami adalah jika bersinergi dengan makhluk dan energi negatif, diri pasti akan kena pengaruh negatif. Jika bersinergi dengan makhluk dan energi positif, maka diri pasti akan menjadi positif. Jadi, menciptakan sinergitas diri dengan makhluk, roh, dan energi hendaklah sangat berhati-hati agar tujuan hidup tercapai,” ucapnya.

Dikatakannya, dalam merumuskan energi alam dikenal dua rumusan sastra. Pertama, rumusan energi cakra, yaitu mengawinkan empat jenis energi untuk menghasilkan satu energi kelima atau energi tujuan.

Kedua, adalah rumusan energi padma, yaitu mengawinkan delapan jenis energi untuk menghasilkan satu energi kesembilan atau energi tujuan.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI 

Baik energi kelima dalam ilmu Cakra maupun energi kesembilan dalam ilmu Padma, diatur oleh sistem rumusan sastra Kanda Empat dan Dasa Aksara yang termuat dalam Pangider Buana Dewata Nawa Sanga, tertata sesuai tata susunan arah mata angin.

“Bila kita mampu menciptakan rumusan energi itu, maka kita dengan mudah mengundang berbagai makhluk gaib apapun yang ada di muka bumi, maupun mendatangkan kekuatan roh apapun yang ada di bumi ataupun di langit. Karena seluruh roh maupun makhluk gaib itu membutuhkan energi itu dan menjadikan energi itu sebagai kekuatan bagi semua makhluk di bumi ini, entah itu makhluk hidup maupun makhluk astral,” papar pria 54 tahun ini.

Jro Nabe Budiarsa mencontohkan, bila bisa merumuskan sirkulasi energi angin, maka seseorang dengan mudah bisa mengundang makhluk gaib dan roh dari unsur angin atau unsur Timur.

Bila mampu menciptakan siklus energi angin negatif, seseorang akan mudah mengundang kekuatan Anggapati maupun Dhurga Petak, bersama pengikut makhluk gaibnya dari seisi gua, batu besar, tebing batu, dan pinggir laut.

Sedangkan, jika bisa menciptakan energi angin yang positif, maka orang itu mudah mengundang dan mendatangkan para roh suci para roh leluhur, Bhatara Kawitan dan roh suci lain yang memiliki sifat putih angin, kosong atau sunya.

“Jika kita bisa membuat siklus energi panas yang positif, maka kita akan mudah memanggil para roh atau Bhatara yang memiliki kemampuan sakti, kuat, dan cerdas, panas, hangat, dan lain sejenisnya. Bila bisa membuat siklus energi panas yang negatif, maka kita mudah mengundang makhluk gaib Mrajapati, Dhurga Bang, bersama seluruh kekuatan makhluk gaib penghuni kuburan, jalan, pempatan, pertigaan, tempat angker dan lain sebagainya. Begitulah seterusnya, sistem kerja siklus energi itu,” jelasnya.

Seluruh makhluk di alam ini menurutnya, membutuhkan energi alam sebagai sumber kekuatan dan kehidupan. Jadi, manusia sesungguhnya berebut energi dengan makhluk gaib maupun para roh di dunia ini.

Sementara, menurut sastra dan agama, lanjutnya, manusia adalah makhluk paling sempurna dan paling tinggi di antara makhluk ciptaan Tuhan. “Maka manusialah yang paling bisa menata energi alam ini agar memiliki daya guna dan fungsi guna. Untuk itu, manusia dituntut mampu menata alam dan menata energi supaya terjadi keseimbangan siklus energi tersebut,” tegas sesepuh Perguruan Wahyu Siwa Mukti tersebut.

Ditegaskan pula, jika paham tentang rumusan energi alam, maka manusia mampu menata alam dan menata energi. Sehingga mendatangkan manfaat luar biasa.

“Jadi, bukan karena sakti, hebat, setengah dewa, tulus ikhlas, jujur dan baik, tapi karena benar cara pelaksanaannya,” katanya.

Lebih lanjut, Jro Nabe menerangkan, akibat cara kerja pikiran manusia yang memengaruhi alam tersebut, sehingga orang yang menekuni spiritual mengalami dan menjalani dua jenis hukuman bila melakukan kesalahan dalam hidup.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI 

Pertama, akibat salah dalam melibatkan kekuatan gelombang energi alam dan roh halus, roh suci, dan pancaran sinar alam yang disebut dengan nama Dewa dan Bhatara, maka ia kena hukum alam atau Hukum Rta. “Ketika terjadi kesalahan dalam spiritual, singkat kata bermain-main dengan kekuatan alam, maka akan terkena hukum alam,” ungkapnya.

Akibat dari kesalahan itu, kata dia, maka alam yang akan menghukum diri saat terjadi kesalahan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Akibat terkena hukum alam, maka hidup akan kacau, bahkan bisa hancur memprihatinkan. “Bisa kowos-boros hingga miskin, bisa sakit-sakitan sulit disembuhkan, banyak konflik dan masalah,” ujarnya.

Ironisnya, terkadang masalah itu muncul justru saat orang tersebut rajin sembahyang, rajin beryadnya, tulus ikhlas, jujur dan pasrah. Malah pada saat itu cobaan dan godaan hidup datang tak terhindarkan.

“Karena tanpa kita sadari kita telah melakukan kesalahan-kesalahan pada kegiatan spiritual melalui proses upacara ataupun doa yang kita lakukan. Apa yang kita anggap benar karena tanpa melakukan kaji, uji bukti dan evaluasi, justru menimbulkan masalah dalam hidup yang berkepanjangan,” ujarnya.

Sehingga, menurutnya, banyak para pelaku dan penekun spiritual mengalami nasib yang tragis dalam hidupnya. Tujuan menekuni jalan spiritual untuk menyelamatkan diri, malahan menghancurkan kehidupan diri dan keluarga.

 

Oleh karena itu, Jro Nabe Budiarsa menekankan agar berhati-hati jika ingin mengikuti pengaruh orang lain dalam menekuni spiritual. Perlu analisa dan logika.

Selain Hukum Rta, dikenal pula Karma Phala, yaitu hukum personal atau pribadi yang hanya berdampak dominan pada diri sendiri. Kesalahan pribadi atas karma yang tidak melibatkan energi alam, menurutnya, tak membuat goncangan energi alam tersebut. Sebab, dalam perbuatan orang itu, tidak melibatkan nama-nama Dewa, Bhatara, Tuhan dan lainnya.

Nah, hukum Karma Phala ini, menurutnya, bisa mendapat pengampunan. “Sehingga kita sering salah tafsir ketika melihat orang melakukan kesalahan, maka mereka akan terkena dampak hukum atas perbuatannya. Dalam tafsiran kita, kesalahan orang akan membawa penderitaan dan hukuman dalam hidupnya, malah kehidupan orang yang kita katakan salah tetap biasa-biasa saja, bahkan justru kadang lebih baik dari kita,” ujarnya.

Sementara, orang yang kelihatan hebat, bisa berdoa mantra yang luar biasa, bisa membuat upakara yang luar biasa, rajin sembahyang, rajin beryadnya, tekun dan ulet, terlihat jujur, omongannya bagus dan halus, justru hidupnya semakin surut bahkan terpuruk.

“Itulah bentuk hukum Rta, hukum alam atas kesalahan spiritual yang tak disadarinya. Apalagi orang tersebut sering bersumpah menyebut nama Tuhan, ataupun memiliki sumpah spiritual dalam hidup, maka sumpah dan janji spiritual itu bila tak dijalaninya akan membawa kehancuran lebih berat dan fatal pada hidupnya, baik disadari atau tidak,” tegasnya.

Sumpah spiritual apapun dalam hidup, kata dia, akan membawa hukuman mutlak dalam hidup. Namun bentuk hukuman itu ada bermacam-macam. Bisa hukuman pisik sakit-sakitan, bisa hukuman ekonomi serba susah, bahkan jatuh miskin. Bisa juga hukum mental moral berupa perubahan sikap, seperti angkuh, sombong, egois, serakah dan lain sebagainya,” jelasnya.

Senin, 05 April 2021

Caru Netralisasi Kekuatan Negatif, Menuju Yadnya Berefek Positif






CARU: Proses pembuatan caru ayam brumbun dengan berbagai kelengkapannya. (SURPA ADISASTRA/BALI EXPRESS)





Caru merupakan salah satu bentuk upakara atau sesajen yang biasa dihaturkan umat Hindu di Bali. Caru dipersembahkan kepada Bhutakala dengan tujuan untuk menyomya kekuatan negatif Bhutakala. Selanjutnya, kekuatan yang telah somya atau netral itu diarahkan menjadi kekuatan positif. Kekuatan positif dan negatif ini merupakan keseimbangan yang diharapkan mendatangkan efek baik dalam sebuah upacara.


Caru ada beberapa jenis. Mulai dari yang sederhana, hingga kompleks. Sehingga bagi seseorang yang belum mempelajarinya, akan terkesan rumit. Sebab, rangkaiannya tak sekadar terbentuk. Melainkan ada perhitungan tertentu yang berhubungan dengan pangurip-urip bahan-bahannya.



Menurut Jro Mangku Wayan Sadia, keberadaan Caru berangkat dari berbagai sumber sastra agama Hindu. Caru, kata dia, dalam artinya adalah cantik. Cantik dalam hal ini, berupa susunannya yang sedemikian rupa sebagai simbol kekuatan para Bhutakala.

Baca juga: Tabung Gas hingga Pentol Bakso Raib, Pengelola 'Lepas Tangan'




“Jika diperhatikan, Caru khususnya sebagai bagian dari upakara tak dibuat dan diletakkan sembarangan. Melainkan disusun sedemikian rupa sehingga rapi dan menarik. Yang sangat penting dan tak boleh disepelekan, peletakan bagian-bagiannya sesuai dengan ketekan atau perhitungan uripnya,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (23/3).

Jro Mangku Sadia menjelaskan, Caru adalah bentuk persembahan yang harus didasarkan pada niat yang tulus dan ikhlas. Hal ini berlaku dalam seluruh pembuatan upakara yadnya.

“Ini yang sering dilupakan di era yang serba modern ini. Bahwa Caru sebagai upakara harus didasari niat yang tulus dan ikhlas dalam pembuatannya,” terangnya.

Meski di satu sisi, terkadang bahannya bagi sebagian orang cukup menjijikkan, lantaran menggunakan sarana seperti daging, darah, bahkan jeroan," paparnya.

Namun, ia kembali menegaskan, semua itu adalah bagian dari persembahan. Sehingga membuatnya pun tak boleh asal-asalan. Tetap perlu ketenangan dan kebersihan.

“Meski bentuknya demikian, ini adalah persembahan. Bisa dibayangkan jika Anda disuguhkan sesuatu yang dibuat secara tak karuan. Tentu ada rasa yang tak ikhlas juga menerima. Begitu pun Caru. Walau konon Bhutakala senang dengan sesuatu yang berbau amis, atau oleh sebagian orang Bhutakala digambarkan berbentuk mengerikan, namun persembahan yang disuguhkan kepadanya mestinya tetap dibuat dengan sebaik-baiknya. Karena disinilah letak kesungguhan kita dalam menghaturkan yadnya,” jelas pria asal Karangasem ini.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Kata dia, jangan pula Caru dibuat dengan didasari rasa takut. Ia kembali menegaskan, bahwa upakara yang suci, harus dibuat dengan hati yang bersih dan suci pula. “Ini sangat penting. Oleh sebab itu, sangat disarankan dalam pembuatan upakara, si pembuat dalam keadaan stabil emosinya. Jangan sedang marah, sedih, takut, atau terlalu gembira. Apapun yang berlebih, tentu tak baik. Bagaimana sebuah Caru bisa menetralisasi kekuatan negatif, jika si pembuat dan dalam pembuatannya senantiasa didasari niat negatif. Jadi ini modal pertama,” tegasnya.

Diterangkannya, dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan : Matangnyan prihen tikang buthahita, haywa tan masih sing sarwaprani. Apan ikang caturwarga nang dharma, artha, kama, moksa. Hana pwa mangilangken prana, ndya ta tan hilang denika. Mangkana ikang rumaksa ring bhutahita, ya ta mamagehaken caturwarga ngaranya, abhutahita ngaranikang tan karaksa denya.

Terjemahannya, oleh karenanya usahakanlah kesejahteraan makhluk itu, jangan tidak belas kasihan kepada semua makhluk. Karena kehidupan itu menyebabkan tetap terjaminnya Catur Warga, yaitu Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Ada yang disebut mencabut nyawa, betapa itu tidak musnah olehnya.

Demikianlah orang yang menjaga kesejahteraan makhluk itu, ia itulah yang disebut menegakkan Catur Warga, dinamakan tidak mensejahterakan makhluk hidup jika sesuatunya itu tidak terjaga olehnya.

“Caru juga sebagai bagian untuk mengharmoniskan dan menyejahterakan alam, atau yang disebut Bhutahita. Ini tak lain guna mewujudkan jagadhita atau keharmonisan alam,” ujarnya.

Setelah memiliki niat yang tulus, lanjutnya, dalam membuat Caru harus paham tattwa atau makna Caru tersebut. Maknanya apa, bentuknya bagaimana, dan tujuannya pada siapa.

“Tri kerangka agama Hindu kan selalu demikian. Tattwa, kita paham makna sesuatu. Susila, lakunya bagaimana. Acara, implementasinya juga harus tepat,” terangnya.

Oleh karena itu, pembuatan Caru, menurutnya harus berdasarkan sumber yang jelas. Jika tidak berupa sastra, minimal ada satu orang yang memang benar-benar menguasai tentang Caru yang memberi arahan secara jelas dan pasti. Dengan demikian, kerumitan pembuatannya jadi lebih jelas dan bisa dipahami.

Ia tak menutup diri dengan kemajuan zaman yang membiasakan manusia serba praktis. Namu, baik Caru maupun upakara lainnya, hendaknya dipahami dan dimengerti. Sehingga, upakara yang biasa dibeli di jasa pembuat upakara, bisa diperhatikan dan diteliti.

“Namanya manusia, kan bisa saja keliru atau salah dalam pembuatan upakara, termasuk Caru. Jika betul-betul tak bisa membuat karena halangan waktu dan kesibukan, ya memang seperti saat ini, akhirnya membeli. Hanya saja, jika kita paham bentuknya, maka kita bisa mengecek upakara itu. Apakah benar, salah, lebih, atau ada yang kurang,” jelasnya.

Dikatakannya, upakara tersebut tak hanya sebatas produk jual-beli, layaknya barang-barang biasa. Jika umat paham, maka bisa berdiskusi dengan si pembuat upakara. Misalnya ada yang belum dilahami atau justru terlihat aneh, lantaran ada lebih atau kurang.

 

“Terkesan ribet? Justru menurut tyang (saya) ini adalah ketelitian kita sebagai umat. Karena dampak yadnya yang kita persembahkan kan nantinya menimpa kita. Boleh percaya dengan si pembuat, tapi teliti sangat dianjurkan agar upakara yang kita haturkan jelas dipahami,” katanya.

