Agnihotra berasal dari kata “Agni” dan “Hotra”.Agni berarti api suci, sedangkan Hotra berarti persembahan. Dengan demikian,Agnihotra berarti persembahan kepada api suci atau persembahan kepada tuhan dengan menggunakan api sebagai medianya. Hal ini dikarenakan api dikatakan sebagai simbol lidah dari Tuhan.
Sira Mpu Dharma Agni Yoga Sogata menegaskan,Agnihotrabukan aliran, seperti yang diwacanakan sebagian kalangan, karena Agnihotra tercantum jelas dalam Catur Weda.“Bahkan,sebelum ada banten yang semarak seperti sekarang, para leluhur kita di Bali melaksanakan upacara Agnihotra,” jelasnya.Hal itu dikatakan olehnya tercantum dalam berbagai lontar, di antaranya Silakrama, Prasasti Pande Beratan, Prasasti Slokadan, dan sebagainya.Sementara dalam Weda terdapat pula dalam Bhagavadgita, Agnipurana, Wisnupurana, Durgapurana, Siwapurana, dan pustaka suci Sang Hyang Kamayanikan sebagai acuan Kasogatan di Bali.
Setiap orang suci datang ke nusantara atau ke Bali, seperti Rsi Agastya, Mpu Kuturan, Pandita Sakti Wawu Rawuh dikatakan oleh Sira Mpu senantiasa melaksanakan Agnihotra. Sepengetahuannya, Agnihotra terakhir kali dilaksanakan di Puri Gelgel. “Ketika itu menurut tulisan Prof. Titib berdasarkan penelitiannya, istri raja sedang sakit kemudian Raja meminta Pandita Sakti Wawu Rawuh melaksanakan Homayajña, tetapi beliau pun tidak bisa sehingga diwakilkan oleh Mpu Astapaka yang merupakan keluarganya,” tuturnya.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Api Bakar Puri Gelgel, Raja Keluarkan Bhisama
Agnihotra atau Homayajña akhir-akhir ini kembali menggelora.Tidak hanya di tempat-tempat suci, Agnihotra banyak dilaksanakan umat Hindu di rumah masing-masing.Awalnya sebagian kalangan masyarakat menganggap hal tersebut tidak biasa.Namun kini banyak yang tertarik untuk ikut melaksanakannya.
Jika ditelusuri, Agnihotra berasal dari kata “Agni” dan “Hotra”.Agni berarti api suci, sedangkan Hotra berarti persembahan. Dengan demikian,Agnihotra berarti persembahan kepada api suci atau persembahan kepada tuhan dengan menggunakan api sebagai medianya. Hal ini dikarenakan api dikatakan sebagai simbol lidah dari Tuhan.
Sira Mpu Dharma Agni Yoga Sogata menegaskan,Agnihotrabukan aliran, seperti yang diwacanakan sebagian kalangan, karena Agnihotra tercantum jelas dalam Catur Weda.“Bahkan,sebelum ada banten yang semarak seperti sekarang, para leluhur kita di Bali melaksanakan upacara Agnihotra,” jelasnya.Hal itu dikatakan olehnya tercantum dalam berbagai lontar, di antaranya Silakrama, Prasasti Pande Beratan, Prasasti Slokadan, dan sebagainya.Sementara dalam Weda terdapat pula dalam Bhagavadgita, Agnipurana, Wisnupurana, Durgapurana, Siwapurana, dan pustaka suci Sang Hyang Kamayanikan sebagai acuan Kasogatan di Bali.
Setiap orang suci datang ke nusantara atau ke Bali, seperti Rsi Agastya, Mpu Kuturan, Pandita Sakti Wawu Rawuh dikatakan oleh Sira Mpu senantiasa melaksanakan Agnihotra. Sepengetahuannya, Agnihotra terakhir kali dilaksanakan di Puri Gelgel. “Ketika itu menurut tulisan Prof. Titib berdasarkan penelitiannya, istri raja sedang sakit kemudian Raja meminta Pandita Sakti Wawu Rawuh melaksanakan Homayajña, tetapi beliau pun tidak bisa sehingga diwakilkan oleh Mpu Astapaka yang merupakan keluarganya,” tuturnya.
Entah apa yang menyebabkan, saat Agnihotra berlangsung, mendadak angin datang menerbangkan api dan jatuh pada atap istana sang raja, sehingga puri terbakar. Raja pun tidak berpikir panjang dan mengeluarkan bhisama agar sementara waktu Agnihotra tidak dilaksanakan.“Lama-kelamaan Agnihotra tidak lagi dilaksanakan, kemudian muncul api takep, dupa, dipa yang dikemas kekinian, sedangkan Agnihotra tenggelam.Kemudian muncullah banten,” jelasnya. Akhirnya di tahun 90’an para intelektual Hindu di Bali kembali mengkaji Agnihotra sehingga Agnihotra kembali mentradisi.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
BACA JUGA :
AGNI HOTRA DAN PENOMENANYA..
Copas dr sebuah artikel yg mhn maaf sedikit diedit sesuai dgn pesan yg akan saya sampaikan semoga yg punya artikel ini berkenan pada saya mhn maaf sebesar besarnya,..
Yadnya Agnihotra adalah sebuah ritual suci keagamaan pemujaan kepada Dewa Agni,.yg sudah lumrah dulu dilakukan oleh para maha Rsi, Lalu kenapa sekarang ini masih banyak muncul berbagai perdebatan seputar pelaksanaan Yadnya Agnihotra ?
Itu karena kebiasaan kita hanya melihat dan menilai baru pada kulitnya saja yaitu ritualnya saja, tidak menyatukan diri pada makna dan fungsi utama dari sebuah yadnya itu yaitu persembahan kepada Dewa Agni.
Masalah sembahyang seperti halnya keyakinan beragama adalah masalah pribadi dan bersifat hak asasi yang tidak perlu dilarang, asalkan tidak mengganggu ketentraman orang lain. Untuk itu sebelum kita terlanjur menghakimi fihak lain salah atau benar, maka alangkah baiknya dipahami dulu apa itu Agnihotra.
AGNIHOTRA adalah upacara yadnya untuk memuja Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Agni, dan merupakan maha yadnya, bersifat multifungsi, efisien, serta effektif. Sumber-sumber upacara Agnihotra bisa dijumpai pada kitab-kitab Ithihasa, Purana (Kekawin Ramayana) dan beberapa upanisad seperti: Swetha Swatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan Sri Isopanisad. Didalam kitab suci Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, Atharwa Weda, puja-puja terhadap Dewa-Dewa sangat banyak tetapi yang dominan adalah puja-puja kepada Dewa Agni. Dewa Agni, dalam bentuk material api dalam kehidupan manusia memiliki tujuh fungsi sebagai berikut :
1. Sebagai penerang jiwa, batin dan roh suci
2. Sebagai pencuci, pembasmi kekotoran, serta penetralisir
3. Sebagai pengusir roh jahat
4. Sebagai penghubung pemuja dan yang dipujaNYA
5. Sebagai saksi upacara yadnya
6. Sebagai pendeta pemimpin upacara
7. Sebagai sumber kekuatan atau energi.
8. Sebagai janji suci spt pernikahan atau pelantikan pejabat atau para pemimpin
9. Sebagai sarana mengabukan jenasah agar cepat ke asalnya
10. Sebagai wujud pemenuhan pangan di kehidupan sehari hari yaitu untuk memasak
Atharwa Weda XXVIII.6, menyatakan : Yatra suharda, sukrtam Agnihotra hutam yatra lokah tam lokam yamniyabhisambhuva sano himsit purusram pasumsca. (Dimana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang mempersembahkan dan melaksanakan Agnihotra, disana majelis (pimpinan masyarakat) bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya.)
Dengan demikian sesungguhnya Yadnya Agnihotra mempunyai landasan sastra yang sgt jelas sehingga tidak perlu membuat kita ragu lagi untuk menekuni serta melaksanakanya. Yang perlu dibicarakan dan digaris bawahi dgn bijaksana adalah aplikasinya dalam keseharian dlm masyarakat kita, khususnya di Bali yang sangat kuat dgn adatnya, jangan sampai umat yg pada tatatan awam menjadi menolak Agnihotra ini hanya karena melihat ritualnya yang sangat berbeda dengan kebiasaan upacara yadnya di Bali. Penolakan ini tidak hanya pada tatanan masyarakat awam tetapi ada juga pada Pandita yang tidak sependapat walaupun tidak begitu prontal seperti dengan tidak mengijinkan dilaksanakan di utama mandala (Jeroan Pura).
Berbicara sebuah ritual sebenarnya juga berbicara masalah adat, dimana adat ini adalah kebiasaan masyarakat dan bersifat tidak kekal (dinamis) sehingga mau tidak mau akan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Walaupun demikian memadukan adat yang berbeda (Hindu global, India dan Indonesia dan Bali) seperti yang ada dalam aplikasi Yadnya Agnihotra dengan mengcopy paste 100% tradisi di India yang dibawa dan dilaksanakan di Bali kurang tepat maka kembalikanlah dgn kearifan lokal/ local jenius yg proporsional yg mana unsur daerah nya yg mesti dikedepankan, maka dari itu perlu kesadaran praktisinya, bahwa hal itu bila dijalankan dgn bijak maka tidak akan dapat menimbulkan banyak pertentangan, maka dari itu tindakan yang bijak adalah tidak ekstreem dengan serta merta (100%) membawa tata cara spt di India ke Bali tetapi yg terbaik adalah menyesuaikan dengan local genius tanpa menghilangkan fungsi dan maknanya.
Ada “Hotri” (pemimpin Yadnya Agnihotra) yang sudah dapat melakukannya dengan baik yadya agni hotra mesti menjaga sikap, baik itu komentarnya dan komen, statemennya mesti jangan saling hujat, dan pada saat mengikuti Agnihotra alangkah bagusnya perpaduan sangat baik antara puja yg sdh ada dan mesti dikuasai sama sempurnyanya dgn puja yg sdh ada di Bali, sehingga hampir menyerupai Puja Stawa spt sesuai lidah dan telinga kita, tetapi tetap terasa unsur perpaduan itu menjadi sangat harmonisasi penuh kedamaian.
Disisi lain ada juga yang tidak mesti dipaksakan diterapkan untuk menyatukan budaya hal ini khususnya adaptasi “bhajan” yang sangat tidak cocok di tempat sdh biasa ada kidung dsbnya, justru akan mematikan budaya yg sdh biasa dilagukan atau dipujakan kidung atau wirama itu yg mana fungsinya sama, semestinya bisa membedakan tempat untuk bisa melagukannya atau pilihlah yg lembut yg senafas dan seirama dgn kidung agar terjadi harmonisasi dan tercipta kekhusukan yadnya.
Hal lain adalah cara duduk mesti di logikan jgn terlalu kaku, jangan hrs tetap setengah melingkar khususnya ketika dilaksanakan didalam Pura, karena kebiasaan kita di Bali (Indonesia) adalah menghadap ke Pelinggih sehingga tidak membelakangi Pelinggih. Juga kebiasaan menghadap ke Matahari atau gunung.
Lalu untuk sarana yadnya, semestinya angkat dari kearifan lokal karena kita dididik oleh leluhur untuk mengambil sarana sembahyang dari lingkungan kita, seperti kita dibiasakan untuk menanam kembang, pohon janur, dll yang nantinya akan kita persembahkan kembali kepada Hyang Widhi, nah kalau untuk Agnihotra kemudian janganlah kita harus import bahan-bahan dari 100% dr India, malah budaya banten simple tetap mesti dikedepankan banten canang, pejati, pareresikan pangelukatan itu sdh berlaku dr sejak jaman dulu semenjak hindu masuk ke bali, mesti jangan dirusak padahal itu juga sgt simple juga, dan mesti dilestarikan banyak hal yang akan berbeda penafsiran bagi setiap orang, bagi setiap kepala bila.itu semua ditiadakan digampang di hilangkan apalagi dihujan habis habisan.
Jika demikian, berpalinglah dulu sejenak pada nyala “sebatang dupa” pada awal untuk belajar agni hotra dlm stotra mantranya yg sama yg menjadi pokok pujanya dewa api itu sebelum bisa ber gni hotra karena didalamnya juga memancar kekuatan Dewa Agni dalam tujuh bentuk yang agung salah satunya sebagai “Penerang” semoga dalam nyala sebatang dupa kita lebih memahami hakekat Agnihotra yang sejati dan tidak memperdebatkan bhakti kepada Beliau ini hanya karena ritualnya berbeda, caranya berbeda, bahannya berbeda, tetapi menyatukan diri dalam sebuah BHAKTI apapun bentuknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar