Senin, 22 Juni 2015

Pregembal

 




Sarana upakara di Bali memiliki makna khusus yang terkandung di dalamnya. Hal ini penting diperhatikan, agar kita bisa memaknai upakara tersebut. Seperti halnya banten Pulogembal yang juga disebut Pregembal. Bagaimana sejatinya?

Pulogembal berasal dari kata ‘polo’ dan ‘gembal’. Polo dapat diartikan sebagai otak. Sedangkan gembal berarti berkembang.

Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs. Ida Bagus Putu Sudarsana, mengatakan, kata Pulogembal memiliki makna permohonan agar Ida Sang Hyang Widi menganugerahkan segala bentuk energi untuk tercapainya kesejahteraan dan kedamain. Selain itu, juga menganugerahkan kecerdasan bagi umat manusia, khususnya bagi Umat Hindu.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Dikatakan Ida Nak Lingsir, dalam Lontar Tapeni Yadnya dan Pelutaning Yadnya, dijelaskan bahwa banten Pulogembal biasanya dipergunakan pada banten ayaban tumpeng 21 bungkul ke atas. Banten ini memiliki makna dan fungsi sebagai simbol permohonan kehadapan Ida Sang Hyang Widi berserta manifestasinya.



“Hal itu dimaksudkan agar kita dianugerahkan kekuatan, kedamaian dan kesejahteraan. Jadi, dapat disimpulkam bahwa tidak ada namanya banten Pregembal, yang ada hanya Banten Pulogembal,” terangnya.

Selain itu, banyak kalangan masyarakat yang menyebutkan banten Pulogembal dengan banten Taman Pulogembal. Hal ini tidaklah salah, melainkan secara spesifik pada kenyataannya banten ini memiliki nama lengkap banten Taman Pulogembal. Taman memiliki ilustrasi berupa sumber air, sedangkan air adalah salah satu sumber kehidupan di alam semesta ini. Sehingga, konsep Utpeti, Stiti dan Pralina dapat tercipta.




“Dengan demikian, banten taman ini memiliki makna agar Sang Hyang Widi memberikan anugerah amertha serta tetap terlaksananya hukum Rta atau hukum alam,” ujarnya.


Banten Pulogembal ini memiliki makna sebagai kekuatan pada titik nadir dari bumi. Hal ini menimbulkan kekuatan-kekuatan yang ada di luar angkasa. Sedangkan banten tamannya sebagai simbol keempat arah mata angin di alam semesta ini, yaitu arah timur, arah selatan, , arah barat, dan arah utara.


Kalau dipandang dari segi Bhuwana Alit, lanjutnya, banten Pulogembal merupakan simbol ubun-ubun yang memberikan pengaruhnya pada otak bagian kiri. Sehingga dapat memberikan kecerdasan terhadap manusia.

Sedangkan banten tamanya merupak simbol belahan tulang tengkorak, yaitu belahan bagian depan, bagian belakang, bagian kanan, dan bagian kiri. “Oleh karena itu, pedoman dalam penataan upakara ayaban banten Pulogembal diletakkan di sebelah kiri banten Pengambeyan,” imbuh Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.

Banten Pulogembal memiliki komponen berbagai bentuk jajan yang tersusun sesuai dengan fungsinya masing-masing. Jajan tersebut, yakni Cili Taya yang merupakan simbol kesucian pikiran yang merupakan getaran dari kekuatan atman. Jajan berupa Aksara Ongkara, merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Widi yang telah bersemayam di Bhuwana Agung maupun Bhuwana Alit.

Kemudian Jajan berupa Senjata Tri Sula adalah simbol dari saktinya Sang Hyang Sambhu yang memiliki kekuatan sebagai pencipta Tirtha Amertha Sunia yang merupakan Amerthanya para Dewa dan segala jenis ciptaan Tuhan.



Sedangkan jajan berupa Senjata Gada adalah simbol saktinya Sang Hyang Rudra yang memiliki kekuatan sebagai pencipta Tirtha Amertha Kala yang merupakan Amerthanya Bhuta Kala. Selanjutnya , jajan berbentuk Bulan merupakan simbol Dewi Ratih yang melambangkan ketenteraman dan kedamaian. Selain itu ada jajan Cili Maya yang merupakan simbol atman yang bersifat universal maupun bersifat individual.

Berikutnya adalah jajan berupa Daun Ancak, sebagai simbol kekuatan cahaya alam dan keberadaan para Dewa.

Jajan berikutnya adalah jajan berupa Daun Beringin, merupakan simbol kekuatan Hyang Prajapati sebagai Dewa Pencipta. Jajan Berupa Gunung, merupakan simbol purusa. Kemudian, jajan Cili Dedari merupakan simbol keasrian dan keserasian.

Jajan Samudra merupakan simbol kekuatan prakethi. Jajan berupa Senjata Angkus (Muksala) merupakan simbol Sang Hyang Sangkara yang merupakan simbol kesejahteraan atau kesuburan.



Jajan berikutnya berupa Senjata Gada, yang merupakan simbol sakti Dewa Brahma yang memberikan kekuatan sumber kehidupan. Jajan Cili berisi telor itik matang, menjadi simbol manusia laki-laki dan perempuan. Kemudian, jajan berupa Burung Angsa merupakan simbol turunnya ilmu pengetahuan ke dunia.

Selanjutnya, jajan Sesrodan adalah simbol seisi alam semesta. Dan, terakhir adalah jajan Cili Gendruk yang menjadi simbol Panca Maha Butha.



“Jadi, terdapat 17 jajan di dalam banten Taman Pulogembal yang memiliki makna dan fungsi masing-masing,” ujarnya.

Dikatakannya, pada dasarnya, baik pemangku maupun sulingih, keduanya sama-sama berhak muput banten Pulogembal. Khusus untuk pemangku dibahas dalam lontar Kusuma Dewa. Namun, untuk sulinggih, sebagai seseorang yang telah melaksanakan Dwijati atau Madiksa, sangat berhak muput banten Pulogembal.



Keduanya sama-sama pantas dan sesuai dengan tattwa.
Hal yang mendasar yang membedakan keduanya adalah pada tambahan upakara yang harus disediakan. Pada saat banten Pulogembal yang muput pemangku, di Sanggah Surya Upesaksi (biasanya terbuat dari bambu dan tidak permanen, Red) tidak terdapat banten Dewa-Dewi.

Namun, khusus untuk sulinggih, di Sanggah Surya terdapat banten Dewa-Dewi. Hal itu dikarenakan Banten Dewa-Dewi memiliki makna sebagai upakara yang dipersembahkan kepada Dewa-Dewi yang menyaksikan jalannya upacara.

“Hal itu didasarkan atas pengertian bahwa sulinggih yang merupakan Siwa sekala atau perwujudan Dewa Siwa di dalam diri manusia. Hanya sulinggih yang berhak mengundang dan memberikan sesajen kepada para Dewa-Dewi,” pungkasnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar