CARU: Proses pembuatan caru ayam brumbun dengan berbagai kelengkapannya. (SURPA ADISASTRA/BALI EXPRESS)
Caru merupakan salah satu bentuk upakara atau sesajen yang biasa dihaturkan umat Hindu di Bali. Caru dipersembahkan kepada Bhutakala dengan tujuan untuk menyomya kekuatan negatif Bhutakala. Selanjutnya, kekuatan yang telah somya atau netral itu diarahkan menjadi kekuatan positif. Kekuatan positif dan negatif ini merupakan keseimbangan yang diharapkan mendatangkan efek baik dalam sebuah upacara.
Caru ada beberapa jenis. Mulai dari yang sederhana, hingga kompleks. Sehingga bagi seseorang yang belum mempelajarinya, akan terkesan rumit. Sebab, rangkaiannya tak sekadar terbentuk. Melainkan ada perhitungan tertentu yang berhubungan dengan pangurip-urip bahan-bahannya.
Menurut Jro Mangku Wayan Sadia, keberadaan Caru berangkat dari berbagai sumber sastra agama Hindu. Caru, kata dia, dalam artinya adalah cantik. Cantik dalam hal ini, berupa susunannya yang sedemikian rupa sebagai simbol kekuatan para Bhutakala.
Baca juga: Tabung Gas hingga Pentol Bakso Raib, Pengelola 'Lepas Tangan'
“Jika diperhatikan, Caru khususnya sebagai bagian dari upakara tak dibuat dan diletakkan sembarangan. Melainkan disusun sedemikian rupa sehingga rapi dan menarik. Yang sangat penting dan tak boleh disepelekan, peletakan bagian-bagiannya sesuai dengan ketekan atau perhitungan uripnya,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (23/3).
Jro Mangku Sadia menjelaskan, Caru adalah bentuk persembahan yang harus didasarkan pada niat yang tulus dan ikhlas. Hal ini berlaku dalam seluruh pembuatan upakara yadnya.
“Ini yang sering dilupakan di era yang serba modern ini. Bahwa Caru sebagai upakara harus didasari niat yang tulus dan ikhlas dalam pembuatannya,” terangnya.
Meski di satu sisi, terkadang bahannya bagi sebagian orang cukup menjijikkan, lantaran menggunakan sarana seperti daging, darah, bahkan jeroan," paparnya.
Namun, ia kembali menegaskan, semua itu adalah bagian dari persembahan. Sehingga membuatnya pun tak boleh asal-asalan. Tetap perlu ketenangan dan kebersihan.
“Meski bentuknya demikian, ini adalah persembahan. Bisa dibayangkan jika Anda disuguhkan sesuatu yang dibuat secara tak karuan. Tentu ada rasa yang tak ikhlas juga menerima. Begitu pun Caru. Walau konon Bhutakala senang dengan sesuatu yang berbau amis, atau oleh sebagian orang Bhutakala digambarkan berbentuk mengerikan, namun persembahan yang disuguhkan kepadanya mestinya tetap dibuat dengan sebaik-baiknya. Karena disinilah letak kesungguhan kita dalam menghaturkan yadnya,” jelas pria asal Karangasem ini.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Kata dia, jangan pula Caru dibuat dengan didasari rasa takut. Ia kembali menegaskan, bahwa upakara yang suci, harus dibuat dengan hati yang bersih dan suci pula. “Ini sangat penting. Oleh sebab itu, sangat disarankan dalam pembuatan upakara, si pembuat dalam keadaan stabil emosinya. Jangan sedang marah, sedih, takut, atau terlalu gembira. Apapun yang berlebih, tentu tak baik. Bagaimana sebuah Caru bisa menetralisasi kekuatan negatif, jika si pembuat dan dalam pembuatannya senantiasa didasari niat negatif. Jadi ini modal pertama,” tegasnya.
Diterangkannya, dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan : Matangnyan prihen tikang buthahita, haywa tan masih sing sarwaprani. Apan ikang caturwarga nang dharma, artha, kama, moksa. Hana pwa mangilangken prana, ndya ta tan hilang denika. Mangkana ikang rumaksa ring bhutahita, ya ta mamagehaken caturwarga ngaranya, abhutahita ngaranikang tan karaksa denya.
Terjemahannya, oleh karenanya usahakanlah kesejahteraan makhluk itu, jangan tidak belas kasihan kepada semua makhluk. Karena kehidupan itu menyebabkan tetap terjaminnya Catur Warga, yaitu Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Ada yang disebut mencabut nyawa, betapa itu tidak musnah olehnya.
Demikianlah orang yang menjaga kesejahteraan makhluk itu, ia itulah yang disebut menegakkan Catur Warga, dinamakan tidak mensejahterakan makhluk hidup jika sesuatunya itu tidak terjaga olehnya.
“Caru juga sebagai bagian untuk mengharmoniskan dan menyejahterakan alam, atau yang disebut Bhutahita. Ini tak lain guna mewujudkan jagadhita atau keharmonisan alam,” ujarnya.
Setelah memiliki niat yang tulus, lanjutnya, dalam membuat Caru harus paham tattwa atau makna Caru tersebut. Maknanya apa, bentuknya bagaimana, dan tujuannya pada siapa.
“Tri kerangka agama Hindu kan selalu demikian. Tattwa, kita paham makna sesuatu. Susila, lakunya bagaimana. Acara, implementasinya juga harus tepat,” terangnya.
Oleh karena itu, pembuatan Caru, menurutnya harus berdasarkan sumber yang jelas. Jika tidak berupa sastra, minimal ada satu orang yang memang benar-benar menguasai tentang Caru yang memberi arahan secara jelas dan pasti. Dengan demikian, kerumitan pembuatannya jadi lebih jelas dan bisa dipahami.
Ia tak menutup diri dengan kemajuan zaman yang membiasakan manusia serba praktis. Namu, baik Caru maupun upakara lainnya, hendaknya dipahami dan dimengerti. Sehingga, upakara yang biasa dibeli di jasa pembuat upakara, bisa diperhatikan dan diteliti.
“Namanya manusia, kan bisa saja keliru atau salah dalam pembuatan upakara, termasuk Caru. Jika betul-betul tak bisa membuat karena halangan waktu dan kesibukan, ya memang seperti saat ini, akhirnya membeli. Hanya saja, jika kita paham bentuknya, maka kita bisa mengecek upakara itu. Apakah benar, salah, lebih, atau ada yang kurang,” jelasnya.
Dikatakannya, upakara tersebut tak hanya sebatas produk jual-beli, layaknya barang-barang biasa. Jika umat paham, maka bisa berdiskusi dengan si pembuat upakara. Misalnya ada yang belum dilahami atau justru terlihat aneh, lantaran ada lebih atau kurang.
“Terkesan ribet? Justru menurut tyang (saya) ini adalah ketelitian kita sebagai umat. Karena dampak yadnya yang kita persembahkan kan nantinya menimpa kita. Boleh percaya dengan si pembuat, tapi teliti sangat dianjurkan agar upakara yang kita haturkan jelas dipahami,” katanya.
Caru tujuannya adalah Bhutakala yang diharapkan energinya bermanfaat dalam menyokong upacara yadnya. Oleh karena itu, dalam persembahannya pun harus melafalkan ucapan atau mantra yang benar dan tepat. Sehingga Caru yang kita haturkan tepat guna.
“Misalnya Caru A, dipersembahkan untuk Butha apa, agar jelas. Contohnya Anda dihadapkan pada makanan, maka si pemberi menjelaskan makanan itu, lalu mempersilakan Anda untuk menikmati makanan yang sesuai dengan Anda. Tentu Anda akan merasa dihargai. Anda pun tak bingung, tiba-tiba dipanggil, disuguhkan makanan, tapi tak diberi penjelasan. Yang parah lagi, penjelasannya justru tak jelas. Ini fatal,” paparnya.
Kata Jro Mangku Sadia, persembahan apapun, termasuk Caru hendaknya dipahami betul oleh orang yang mempersembahkan. Di samping tulus dan ikhlas, maka dalam mempersembahkan, umat akan lebih mantap dan percaya diri.
“Inilah seninya menjadi umat Hindu, khususnya di Bali. Kita tak hanya belajar praktik keagamaan dalam tataran wacana, melainkan dalam praktik. Tak kalah penting, mengingat Caru tujuannya mengharmoniskan alam, maka kita sebagai umat Hindu di Bali juga perlu memelihara alam dan lingkungan sekitar. Jika alam terpelihara dengan baik, niscaya kita aman dan tenteram hidup di dalamnya. Ditambah dengan yadnya yang tepat, maka secara sekala dan niskala keharmonisan dapat terwujud,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar