Rabu, 24 Maret 2021

Krematorium Adat Buleleng Sediakan 13 Pamuput, Terima Krama Luar






KREMATORIUM: Kondisi di areal Krematorium Desa Adat Buleleng saat difoto beberapa waktu lalu. Kelian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna. (Putu Mardika/Bali Express)





Krematorium di Desa Adat Buleleng kini resmi sudah beroperasi. Sejak diresmikan pada awal Januari 2021 lalu, krematorium ini sudah melayani hampir 27 umat yang keluarganya meninggal. Krama pun bisa menggunakan untuk upacara Pangabenan dengan biaya yang terjangkau.


Krematorium yang berlokasi di areal setra sebelah timur laut, Kelurahan Kendran ini, sudah tertata rapi. Kebersihannya pun sangat terjaga. Areal taman juga sudah ditanami tanaman hias. Sehingga jauh dari kesan angker, seperti setra pada umumnya.



Kelian Adat Buleleng Jro Nyoman Sutrisna mengatakan, Desa Adat Buleleng terdiri dari 14 banjar adat yang tersebar di 10 kelurahan. Kramanya 7 ribu kepala keluarga (KK).

Baca juga: Sekeluarga Terjun ke Sungai, Pengendara Hilang, 1 Tewas, Anak Selamat




Dari 14 banjar adat itu, Desa Adat Buleleng memiliki tiga setra, yakni Setra Kayu Buntil, Setra Kelurahan Banjar Tegal, dan Setra Kelurahan Kendran. Khusus setra adat yang berlokasi di Kelurahan Kendran luasnya mencapai 1,9 hektare. Dari jumlah itu dibagi menjadi 14 wawidangan sesuai dengan jumlah banjar adat.

Dijelaskan Jro Sutrisna, khusus di Setra Adat Buleleng, pembangunan krematorium merupakan program jangka menengah yang dirancang prajuru adat. Tentu saja, pembangunan ini diakuinya atas seizin krama Desa Adat Buleleng.

“Prajuru desa adat memiliki program kerja. Yakni jangka pendek, jangka menengah dan panjang. Kalau jangka panjang adalah Ngaben Massal. Sedangkan jangka menengah adalah penataan setra, termasuk pembangunan krematorium,” jelas Sutrisna.

Krematorium yang dibangun ini menelan biaya sebesar Rp 1,2 miliar. Dana itu bersumber dari krama sebesar Rp 700 juta. Sisanya dibantu dari Dana BKK Provinsi Bali tahun 2020 sebesar Rp 500 juta.

Disinggung terkait pengelolaannya, Sutrisna menyebut, krematorium ini dikelola Suka Duka Pura Dalem. Biaya yang dipatok pun tergolong terjangkau bagi krama.

Menariknya, krematorium ini tidak hanya diperuntukkan bagi krama Desa Adat Buleleng saja. Tetapi juga dari luar desa adat, baik di Kabupaten Buleleng, luar Buleleng, bahkan luar Provinsi Bali.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Hal itu diakuinya sudah sesuai dengan Perarem Desa Adat Buleleng. “Apabila dari desa adat kami yang melaksanakan upacara Makinsan di Gni di setra, akan dikenakan punia hanya Rp 1 juta. Kemudian kalau krama di luar desa adat, namun masih berasal dari Kabupaten Buleleng atau masih berada di Bali, maka dikenakan biaya Rp 1,5 juta. Tetapi kalau ada yang di luar Bali dikenakan Rp 3 juta,” imbuhnya.

Besaran biaya krematorium ini beragam sesuai jenjang yang diinginkan. Seperti upacara Makinsan di Gni, Ngaben Alit, Ngaben Madya sampai Nyekah, mulai dari Rp 6 juta, Rp 7,5 juta, Rp 17 juta hingga Rp 35 juta. Bantennya pun sudah komplit.

Pengelola krematorium juga menyiapkan sedikitnya 13 sulinggih/sadaka. Krama bisa memilih sesuai keinginan siapa yang akan muput upacaranya.

Di krematorium ini juga bisa dilakukan prosesi upacara Mabersih. Semunya bisa dilaksanakan di setra. Sampai Ngaskara pun, sebut Sutrisna, bisa dilaksanakan di Setra Desa Adat Buleleng, sesuai dengan banten yang dipilih.

“Besaran biaya itu mulai dari Ngaben Alit Rp 6 juta sampai Rp 7,5 juta. Sedangkan Ngaben Madya itu sampai Rp 35 juta sampai Majar-ajar. Bahkan itu sudah termasuk penjemputan jenazah menggunakan ambulans secara gratis jika jaraknya masih 5 kilometer. Tapi jika jaraknya lebih dari 5 kilometer akan dikenakan biaya,” bebernya.

Lalu, apakah yang menggelar upacara atiwa-tiwa seperti Makinsan di Gni hingga Pangabenan di Krematorium Desa Adat Buleleng tetap mengacu pada ala ayuning dewasa? Dikatakan Sutrisna dalam Perarem Desa Adat Buleleng sudah diatur terkait padewasan upacara Atiwa-tiwa.

Seperti Awig-awig nomor 1 Tahun 2013 pasal 75. Dimana pasal (1) berbunyi larangan Atiwa-tiwa, seperti Pangabenan, Penguburan, Makinsan di Gni. “Bilamana harinya pasah, semut sedulur berturut-turut, kala gotongan, purnama tilem, odalan di kahyangan tiga, hari-hari besar, Panyepian, Melasti, maka bakal dilarang. Tetapi di pasal 75 larangan itu ada pengecualian seperti ada gering agung seperti Covid-19 hingga penyakit menular lainnya,” jelasnya.

Kendati krematorium sudah beroperasi, namun petunon lama, sebut Sutrisna, akan tetap dioperasikan. Krama pun bisa memilih. Biaya kompor mayat disewakan sebesar Rp 850 ribu untuk krama setempat. Sedangkan bagi krama luar dikenakan biaya Rp 1,5 juta saja. “Kalau menggunakan petunon lama, masyarakat menanggung banten sendiri,” pungkasnya.

Dasar Ngaben Krematorium Sah Berdasar Perspektif Hindu






Antropolog Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Putu Mardika/Bali Express)





Akademisi sekaligus Antropolog Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A menjelaskan, dalam penelitiannya tentang Krematorium tak menampik ada beberapa pertimbangan mengapa umat Hindu memilih melakukan kremasi di Krematorium.


Menurutnya, Ngaben di Krematorium mendapat legitimiasi dari Agama Hindu. Hal itu dilegitimasi pada hasil paruman sulinggih yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Klungkung pada November 2014 lalu, yang dihadiri 30 orang sulinggih. Yakni pedanda, pandhita, mpu, sri mpu.



Dalam paruman itu diputuskan, Ngaben di Krematorium bisa dibenarkan dengan sejumlah alasan. Pertama, tidak ada sumber-sumber sastra yang melarang Ngaben di Krematorium. Kedua, ajaran Agama Hindu bersifat fleksibel. Ketiga, api citta yang merupakan api dari kekuatan jnana (pikiran) sulinggih tetap jadi sarana utama dalam kremasi.

Baca juga: CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI




Bahkan, keputusan ini juga dikuatkan tentang lima pertimbangan yakni ikhsa, sakti, desa, kala, dan tattwa.

“Dengan keputusan paruman sulinggih tentang Ngaben Krematorium, maka bisa dipertegas jika Agama Hindu melegitimasi Ngaben Krematorium. Sehingga semakin banyak orang Bali Ngaben di Kremarorium,” ujarnya.

Ditambahkan Prof Bawa, selain dilegitimasi Agama Hindu, ada sejumlah pertimbangan lain mengapa umat Hindu banyak yang menggunakan jasa Krematorium dalam upacara kematian. Ia menyebut, jika dahulu orang memilih menggunakan Krematorium karena kasepekang oleh adat atau tidak adaptif.

“Bisa saja miskin modal sosial, miskin modal ekonomi, tak adaptasi di desa pakraman, sehingga kasepekekang atau kanorayan, atau terkena penyakit menular, sehingga orang takut mengambil jenazahnya, atau kewarganegarannya tidak jelas di suatu desa adat,” jelasnya.

Namun saat ini justru mengalami pergeseran. Orang yang tidak bermasalah dengan adat pun secara sukarela memilih ritual kematiannya di Krematorium tanpa adanya keterpaksaan.

