1. MITOLOGI YADNYA
Sri Maharaja Sagara yang memerintah negeri Ayodhya mempunyai putra bernama Ansuman yang lahir dari istri pertama, yang setelah dewasa menjadi seorang pertapa. Sedangkan dari istri kedua beliau dianugrahi putra berjumlah enam puluh ribu orang. Diceritakan pada suatu ketika raja berkeinginan mengadakan yadnya yang besar yang disebut upacara korban kuda (aswamedhayadnya). Upacara ini seharusnya adalah yadnya yang harus dilandasi oleh keinginan tulus berdasar pada kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan. Namun, inti yadnya ini tidak dipegang teguh oleh raja. Ia mengadakan aswamedhayadnya adalah dilandasi sifat egoisme individual, hanya ingin mendapatkan kemasyuran pribadi dan pamer kekuasaan. Para Dewa (Dewa Indra) yang mengetahui maksud Raja Sagara, kemudian berinisiatif untuk menggagalkan upacara ini. Dewa Indra kemudian menjelma menjadi orang jahat (asura) dan menghalau kuda yang digunakan dalam upacara itu masuk ke dalam tanah.
Mengetahui kejadian ini, Raja Sagara amat marah. Beliau memerintahkan putranya yang berjumlah enam puluh ribu itu mencari kuda yang raib. Ketika putra-putranya gagal mencari kuda yang hilang itu, maka murkalah sang raja. Beliau segera memrintahkan kembali untuk mendapatkan kuda tersebut dan tidak diperkenankan kembali sebelum upayanya mendapatkan hasil. Kuda yang dicari itu kemudian ditemukan ditempat pertapaan Bhagawan Kapila. Tanpa basa-basi, putra-putra Raja Sagara menuduh Sang Bhagawanlah yang mencuri kuda-kuda tersebut. Akibat perbuatannya ini, maka Bhagawan Kapila menghukum semua putra-putra Raja Sagara dengan membakarnya menjadi abu lewat pancaran sinar suci yang keluar dari mata beliau.
Raja Sagara menjadi cemas dan gelisah karena putra-putranya tidak pulang. Diperintahkanlah Ansuman untuk menyusul saudara-saudaranya. Setelah sampai ditempat Bhagawan Kapila, ia dengan sopan dan penuh hormat bertanya kepada Bhagawan tentang kuda-kuda yang ditemuinya. Beliau kemudian menjelaskan bahwa kuda-kuda itu bukanlah miliknya. Kemudian kuda-kuda itu diserahkan kepada Ansuman.
Sebelum mohon diri, Ansuman menanyakan tentang hal ikhwal saudaranya. Tentu Ansuman menjadi sedih mendengar penjelasan Bhagawan. Namun Sang Bhagawan bersedia menghidupkan semua putra-putra Raja Sagara itu jika Dewi Gangga berkenan turun dari surga ke bumi. Sang Bhagawan berkata, “Lakukanlah tapa untuk memohon agar Dewi Gangga turun ke dunia!”. Sang Ansuman menyatakan bersedia dan mohon pamit sambil menuntun kuda-kudanya pulang menuju kerajaan. Apa yang dialaminya kemudian diceitakan kepada ayahnya, begitu pula tentang cara menghidupkan kembali semua putranya. Dari sinilah raja baru menyadari seluruh perilakunya yang salah. Kerajaan kemudian diserahkan kepada putranya Ansuman untuk memegang tampuk pemerintahan. Sedangkan ia melakukan tapa memohon agar Dewi Gangga turun ke bumi. Sampai akhrir ayat, tapa Sagara belum juga dikabulkan. Tapa kemudian dilanjutkan oleh Ansuman, namun belum juga dikabulkan. Begitu pula dengan putra Ansuman yang bernama Dilipa juga belum berhasil.
Akhirnya atas perkenaan Dewa Brahma dan Dewa Siwa, maka Dewi Gangga dapat diturunkan dari surga berkat tapa Sang Bagirtha (putra Dilipa). Karena derasnya aliran dari Gangga tersebut, maka Dewa Siwa menahannya sehingga alirannya menjadi tercerai berai menjadi aliran besar dan kecil yang kemudian dikenal dengan asta tirta yang diantaranya terdiri atas Yamuna da Saraswati. Sementara sumber mata air pertama yang berada di surga disebut parama siwa.
Menyimak isi cerita tersebut di atas, secara implisit tersirat fungsi penyucian terhadap alam semesta melalui yadnya. Bahwa yadnya bukanlah hanya sebuah pengorbanan (bhakti) yang berwujud secara konkret berupa hal-hal secara fisikal semata seperti yang dilakukan oleh Raja Sagara yang hendak melakukan aswamedhayadnya.
2. TUJUAN YADNYA.
Sebagai mana halnya seperti apayang diungkapkan didepan, tentang pengertian dan makna dari Yadnya, maka sekarang kami akan paparkan tentang Tujuan Yadnya.:
a) Untuk membebaskan diri dari ikatan dosa
Adapun yang menjadi tujuan melaksanakan Yadnya adalah sebagai mana dimuat dalam Bhagawad Gita, III,12, yang terjemahannya sebagai berikut :
1) Dipelihara oleh Yadnya, Para Dewa akan memberi kamu kesenangan yang kamu inginkan, Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, Tanpa memberikan balasan kepada Nya, Adalah pencuri.
2) Orang-orang yang baik, Makan apa yang tersisa dari Yadnya, Mereka itu terlepas dari segala dosa, Akan tetapi mereka yang jahat Menyediakan, makanan untuk kepentingan dirinya sendiri, Mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
b) Untuk membebaskan diri dari ikatan karma.
Tujuan selanjutnya tentang Yadnya adalah untuk membebaskan diri manusia dari ikatan hukum karma. Hal dapat dipetik dari Kitab :
1) Bhagawad Gita, III,09, yang terjemahannya sebagai berikut :
Kecuali pekerjaan apa yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, Dunia ini juga terikat oleh Hukum Karma, Oleh karena O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, Bebaskan diri dari semua ikatan, Yadnya dengan melakukan pekerjaan tanpa mengikatkan diri dengan ikhlas untuk Tuhan.
2) Bhisma Parwa :
“apan ikang karma kabeh kaentas krta tekap ning yadnya niyatannya. Artinya : segala karma itu akan dapat dibebaskan dengan pelaksanaan yadnya yang sesungguhnya.
c) Yadnya adalah salah satu jalan untuk mencapai Sorga .
Hal ini dapat kita temui dalam kitab Agastya Parwa “ tiga ikang karya amuhara swarga, lwire, tapa, yadnya, kirtti “ artinya ada tiga jalan untuk mencapai Sorga yaitu tapa, yadnya dan kirtti.
d) Pada akhirnya tujuan dari pada Yadnya adalah untuk mencapai “kelepasan“ yaitu manunggalnya antara Atma dengan Paramatma. Hal ini sebagai mana dimuat dala Bhagawad Gita, IV,31 yang terjemahannya sebagai berikut :
Mereka yang memakan makanan suci
Dari sisa Yadnya, akan mencapai Brahman
Dunia ini bukan untuk ia
Yang tidak memberikan pengorbanan
Apalagi dunia lainnya
O Arjuna yang terbaik dari para Kuru.
3. MAKANA YADNYA
Ada tiga jenis kewajiban pokok atau Tri Rna yang harus dilakukan antara lain (1) Dewa rna yaitu kewajiban umat Hindu dalam melaksanakan ajaran agama, melaksanakan dharma dengan cara memelihara semua ciptaan-Nya yakni Panca Mahabhuta (Sthana dari Dewa Agni, Bayu, Dewa Apah, Dewi Pertiwi, dan Akasa), Tumbuh-tumbuhan (sthana Dewa Sangkara), Binatang/ Janggama (Sthana dari Dewa Sambhu); (2) Rsi rna yaitu kewajiban dan tanggungjawab umat Hindu terhadap kehidupan para Rsi, Pendeta, Pandita, Pinandita serta melaksanakan ajaran para rsi atau guru; (3) Pitra rna yaitu kewajiban dan tanggungjawab anak terhadap kehidupan orang tua semasih hidup dan melaksanakan upacara setelah beliau meninggal sampai ngalinggihang di kawitan sebagai Dewa Hyang Pitara.