Caru tujuannya adalah Bhutakala yang diharapkan energinya bermanfaat dalam menyokong upacara yadnya. Oleh karena itu, dalam persembahannya pun harus melafalkan ucapan atau mantra yang benar dan tepat. Sehingga Caru yang kita haturkan tepat guna.

“Misalnya Caru A, dipersembahkan untuk Butha apa, agar jelas. Contohnya Anda dihadapkan pada makanan, maka si pemberi menjelaskan makanan itu, lalu mempersilakan Anda untuk menikmati makanan yang sesuai dengan Anda. Tentu Anda akan merasa dihargai. Anda pun tak bingung, tiba-tiba dipanggil, disuguhkan makanan, tapi tak diberi penjelasan. Yang parah lagi, penjelasannya justru tak jelas. Ini fatal,” paparnya.

Kata Jro Mangku Sadia, persembahan apapun, termasuk Caru hendaknya dipahami betul oleh orang yang mempersembahkan. Di samping tulus dan ikhlas, maka dalam mempersembahkan, umat akan lebih mantap dan percaya diri.

“Inilah seninya menjadi umat Hindu, khususnya di Bali. Kita tak hanya belajar praktik keagamaan dalam tataran wacana, melainkan dalam praktik. Tak kalah penting, mengingat Caru tujuannya mengharmoniskan alam, maka kita sebagai umat Hindu di Bali juga perlu memelihara alam dan lingkungan sekitar. Jika alam terpelihara dengan baik, niscaya kita aman dan tenteram hidup di dalamnya. Ditambah dengan yadnya yang tepat, maka secara sekala dan niskala keharmonisan dapat terwujud,” pungkasnya.

Fungsi dan Makna Guwungan Bagi Umat Hindu di Bali




Simbol Bayu Sabda Idep dan Sad Ripu



MATEBUS: Guwungan digunakan dalam upacara matebus. Yang bersangkutan akan ditutup dan diberikan panglukatan serta sesajen lainnya. (SURPA ADISASTRA/BALI EXPRESS)





Sangkar ayam atau yang dalam Bahasa Bali disebut dengan nama guwungan merupakan salah satu benda yang akrab dengan kehidupan masyarakat Pulau Dewata. Sangkar ayam yang terbuat dari bambu dengan bentuk dan anyaman yang khas bisa ditemui hampir di setiap rumah di desa-desa. Selain digunakan untuk mengurung ayam aduan, guwungan juga menjadi salah satu perlengkapan ritual.


Guwungan biasa digunakan dalam ritual, di antaranya mengubur ari-ari, abulan pitung dina (satu bulan tujuh hari), dan matebus. Saat ritual menguburkan ari-ari di pekarangan, guwungan digunakan sebagai penutup ari-ari yang telah dikubur dengan beberapa sesajen dan perlengkapan lainnya.



Setelah dikubur, di atas gundukan tanah ari-ari tersebut diletakkan batu hitam dan lampu dari minyak kelapa. Biasanya diisi juga brotowali dan pandan berduri. Semuanya kemudian ditutup dengan guwungan. Tentunya guwungan yang digunakan adalah guwungan yang belum pernah digunakan atau sukla.

Baca juga: Ini Tujuan Pemujaan Saat Purnama-Tilem, Salah Satunya Melebur Mala




Sementara itu, dalam upacara satu bulan tujuh hari dan matebusan, guwungan biasanya digunakan untuk menutup si bayi atau orang yang mengikuti prosesi panebusan. Setelah ditutup, biasanya diperciki tirta panglukatan dan beberapa runtutan sesajen lainnya. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang penasaran tentang fungsi dan makna guwungan tersebut. Di satu sisi, guwungan digunakan sebagai sangkar ayam, sedangkan di sisi lainnya sebagai peralatan ritual.

Direktur Pasca Sarjana IHDN Denpasar, Dr. Drs. I Ketut Sumadi, M.Par kepada Bali Express (Jawa Pos Group) beberapa waktu lalu mengatakan, keberadaan guwungan akrab dengan kehidupan masyarakat Bali secara tradisional. Demikian pula beberapa ritual seperti di atas juga melibatkan guwungan sebagai sebuah alat upacara. Ia mengatakan guwungan merupakan sebuah simbol. Dalam upacara abulan pitung dina dan matebusan, dikatakannya guwungan secara keseluruhan adalah simbol dari kandungan seorang ibu.

"Guwungan dalam proses ritual tersebut merupakan simbol kandungan seorang ibu. Di dalam kandungan tersebutlah tumbuh kehidupan baru yang disebut dengan jabang bayi," ungkapnya.

Oleh karena itu, ketika seseorang ditutup dengan guwungan, secara simbolis ia diberikan berbagai bentuk ruwatan sehingga secara magis yang bersangkutan memperoleh kebersihan jiwa dan fisik. Ia dikurung dengan guwungan yang bermakna agar yang bersangkutan menyadari dirinya lahir sebagai manusia selain memiliki berbagai kelebihan, juga memiliki tanggung jawab untuk mengekang berbagai pengaruh buruk yang ada di dalam dirinya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Setelah prosesi terlewati, guwungan tersebut kemudian dibuka sehingga yang bersangkutan kembali bebas. "Awalnya di dalam kandungan, ketika guwungan dibuka, ia kemudian keluar ke dunia yang baru," jelasnya.

"Dengan prosesi ritual itu, dia lahir kembali lewat pembersihan. Lahir kembali dengan fisik dan jiwa yang bersih," tambahnya.

Selanjutnya, Sumadi menerangkan, jika dibahas secara parsial, guwungan bisa dimaknai dari beberapa segi. Pertama, guwungan berbahan bambu dan rotan. Bambu, sebagaimana diketahui dipercaya oleh orang Bali memiliki sisi magis sehingga disucikan. Namun demikian, dari segi filosofi, dijelaskannya, bambu adalah perlambang bayu (tenaga), sabda (suara), dan idep (pikiran). Dari segi bayu, bambu meskipun memiliki rongga di dalamnya, namun kekuatannya luar biasa dan memiliki tingkat kelenturan tertentu. Sebagai manusia, hendaknya memiliki kekuatan dan keluwesan dalam menjalani hidup.

Selanjutnya, dari segi sabda, bambu jika digunakan sebagai alat musik atau kentungan akan menghasilkan suara yang merdu bila diraut dengan benar. Sebagai manusia, hendaknya memiliki kepandaian alam bertutur kata sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Seperti kata pepatah, lidah bisa lebih tajam dari pedang. Oleh karena itu, dengan bicara manusia bisa menemukan keselamatan atau celaka. Terakhir adalah idep. Di dalam bambu ada rongga yang berisi udara.

"Bambu itu seolah-olah kosong, tapi berisi. Manusia yang lahir itu kosong, melalui pendidikan dan pengalaman ia kemudian berisi," jelasnya.

Di samping itu, bambu juga memiliki sekat-sekat di batangnya atau biasa disebut dengan istilah buku-buku oleh masyarakat Bali. "Buku-buku itu merupakan simbol pengendalian diri," ungkapnya. Buku-buku tersebut tidak hanya satu, tapi banyak. Hal itu sebagai simbol tahapan yang ada dalam hidup. "Hidup itu terdiri dari berbagai tahapan. Salah satu contohnya adalah catur asrama. Hingga suatu saat ketika sudah di posisi puncak, ia merunduk. Namun demikian ia tetap berdiri kokoh," paparnya.

Sementara itu, rotan adalah salah satu jenis tumbuhan yang lentur namun alot. Ia lebih lentur dan alot daripada bambu. Sebagai manusia hendaknya tidak cukup berpuas dengan sebuah pencapaian sementara atau semu. Ketika sudah bisa selentur dan sekuat bambu, tetap meningkatkan kualitas diri seperti rotan. Namun demikian rotan tersebut mengelilingi anyaman bambu yang menyimbolkan bahwa meski sudah mencapai kualitas diri yang baik, tetap merangkul orang lain sehingga timbul persatuan yang kokoh. Dengan demikian, manusia yang memiliki kelebihan tidak boleh sombong, namun merangkul masyarakat dan membagi hal-hal yang bermanfaat guna persaudaraan dan kehidupan sosial yang lebih baik.



Tidak hanya itu, jika diperhatikan, anyaman bambu memiliki bentuk yang unik, yakni segi enam atau perpaduan dua buah segitiga yang menghadap ke atas dan ke bawah. "Lubang dari guwungan berbentuk segi enam sebagai simbol sad ripu atau enam musuh dalam diri manusia," ujarnya. Bagian-bagiannya adalah kama (nafsu), lobha (tamak/rakus), krodha (kemarahan), moha (kebingungan), mada (mabuk), dan matsarya (dengki/iri hati).

Jika ditambah datu lengkungan rotan di atasnya, maka bisa dimaknai sebagai Sapta Timira atau tujuh kegelapan dalam diri manusia. Bagian-bagiannya adalah surupa (mabuk atau sombong karena kecantikan atau ketampanan), dhana (mabuk karena harta), guna (mabuk karena merasa pintar), kulina (mabuk karena merasa keturunan ningrat atau bangsawan), yowana (mabuk karena masa muda), sura (mabuk karena minuman keras), kasuran (mabuk karena kekuatan). "Sifat-sifat ibilah yang harus dibersihkan dari dalam diri," tegasnya.

Sedangkan perpaduan antara dua segitiga yang menghadap ke atas dan ke bawah adalah simbol pertemuan purusha (unsur kejiwaan) dan pradana (unsur kebendaan) yang merupakan proses penciptaan. Dengan demikian, menurutnya juga berkaitan dengan guwungan sebagai simbol kandungan seorang ibu yang di dalamnya berisi benih kehidupan.

Rabu, 24 Maret 2021

Krematorium Adat Buleleng Sediakan 13 Pamuput, Terima Krama Luar






KREMATORIUM: Kondisi di areal Krematorium Desa Adat Buleleng saat difoto beberapa waktu lalu. Kelian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna. (Putu Mardika/Bali Express)





Krematorium di Desa Adat Buleleng kini resmi sudah beroperasi. Sejak diresmikan pada awal Januari 2021 lalu, krematorium ini sudah melayani hampir 27 umat yang keluarganya meninggal. Krama pun bisa menggunakan untuk upacara Pangabenan dengan biaya yang terjangkau.


Krematorium yang berlokasi di areal setra sebelah timur laut, Kelurahan Kendran ini, sudah tertata rapi. Kebersihannya pun sangat terjaga. Areal taman juga sudah ditanami tanaman hias. Sehingga jauh dari kesan angker, seperti setra pada umumnya.



Kelian Adat Buleleng Jro Nyoman Sutrisna mengatakan, Desa Adat Buleleng terdiri dari 14 banjar adat yang tersebar di 10 kelurahan. Kramanya 7 ribu kepala keluarga (KK).

Baca juga: Sekeluarga Terjun ke Sungai, Pengendara Hilang, 1 Tewas, Anak Selamat




Dari 14 banjar adat itu, Desa Adat Buleleng memiliki tiga setra, yakni Setra Kayu Buntil, Setra Kelurahan Banjar Tegal, dan Setra Kelurahan Kendran. Khusus setra adat yang berlokasi di Kelurahan Kendran luasnya mencapai 1,9 hektare. Dari jumlah itu dibagi menjadi 14 wawidangan sesuai dengan jumlah banjar adat.

Dijelaskan Jro Sutrisna, khusus di Setra Adat Buleleng, pembangunan krematorium merupakan program jangka menengah yang dirancang prajuru adat. Tentu saja, pembangunan ini diakuinya atas seizin krama Desa Adat Buleleng.

“Prajuru desa adat memiliki program kerja. Yakni jangka pendek, jangka menengah dan panjang. Kalau jangka panjang adalah Ngaben Massal. Sedangkan jangka menengah adalah penataan setra, termasuk pembangunan krematorium,” jelas Sutrisna.

Krematorium yang dibangun ini menelan biaya sebesar Rp 1,2 miliar. Dana itu bersumber dari krama sebesar Rp 700 juta. Sisanya dibantu dari Dana BKK Provinsi Bali tahun 2020 sebesar Rp 500 juta.

Disinggung terkait pengelolaannya, Sutrisna menyebut, krematorium ini dikelola Suka Duka Pura Dalem. Biaya yang dipatok pun tergolong terjangkau bagi krama.

Menariknya, krematorium ini tidak hanya diperuntukkan bagi krama Desa Adat Buleleng saja. Tetapi juga dari luar desa adat, baik di Kabupaten Buleleng, luar Buleleng, bahkan luar Provinsi Bali.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Hal itu diakuinya sudah sesuai dengan Perarem Desa Adat Buleleng. “Apabila dari desa adat kami yang melaksanakan upacara Makinsan di Gni di setra, akan dikenakan punia hanya Rp 1 juta. Kemudian kalau krama di luar desa adat, namun masih berasal dari Kabupaten Buleleng atau masih berada di Bali, maka dikenakan biaya Rp 1,5 juta. Tetapi kalau ada yang di luar Bali dikenakan Rp 3 juta,” imbuhnya.

Besaran biaya krematorium ini beragam sesuai jenjang yang diinginkan. Seperti upacara Makinsan di Gni, Ngaben Alit, Ngaben Madya sampai Nyekah, mulai dari Rp 6 juta, Rp 7,5 juta, Rp 17 juta hingga Rp 35 juta. Bantennya pun sudah komplit.

Pengelola krematorium juga menyiapkan sedikitnya 13 sulinggih/sadaka. Krama bisa memilih sesuai keinginan siapa yang akan muput upacaranya.

Di krematorium ini juga bisa dilakukan prosesi upacara Mabersih. Semunya bisa dilaksanakan di setra. Sampai Ngaskara pun, sebut Sutrisna, bisa dilaksanakan di Setra Desa Adat Buleleng, sesuai dengan banten yang dipilih.

“Besaran biaya itu mulai dari Ngaben Alit Rp 6 juta sampai Rp 7,5 juta. Sedangkan Ngaben Madya itu sampai Rp 35 juta sampai Majar-ajar. Bahkan itu sudah termasuk penjemputan jenazah menggunakan ambulans secara gratis jika jaraknya masih 5 kilometer. Tapi jika jaraknya lebih dari 5 kilometer akan dikenakan biaya,” bebernya.

Lalu, apakah yang menggelar upacara atiwa-tiwa seperti Makinsan di Gni hingga Pangabenan di Krematorium Desa Adat Buleleng tetap mengacu pada ala ayuning dewasa? Dikatakan Sutrisna dalam Perarem Desa Adat Buleleng sudah diatur terkait padewasan upacara Atiwa-tiwa.

Seperti Awig-awig nomor 1 Tahun 2013 pasal 75. Dimana pasal (1) berbunyi larangan Atiwa-tiwa, seperti Pangabenan, Penguburan, Makinsan di Gni. “Bilamana harinya pasah, semut sedulur berturut-turut, kala gotongan, purnama tilem, odalan di kahyangan tiga, hari-hari besar, Panyepian, Melasti, maka bakal dilarang. Tetapi di pasal 75 larangan itu ada pengecualian seperti ada gering agung seperti Covid-19 hingga penyakit menular lainnya,” jelasnya.