“Jadi, bukan karena terpaksa. Tetapi karena pilihan rasional. Gejala ini ditandai dengan adanya kenyataan, misalnya orangnya adaptif terhadap lingkungan, kaya modal sosial dan modal ekonomi,” imbuhnya.



Selain itu, efisiensi juga disebutnya menjadi pertimbangan tersendiri bagi krama untuk memilih Ngaben di Krematorium. Seperti efisiensi biaya, tenaga dan waktu. Dengan cara ini, Pangaben tidak banyak beraktivitas, karena telah diambil alih oleh tenaga kerja yang tersedia pada Krematorium. Jadi,

yang melaksanakan Pangabenan hanya tinggal 'duduk manis' menikmati acara Ngaben 'siap saji dan cepat saji' yang disuguhkan pengelola Krematorium. Peran Pangaben sangat terbatas, hanya melakukan doa pada saat-saat tertentu sebagaimana yang dipimpin pemimpin ritual.

“Waktu Ngaben di Krematorium butuh waktu sehari. Banten sudah ditanggung pihak Krematorium, memandikan mayat, ngaringkes dan membakarnya sudah ditanggung pihak Krematorium. Sehingga tidak perlu mengeluarkan tenaga. Karena waktu hanya sehari, otomatis biaya yang dikeluarkan juga bisa diirit,” pungkasnya.

Jumat, 19 Maret 2021

Umat Hindu memuja pohon?

 

Rahajeng Tumpek Wariga 😇. Untuk menjawabnya, Hinduisme memiliki dua aliran — filsafat dan teologi. Agama-agama misionaris hanya memiliki teologi saja. Dalam filsafat Vedānta, ketuhanan dipahami dalam 2 tahap: 

1. Tuhan berada di dalam makhluk hidup (konsep atāryami)
2. Makhluk hidup berada di dalam Tuhan (konsep virāṭ) 

______________________________ 

1. Tuhan sebagai penghuni semua makhluk hidup (antāryami / hiraṇya-garbha). 

jīvanaṁ sarva-bhūteṣu = "Aku adalah nyawa dari semua yang hidup", ketika kita melihat bentuk suatu kehidupan, apakah pohon, binatang, atau manusia, ketahuilah bahwa kehidupan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan, karena begitu percikan spritual (bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan) diambil oleh-Nya, maka badan ini hanya Pradhāna (benda mati). Untuk menjaganya tetap hidup di dalam badan material tersebut, Tuhan tetap berada bersamanya sebagai Puruṣa (daya hidup). 

पुराण्यनेन सृष्टानि नृतिर्यगृषिदेवता: ।
शेते जीवेन रूपेण पुरेषु पुरुषो ह्यसौ ॥ ३७ ॥ 

— "Tuhan telah menciptakan banyak tempat kediaman di dalam entitas-entitas hidup (binatang, para dewa, dan tumbuh-tumbuhan, dll). Sebagai Paramātmā, Dia tinggal bersama makhluk hidup di dalam semua bentuk badan yang tak terhitung banyaknya tersebut. Demikianlah Dia dikenal sebagai Puruṣa." 

2. Alam semesta adalah badan Tuhan — panteisme (virāṭ) 

Memandang segala sesuatu adalah badan Tuhan Yang Maha Perkasa, ini adalah konsep Puruṣa Sūktam di dalam Ṛegveda. Tetapi kita hendaknya tidak keliru menganggap bahwa oleh karena kita semua, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan segala sesuatu terhubung dengan Tuhan maka kita semua adalah Tuhan. Keanekaragaman ini adalah atribut-Nya atau visesa. 


रोमाण्युद्भिज्जजातीनां यैर्वा यज्ञस्तु सम्भृत: । 

— "Rambut di badan-Nya merupakan penyebab semua tumbuh-tumbuhan, khususnya tumbuhan yang dibutuhkan sebagai bagian bahan untuk korban suci." 

Kesimpulan: manusia menghormati tumbuh-tumbuhan, yang dipuja tetap adalah Puruṣa (Tuhan) yaitu penghuni batin dan penguasa dari tumbuh-tumbuhan itu. Di Bali disebut Sang Hyang Śaṅkara. 

