Minggu, 06 September 2015

Tri Rnam

Nengah Sudana
 
Dagang Banten Bali

Om Swastyastu.
Tri Rnam, salah satunya adalah Pitra Rna. Terhadap rasa berhutang ini, Hindu mewujudkannya melalui pemujaan terhadap para leluhur, Pitra Yajna maupun Manusa Yajna. Pemujaan terhadap leluhur, diwujudkan dengan pemujaan kepada mereka melalui Pura Kawitan, Dadya, Paibon dan sanggah atau mrajan.
Kalau melihat perputaran kehidupan manusia, mereka telah lahir kembali, atau sudah mengalami inkarnasi, kenapa kita masih melakukan pemujaan kepada mereka? (Biasanya paling dekat di Mrajan?Sanggah-Paibon.)
Pertanyaan seperti ini memang ada benarnya, namun baiknya kita coba telusuri, kenapa kita masih melakukan pemujaan kepada para leluhur.
Pemujaan leluhur menjadi bagian penting bagi agama-agama Timur, karena keyakinan kita bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari Tuhan. Tuhan dalam hal ini dikatakan sebagai penyebab materi dan penyebab efisien dari seluruh ciptaanNya. Tubuh dan jiwa, berasal dari Tuhan (disini Tuhan berlaku sebagai penyebab materi) sedangkan bentuk-bentuk anatomis yang kita lihat seperti : lobang hidung menghadap kebawah, tangan dengan lima jarinya) disini Tuhan disebut sebagai penyebab efisien, karena bila tidak demikian bentuknya, maka akan menyebabkan mahluk ybs tidak akan dapat bertahan lama hidupnya, atau paling tidak mengalami gangguan.
Kehadiran kita ke dunia, sudah jelas melalui orang tua, orang tua kita dari orang tuanya (kakek-nenek-kumpi-klewaran-jada) dan demikian seterusnya. Artinya bahwa dalam keberadaan kita, mereka yang paling awal juga memiliki peran penting dalam keberadaan kita sekarang. Dalam hal ini, mereka dikatakan sebagai penyebab antara. Selanjutnya, dengan melihat hal seperti ini, menghormati mereka merupakan kewajiban yang sangat mulia karena kita memiliki hutang kehidupan kepadanya.
...........................................
Ketika seorang manusia lahir, siapapun dia, bersamanya telah lahir satu hutang kepada Tuhan, kepada para Maha Rsi, kepada leluhur dan kepada manusia.
Maka ketika mereka menginginkan keturunan, ini berkaitan dengan hutang kepada leluhur dan atas nama para leluhur itulah oleh karenanya dia bertindak, sehingga keturunan mereka terus berlanjut tanpa gangguan.
Ketika para murid telah menyelesaikan pendidikannya, dalam inaugrasi, guru akan berbicara :
Bicaralah kebenaran. Praktikkan keutamaan. Jangan melalaikan pelajaran harianmu. Setelah membawakan kekayaan kepada guru untuk menyenangkannya, jangan putuskan benang persembahan. Jangan melalaikan kebenaran, jangan melalaikan keutamaan, jangan melalaikan kekayaan, jangan melalaikan kemakmuran. Dan..semua itu melalui : jangan melalaikan belajar dan mengajar. Jangan melalaikan kewajiban kepada Tuhan dan orang tua.
Akhirnya, dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban itu, agama Hindu "memerintahkan" lima bentuk yajna yang sering disebut Panca Yajna : Dewa Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna, Pitra Yajna dan Bhuta Yajna.
Bhuta Yajna dilakukan sebagai wujud akan dibantunya manusia dalam kehidupan ini dengan menyediakan berbagai sumber kebutuhan hidup.
...........................................
Bagi orang timur, disamping selama hidupnya memiliki jasa besar dalam kehidupan kita, manakala sudah meninggal, keberadaannya dianggap masih memiliki peran membantu keturunan (Pratiosentana-sebutan dalam bhs Bali).
Leluhur artinya nenek moyang atau yang di luhurkan. Dalam bahasa sanskerta leluhur disebut pitr (pitra). Ada beberapa kata yang berkaitan dengan pitra : pitragata, nyanyian untuk leluhur; Pitraloka, dunia para leluhur; Pitrayajna, penghormartan kepada leluhur.
Rg. Weda 10.14.2 dan 7 menyebut, pitra loka adalah dimana para leluhur tinggal. Upanisad berbicara, pitra loka sebagai suatu tempat yang dapat dicapai oleh seseorang dengan melakukan upacara seperti agnihotra (B.A.U. 1.5.16)
Pitra paksa :
dua minggu dipersembahkan untuk leluhur. Lima belas hari gelap dari bulan Bhadrapada, disebut pitra-paksa atau mahalayapaksa dan bulan baru sebagai mahalaya amavasa. Hari ini dipandang sebagai hari yang sangat baik untuk ritual yang berhubungan dengan kremasi.
Pitra Rnam.
Hutang kepada leluhur. Setiap manusia menurut Hindu, lahir "membawa" tiga hutang : kepada Tuhan, kepada leluhur, kepada para Maha Rsi. Hutang kepada leluhur dapat "dibayar" melalui meneruskan keturunan (pewiwahan) mengcu pada hukum dharma, yang akan melanjutkan upacara sraddha.
Pitrayajna, upacara bagi leluhur, yang membawa dampak kepada ketenangan keturunan, yang membawa anugerah dalam kehidupan.
Makna Praktik Universal dalam penghormatan/Puja kepada Leluhur.
Memelihara ingatan terhadap leluhur adalah bagian fundamental dalam praktek keberagamaan. Dalam agama Kristen berkembang konflik mengenai kewajaran dari pemeliharaan hubungan dengan anggota keluarga yang sudah meninggal; akibatnya sembahyang untuk leluhur bagi beberapa orang Kristen tidak sejalan dengan doktrin penyelamatan oleh Yesus.
Dalam Islam, ada yang mengatakan, peringatan yang berlebihan, dikatakan menjebak roh orang yang sudah meninggal di dunia yang sudah dia tinggalkan. Ada kata "nyekar" bagi Islam di Indonesia.
.................(Kita tinggalkan apa yang dipahami
.................sahabat-sahabat kita keyakinan dengan
.................lain, setiap agama memiliki dogmanya)
....................................
Perhatian kepada leluhur, menjadi tanggung jawab bagi anak pertama (Hindu) dan upacara resmi yang dilakukan membantu para leluhur dalam dunia mereka. (Konsep karma nampaknya diabaikan disini). Upacara sraaddha (persembahan) diyakini menjadi sumber jada bagi mereka yang melakukannya.
Sedikit penjelasan diatas, maka pemujaan leluhur adalah konsep universal, walau ada beberapa perbedaan pandang dalam beberapa agama. Dalam Hindu, ini adalah kewajiban mulia; mengabaikan kewajiban ini, adalah tanda tidak berterimakasih kepada para leluhur sebagai penyebab antara.
Kenapa memuja, bukankah mereka sudah reinkarnasi?
Ini bersifat metafisika. Kita tidak pernah tau, kapan, dimana dan bagaimana mereka inkarnasi. Bisa jadi jiwa-jiwa mereka sudah ada yang inkarnasi, mungkin masih di pitraloka, mungkin sudah di brahmaloka. Memuja leluhur, bukan memuja mereka secara individu, karena kita tidak tau keseluruhan leluhur kita. Leluhur adalah sebuah entitas atau lembaga yang dibentuk oleh nilai-nilai keutamaan seperti pengorbanan, balas jasa, penghormatan dan perlindungan.
Tempat pemujaan di Sanggah, sebagai penanda terdekat dimana kita melakukan pemujaan.
Aum Rahayu.

