Rabu, 14 Juli 2021

Matatah dan Sarana Upacara Berdasarkan Lontar Eka Prathama

 

Matatah dan Sarana Upacara Berdasarkan Lontar Eka Prathama

MATATAH: Matatah, salah satu upacara Manusa Yadnya yang termuat dalam Lontar Eka Prathama. I Wayan Titra Gunawijaya, S.Ag, M.Fil. H  (Putu Mardika/Bali Express)


Ada banyak lontar di Bali yang mengupas tentang pelaksanaan Panca Yadnya. Namun, bila ingin mengetahui tata cara yang spesifik tentang Manusa Yadnya, maka Lontar Eka Prathama merupakan salah satu rujukannya.

Anggota Ikatan Cendikiawan Hindu Indonesia Provinsi Bali, I Wayan Titra Gunawijaya, S.Ag, M.Fil. H mengatakan, Lontar Eka Prathama banyak membahas tentang tatanan dan banten yang dipergunakan dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya

Sebab, melirik dari isinya secara keseluruhan, menguraikan tentang tata upacara Manusa Yadnya dari upacara bayi baru lahir sampai upacara perkawinan. 

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Tingkatan upacara Manusa Yadnya yang dimaksud, adalah ketika bayi baru lahir ke dunia ada upacara yang harus dilaksanakan, yang dapat dilaksanakan secara nista, madya atau utama.

“Mulai dari saat bayi kepus pusar, setelah bayi berusia 42 hari, setelah bayi berusia enam bulan diselenggarakan upacara dengan sesajen tersendiri dalam tingkatan nista, madya atau utama. Nah itu dikupas dalam Lontar Eka Prathama tersebut,” jelasnya, kemarin.

Termasuk saat upacara perkawinan, lanjutnya, dalam Lontar Eka Prathama diuraikan ada semacam peringatan kepada mempelai yang dilarang keluar rumah dan sampai menginjakkan kakinya ke jalan raya, sebelum melaksanakan upacara perkawinan.

Khusus tentang pelaksanaan upacara Matatah dalam Lontar Eka Prathama mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Sebab enam buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau diratakan.

Upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan tradisi yang masih terus dilakukan umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Dalam pelaksanaan upacara Matatah, Lontar Eka Prathama mengupas tentang etika yang harus dipatuhi saat Matatah, termasuk cara berpakaian, seperti dikutip : Walining wong atatah, yan lanang wastra cepuksari, sabhagya yan hana cepukmadhu, sabuknya bagus anom, lang wangsul kampuhnya kayu sugih. 

Yan wadon, kenya cepuk lubeng luwih, wastranya sukawredi, sabuknya taler bagus anom, lan-lan wangsul selendangnya kayu sugih. Nwah maka paturwanya, tekaning ulesnya, lakiba, sama pada mangkana. 



Paturwanya tikeh palasa, 1, sinurat smara ratih, kawos sirahnya kemit, pelangka gading, marangkub wangsul kemit, wangsul palangka gading, gedongan geringsing, klasanana pramadani, lan patawala sutra. Mwah ulesanya pakis lulut, lulut oneng, sudhamala, kayu sugih.

Jika diartikan, berikut pakaian orang potong gigi. Apabila laki-laki memakai kain cepuksari, berbahagialah bila ada cepukmadhu, ikat pinggang bagus anom, dan tali kapuhnya kayu sugih. 

Apabila perempuan kain dalamnya cepuk lubeng luwih, kain luarnya sukawredi, ikat pinggangnya juga bagus anom, dan tali selendangnya kayu sugih. Dan, sebagai tempat tidurnya beserta sprainya, baik yang laki maupun perempuan sama. 

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Tempat tidurnya tikar halus, satu lembar, digambari smara ratih, pelindung kapalanya, balai gading, ditutup dengan kain sebagai penutupnya, kain pada balai gading, kain gedingan geringsing, alasnya permadani dan patawalasutra. Pembungkusnya adalah pakis lulut. Lulut oneng, sudhamala dan kayu sugih. 

Dari kutipan teks lontar tersebut, dijelaskan pakaian orang yang akan Matatah harus sesuai, yaitu berisikan kain kuning, memakai kain cepuksari dan berbagai kain pendukung lainnya. Serta yang terpenting antara pakaian pria dan wanita dibedakan.

Selain cara berpakaian, dalam teks Lontar Eka Prathama juga disebutkan bagaimana cara berludah dan juga tempat ludah pada saat prosesi potong gigi berlangsung. 