Photo: @wayan.yatika 
Via @filsafat_hindu #balipunyacerita

Senin, 15 Maret 2021

Makna dan Simbolik Makala-Kalaan dalam Pewiwahan






PEWIWAHAN: Prosesi pernikahan umat Hindu di Bali. (ISTIMEWA)




Pawiwahan atau perkawinan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap insan,termasuk juga umat Hindu. Pernikahan sekaligus mengakhiri masa Brahmacari Asrama dan memulai kehidupan pada tingkat Grhasta Asrama. Namun, kapan seseorang dikatakan sah berkeluarga?

Perkawinan atau Wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut 'Yatha Sakti Kayika Dharma' yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi, seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. "Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan," ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express, Selasa (13/12/2016).
Satra menjelaskan, di dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi, bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut 'Makala-kalaan' (natab beten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita.
Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan 'Kala Bhucari' sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata 'kala' yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam 'sebel kandel'.






Dengan upacara Makala-kalaan sebagai sarana penetralisasi (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk mengubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). "Dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih," ujar Satra
Upacara Makala-Kalaan dimaknai sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai yang berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.
Lebih lanjut dijelaskan Satra, adapun alat-alat yang digunkan saat upacara Makala-Kalaan adalah Sanggah Surya yang di sebelah kanannya digantungkan Biyu Lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah Kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Biyu Lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai Dewa Kebajikan, Ketampanan, Kebijaksanaan simbol pengantin pria. Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, Dewa Kecantikan serta Kebijaksanaan simbol pengantin wanita.
Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg) sebagai simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara Makala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin. Tikeh Dadakan (tikar kecil) diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, Tikeh Dadakan adalah simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni). Selanjutnya, Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.

 
Dalam Makala-kalaan dibuatkan juga benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu. Pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon Dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara Makala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.
Perlengkapan lainnya adalah Tegen - tegenan, merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Suwun-suwunan (sarana jinjingan) melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon Kunir dan Talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
Sementara Dagang-dagangan melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala risiko yang timbul akibat perkawinan tersebut, seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.

 
Ada juga Sapu Lidi tiga batang merupakan simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna dan agar tabah menghadapi cobaan dalam kehidupan rumah tangga.
Kemudian Sambuk Kupakan (serabut kelapa) adalah serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga, simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), mengisyaratkan kesucian. Sedangkan Telor bebek menjadi simbol manik.
Proses selanjutnya, mempelai saling tendang serabut kelapa (matanjung Sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Hal ini bermakna, apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan Triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut, kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

Sedangkan Tetimpug Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh (daun kelapa kering), bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.

Upacara Makala-kalaan biasanya dilaksanakan pada sore hari. Hal ini dilakukan untuk mencari momentum keluarnya Bhuta Kala. Sebab, Sandi Kala dipercayai sebagai waktu keluarnya Bhuta Kala. "Kesuksesan pelaksanaan upacara ini mengutamakan kehadiran Tri Saksi, yakni saksi Dewa, Saksi Manusia, dan saksi Bhuta Kala," tutup Satra.

 

Delapan Jenis Pernikahan, Dapatkan Anak Suputra






Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga (ISTIMEWA)





Anak Suputra bisa membuat orang tuanya bahagia di dunia dan akhirat. Namun, banyak orang tua cenderung lebih memperhatikan pendidikan tinggi yang diutamakan. Lantas, bagaimana bisa mendapatkan anak yang baik?


Anak Suputra adalah idaman setiap orang tua. Untuk mendapatkan anak baik yang berbakti itu, prosesnya sedari awal sebelum menikah. Sepasang kekasih yang hendak menikah harus mulai menjalani proses yang benar, jika ingin punya anak yang suputra.





Menurut Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga, 50, orang tua adalah Tuhan dalam dunia sekala (nyata). Ida Sang Hyang Widhi melalui orang tua menyebabkan adanya seorang anak. "Sama seperti penciptaan alam semesta, Tuhan tentu merancang dengan baik, sehingga alam ini bekerja dengan sistem yang sangat teratur walau kompleks sekali. Jadi, orang tua pun harus merencanakannya dengan matang," ujarnya saat ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) kemarin.


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI



Perkawinan salah satu tujuannya untuk mendaptkan seorang anak. Namun, umat Hindu harus memilah jenis perkawinan atau pernikahan mana yang bisa dilaksanakan, agar bisa mendapatkan anak yang Suputra. “Dalam Manawadharmasastra terdapat delapan jenis perkawinan. Sepasang calon mempelai bisa melihat mana kategori yang baik buat mereka,” tegasnya.