Kendati krematorium sudah beroperasi, namun petunon lama, sebut Sutrisna, akan tetap dioperasikan. Krama pun bisa memilih. Biaya kompor mayat disewakan sebesar Rp 850 ribu untuk krama setempat. Sedangkan bagi krama luar dikenakan biaya Rp 1,5 juta saja. “Kalau menggunakan petunon lama, masyarakat menanggung banten sendiri,” pungkasnya.

Dasar Ngaben Krematorium Sah Berdasar Perspektif Hindu






Antropolog Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Putu Mardika/Bali Express)





Akademisi sekaligus Antropolog Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A menjelaskan, dalam penelitiannya tentang Krematorium tak menampik ada beberapa pertimbangan mengapa umat Hindu memilih melakukan kremasi di Krematorium.


Menurutnya, Ngaben di Krematorium mendapat legitimiasi dari Agama Hindu. Hal itu dilegitimasi pada hasil paruman sulinggih yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Klungkung pada November 2014 lalu, yang dihadiri 30 orang sulinggih. Yakni pedanda, pandhita, mpu, sri mpu.



Dalam paruman itu diputuskan, Ngaben di Krematorium bisa dibenarkan dengan sejumlah alasan. Pertama, tidak ada sumber-sumber sastra yang melarang Ngaben di Krematorium. Kedua, ajaran Agama Hindu bersifat fleksibel. Ketiga, api citta yang merupakan api dari kekuatan jnana (pikiran) sulinggih tetap jadi sarana utama dalam kremasi.

Baca juga: CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI




Bahkan, keputusan ini juga dikuatkan tentang lima pertimbangan yakni ikhsa, sakti, desa, kala, dan tattwa.

“Dengan keputusan paruman sulinggih tentang Ngaben Krematorium, maka bisa dipertegas jika Agama Hindu melegitimasi Ngaben Krematorium. Sehingga semakin banyak orang Bali Ngaben di Kremarorium,” ujarnya.

Ditambahkan Prof Bawa, selain dilegitimasi Agama Hindu, ada sejumlah pertimbangan lain mengapa umat Hindu banyak yang menggunakan jasa Krematorium dalam upacara kematian. Ia menyebut, jika dahulu orang memilih menggunakan Krematorium karena kasepekang oleh adat atau tidak adaptif.

“Bisa saja miskin modal sosial, miskin modal ekonomi, tak adaptasi di desa pakraman, sehingga kasepekekang atau kanorayan, atau terkena penyakit menular, sehingga orang takut mengambil jenazahnya, atau kewarganegarannya tidak jelas di suatu desa adat,” jelasnya.

Namun saat ini justru mengalami pergeseran. Orang yang tidak bermasalah dengan adat pun secara sukarela memilih ritual kematiannya di Krematorium tanpa adanya keterpaksaan.

“Jadi, bukan karena terpaksa. Tetapi karena pilihan rasional. Gejala ini ditandai dengan adanya kenyataan, misalnya orangnya adaptif terhadap lingkungan, kaya modal sosial dan modal ekonomi,” imbuhnya.



Selain itu, efisiensi juga disebutnya menjadi pertimbangan tersendiri bagi krama untuk memilih Ngaben di Krematorium. Seperti efisiensi biaya, tenaga dan waktu. Dengan cara ini, Pangaben tidak banyak beraktivitas, karena telah diambil alih oleh tenaga kerja yang tersedia pada Krematorium. Jadi,

yang melaksanakan Pangabenan hanya tinggal 'duduk manis' menikmati acara Ngaben 'siap saji dan cepat saji' yang disuguhkan pengelola Krematorium. Peran Pangaben sangat terbatas, hanya melakukan doa pada saat-saat tertentu sebagaimana yang dipimpin pemimpin ritual.

“Waktu Ngaben di Krematorium butuh waktu sehari. Banten sudah ditanggung pihak Krematorium, memandikan mayat, ngaringkes dan membakarnya sudah ditanggung pihak Krematorium. Sehingga tidak perlu mengeluarkan tenaga. Karena waktu hanya sehari, otomatis biaya yang dikeluarkan juga bisa diirit,” pungkasnya.

Jumat, 19 Maret 2021

Umat Hindu memuja pohon?

 

Rahajeng Tumpek Wariga 😇. Untuk menjawabnya, Hinduisme memiliki dua aliran — filsafat dan teologi. Agama-agama misionaris hanya memiliki teologi saja. Dalam filsafat Vedānta, ketuhanan dipahami dalam 2 tahap: 

1. Tuhan berada di dalam makhluk hidup (konsep atāryami)
2. Makhluk hidup berada di dalam Tuhan (konsep virāṭ) 

______________________________ 

1. Tuhan sebagai penghuni semua makhluk hidup (antāryami / hiraṇya-garbha). 

jīvanaṁ sarva-bhūteṣu = "Aku adalah nyawa dari semua yang hidup", ketika kita melihat bentuk suatu kehidupan, apakah pohon, binatang, atau manusia, ketahuilah bahwa kehidupan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan, karena begitu percikan spritual (bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan) diambil oleh-Nya, maka badan ini hanya Pradhāna (benda mati). Untuk menjaganya tetap hidup di dalam badan material tersebut, Tuhan tetap berada bersamanya sebagai Puruṣa (daya hidup). 

पुराण्यनेन सृष्टानि नृतिर्यगृषिदेवता: ।
शेते जीवेन रूपेण पुरेषु पुरुषो ह्यसौ ॥ ३७ ॥ 

— "Tuhan telah menciptakan banyak tempat kediaman di dalam entitas-entitas hidup (binatang, para dewa, dan tumbuh-tumbuhan, dll). Sebagai Paramātmā, Dia tinggal bersama makhluk hidup di dalam semua bentuk badan yang tak terhitung banyaknya tersebut. Demikianlah Dia dikenal sebagai Puruṣa." 

2. Alam semesta adalah badan Tuhan — panteisme (virāṭ) 

Memandang segala sesuatu adalah badan Tuhan Yang Maha Perkasa, ini adalah konsep Puruṣa Sūktam di dalam Ṛegveda. Tetapi kita hendaknya tidak keliru menganggap bahwa oleh karena kita semua, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan segala sesuatu terhubung dengan Tuhan maka kita semua adalah Tuhan. Keanekaragaman ini adalah atribut-Nya atau visesa. 


रोमाण्युद्भिज्जजातीनां यैर्वा यज्ञस्तु सम्भृत: । 

— "Rambut di badan-Nya merupakan penyebab semua tumbuh-tumbuhan, khususnya tumbuhan yang dibutuhkan sebagai bagian bahan untuk korban suci." 

Kesimpulan: manusia menghormati tumbuh-tumbuhan, yang dipuja tetap adalah Puruṣa (Tuhan) yaitu penghuni batin dan penguasa dari tumbuh-tumbuhan itu. Di Bali disebut Sang Hyang Śaṅkara. 

Photo: @wayan.yatika 
Via @filsafat_hindu #balipunyacerita

Senin, 15 Maret 2021

Makna dan Simbolik Makala-Kalaan dalam Pewiwahan






PEWIWAHAN: Prosesi pernikahan umat Hindu di Bali. (ISTIMEWA)




Pawiwahan atau perkawinan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap insan,termasuk juga umat Hindu. Pernikahan sekaligus mengakhiri masa Brahmacari Asrama dan memulai kehidupan pada tingkat Grhasta Asrama. Namun, kapan seseorang dikatakan sah berkeluarga?

Perkawinan atau Wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut 'Yatha Sakti Kayika Dharma' yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi, seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. "Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan," ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express, Selasa (13/12/2016).
Satra menjelaskan, di dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi, bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut 'Makala-kalaan' (natab beten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita.
Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan 'Kala Bhucari' sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata 'kala' yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam 'sebel kandel'.






Dengan upacara Makala-kalaan sebagai sarana penetralisasi (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk mengubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). "Dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih," ujar Satra
Upacara Makala-Kalaan dimaknai sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai yang berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.
Lebih lanjut dijelaskan Satra, adapun alat-alat yang digunkan saat upacara Makala-Kalaan adalah Sanggah Surya yang di sebelah kanannya digantungkan Biyu Lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah Kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Biyu Lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai Dewa Kebajikan, Ketampanan, Kebijaksanaan simbol pengantin pria. Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, Dewa Kecantikan serta Kebijaksanaan simbol pengantin wanita.
Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg) sebagai simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara Makala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin. Tikeh Dadakan (tikar kecil) diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, Tikeh Dadakan adalah simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni). Selanjutnya, Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.

 
Dalam Makala-kalaan dibuatkan juga benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu. Pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon Dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara Makala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.
Perlengkapan lainnya adalah Tegen - tegenan, merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Suwun-suwunan (sarana jinjingan) melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon Kunir dan Talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
Sementara Dagang-dagangan melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala risiko yang timbul akibat perkawinan tersebut, seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.

 
Ada juga Sapu Lidi tiga batang merupakan simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna dan agar tabah menghadapi cobaan dalam kehidupan rumah tangga.
Kemudian Sambuk Kupakan (serabut kelapa) adalah serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga, simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), mengisyaratkan kesucian. Sedangkan Telor bebek menjadi simbol manik.
Proses selanjutnya, mempelai saling tendang serabut kelapa (matanjung Sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Hal ini bermakna, apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan Triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut, kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

Sedangkan Tetimpug Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh (daun kelapa kering), bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.

Upacara Makala-kalaan biasanya dilaksanakan pada sore hari. Hal ini dilakukan untuk mencari momentum keluarnya Bhuta Kala. Sebab, Sandi Kala dipercayai sebagai waktu keluarnya Bhuta Kala. "Kesuksesan pelaksanaan upacara ini mengutamakan kehadiran Tri Saksi, yakni saksi Dewa, Saksi Manusia, dan saksi Bhuta Kala," tutup Satra.