Kutipan teks Lontar Eka Prathama menyebutkan : Mwah maka genahing widunya, cengkiring nyuh gading, kinasturi, rinajah Ardanareswari, lalamakan awangsul sabuh rah, wangsul nagasari, ikang widunya, pedem ring wingkinging sanggara agung. Mwang singganging waja, tebu malem 3 buku, lawan carang dapdap, wusnya mendem sarengan ring genahing wiku ika.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Bila diartikan :  lagi sebagai tempat ludahnya kelapa gading muda dikasturi. Digambari Ardanareswari, sebagai alas membuang ludah adalah kain nagasari, kemudian ludahnya itu ditanam di belakang sanggar agung, alat perenggang gigi (mulut) tebu malem 3 ruas dan ranting dapdap, setelah selesai tanam bersama-sama tempat ludah itu.

“Dari kutipan teks lontar tersebut dijelaskan, sarana yang dipakai untuk alas dan juga tempat air liur di tempat khusus. Termasuk sarana yang dipergunakan mendapat tempat khusus, sehingga tidak dibuang sembarangan,” paparnya. 

Dikatakannya, dalam teks Lontar Eka Prathama, penggunaan banten dalam upacara Potong Gigi atau Matatah sangat banyak sekali perannya. Jenis banten pun diulas secara detail.

Seperti yang tertulis : Nyan tingkahing babaline wong wus atatah, angadegaken sanggara tawang, ryarepning kabuyutan, genep sakramaning sanggar tawang, caru kang munggagi sanggar tawang, banten suci 4 dandanan, tekeng catur warna genep kadi kramaning suci kayng lagi. Ring sor tambehana caru, sakutu-kutuning walantaga, den jangkep kadi nguni.

Jika diartikan : Inilah tata cara orang potong gigi, mendirikan sanggar tawang, di depan sanggar kemulan, upakara sanggar lengkap. Banten yang dinaikkan di sanggar tawang banten suci empat perangkat, disertai dengan catur warba, lengkap sebagaimana suci biasanya. Di bawah tambahkan caru, peji, uduh, pisang lalung, agar lengkap seperti biasanya.

Dari kutipan teks lontar tersebut, telah mencerminkan keberagamaan di Bali. Dimana setiap pembuatan bangunan berupa sanggar pendukung, menempatkan banten sebagai simbolnya, kemudian di bawah meletakkan caru sebagai simbul keharmonisan.

“Ini menandakan tingkat religiusitas masyarakat Bali dari zaman kuno yang tertuang dalam teks Lontar Eka Prathama sangat tercermin sekali melalui perwujudan banten,” imbuh dosen di Prodi Teologi, STAHN Mpu Kuturan Singaraja tersebut.

Selain kutipan teks tersebut, dijelaskan pula secara detail banten yang dipergunakan dalam upacara potong gigi, sebagai berikut : Mwah paruk alit 4, maka catur kumba. Dyun pere, kumba carat 4, mwah caratan, pane, sasenden, kekeb, keren, dangdang lemah, kuskusan anyar, mesi sarwa rwi-rwi 108, palungan, suwir pepek, ilir, cucukin don, kalasa anyar, pada 1. 

Pari rong tenah, parahwatning anenun, kampil mesi beras. Malih panyukcuk itik belang kalung, ayam sudhamala, celeng muani, garboda, pungu-pungu, patlasan anut dina, kukusuk sudhamala.

Artinya :  periuk kecil empat buah untuk catur kumba, tempayan pere, kuba carat empat, dan kendi, panai, senden, tutup, keren, periuk tanah, kuskusan baru, berisi jenis-jenis duri sebanyak 108, lumpang, siwur pepek, kipas, pucuk daun, tikar halus masing-masing satu. 

Padi dua tenah, perlengkapan menenun, kampil berisi beras. Lagi sebagai pemucuk itik belang kalung, ayam sudhamala, babi jantan, garboda, pungu-pungu, patlasan sesuai dengan hari, kukusuk sudhamala.

Selain menempatkan banten secara detail, peletakan sarana banten juga disesuaikan dengan tattwa. Meskipun pada dasarnya umat Hindu di Bali beragama berdasarkan cara yaitu praktek, akan tetapi tidak terlepas dari tattwa dan susila sebagai tonggak ukur pelaksanaan kegiatan yadnya umat Hindu.

“Melalui penggunaan banten dapat dilihat secara gamblang mengenai pemaknaan relegius terkait dengan upacara potong gigi khususnya dalam teks Lontar Eka Prathama,” pungkasnya. 

(bx/dik/rin/JPR)


Beragam Rajah dan Fungsi, Rupa Seni Unik Berdaya Magis



Rerajahan (rangkaian aksara gambar magis) menjadi salah satu sarana ritual bernilai seni religius yang cukup sering digunakan umat Hindu di Bali. Meski tak lepas dari konsep Rwa Bhineda, benda sakral ini memiliki beragam wujud, mulai dari gabungan mantra, huruf suci, hingga gambar atau lukisan.


Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag mengungkapkan, rerajahan kerap digunakan untuk tujuan yang suci berhubungan dengan Panca Yadnya. Selain itu, ada juga yang digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma. Biasanya disebut ilmu aliran kiri (pengiwa), dan ilmu ini biasanya dikalahkan oleh (panengen) ilmu aliran kanan.




“Dalam sistem ritual Hindu banyak dikenal simbol-simbol yang disebut dengan yantra. Dari yantra inilah menimbulkan berbagai kekuatan magis yang religius. Antara rerajahan, tantra dan mantra memiliki suatu keterpaduan yang sangat erat,” kata Gami Sandi.

Dosen Prodi Filsafat STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini menambahkan, rerajahan tidak akan bermakna kalau tidak dipasupati. Rerajahan hanya akan menjadi gambar yang kosong, dan hanya mengandung estetika saja. Namun, jika sudah dipasupati, maka benda sakral ini tidak lepas dari kekuatan gaib.

Bagaimana tidak. Rerajahan menjadi sarana memanggil kekuatan gaib, menjemput roh-roh baik, untuk hadir di tempat pemujaan, peringatan pada leluhur. “Gabungan antara huruf-huruf sakral (Modre) dengan gambar-gambar simbolis yang dihidupkan oleh kekuatan doa atau mantra, sehingga menimbulkan kekuatan magis,” imbuhnya.

Menurutnya, kekuatan hurup atau aksara sakral yang dikenal dengan Aksara Modre, bermanfaat untuk menuliskan hal-hal yang bersifat magis. Seperti tentang kadyatmikan, kalepasan, dan japa mantra. “Agar rerajahan menimbulkan kekuatan magis harus dipadukan dengan Mantra, Tantra, Yadnya, dan Yoga,” paparnya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Aksara Modre ada tiga macam, yaitu Aksara Lokanatha, Aksara Pati atau Panten, dan Wijaksara. Aksara sakral ini dalam penggunaannya sering dipadukan dengan gambar-gambar sakral yang disebut dengan rerajahan.

Karena memiliki kekuatan magis yang ditimbulkan oleh rerajahan inilah, rupanya tidak hanya digunakan untuk tujuan suci saja. Tetapi kerap disalahgunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma.

Masing-masing rerajahan mempunyai fungsi yang berbeda. Sehingga dikenal jenis rerajahan putih dan rerajahan selem (hitam). Rerajahan putih digunakan untuk melindungi diri. Sedangkan rerajahan selem biasanya untuk menyakiti orang.

Keduanya sebagai konsep Rwa Bhineda. Jika keduanya bertemu, maka akan melahirkan energi dan kedinamisan dalam hidup. Namun sebaliknya, apabila keduanya dibenturkan (tidak harmonis), maka malapetaka akan terjadi.

Motif yang dilukiskan dalam rerajahan sangat bervariasi. Masing-masing mempunyai nilai simbolis berbeda. Demikian juga material yang digunakan sangat bervariasi, seperti lempengan logam (emas atau perak), kain kapan, daun kelapa, daun lontar, kertas.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Gambar yang lazim dilukiskan dalam rerajahan, sering menggunakan simbol dewa-dewi, raksasa, tapak dara, manusia, senjata nawa sanga, bunga padma, huruf Ongkara dan Dasaksara. Ada pula gambar binatang, bangunan suci, dan benda-benda langit.

Gami Sandi Untara mengungkapkan, dari beragam gambar dan huruf itu, pada dasarnya rerajahan dapat dibagi menjadi tiga jenis. Rinciannya, rerajahan berupa tulisan (kaligrafi Bali) yang merupakan kata-kata mengandung makna, sering disebut dengan mantra.

Ada juga rerajahan berupa gambar-gambar hayali dari bentuk manusia, binatang, kombinasi bentuk manusia dengan binatang, dan tetumbuhan. Kemudian rerajahan kombinasi dari bentuk gambar dengan tulisan indah, yakni gambar merupakan wujudnya, sedangkan tulisannya adalah isi atau kekuatan.

Rerajahan memiliki beragam fungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan dari sugesti rerajahan itu. Misalnya, Rerajahan Canting Mas yang dibuat dalam kepingan emas serta dibungkus dengan kain putih, berfungsi untuk keteguhan dan penarik simpati.

Rerajahan Siwer Mas juga ditulis dalam kepingan emas atau perak. Lalu dibungkus dengan kain putih. Rerajahan ini sangat bermanfaat sebagai penangkal ilmu sihir yang sering mencederai, seperti desti, teluh, tranjana.

Selain itu, rerajahan juga digunakan untuk mendapatkan kekuatan dan perlindungan dari para dewata. Untuk menyucikan diri, untuk mendapat simpati (pematuh), mencegah secara gaib hal-hal yang tak diinginkan, menyerang balik pihak musuh, dan memeroleh kekuatan gaib.

“Selama ini persepsi orang tentang rerajahan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Hal ini sangatlah wajar karena sebagian besar figur yang digambarkan pada rerajahan sangat aneh, angker, dan menyeramkan,” kata pria asal Tabanan ini.

Menurutnya, persepsi tersebut sangat wajar. Karena orang yang bergelut dengan rerajahan lazimnya berperan ganda disebut Balian Ngiwa-Nengen. Selain bertugas menyakiti, terkadang juga untuk mengobati.

Kemampuan seperti itulah yang sering dialamatkan pada para dukun atau 'balian' dalam memanfaatkan rerajahan.

Sebagai jimat, rerajahan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik untuk keselamatan maupun untuk mensugesti sesuatu, seperti penglaris hingga pesugihan.

Gambar rerajahan untuk keperluan itu biasanya digoreskan pada lempengan tembaga atau benda lainnya dibungkus dengan kain kapan. Kemudian diberikan mantra-mantra dengan sesajen secukupnya. Sarana tersebut biasanya ditanam atau ditempatkan pada suatu tempat, dan ada juga yang selalu dibawa dengan menyisipkannya pada pakaian.

Sedangkan, dalam pelaksanaan ritual, rerajahan dimanfatkan pada aktivitas Panca Yadnya. Pada upacara Pitra Yadnya/Ngaben misalnya, rerajahan digunakan sebagai simbol orang yang meninggal atau diupacarai.

Ketika rerajahan dibuat di atas kayu cendana disebut Pererai dan pada selembar kain yang disebut Kajang, Kekasang, dan Racadana. Bentuk yang digambarkan berupa manusia, dilengkapi dengan tulisan dari aksara Bali sebagai penjelasannya.

Pembuatan rerajahan Kajang disesuaikan dengan warga (soroh) orang yang meninggal. Rerajahan Kajang merupakan simbolisasi dari kendaraan roh yang dipakai menuju alam nirwana. Sementara Kasang atau Kekasang adalah gambar rerajahan yang ditulis di atas kain putih persegi empat dalam bentuk senjata Nawa Sanga, sebagai simbol dari tempat duduk Bhatara Nawa Sanga.

Sebelum digunakan, Kekasang dimantrai oleh seorang pendeta. Isi atau maksud mantra tersebut adalah memohon keselamatan dan karunia dari Dewata Nawa Sanga.

Selain itu, rerajahan juga difungsikan dalam pembuatan banten (sesajen). Untuk kepentingan itu, rerajahan dilukiskan dalam berbagai bentuk, seperti garuda, padma, cakra, dewa-dewi, atau senjata nawa sanga yang dibuat secara utuh. “Biasanya rerajahan itu diterapkan pada paso (tempayan), ngiyu (anyaman tempat sesaji), bungkak (kelapa muda), sangku, dan sebagainya,” pungkasnya.

(bx/dik/rin/JPR)

Tujuh Jenis Rerajahan Penolak Bala Hingga Black Magic



Tidak hanya memiliki nilai estetika yang tinggi. Rerajahan (rangkaian aksara gambar magis) yang melalui proses mantra, tantra, yadnya dan yoga, juga memiliki beragam fungsi. Mulai dari sarana penolak bala, sarana kekebalan, sarana white magic (panengen) hingga sarana black magic (pangiwa).


Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag mengatakan, ada tujuh jenis rerajahan yang digunakan sebagai penolak bala. Diantaranya Rehing Pacul, yaitu rerajahan jenis ini dirajah pada cangkul, tengala dan lain-lainnya atau semua alat-alat pertanian. Tujuan utama dari rerajahan tersebut adalah menolak panas angker di sawah dan tegalan.




Ada juga rerajahan Siwa Mimi, digunakan untuk menghalau desti (sarwa merana). Rerajahan Siwa Mimi cirinya berkepala lima. Rerajahan tersebut dikelilingi dengan senjata seperti cakra, gada, naga pasa, dupa, keris, padma (catur dala), tri sula, dan binatang naga pasa.


Rerajahan Kala Raja, Rajastra atau Kala Mertiu digunakan sebagai penolak gering dan butha kala, penolak dari segala sesuatu yang bersifat membahayakan (mayanin), penolak sarwa wesya dan sarwa baya (nyengkalen).

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

“Sarana yang dipakai adalah kertas, setelah itu barulah dirajah dan aksaranya memakai aksara Dasa Bayu,” jelasnya.

Rerajahan Tumbal Tungguh digunakan sebagai penolak jika ada orang mempunyai niat jahat. Dengan adanya rerajahan Tumbal Tangguh, maka niat jahat bisa hilang. Sarana adalah kertas dan tempatnya di atas pintu masuk atau pintu gerbang.

Rerajahan Butha Maya fungsinya sebagai penjaga rumah (pangijeng karang perumahan). Sarananya adalah tembaga. Rerajahan ini tempatnya pada sanggar beratap ijuk, kemudian ditancapkan pada halaman rumah (natah). Sanggar yang berisi rerajahan tersebut perlu dibuatkan sesajen setiap hari.

Sesajen yang dimaksud adalah nasi kepel, dagingnya bawang jahe dan garamnya garam hitam (tasik ireng). Fungsinya sebagai penolak jika terjadi gering gerubug, tetempur leak wisesa, butha sakti, wisya mandi.

Rerajahan Sang Hyang Gana Sari digunakan sebagai pengasih sarwa tetempur dan gerubug seluiring durjana, muang butha dewa. Maksudnya sebagai penolak dari semua jenis black magic (leak), dan kalau ada kematian berturut-turut tanpa diketahui penyebabnya, juga bisa sebagai penolak butha dewa.

Sarananya adalah kain kasa putih. Pemakaiannya adalah seperti memasang bendera dengan memakai tiang yang agak panjang.

Rerajahan Tumbal, fungsinya sebagai penolak karang yang sangat angker. Sarananya adalah pelepah kelapa (papah nyuh). “Tempatnya adalah ditancapkan di pekarangan yang angker tersebut,” ungkapnya.

(bx/dik/rin/JPR)

Selasa, 20 April 2021

Makna dan Isi Banten Ajuman yang Dihaturkan Saat Kuningan






AJUMAN : Banten Ajuman merupakan sarana yang dipakai untuk memuliakan, menghormati, juga sujud kepada Hyang Widhi. (ISTIMEWA)





Dalam perayaan Hari Raya Kuningan, salah satu banten yang sering dihaturkan adalah banten Ajuman atau biasa disebut juga Soda atau Rayunan. Sebenarnya apa saja isi dan makna dari banten Ajuman tersebut?

Baca juga: Kepongor Jika Banten Seadanya Mitos atau Bukan? Ini Penjelasannya


Banten Ajuman atau Rayunan merupakan sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi. Nama Ajuman sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ngajum, menghormati, sujud kepada Hyang Widhi.

Dalam mempersembahkan banten Soda atau Ajuman ini bisa berdiri sendiri, atau dipersembahkan bersama ke dalam suatu banten tertentu, misalnya untuk melengkapi banten Pajati menjadi bagian dalam banten Ayaban tumpeng lima, tumpeng pitu, dan sorohan banten lainnya. Ada juga yang berpendapat, banten Ajuman dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci .



Bila ditujukan ke hadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, yang disebut juga perangkat atau perayun, yaitu jajan serta buah-buahannya dialasi tersendiri.

Demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper (ituk-ituk), diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pasucian, canang burat wangi atau yang lain. Alasnya tamas (taledan atau ceper) berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari.


"Dalam banten Ajuman biasanya berisi dua buah penek atau Telompokan yang merupakan lambang danau dan lautan. Biasanya dalam banten Ajuman ada dua penek yang merupakan simbol dari purusa dan pradana yang bentuknya disimbolikan dalam danau dan lautan,” ujar Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba kepada Bali Express ( Jawa Pos Group) di Griya Agung Siwa Gni Manuaba, Denpasar.



Selain dua buah penek, dalam banten Ajuman juga menggunakan tamas atau taledan. Menurut Ida Pandita, tamas merupakan lambang cakra atau simbol kekosongan yang murni (ananda). Taledan merupakan lambang catur marga, yaitu empat jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Raja Marga, sebagai sarana memuliakan Hyang Widhi (ngajum). Selain tamas ada juga rerasmen atau lauk-pauk yang dialasi Tri Kona . Biasanya rasmen berisi serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal. Rasmen merupakan simbol dari Bhuana Agung yang dipersembahkan, yang juga sebagai sarana memuliakan Hyang Widhi (ngajum).

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

" Salah satu unsur terpenting dalam banten Ajuman adalah sampian sodan atau disebut juga Sampian Plaus ( Perangas). Ini merupakan simbolisasi dari sebuah keteguhan hati kita sebagai manusia dalam melaksanakan yadnya serta ajaran dharma,” ujarnya.

Sampian Sodan biasanya dibuat dari janur, kemudian dirangkai dengan melipatnya, sehingga berbentuk seperti kipas. "Sampian Sodan bermakna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi, manusia harus menyerahkan diri secara totalitas dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika bhaktaNya telah siap. Dan, dapat pula diartikan sampian itu sebagai keteguhan hati," bebernya.
Ada juga unsur jaje gina dan buah – buahan dalam banten Ajuman, yang fungsinya sebagai perwujudan syukur atas rezeki berupa makanan sehingga membuat manusia tetap hidup.


Dikatakannya, dalam lontar Tegesing Sarwa Banten dipaparkan mengenai makna penggunaan buah yakni 'Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan.


Artinya, segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu satwam, rajas, dan tamas (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan dalam bentuk bebantenan.


Satu lagi pelengkap banten Ajuman, yaitu canang sari atau canang genten. Canang sari merupakan inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti atau hormat kepada Hyang Widhi, ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian. "Jika sebuah banten tidak dilengkapi Canangsari, maka banten tersebut dikatakan tidak sah atau kurang lengkap,” ujarnya. Di sisi lain, ia juga memaparkan, Canangsari adalah suatu upakāra atau banten yang selalu menyertai, melengkapi setiap sesajen (persembahan). Jadi, segala upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak dilengkapi dengan Canangsari


Dari makna filosofi masing-masing unsur yang ada pada banten Ajuman atau Soda, lanjutnya, bahwa semua unsur-unsurnya bermakna pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widdhi Wasa, mulai dari unsur Bhuana Alit sampai unsur Bhuana Agung yang dipersembahkan secara tulus ikhlas.

Minggu, 18 April 2021

Buli Huma, Ritual Hindu Kaharingan Jelang Tempati Bangunan Baru






BULI HUMA : Cendikia Hindu Kaharingan, Tiwi Etika, Ph.D (KIRI) Basir Ugoi A Bunu pimpin upacara Buli Huma sebelum menempati gedung FDDBW IAHN Tampung Penyang, Kamis (25/3) lalu. (istimewa)





Sebelum menempati bangunan yang baru usai dibangun, umat Hindu umumnya melaksanakan ritual. Di Bali, ritual tersebut biasa disebut Mlaspas. Ada juga yang baru sebatas mamakuh karena situasi dan kondisi tertentu. Setelah nantinya pemilik maupun bangunan siap, baru dilaksanakan Mlaspas.


Serupa dengan Mlaspas, penganut Hindu Kalimantan Tengah yang biasa disebut Hindu Kaharingan memiliki ritual Buli Huma. Ritual Buli Huma dilaksanakan Suku Dayak Ngaju sebelum menempati rumah atau bangunan yang baru dibangun.



Baik Mlaspas maupun Buli Huma, secara esensi hampir sama, yakni menetralisasi energi negatif yang ada, sekaligus memohon anugerah Tuhan agar bangunan yang ditempati kokoh dan penggunanya diberikan keselamatan.

Baca juga: Antisipasi Teror Perayaan Paskah, Gereja di Denpasar Dijaga Ketat



Buli Huma, Upacara Melaspas ala Hindu Kaharingan (Istimewa)








“Jadi ini ritual yang mirip pada esensinya,” ungkap Tiwi Etika, Ph.D selaku Cendikian Hindu Kaharingan dalam kegiatan webinar nasional HUT Integrasi Kaharingan-Hindu ke-41 bertema 'Tantangan dan Masa Depan Integrasi Kaharingan ke dalam Hindu', Sabtu (27/3) lalu.

Wanita yang menjabat Dekan Fakultas Dharma Duta dan Brahma Widya (FDDBW) Institut Agama Hindu Negeri (IAHN) Tampung Penyang ini, menerangkan, dalam ritual Buli Huma juga menggunakan sarana yang di Bali disebut upakara.

Terlihat dalam gambar yang ditampilkan, ada daging ayam, jajan, serta minuman yang disuguhkan secara sederhana dalam wadah. Ritual ini biasanya dipimpin orang suci yang disebut Basir.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Seperti saat pelaksanaan Buli Huma sebelum menempati gedung FDDBW IAHN Tampung Penyang, Kamis (25/3), dilansir dari website IAHN Tampung Penyang, ritual dipimpin Basir Ugoi A Bunu. Dilaksanakan pula Mlaspas dan Macaru yang dipimpin pinandita AA Gede Wiranata, M.Ag.

“Buli Huma dan Mlaspas gedung baru merupakan ritual yang dilaksanakan ketika kita menempati rumah atau gedung baru, guna memohon izin dan menetralisasi dari segala hal yang tidak diinginkan,” ungkapnya.

Harapannya, lanjutnya, agar penghuni selalu didekatkan dengan hal-hal yang baik dan terhindar dari keburukan. Sehingga dapat memanfaatkan dan memelihara gedung baru Fakultas Dharma duta dan Brahma Widya dengan semaksimal mungkin.

Menurut Tiwi, Buli Huma sebagai salah satu ritual yang mirip dengan Mlaspas diibaratkan sebagai kulit telur. Pada bagian kuning telurnya adalah teologi, sedangkan pada bagian putihnya adalah tata susila.

“Kulit telur satu dengan lainnya terlihat berbeda, namun pada esensinya adalah sama,” kata dia. Tiwi juga sempat menyinggung ritual Hindu Kaharingan yang menggunakan salah satu sarana berupa darah binatang. Hal ini pun mirip dengan sekte Bhairawa yang sempat berkembang pada beberapa abad silam. Hanya saja, apakah ritual-ritual Hindu Kaharingan juga dipengaruhi sekte tersebut atau justru memang memiliki sekte tersendiri, ia belum bisa menyimpulkan.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Di sisi lain, ia berharap agar momentum Hari Ulang Tahun (HUT) Integrasi Kaharingan-Hindu ke-41 menguatkan pemahaman terhadap agama Hindu. Apalagi mengutip dari Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, M.A, bahwa Suku Dayak Kaharingan merupakan penganut Hindu zaman Weda. Sehingga ajaran yang diwariskan hingga kini sangat berharga karena bisa bertahan di tengah tantangan zaman.

Sementara itu, Dirjen Bimas Hindu, Dr. Tri Handoko Seto, S.Si., M.Sc selaku Keynote Speaker dalam webinar itu, berharap 41 tahun integrasi Kaharingan-Hindu tak sekadar integrasi semata. Melainkan Hindu Kaharingan diharapkan memunculkan teologi yang nantinya memperkaya teologi Hindu.

“Jangan sampai hal-hal yang dibahas dalam webinar ini hanya berhenti menjadi sebatas catatan webinar saja,” katanya.

Dengan berbagai tantangan yang dihadapi Hindu Kaharingan, menurutnya, diperlukan penguatan pemahaman terhadap agama Hindu. Sehingga Sumber Daya Manusia Hindu Kaharingan semakin meningkat kualitasnya. “Diperlukan tata pikir untuk menguatkan hal itu,” tegasnya.

Sedangkan Ketua PHDI Pusat Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya pada kesempatan itu menekankan pentingnya semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Ia juga mengajak seluruh umat agar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Hindu dalam kehidupan sehari-hari.

Pria yang juga anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ini, mengingatkan adanya hukum Rta dan Karma Phala, agar umat selalu ingat kepada dharma agama dan dharma negara.

Ini Makna dan Ritual Saat Hari Pemacekan Agung






Ilustrasi (ISTIMEWA)





Pemacekan Agung adalah hari raya umat Hindu sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara, yang dirayakan setiap Soma Kliwon Wuku kuningan. Hal itu dilaksanakan dengan menghaturkan yadnya untuk memohon keselamatan.


“Sore hari (sandikala) menghaturkan segehan di halaman rumah dan di muka pintu pekarangan rumah yang ditujukan kepada Sang Kala Tiga Galungan beserta pengiringnya agar kembali dan memberi keselamatan,” ujar Dekan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI, Dr. I Made Yudabakti, S.sp, M.Si yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group).




Lebih lanjut dijelaskan, kata Pemacekan Agung berasal dari kata Pacek yang dapat diberikan arti Tapa. Sedangkan kata Agung berarti kuat atau teguh. Dengan demikian, makna pelaksanaan hari suci Peemacekan Agung yakni karena telah kuat tapanya para umat Hindu terhadap godaan Sang Kala Tiga, sehingga Sang kala Tiga dapat di-somya dan kembali ke sumbernya.







Pemacekan Agung jatuh pada hari kelima setelah perayaan Hari Suci Galungan Pemacekan berarti ‘saat menancapkan sesuatu’ dan kata Agung berarti ‘besar, mulia, utama’. Secara filosofis Pemacekan Agung mengandung makna, bahwasanya hari ini manusia diingatkan agar ‘kemenangan’ yang telah ia peroleh melalui pertempuran melawan adharma dijadikan sebagai ‘tonggak’ kebangkitan kesadaran diri, sebagai ‘pengukuhan’ komitmen untuk selalu menjaga martabat kemanusiaan, dan menghindarkan diri dari ‘momo angkara’.

Di lain pihak, Ida Pedanda Gde Menara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs Ida Bagus Sudarsana, menjelaskan, pada hari Suci Pemacekan Agung umat Hindu melaksanakan upacara kecil, berupa menghaturkan banten soda pada masing-masing palinggih dan melaksanakan persembahyangan sampai selesai metirtha. Sesudah selesai metirtha sebagian tirtha tadi diperciki ke seluruh pekarangan pemerajan dan perumahan.



Hal itu tiada lain adalah untuk menetralisir pengaruh Sang Kala Tiga. Etika dalam melaksanakan Pemacekan Agung adalah dengan memerciki tirtha ke arah Ngider Kiwa. Kemudian menghaturkan segehan agung di lebuh yang disertakan dengan api takep, tetabuhan arak berem. Dengan demikian selesailah pelaksanaan Hari pemacekan Agung.

Dalam lontar Dharma Kahuripan disebutkan: “Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma” (Pemacekan Agung, namanya demikian adalah pemusatan diri dengan sarana tapa kepada Sanghyang Dharma). Pemacekan Agung adalah sebuah ‘tapasya’ atau janji diri untuk selalu mengedepankan dharma dalam setiap tindak-tanduk kita mengisi hidup-sehingga kemenangan yang telah kita raih tidak tersapu oleh godaan ahamkara.

Pemacekan Agung adalah saat dimana panji-panji dharma ditancapkan dan ditegakkan. “Sehingga semua bentuk musuh baik yang berasal dari luar diri, pun yang bersumber dari dalam diri tidak memiliki kesempatan dan kekuatan melemahkan jati diri kita sebagai manusia (manusa sane masesana),” katanya.

Kamis, 15 April 2021

PERTEMPURAN ANTARA SRI KRISHNA DAN SHIVA

 


Ketika Aniruddha tidak kembali dari Sonitapura, keluarga dan teman-temannya melewati empat bulan musim hujan dengan sangat tertekan. Ketika mereka akhirnya mendengar dari Narada Muni bagaimana Aniruddha ditangkap, pasukan besar prajurit Yadawa terbaik, di bawah perlindungan Krishna, berangkat ke ibu kota Banasura dan mengepungnya. Banasura dengan ganas menentang mereka dengan pasukannya sendiri yang berukuran sama. Untuk membantu Banasura, Dewa Siva, ditemani oleh Kartikeya dan segerombolan orang bijak, mengangkat senjata melawan Balarama dan Krishna. Bana mulai berperang melawan Satyaki, dan putra Bana bertempur melawan Samba. Semua dewa berkumpul di langit untuk menyaksikan pertempuran itu. Dengan anak panah-Nya, Sri Krsna mengusir para pengikut Dewa Siva, dan dengan membuat Dewa Siva dalam kebingungan, Ia mampu menghancurkan pasukan Banasura.Kartikeya dipukul dengan sangat keras oleh Pradyumna sehingga dia melarikan diri dari medan perang, sementara sisa-sisa pasukan Banasura, diganggu oleh pukulan gada Balarama, tersebar ke segala arah.


Marah melihat kehancuran tentaranya, Banasura bergegas menyerang Krishna. Tetapi Sang Bhagavān segera membunuh pengemudi kereta Bana dan mematahkan kereta dan busurnya, dan kemudian Dia membunyikan kulit kerang Pancajanya. Selanjutnya ibu Banasura, mencoba menyelamatkan putranya, muncul telanjang di depan Sri Krishna, yang memalingkan wajah-Nya untuk menghindari menatapnya. Melihat peluangnya, Bana kabur ke kotanya.
Setelah Sri Krishna benar-benar mengalahkan hantu dan hobgoblin yang bertempur di bawah pimpinan Dewa Siva, senjata Siva-jvara - personifikasi demam dengan tiga kepala dan tiga kaki - mendekati Sri Krishna untuk melawan Dia. Melihat Siva-jvara, Krishna melepaskan Wisnu-jvara-Nya. Siva-jvara diliputi oleh Wisnu-jvara; karena tidak memiliki tempat lain untuk berlindung, Siva-jvara mulai berbicara kepada Sri Krishna, memuliakan-Nya dan meminta belas kasihan. Sri Krishna senang dengan Siva-jvara, dan setelah Tuhan menjanjikan kebebasan dari rasa takut, Siva-jvara sujud kepada-Nya dan pergi.


Selanjutnya Banasura kembali dan menyerang Sri Krishna lagi, memegang semua jenis senjata di seribu tangannya. Tetapi Sri Krishna mengambil cakra Sudarsana-nya dan mulai memotong semua lengan raksasa itu. Dewa Siva mendekati Krishna untuk berdoa bagi nyawa Banasura, dan ketika Sang Bhagavān setuju untuk menyelamatkannya, Ia berkata sebagai berikut kepada Siva: "Banasura tidak pantas mati, karena Ia lahir di keluarga Prahlada Maharaja. Saya telah memutuskan semua kecuali empat lengan Bana hanya untuk menghancurkan harga dirinya yang palsu, dan saya telah memusnahkan pasukannya karena mereka adalah beban bagi bumi. Selanjutnya dia akan bebas dari usia tua dan kematian, dan tetap tidak takut dalam segala keadaan, dia akan menjadi salah satu pembantu utama Anda. "
Yakin bahwa dia tidak perlu takut, Banasura kemudian mempersembahkan penghormatannya kepada Sri Krishna dan meminta Usha dan Aniruddha duduk di kereta pernikahan mereka dan dibawa ke hadapan Sang Bhagavān. Krishna kemudian berangkat ke Dwaraka dengan Aniruddha dan mempelai wanita memimpin prosesi. Ketika pengantin baru tiba di ibu kota Sri Krishna, mereka dihormati oleh warga negara, kerabat dan para brahmana.
ya evaṁ kṛṣṇa-vijayaṁ
śaṅkareṇa ca saṁyugam
saṁsmaret prātar utthāya
na tasya syāt parājayaḥ
Siapapun yang bangun pagi-pagi dan mengingat kemenangan Sri Kṛṣṇa dalam pertempuran melawan Dewa Siva tidak akan pernah mengalami kekalahan. (SB 10.63.53)