Sebenarnya ketiga rna ini dapat ditambahi dengan dua rna lagi yang mengacu pada panca yadnya sehingga menjadi panca rna yaitu lima buah kewajiban sebagai manusia yaitu (4) Manusia rna adalah kewajiban terhadap sesama manusia agar dapat hidup rukun dan damai. (5) Bhuta rna yaitu kewajiban terhadap panca mahabhuta beserta tumbuh-tumbuhan dan binatang memelihara kelestarian agar dapat hidup nyaman. Dari kelima kewajiban/ rna ini mendasari pelakasanaan upacara yang disebut dengan panca yadnya yaitu : 1) Dewa yadnya; 2) Rsi yadnya; 3) Pitra yadnya; 4) Manusia yadnya dan; 5) Bhuta yadnya.
Dalam lontar Agastya Parwa dijelaskan tentang Panca Yadnya tersebut sebagai berikut :
“ Kunang ikang yadnya lima pratekanya, lwirnya : Dewa yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Butha yadnya, Manusa Yadnya. Nahan tang panca yadnya ring loka. Dewa yadnya ngaranya taila pwa karma ri bhattara siwagni, maka gelaran ring mandala ring Bhatara, yeka dewa yadnya ngaranya; Rsi Yadnya ngaranya kapujan sang pandita muwang sang wuh ri kalingan ing dadi wang; ya rsi yadnya ngaraniya: pitra yadnya ngaraninya tileman buat hyang siwa sraddha, yeka pitra yadnya ngaranya; bhuta yadnya ngaranya Tawurmwang kapujam ing tuwuh pamunggwan kunda wulan makadi walikrama, ekadasa dewata mandala; yeka bhuta yadnya ngaranya; aweh mangan ing kraman ya manusa yadnya ngaranya; ika ta limang wiji ring sedeng ni lokacara mangbhyasa ika maka bheda lima ( agastya parwa, 35, b ).
Artinya :
Yadnya itu lima jenisnya, yaitu Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya. Itulah Panca Yadnya di masyarakat. Dewa Yadnya ialah persembahan minyak kepada Bhatara Siwagni, yang ditaruh di tempat Bhatara itulah yang disebut Dewa Yadnya. Rsi Yadnya ialah Penghormatan kepada para pandita dan orang yang mengetahui hakikat kelahiran menjadi manusia. Itulah Rsi Yadnya. Pitra Yadnya ialah upacara kematian yang dipersembahkan kepada Siwa sebagai penguasa upacara kematian. Itulah Pitra Yadnya. Bhuta Yadnya adalah Tawur dan penghormatan kepada Sarwa Bhuta Pamungwan, tempat api pemujaan, wulan, terutama walikrama (Panca Walikrama), wilayah dewa-dewa yang sebelas (Eka Dasa Rudra). Itulah Bhuta Yadnya. Manusa Yadnya ialah memberikan makan kepada masyarakat. Itulah lima jenis upacara yang umum dilaksanakan orang, lima jenisnya.
Upacara yadnya merupakan wahana untuk menggerakkan alam semesta beserta semua isinya termasuk manusia untuk ditingkatkan menuju kehidupan yang semakin meningkat baik dalam kehidupan fisik material maupun mental spiritual dan ini dapat dicapai dari yadnya yang berkualitas dan kualitas yadnya amat ditentukan oleh kemampuan umat untuk meletakkan kegiatan yadnya sesuai dengan kitab suci weda dan kitab sastra agama yang lainnya.
Banten dalam Lontar Yadnya Prakerti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sangat sakral. Dalam Lontar tersebut Banten disebutkan : Sahananing Banten Pinake Ragante Tuwi, Pinake Warna Rupaning Ida Batara, Pinaka Anda Bhuwana. Dalam Lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh Banten yaitu:
1. Pinaka Raganta twi artinya banten adalah lambang dirimu atau diri kita, contohnya adalah Banten Tataban Alit, Banten Peras, Penyeneng dan Sesayut.
2. Pinaka Warna Rupaning Ida Batara artinya Banten merupakan Lambang Kemahakuasaan Tuhan, contohnya adalah banten dewa-dewi.
3. Pinaka Anda Bhuwana artinya banten merupakan Lambang Alam Semesta (Bhuwana Agung), contohnya adalah pebangkit, pulegembal dan lain-lain.
Selanjutnya Banten disebut juga upakara yang merupakan bagian terpenting dari Upacara Yadnya. Dalam Kitab suci Bhagawadgita XVII,II,12 dan 13 menyebutkan ada tiga tingkatan Yadnya dilihat dari segi kualitasnya, yaitu:
1. Tamasika yadnya, yaitu tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastranya, (jor-joran)
2. Rajasika yadnya, yaitu dilakukuan untuk pamer saja.
3. Satwika yadnya, yaitu yadnya yang dilakukan berdasarkan petunjuk sastra,
Secara terperinci ada tujuh syarat suatu yadnya disebut Satwika, yaitu:
1. Sradha, artinya keyakinan
2. Lascarya, artinya penuh keiklasan (tanpa pamrih)
3. Sastra, artinya sesuai petunjuk sastra
4. Daksina, artinya ada penghormatan dihaturkan secara iklas kepada pendeta
5. Mantra dan Gita, artinya setiap upacara atau yadnya haruslah ada mantra dan panca gita
6. Annasewa, artinya Pelayanan pendeta, tamu dan orang sekeliling
7. Nasmita, artinya tidak pamer kemewahan atau kekayaan untuk membuat tamu atau tetangga berdecak kagum.
4. MAKNA UPACARA PIODALAN
Piodalan sendiri dapat diartikan sebagai perayaan hari jadi tempat suci. Upacara piodalan merupakan kewajiban karma desa dalam rangka membayar hutang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasinya yang disthanakan di pura kayangan desa. Piodalan ini terbagi menjadi dua yaitu (1) Piodalan alit (nyanang) dan (2) Piodalan Ageng dan di ikuti oleh seluruh warga karma baik yang tinggal di luar Desa maupun di desa itu sendiri yang terdiri dari berbagai dadia (klen). Piodalan yang dilaksanakan di pura kayangan desa ada yang melaksanakan setiap 6 (enam) sekali dan ada yang melaksanakan setiap satu tahun sekali. Tujuan dari upacara piodalan adalah untuk mewujukan kehidupan yang harmonis dan sejahtera lahir batin dalam masyarakat.
Dalam Lontar Sundari Gama ada disebutkan bahwa, barang siapa yang tidak memelihara dan tidak melaksanakan kewajiban di Pura Puseh tentu masyarakat sekitarnya akan kekurangan sandang pangan, dan tidak terpeliharanya kehidupan masyarakat setempat karena Dewa Wisnu sebagai Pemelihara ( Stiti ) dengan Saktinya Dewi Sri yang menguasai makanan tidak akan merestui Nya.
Barang siapa yang secara tulus berbhakti dan melaksanakan kewajiban terhadap Pura Bale Agung, tentu masyarakatnya akan menjadi rukun dan tenteram, karena Dewa Brahma yang distanakan di Pura Bale Agung sebagai tempat untuk bermusyawarah, dan Saktinya Dewi Saraswati akan menebarkan pengetahuan kesucian agar menjadikan sama dalam perkataan, sama dalam perbuatan dan sama dalam pemikiran. Sehingga apa yang menjadi harapan bersama akan dapat terwujud dengan baik.
Dan barang siapa yang tulus berbhakti dan melaksanakan kewajibannya terhadap Pura Dalem, tentu masyarakat itu akan menjadi aman dan damai dan harmonis karena terhindar dari mara bahaya, karena Dewa Siwa / Iswara yang dipuja dengan Saktinya Dewi Durga sebagai penguasa kematian dan Dewi Uma akan senantiasa menjauhkan segala rintangan mara bahaya kepada umatnya. Bila terjadi ketidakharmonisan dimasyarakat maka akan dilakukan upacara “ Guru Piduka “ kehadapan Betara di Pura Dalem, dan bila ketidakharmonisan itu muncul akibat mewabahnya “ sasab – merana “ maka upacara itu dipersembahkan kepada Dewi Durga / Uma sebagai penguasai kekuatan sasab merana.
5. PENUTUP
Pelaksanaan Upacara piodalan adalah merupakan Swadharma Agama masing-masing desa adat di Bali. Upacara Piodalan goals pemujaannya secara fisik adalah air dan bumi sehingga yang di puja dalam Upacara Piodalan Desa adalah dewa-dewa yang memberikan kesejahteraan dan keselamatan seperti Deswa Wisnu penguasa air Perthiwi dewi bumi, dan dewa siwa yang memberikan perlindungan dan keselamatan. Dalam pelaksanaan upacara piodalan ini agar air dan bumi (tanah) memiliki kekuatan dan kesuburan sehingga daun, bunga, buah, batang atau umbinya dapat di nikmati oleh umat manusia dan akhirnya dapat mencapai tujuan hidup yaitu moksartham jagadhittaya ca iti dharma.