Satua Bali: JAYAPRANA DAN LAYONSARi











CERITA RAKYAT BALI
KISAH PERCINTAAN
JAYAPRANA DAN LAYONSARI
YANG MELEGENDA

Pada jaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan kecil di daerah utara pulau Bali. Kerajaan itu bernama kerajaan Wanekeling Kalianget. Di kerajaan itu, hiduplah satu keluarga sederhana, terdiri dari suami istri serta tiga anaknya, dua orang laki-laki dan seorang wanita. Kerajaan itu terkena sebuah wabah yang menyebabkan banyak warganya meninggal, baik dari kalangan kerajaan maupun rakyat biasa. Keluarga sederhana itu pun ikut terkena wabah, empat anggota keluarganya meninggal dan menyisakan si bungsu, I Nyoman Jayaprana.

Raja Kalianget saat itu, juga merasakan duka yang mendalam atas banyaknya warga yang meninggal, sehingga Raja memutuskan untuk mengunjungi rakyatnya. Pada saat kunjungan, Raja merasa tertarik dengan Jayaprana yang pada saat itu tengah menangisi kematian kedua orang tua dan kedua saudaranya. Raja merasa iba dan teringat dengan mendiang anaknya hingga membuatnya ingin menjadikan Jayaprana sebagai anak angkat.

Setelah diangkat anak oleh Raja, Jayaprana pun tumbuh di lingkungan kerajaan. Dia mendapatkan pelajaran selayaknya anak kandung Raja. Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang lihai bertarung. banyak gadis yang diam-diam memendam rasa pada Jayaprana. Melihat itu, lantas Raja memerintahkan Jayaprana memilih dayang-dayang istana atau gadis di luar istana untuk dijadikan pendamping. Jayaprana sempat menolak, karena merasa dia masih kekanak-kanakan dan belum cukup pantas untuk menjalin asmara.

Namun karena Raja terus mendesak, maka Jayaprana pun menurutinya. Pada suatu hari Jayaprana berjalan-jalan ke pasar di dekat Istana. Dia melihat para gadis berlalu-lalang di sana. Matanya terpukau pada seorang gadis jelita penjual bunga anak Jero Bendesa dari Banjar Sekar. Nama gadis jelita itu, Ni Komang Layonsari. Pandangan Jayaprana tidak mau lepas dari Layonsari, Layonsari yang merasa dirinya diamati pun berusaha menghilang diantara kerumunan pasar.

Setelah Layonsari menghilang dari pandangannya, Jayaprana buru-buru kembali ke istana untuk melapor pada Raja bahwa dia telah menemukan gadis pujaannya. Raja pun membuat sebuah surat dan memerintahkan Jayaprana membawa surat itu ke rumah Jero Bendesa. Setibanya di rumah Jero Bendesa, Jayaprana langsung menyerahkan surat tersebut. Jero Bendesa membaca isi surat Raja yang ternyata adalah surat pinangan terhadap anak gadisnya, layonsari. Dia pun tidak merasa keberatan apabila anaknya Layonsari dikawinkan dengan Jayaprana. Betapa bahagia hati Jayaprana mendengarnya dan dia pun bergegas kembali ke Istana.

Di istana, Raja sedang mengadakan rapat di pendopo, Jayaprana menyela rapat tersebut untuk memberitahukan Raja bahwa lamarannya diterima Jero Bendesa. Pada saat itu juga, Raja mengumumkan pada segenap hadirin bahwa pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya Jayaprana dengan Layonsari. Raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk Jayaprana. Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong, semuanya serba indah.

Tibalah hari hari upacara perkawinan Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak meminang Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Di Istana, Raja sedang duduk di atas singgasana, dihadapnya ada para pegawai raja dan juga para perbekel. Kemudian datanglah rombongan Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu lantas turun dari atas kereta kuda, langsung menyembah kehadapan Raja dengan hormatnya. Raja terpesona dengan kecantikan Layonsari hingga tak mampu berkata-kata.

Raja telah sekian lama menduda, diam-diam tumbuh benih cinta di hati Raja pada Layonsari. Rasa cintanya pada Layonsari membutakan akal sehat Raja yang sebelumnya dikenal sangat bijaksana. Raja pun memikirkan stategi untuk membunuh Jayaprana agar dapat memperistri Layonsari. Strategi itu disampaikan Raja kepada patih kerajaan bernama Sawung Galing. Hati Sawung Galing sebenarnya menolak untuk melaksanakan tugas tersebut, tapi Raja berkata bahwa bila dia tidak dapat memperistri Layonsari maka dia akan mati karena sedih. Sebagai abdi setia, patih Sawung Galing pun menuruti kehendak Raja. Skenario untuk membunuh Jayaprana adalah Raja menitahkan agar Jayaprana bersama rombongan pergi ke Teluktrima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo yang menembak binatang di kawasan Pengulon.

Pada hari ketujuh bulan madunya, datanglah seorang utusan kerajaan ke rumah Jayaprana yang menyampaikan titah Raja agar Jayaprana menghadap Raja secepatnya. Jayaprana pun bergegas menuju istana. Raja menceritakan bahwa di perbatasan istana ada pemberontakan, kemudian sesuai skenario, Jayaprana diperintahkan memimpin rombongan bersama patih Sawung Galing ke perbatasan istana di Teluktrima untuk menyelidiki kekacauan di sana.

Sepulangnya dari istana, Jayaprana menceritakan titah Raja. Malam harinya Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia kemudian terbangun dari mimpinya dan menceritakan mimpi seramnya kepada sang suami. Dia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan karena merasa mimpi itu adalah firasat buruk, tetapi Jayaprana tidak berani menolak perintah Raja. Untuk memenangkan istrinya, Jayaprana berkata bahwa hidup dan mati ada di tangan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Pagi harinya Jayaprana pun berangkat ke Teluktrima, meninggalkan istrinya yang sedang sedih. Sepanjang perjalanan Jayaprana merasa ada yang tidak beres, perasaannya mengatakan bahwa dia akan dibinasakan tapi dia mengacuhkannya. Sesampainya di hutan Teluktrima dengan galaunya patih Sawung Galing menyerang Jayaprana, namun ilmu Jayaprana lebih sakti dari patih Sawung Galing hingga tidak mampu mengalahkan Jayaprana. Ditengah kebingungannya, Jayaprana bertanya pada patih Sawung Galing, mengapa patih ingin membunuhnya. Patih Sawung Galing menyerahkan sepucuk surat dari Raja kepada Jayaprana yang isinya:

Hai engkau Jayaprana

Manusia tiada berguna

Berjalan berjalanlah engkau

Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar

Kau melampaui tingkah raja

Istrimu sungguh milik orang besar

Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang

Jangan engkau melawan

Layonsari jangan kau kenang

Kuperistri hingga akhir jaman.

Jayaprana menangis sesegukan membaca surat tersebut, lalu dia berkata "Lakukanlah patih, bila ini memang titah Raja, hamba siap dicabut nyawanya demi kepentingan Raja, dahulu Beliaulah yang merawat dan membesarkan hamba, kini Beliau pula yang ingin mencabut nyawa hamba". Dalam dukanya Jayaprana menyerahkan keris sakti miliknya sebagai satu-satunya senjata yang dapat digunakan untuk membunuh Jayaprana. Ia berpesan agar keris dan berita kematiannya disampaikan pada istrinya sebagai bukti kesetiaannya pada titah Raja.

Setelah menerima keris itu, dengan mudah patih Sawung Galing membunuh Jayaprana dengan berat hati. Darah menyembur namun tidak tercium bau amis, malahan wangi semerbak. Kematian Jayaprana juga ditangisi oleh alam, tiba-tiba terjadi gempa bumi, angin topan, hujan bunga dan binatang hutan menangis. Setelah mayat Jayaprana itu dikubur, maka seluruh rombongan kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka mendapat bahaya, diantaranya banyak yang mati. Seekor macan putih juga tiba-tiba menyerang patih Sawung Galing dan menewaskan sang patih.

Kabar tewasnya Jayaprana pun sampai ke telinga Raja. Dengan terpongoh-pongoh Raja segera menghampiri Layonsari di rumahnya. Raja tua itu menyampaikan berita duka dan sekaligus lamaran-nya kepada istri Jayaprana. Layonsari tidak percaya pada kabar meninggalnya sang suami, Raja lalu memperlihatkan keris Jayaprana yang berlumuran darah. Dalam tangisnya Layonsari memaki Raja dan merebut keris milik Jayaprana kemudian menusukkan ke jantungnya sendiri. Layonsari tewas seketika dan dari jasadnya tersebut mengeluarkan aroma wewangian yang menyerbak keseluruh wilayah kerajaan bahkan tercium hingga lokasi jasad Jayaprana berada.

Rakyat sekitar membawa jasad yang mewangi tersebut untuk ditempatkan disebelah jasad Jayaprana agar selamanya kedua kekasih ini dapat selalu bersama. Sedangkan patih Sawung Galing yang dengan setianya menjalankan titah raja turut serta ditempatkan dilokasi tersebut sebagai simbol kesetian seorang abdi.

Lantas bagaimana nasib sang Raja? Melihat tragedi saat Layonsari menikam dirinya dengan sebilah keris dan dilandasi hati yang hancur luluh, Raja gelap mata serta mengamuk membunuh semua pengiringnya, tanpa dapat mengendalikan dirinya. Setelah mati pengiringnya, lalu Raja ke Istana dan membantai seisi rumah, setelah itu Raja menikamkan kerisnya ke dada hingga wafat.

Pengikut setia Raja, tidak percaya Raja bunuh diri, tetapi di bunuh oleh rakyat. Mereka lalu mengamuk membunuh rakyat, tak peduli anak, wanita, orang tua. Rakyat tak terima dan serentak melawan kebiadaban pengikut setia Raja. Tak terelakkan.lagi perang saudara yang maha dahsyat dan penuh kebencian pun terjadi. Akhirnya seluruh rakyat Kalianget tewas dalam perang itu. Begitulah dalam sehari Kerajaan Kalianget di Buleleng Utara itu musnah dengan bergelimpangan mayat manusia. Konon lama kelamaan kerajaan itu berubah menjadi hutan belantara hingga akhirnya dibuka kembali oleh warga lain yang akhirnya menetap di Desa Kalianget hingga kini.

Cerita ini melekat di sanubari masyarakat Bali, mereka menceritakan kisah ini dari generasi ke generasi. Pada tanggal 12 agustus 1949 dilaksanakan upacara Ngaben di Desa Kalianget yang dihadiri banyak orang dari berbagai penjuru dunia.

Sumber : wikipedia.// dongengceritarakyat.com
#ceritarakyatbali#ceritapulaudewata#


Sabtu, 05 September 2015

Hindu bersatu




Dagang Banten Bali

          Gungde Ngurah
  • This is Balinese Hindu very much different with other Hindu, please let it be, don't mixed up, don't screwed up

     Ini adalah Hindu Bali sangat jauh berbeda dengan Hindu lainnya , biarkanlah , tidak bercampur , tidak diaduk
  • Tirath Das Dogra We are proud of BALINESE Hindu dharma, it is so beautiful and traditions so nicely preserved that all Hindus world over take pride in Balinese Hindu Dharma....it is truly Great Dear.....Jai Krishana....

    Kami bangga Hindu dharma Bali, ini begitu indah dan tradisi patut dilestarikan, seluruh umat Hindu di dunia  bangga Hindu Bali .... itu benar-benar besar dan terhormat ..... Jai Krishana .
    Kedai O'onk the Hindu Bali culture is the vedic culture during Vedic period. That I was told by the seniors in India who been to Bali n study the culture. They even asked: "how can you preserve this ancient culture from generation to generations while we're not able to do that"? That was their question to me.

    budaya Hindu Bali adalah budaya Veda sejak peradaban Veda .seorang senior medi India yang berkunjung ke Bali n mempelajari budayaara mberitahu saya Mereka bahkan bertanya: " bagaimana Anda bisa melestarikan budaya kuno ini dari generasi ke generasi , sementara kita tidak bisa melakukan itu " ? Itu adalah pertanyaan mereka kepada saya .

    Himel Jhor Every Hindu is a Hindu.. whatever their language food habit culture or way of worship may be.. Hinduism is democracy.
    No one can force you to give up your culture or custom
    Prasun Kumar De why dont MIX UP???? all are HINDUS.......so why not MIX UP?????? HINDUISM (SANATAN VEDIC DHRMA) matters, not the CUSTOM....................BALI or BANGLADESH, INDIA or AUSTRALIA all we are HINDUS thats all.................

    Different Cultures, COLOR, Customs, heritage are our main STRENGTH, but we are all SANATANI HINDU.............


    PLEASE DO NOT 'DIFFERENTIATE' THEM.............WE ARE ALL SAME.....................
    Keshav Kumar The quality of being born a Hindu is the fact that we respect the diversity of cultures. India is not a single culture. Every state is a world in itself. Yet we are unique and united. We want Hindus in every culture to love their culture and difference while respecting others cultures. Balinese Hindus are our long lost siblings. They are different and unique just like us and we respect that. At the same time, we are united by a common bond of Hinduism. Let's have a mutual respect for our diversities and commonness and let no one exploit our differences to break our bonds.
    Keshav Kumar that's what we wanted extended from our siblings in India. We in Indonesia a diverse Hindu but united helping sand to help each other, no discrimination within ourselves who are eating what n what color they are. These we implement in our day to day lives is a Hindu. Hindu Java respect Hindu Bali etc....no discrimination what so ever in practice. That way we are easy to reach each other's hands to assist one another. Caste isn't a burial to keep away one from the other!
    Dayu Sri Adishakti There no hindu the same in ritual even in india itself different state has different tradition, hindu believe in differenties, but hindu is hindu, hindu who believe in Brahman, hindu who believe in atman, reinkarnasi, karma law and moksah.....the colorfull of hindu make hindu is very different with other religion, hindu make this world full of color, hindu create the beauty, hindu make his world so vibrant and colorful where ever hindu life and growing ...lets gatter all color to be a beautifull flower arrangements lets everyone enjoy the beauty and fragrance ... scented of Hindu dharma ... lets we unite hindu...no need to mix it but unite it...jay hindu
  • Ankit Kamat hinduism is awesome cause it respect diversity and make them thrive but all this diverse branches must unite while preserving their uniqueness
         
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

PENTINGNYA KESADARAN PENGETAHUAN [ JNANA ] DIJAMAN INI


Seperti yang pernah saya uraikan pada pemaparan tantra sebelumnya, bahwasanya dari jaman dikenal weda sudah ada pro dan kontra akan tafsir dan kajian pandangan para brahmana, akhirnya melahirkan pandangan yang berbeda-beda terhadap isi dan kandungannya diantaranya karma kandha dan jnana kandha.
Para brahmana pada jamannya memang mendapat tempat yang sangat layak sebagaj pengkaji dan memberikan pandangan, arahan, tuntunan, bahkan mengatur tata cara hidup masyarakat yang sesuai atau belum terhadap weda sebagai pengetahuan tertinggi saat itu.
Justru pada saat memiliki peluang seperti inilah para brahmana pada jamannya, tepatnya 500 - 200 SM mendapat tantangan yang sangat berarti dari para cendikiawan saat itu. Penekanan atau pemusatan kegiatan spiritualitas saat itu lebih banyak bahkan totalitas dengan cara upacara sebagai wujudnya ( karma kandha ), sehingga seluruh masyarakat menganggap bahwa upacaralah cara terbaiknya.
Namun masih tetap terjadi suatu bencana kemanusiaan, kesengsaraan dan penderitaan bathin masyarakat oleh karena tidak mampu memahami tentang hakekat kehidupan. @barangkali hampir sama kondisinya dengan fenomena masyarakat bali saat ini tentang tata cara upacara yang terkesan berlebihan, namun sering diuji dan mengalami guncangan rahasia alama yang tidak mampu hanya dengan upacara.

Sehingga pada saat itu ada beberapa kelompok masyarakat, pangeran dan bahkan salah satu dari kaum brahmana yang memberikan pandangan bahwasanya kehidupan manusia dengan segala rahasia dan perkembangannya harus difahami dengan cara mengembangkan mental spiritual, memahami hukum karma dan mampu memahami tuhan dengan kecerdasan yang tinggi ( jnana kandha ). Inilah mereka akhirnya dikatakan menentang pandangan brahmana atas weda, dan sempat difitnah dengan menentang weda seperti pangeran Sidharta, Canakya dan para tokoh lainnya. Pandangan ini melahirkan pandangan yang rasionalitas, logika dan genius yang sering dinyatakan sebagai wedantta.
Praktisi seperti kami di Budhaireng yang melakukan kegiatan spiritualitas dijaman ini dengan penggali, mengkaji dan revitalisasi ajaran kuno, maka timbulah sebuah wujud dimana kita menempatkan jnana kandha yang lebih dahulu, lalu mewujudkan kembali dengan nilai budhaya dalam bentuk tradisi dan adat yang menyesuaikan dengan wilayah masing-masing sebagai wujud karma kandha.
Keseimbangan ini mampu memberi warna hidup baru serta mampu mempengaruhi pola yang berkembang dimasyarakat yang telah lelah dengan dikotomi pandangan keliru tentang rasionalisasi upacara sebagaj bentuk pelaksanaan agama yang terbaik.
Vajrajnana adalah wujud ajaran yang dikembangkan oleh sesepuh pada jaman kuno dengan menyatakan sebagai papupuling siwa buddha, siwa buddha manunggal dan masih banyak nama lainnya. Perwujudan sejatinya bukan pada istilah atau nama, namun menekankan pada pola memahami kajian filsafatnya ( makna dan filosopy ), merasakan kandungan energinya ( tantra ), serta mampu menampilkan tradisi yang sesuai dengan budaya setempat ( upakara ).
Memahami karma dengan kesadaran pengetahuan adalah aplikasi hidup sehari-harinya, seperti fenomena yang ada saat ini khususnya terjadi pada kelompok karma kandha jaman ini, yakni sudah mengekuarkan biaya yang banyak, pengorbanan waktu yang tidak sedikit, kebaikan sebagai manggala karya yang hebat, serta mencoba menjaga kualitas kebaikan pada prilaku yang baik sepanjang proses yajnya itu......namun kenapa tetap saja terjadi suatu permasalahan kehidupan, penderitaan, bahkan kematian yang singkat ? Inilah PR yang membuat kelompok ini harus menerima rasa kecewa, frustasi dan putus asa, sehingga munculah pengambinghitaman pada brahmana pemuput yajnya, penolakan terhadap yajnya bahkan berani mengatakan yajnya yang tidak satwika dan sebagainya.
Inilah wujud kenyataan yang terjadi pada masyarakat saat ini, keterbatasan dan pendeknya sumbu pengetahuan akhirnya melahirkan gaya kelompok wedanta baru yang penuh dengan hasrat mengambil alih kuasa brahmana dengan bermodalkan tafsir weda yang sedikit ngawur dan kadangkala berani merubah tradisi tanpa memberi latarbelakang yang kuat pada masyarakat lugu. Ujung-ujungnya berebut kuasa atas penghargaan masyarakat dan u a n g juga.
Pola keseimbangan ini mampu memberi ruang pada kaum intelektual pada kasta yang non brahmana, sehingga penentangan kepada para brahmana kasta yang sering lalai pada pencerahan spiritual sebagai jnana knadha pada pelaksanaan upacara akan mendapat permakluman.
Namun kenyataannya malah berbalik yakni adanya penolakan keras pada kelompok brahmana kasta, mencoba menawarkan brahmana baru pada masyarakat, namun karena hanya bermodalkan hasrat ingin tampil beda dari kasta yang berbeda pula, maka muncul fenomena brahmana baru tapi watak dan gaya tetap yang lama. Disamping itu modal seorang brahmana baru ini tetap saja hanya bermodalkan hafalan mantra dan tata cara upacara saja, sehingga masyarakat tetap saja mengalami sebuah pola kehidupan yang tidak ada perkembangan spiritual, bahkan terjadi penderitaan fatal akibat ketidaksesuaian dan ketidakrelevanan energi upacara seperti sakit, kemerosotan ekonomi bahkan kematian yang misterius. Alhasil " ngelidin sema tepuk setra, artinya ; menghindari kuburan tahunya ketemu makam ".
Demikianlah pemaparan tentang pentingnya kesadaran pengetahuan ( jnana kandha ) pada pola kehidupan beragama pada masa sekarang sebagai penguat kegiatan tradisi dan adat yang kita warisi sebagai genrasi yang baik dan disayang sama leluhur. Semoga paparan ini mampu membuka wawasan yang sangat terbuka kepada para praktisi vajrajnana dimanapun berada.

Senin, 31 Agustus 2015

bedakan antara puja dengan sabda


Coba lihat Atharwaveda VIII.1.6 disitu ada sloka yg berbunyi :
"udyanam te purusa nawayanam, jivatum te daksatatim"
Dlm terjemahannya sy dpt baca artinya
"wahai manusia, giatlah bekerja untuk kemajuan, jangan mudah menyerah, Aku anugrahkan kekuatan dan tenaga untukmu"
Apakah ini puja mantram apa sabda Tuhan?
Karena kebanyakan penulis setiap mantram disebut pemujaan, shg umat tdk mampu lagi membedakan mana yg patut di ucap dan mana yg tdk boleh atau tidak pantas diucap............ Mantra adalah bunyi, suku kata, kata, atau sekumpulan kata-kata yang dianggap mampu "menciptakan perubahan"
Misal sabda tsb diatas kalau diucapkan berulang2 dan masuk dibawah pikiran sadar kita maka kita akan menjadi seperti yang disabdakanNya ................ kata weda berarti PENGETAHUAN dan SUSASTRA TTG PENGETAHUAN. Untuk memahami dan menarik manfaat dr 2 arti kata weda itu, para penyusun weda juga sdah membuatkan disiplinya. Yg disebut SAD ANGGA WEDA (siksa, nirukta, wyakarana, candha, jyotisha, kalpa)
Dr 6 itu, 4 yg pertama adalah ILMU BAHASA. Dlm ilmu bahasa inilah kita lemah.
Padahal para ilmuwan sdh menekankan, BAHASA ADALAH ALAT UNTUK MENJELASKAN SEGALA HAL.
Jadi, penyebab utama kita kebingungan menghadapi weda, adalah; kita lemah, kurang dalam pengetahuan bahasa. ..... Mantram; dr akar kata MAN = Pikiran dan TRAYAM=menyebar.
Jd kata mantram berarti "pikiran yg menyebar" maksudnya, pikiran/gagasan yg di-NYATA-kan. Apakah dlm bentuk ucapan atau tulisan.
Perbedaan antara apa yg disebut mantram dg yg bukan mantram adalah;
Ucapan/tulisan yg diucapkan/ditulis dg aturan tertentu, disebut mantram.
Kl tdk menggunakan aturan, tdk bisa disebut mantram. ........ Jika pemujaan, pakailah Puja Mantra ... jika pencerahan umat pakailah Weda Parikrama. Semua berbentuk sloka ... Weda Mantra .......... Dr cara mengucapkan dan akibat yg ditimbulkan, mantram lalu dibedakan sedikitnya menjadi 2.
Mantram yg bersifat mistis/magis dan tidak mistis/magis.
Kenapa demikian, karna di dalam mantram beberapa unsur dijadikan 1 yaitu: prana, akasha, suara/bunyi, aksara, suku kata, kata dan rangkaian kata.
Bagaimana unsur2 ini diformulasikan oleh pembuat dan pengucap mantram, akan menentukan sifat dan akibat penulisan dan pengucapan mantram...... Itulah yg menyebabkan kenapa jika suatu mantram diucapkan, ada orang marah, senang, ketakutan dll. ...... Khusus ttg kutipan Atharwa Weda di atas, sederhananya bisa kimasukan ke dlm kelompok puja. Karna akibat yg ditimbulkan/makna yg ada dlm mantram itu lebih bersifat menyenangkan.
Rg Weda Sama Weda kebanyakan berisi mantram2 pemujaan.
Yajur dan Atharwa banyak berisi mantram2 yg bersifat magis. .....Setiap bahasa memiliki aturan/hukumnya sendiri. Unsur terpenting dr mantram, ad\lah GURU dan LAGHU. bhs Indonesia dan Bali tidak memiliki hukum guru lagu. Jd tdk bisa digunakan menulis mantram dg sifat magis....... Bhs Kawa kuno, setelah dikombinasikan dgn bhs Sanskreta, lalu diolah sedemikian rupa, barulah bhs itu bisa dipakai menuliskan mantram. Makanya, di Bali banyak mantram menggunakan bhs Jawa kuno.


Minggu, 30 Agustus 2015

Aham Brahmaasmi-Tat Tvam Asi





Pandangan Hindu pada alam material dan non material ini adalah juga bagian dari Sang Diri sehingga disebut dalam mantra Sarva Khalvidam Brahma (Segalanya adalah Tuhan).
Wedanta mengajarkan untuk melihat kesatuan segala hal dan segala mahluk di dalam Sang Diri (Narayana). Sang Diri ada pada segalanya dan segalanya ada pada Sang Diri. Menghormati dan menjaga alam dan isinya sama dengan menghormati diri sendiri. Jadi dengan mampu menghormati alam dan isinya serta diri sendiri otomatis kita mampu mencintai Tuhan.
Maka sikap kebaktian Hindu terkait tiga hal yang disebut Tri Hita Karana. Orang-orang Hindu menghormati segala bentuk suci ada di segala hal dan juga mengakui kesucian yang tak berbentuk bahkan melampaui Sang Pencipta dan universal sebagai Hyang Mutlak atau disebut dengan berbagai istilah berkenaan hal ini misal Paramasiwa (Siwa-Sadasiwa-Paramasiwa). Rasa kesucian ini adalah alasan mengapa orang Hindu menemukan tempat suci dimana-mana dan semua memiliki tingkat kesucian yang sama.
Orang Hindu menghormati segalanya melihat esensi sejati dibalik segala wujud sebagai Hyang Paramakawi atau Yang Mutlak. Sehingga orang-orang Hindu memiliki banyak gunung-gunung dan bukit-bukit suci, danau-danau suci, sungai-sungai suci, pohon dan hutan suci, batu suci, bunga suci, rumput suci, binatang-binatang suci, manusia suci dst. Orang-orang Hindu mampu menghormati Yang Suci tidak hanya dalam bentuk manusia tapi juga dalam semua bentuk alam sebab dibalik semua itu adalah Hyang Mutlak atau Hyang Paramakawi yang bersemayam meresap dan membungkus (Wyapi Wyapaka).
Sikap kebaktian Hindu ini bukalah sikap pagan/berhala/musrik seperti versi kepercayaan semit alamatkan atau gambarkan. Ini bukan pemujaan alam eksternal semata tapi sekaligus ranah Internal. Ini adalah pengakuan realitas Tuhan Maha Suci yang benar! Tuhan yang Maha Suci adalah segala Wujud dan Non Wujud. Tuhan ada pada segala hal baik sebagai wujud dan non wujud dan memenuhi segala hal. Oleh Wedanta umat Hindu mengakui bahwa realitas Tuhan Yang Maha Suci ada pada segala hal di alam semesta ini tak terbatas (Sarva Khalvidam Brahma).
Dalam kepercayaan semit ada banyak tempat suci juga, namun tempat ini didefinisikan demikian karena kaitannya dengan manusia yang disucikan pernah berkunjung kesana walaupun tempat itu memiliki latar belakang alam yang indah.
Tempat-tempat suci di kepercayaan semitik mendapat predikat demikian karena beberapa nabi, juru selamat atau orang suci pernah berkunjung kesana atau berkomunikasi kepada Allah dari tempat itu. Jadi tempat itu tidak suci karena daya kharismanya sendiri.
Orang-orang dari agama semit dapat mengagumi tempat-tempat indah dari alam dan menghormatinya sebagai ciptaan Allah untuk murni dimanfaatkan manusia hanya sebagai benda atau seperti pandangan awam kita melihat ternak, jadi tidak bisa melihat/merasakan/menghormati/menyembah tempat itu sebagai manifestasi Tuhan. Ibadah mereka terbatas pada Allah dan wakil manusianya di dunia ini baik itu utusan, nabi atau rasul.

Jejak - jejak Reinkarnasi







Kebenaran reinkarnasi..
Pada saat bocah kecil itu mulai dapat berbicara, dia mulai menceritakan tentang kehidupan di masa lampau sebelum ia dilahirkan di keluarganya yang sekarang. Sang bocah mengatakan kepada keluarganya bahwa di kehidupan lampaunya dia hidup di sebuah desa yangtidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya sekarang dan ia dibunuh karena pukulan di kepala menggunakan kapak. Pada kepercayaan komunitas tersebut, apabila ada anak yang mengingat kehidupan sebelumnya, maka orang tuanya wajib mengantarkannya ke rumah dimana sebelumnya ia pernah hidup. Pada saat sang bocah ditanya dimana ia tinggal, dia menyebutkan nama sebuah desa, kemudian merekapun pergi ke sana. Pada waktu mereka tiba di desa tersebut, sang bocah mengingat namanya di kehidupan lampaunya. Dia kemudian dipertemukan dengan keluarganya kehidupan lampaunya. Keluarga masa lalubocah ini berkata bahwa pria yang dimaksud anak itu memang sudah menghilang sekitar empat tahun, diperkirakan ia tersesat ke wilayah musuh.Bocah itu kemudian menyebutkan nama lengkap dari pembunuhnya. Saat pembunuhnya bertemu dengan anak itu, dia langsung bisa mengenalinya, tetapi pembunuhnya tak mau mengakui apa yang telah dilakukannya. Bocah itu kemudian menunjukkan dimana tempat ia dibunuh dan dikuburkan. Ternyata benar disana mereka menemukan kerangka seorang pria dengan luka di kepala yang mirip dengan tanda lahir anak itu, juga dengan kapak yang digunakan sebagai senjata untuk membunuh pria tersebut.
Dikutip dari situs Ewao.com, kisah bocah ini disaksikan oleh Dr. Eli Lasch, yang populer dalam mengembangkan sistem medis di Gaza sebagai bagian dari operasipemerintah Israel pada tahun 1960.
Dr. Lasch, yang telah meninggal tahun 2009 silam, sudah bercerita tentang kejadian luar biasan itu kepada Hardo.


 http://www.hotmagz.com/2015/06/bocah-3-tahun-mengingat-pembunuhnya-di.html?m=1