Delapan jenis perkawinan dalam Hindu adalah Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Arsa Wiwaha,
Prajapati Wiwaha, Asura Wiwaha, Gandharwa Wiwaha, Raksasa Wiwaha, Paisaca Wiwaha.
Brahma Wiwaha adalah perikahan dimana si wanita menikah dengan pria ahli Weda, sedangkan Daiwa Wiwaha, dimana orang tua menikahkan anaknya kepada pria yang sudah berjasa melaksanakan upacara yadnya ataupun jasa non material kepada si orang tua wanita itu. kemudian
Arsa Wiwaha adalah sebuah perkawinan yang dilakukan, dimana si pria memberikan sesuatu (material) kepada keluarga si wanita.


Selanjutnya, Prajapati Wiwaha adalah perkawinan yang dilakukan setelah orang tua si wanita berpesan dengan mantra (semoga kamu bisa melaksanakan kewajibanmu bersama). Berikutnya adalah Asura Wiwaha, yakni pernikahan dengan pria memberikan mas kawin sesuai kemampuannya dan oleh keinginannya sendiri alias tidak ada paksaan. Jenis berikutnya adalah Gandharwa Wiwaha, yakni sebuah perkawinan dengan dasar suka sama suka antara pria dan wanita. Ada juga Raksasa Wiwaha, pernikahan terjadi karena si pria menculik paksa si wanita. Kemudian Paisaca Wiwaha, yang berarti perkawinan dilakukan karena membuat bingung pasangan, contohnya dengan membuat dia 'mabuk'.


“Dari kedelapan itu, untuk masa sekarang yang paling bagus untuk kebanyakan orang, Arsa Wiwaha dan Asura Wiwaha. Kelemahan Arsa Wiwaha ini karena mas kawinnya bisa diluar kemampuan si pria, berbeda dengan Asura Wiwaha yang mas kawinnya sesuai kemampuan,” ungkapnya.


Jika sudah bisa memilih cara perkawinan yang baik, lanjutnya, maka proses mendapat anak suputra bisa dilanjutkan dengan mensahkan pernikahan. Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga memaparkan, di Bali sahnya perkawinan ada tiga, Manut Agama, yakni perkawinan dimulai dengan adanya upacara pernikahan seperti Makalan kalan. “Proses ini akan mensahkan secara niskala pernikahan mempelai,” terang sulinggih asal Griya Natar Agung, Banjar Laplap, Desa Penatih Dangin Puri, Denpasar.


Tahapan berikutnya adalah Manut Dresta, dimana mempelai dalam prosesi perkawinan akan mengundang pihak desa adat. Prajuru adat adalah orang yang tahu syarat dan aturan sahnya pernikahan secara adat. Terakhir adalah Manut Tata Suluh Hukum Panagara. Mempelai juga mengundang pihak dari kelian dinas di desanya, yang mengurus sahnya pernikahan di negara ini.

"Apabila syarat pernikahan sudah dipenuhi, maka sah pula pernikahannya di mata hukum.
Ingat juga persetujuan keluarga kedua belah pihak pun harus ada, agar perkawinan penuh keberkahan,” sambungnya.


Setelah sah, maka tahapan selanjutnya adalah membuat anak. Sebuah langkah, dimana nantinya sperma bertemu dengan sel telur sehingga terciptalah janin. “Jika sudah tebentuk janin, si jabang bayi mulai diupacarai dengan Magedong-gedongan,” urainya.


Kemudian prosesnya adalah ketika si bayi sudah lahir ke dunia. Dalam ajaran Hindu khusunya di Bali, ada berbagai upacara yang dilakukan. Mulai dari menanam ari-ari, kepus puser, ngalepas hawon (memberi nama pada usia 12 hari), tutug kambuan (usia 42 hari), tiga bulanan, otonan, dan lainnya. “Berbagai upacara ini dilakukan agar si anak kelak menjadi anak yang suputra melalui doa yang dipanjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,” terang Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga. Bayi yang sudah lahir diupacarai dan memanjatkan doa saja untuk mendapatkan anak yang Suputra, belumlah lengkap. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah pola asuhnya yang baik.





(bx/sue/yes/JPR)

Jumat, 12 Maret 2021

Apa Perbedaan Tuhan, Dewa dan Bhatara




 1. Tuhan (Brahman)

Ṛegveda harus dipahami sedemikian rupa bahwa Bhagavatīśvara (Tuhan Yang Maha Esa) adalah penghuni batin semua dewa & oleh karena itu semua sūkta hanya ditujukan kepada Beliau — sūyavasād bhagavatī hi bhūyā (Ṛegveda 1.164.40)
Hindu memiliki 3 mazhab terbesar:
• Waiṣṇawa
Teologi = Viṣṇu adalah Tuhan Maha Kuasa
Filosofi = Viṣṇu bersemayam di hati semua dewa & di semua makhluk hidup sebagai Antaryāmin Ātmā (Roh Utama). Tat tvam asi berarti semua makhluk (ātmā) adalah tubuh-Nya, satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Nama-nama utama Viṣṇu = Kṛṣṇa, Rāma, Nārāyaṇa, Vāsudeva, Govinda, Nārasiṃha, dll.
• Śaiwa
Teologi = Śiva adalah Tuhan Maha Kuasa
Filosofi = Śiva bersemayam di hati semua dewa & makhluk hidup sebagai Ātmā (Roh Utama). Tat tvam asi berarti semua makhluk (ātmā) adalah Śiva Sendiri (monistik).
Nama-nama utama Śiva = Sadāśiva, Maheśvara, Śambhu, Rudra, Mahādevā, Mahākāla, dll.


• Śākta
Teologi = memuja Kekuatan Tertinggi Tuhan (Parāśakti)
Filosofi = para dewa & makhluk hidup tidak dapat bergerak atas kuasa dari śakti (energi feminim). Tat tvam asi berarti kehidupan ini adalah perwujudan dari śakti.
Nama-nama utama Śakti = Durgā, Lakṣmī, Śrī, Sarasvatī, Kālī, Maheśvarī, Māyā, Prakṛti, Gāyatrī, Bhuvaneśvarī, Tripuraśundarī, dll.
2. Devā
Secara sederhana "dev" berarti cahaya Tuhan. Secara teologi para devā adalah insan-insan atau perpanjangan tangan-tangan Tuhan dalam fungsi administrasi alam material.
Ada 33 devā (12 Āditya + 11 Rudra + 8 Vāsu + Indra + Prajāpati).
Viṣṇu dapat disebut devā karena Viṣṇu pernah turun sebagai bagian dari Āditya, Āditya adalah putra-putra Ṛṣi Kaśyapa dengan Aditi, Indra adalah putra tertuanya & berkedudukan sebagai raja surga. Viṣṇu turun menjadi Āditya sebagai Vāmana, yang bergelar Upendra (adik dewa Indra). Śiva dapat disebut devā karena 11 Rudra adalah aspek-aspek Śiva Sendiri.
3. Bhaṭāra
Bhaṭāra tidak selalu tertuju pada Tuhan dan dewa, bhaṭāra dapat merujuk pada setiap insan yang memberikan perlindungan. Atas kuasa dari Tuhan Sendiri (Tuhan sebagai Antaryāmin yang bersemayam di dalam batin bhaṭāra) memberikan berkah-berkah perlindungan kepada manusia melalui perantara bhaṭāra.

______________________________
𝗔𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗪𝗶𝘀𝗻𝘂, 𝗦𝗶𝘄𝗮, 𝗦𝗮𝗸𝘁𝗶 — 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗺𝗮? ⁣
"O raja yang terbaik, Śiva, Nārāyaṇa, dan Prakṛti Durgā semuanya abadi. Karena Puruṣa (Tuhan) pada waktu-waktu yang tepat mengambil wujud-wujud tertentu. Nārāyaṇa Sendiri adalah Śiva, dan kekuatan-Nya adalah Śakti (Lakṣmī atau Durgā)." — Brahma Vaivarta Purāṇa (2.54.111-112) ⁣
Ibarat 2 sisi mata uang, seperti itu pula kedudukan Mereka. Beberapa pemilik uang meletakkannya dengan posisi gambar pahlawan menghadap keatas, seperti itu pula umat Vaiṣṇava memposisikan Viṣṇu diatas Śiva, sebaliknya umat Śaiva memposisikan Śiva diatas Viṣṇu. ⁣
𝗔𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗹𝗶𝗿𝘂 𝗷𝗶𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝘂𝘁 𝗱𝗲𝘄𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝗵𝗮𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗽𝗲𝗿𝘄𝘂𝗷𝘂𝗱𝗮𝗻 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗶𝘁𝘂 𝗦𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶? ⁣
Ṛegveda (1.164.46):— Mereka menyebut-Nya sebagai Indra, Mitra, Varuna, Agni, Garutman — Satu Tuhan, orang bijaksana menyebut-Nya dengan bermacam nama. ⁣
Menurut filsafat Viśishṭādvaita Vedānta, Tuhan bersemayam di batin para dewa sebagai Antaryāmin (yang mengendalikan dari dalam) — karena itu Nārāyaṇa disebut Indra, Mitra, Agni olehsebab Nārāyaṇa bertindak sebagai batinnya dewa Indra, dewa Mitra, dan dewa Agni. ⁣
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗧𝗿𝗶𝗺𝘂𝗿𝘁𝗶? ⁣
Dalam mazhab Vaiṣṇava, Nārāyaṇa mengasumsikan wujud sebagai Brahmā (pencipta), Viṣṇu (pelestarian), Rudra (pelebur). Karena itu Trimūrti adalah wujud-wujud Saguṇa Tuhan ⁣
Dalam mazhab Śaiva, Sadāśiva mengasumsikan wujud sebagai Brahmā, Viṣṇu, Īśvara. Karena itu Trimūrti adalah wujud-wujud Saguṇa Tuhan. ⁣
𝗕𝗶𝘀𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗹𝗮𝗻𝗷𝘂𝘁 𝗱𝗶𝘂𝗿𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗶𝗮𝗽𝗮 𝟯𝟯 𝗱𝗲𝘄𝗮 𝘁𝗲𝗿𝘀𝗲𝗯𝘂𝘁? ⁣
• 12 Aditya = 12 bulan dalam kalender (Aditya = dewa-dewa matahari);⁣
• 11 Rudra = 10 indera + 1 pikiran⁣
• 8 Vasu = 8 prinsip dasar material (api, bumi, udara, atmosfer, matahari, langit, bulan dan bintang-bintang)⁣
• Prajāpati = pengurbanan suci⁣
• Indra = awan hujan (hasil pengurbanan) ⁣
Sumber: Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad Bab ke 3

Pemuja dewa akan pergi ke alam dewa; pemuja leluhur akan pergi ke alam leluhur




 Ada 1 rujukan sloka Bhagavad Gītā (9.25) yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat.

— Pemuja dewa akan pergi ke alam dewa; pemuja leluhur akan pergi ke alam leluhur; pemuja roh halus akan pergi ke alam bhūta; pemuja-Ku akan datang kepada-Ku.
Apakah ini bertentangan dengan Viṣṇu Dharmaśāstra (59.20)?
— Manusia harus melakukan 5 jenis pengurbanan suci dalam hidupnya: kepada guru (ṛṣi-yajñaṃ); dewa (deva-yajñaṃ); bhūta (bhūta-yajñaṃ); leluhur (pitṛya-yajñaṃ); & manusia (maṇusyāḥ-yajñaṃ).
Baik Bhagavad Gītā & Viṣṇu Dharmaśāstra keduanya disabdakan oleh 1 Īśvara yang sama, Viṣṇu. Lalu, mengapa terkesan saling bertolak belakang?
Tuhan adalah Parāma Ātmā (Roh Utama) yang bersemayam di batin para dewa (devāḥ-pitaraḥ), leluhur (manuṣyāḥ-pitaraḥ), hantu (devaḥ-bhūta), sesuhunan (devatā-pratimā) & di semua makhluk hidup (pasu). Bhagavad Gītā (9.16/23-24):


— Akulah ritual, Akulah kurban suci, persembahan kepada leluhur. Bahkan ia yang memuja dewa lain dengan penuh keyakinan—sebenarnya hanya memuja-Ku (karena Aku bersemayam di batin mereka). Satu-satunya aku yang menikmati & menguasai segala kurban suci.
Dengan demikian, menyembah dewa/leluhur—pada akhirnya juga menyembah Tuhan dengan mentalitas kesadaran kita bahwa Tuhan adalah Antaryāmin Ātmā yang bersemayam di batin mereka. Selaras dengan pernyataan Gong Besi (3a):— Pada Rong Telu, Aku adalah Sang Hyang Tunggal bergelar Sang Hyang Ātmā.
Mayaiva vihitān hi tān—"Sebenarnya hanya Aku Sendiri yang menganugerahkan berkah-berkah itu melalui perantara mereka." (Bhagavad Gītā 7.22)
Sebagai wujud sikap kerendahan hati umat manusia (tat-tvam-asi), menghormati dewa, bhūta, & leluhur dilakukan secara proporsional karena upāyatya, Tuhan adalah penghuni batin kepribadian-kepribadian agung tersebut. Menghormati leluhur tetapi melupakan Sang Pencipta justru akan mengarah sikap anti-theis. Mānava-Dharmaśāstra (3.205)⁣⁣:
— Hendaknya kau melakukan sembah bhakti kepada leluhur terlebih dahulu & berakhir dengan sembah bhakti kepada para dewa hingga memuncak kepada Tuhan Yang Maha Esa (pendakian spritual dari yang terendah ke yang lebih tinggi). Janganlah kau memulai & mengakhiri dengan upacara leluhur saja.
𝗝𝗮𝗱𝗶 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗗𝗵𝗮𝗿𝗺𝗮𝘀𝗮𝘀𝘁𝗿𝗮 𝗵𝗮𝗿𝗺𝗼𝗻𝗶 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗹𝗮𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮?
Tidak ada kontradiksi antara Bhagavad Gītā (mokṣa-śāstra) dengan Viṣṇu Dharmaśāstra (aturan perilaku hidup sehari-hari). Gītā adalah pengetahuan hakikat (tattwa-jñāna), sedangkan Dharmaśāstra adalah pengetahuan terapannya (vijñāna).
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗶𝗺𝗽𝗹𝗶𝗺𝗲𝗻𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗱𝗶 𝗕𝗮𝗹𝗶?
Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memperkenalkan konsep kesatuan Tuhan (advaita-vāda) melalui kerangka Tripuruṣa & altar pemujaan Padmāsana, tetapi beliau tidak menggusur praktek ajaran Bali kuno yang sudah eksis sebelumnya (paham Trimūrti & penghormatan leluhur). Melalui tutur Gong Besi-nya, secara eksplisit menegaskan Sang Hyang Tunggal berganti nama ketika Beliau berpindah tempat.


Ketika beristana Pura Dalem, Tuhan bergelar Ida Bhaṭāra Dalem. Hengkang dari Pura Dalem, lalu beristana di Pura Puseh bergelar Sang Hyang Triodasa Sakti. Di Pura Deśa bergelar Sang Hyang Tri Upasedhana. Di Catus Pata (perempatan agung) bergelar Sang Hyang Catur Buana. Di pertigaan jalan bergelar Sang Hyang Sapuh Jagat. Di Rong Tiga, kiri (Tuhan yang bersemayam di batin leluhur laki-laki) bergelar Sang Hyang Parātmā, kanan (Tuhan yang bersemayam di batin leluhur perempuan) bergelar Sang Hyang Siwatma, & ditengah (yang bersemayam di batin diri kita) bergelar Sang Hyang Ātmā.
𝗝𝗮𝗱𝗶 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝗵𝗮𝘁𝗶-𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮?
Bhagavad Gītā tidak dapat dipahami hanya dengan mencomot 1 śloka atau menerima/menolak Gītā berdasarkan selera (sentimen pribadi). Kesalahan tafsir pada Gītā dapat menjerumus pada doṣa atau pelanggaran berat yang disebut Aparādha.
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗮𝗹𝗶𝗿𝗮𝗻-𝗮𝗹𝗶𝗿𝗮𝗻 𝗛𝗶𝗻𝗱𝘂 𝗺𝗲𝗺𝗮𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮?
Siapapun yang mengklaim dirinya sebagai Vedāntīn, maka ajarannya tidak pernah lepas dari Praṣṭana-trayā yaitu kitab-kitab Upaniṣad, Bhagavad-gītā, & Brahma-sūtra. Apapun sekolah Vedānta / alirannya selalu ada bhāṣya (ulasan) tentang Bhagavad-gītā & Brahma-Sūtra, seperti halnya gula tidak dapat dipisahkan dari rasa manisnya.