Rerajahan (rangkaian aksara gambar magis) menjadi salah satu sarana ritual bernilai seni religius yang cukup sering digunakan umat Hindu di Bali. Meski tak lepas dari konsep Rwa Bhineda, benda sakral ini memiliki beragam wujud, mulai dari gabungan mantra, huruf suci, hingga gambar atau lukisan.
Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag mengungkapkan, rerajahan kerap digunakan untuk tujuan yang suci berhubungan dengan Panca Yadnya. Selain itu, ada juga yang digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma. Biasanya disebut ilmu aliran kiri (pengiwa), dan ilmu ini biasanya dikalahkan oleh (panengen) ilmu aliran kanan.
“Dalam sistem ritual Hindu banyak dikenal simbol-simbol yang disebut dengan yantra. Dari yantra inilah menimbulkan berbagai kekuatan magis yang religius. Antara rerajahan, tantra dan mantra memiliki suatu keterpaduan yang sangat erat,” kata Gami Sandi.
Dosen Prodi Filsafat STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini menambahkan, rerajahan tidak akan bermakna kalau tidak dipasupati. Rerajahan hanya akan menjadi gambar yang kosong, dan hanya mengandung estetika saja. Namun, jika sudah dipasupati, maka benda sakral ini tidak lepas dari kekuatan gaib.
Bagaimana tidak. Rerajahan menjadi sarana memanggil kekuatan gaib, menjemput roh-roh baik, untuk hadir di tempat pemujaan, peringatan pada leluhur. “Gabungan antara huruf-huruf sakral (Modre) dengan gambar-gambar simbolis yang dihidupkan oleh kekuatan doa atau mantra, sehingga menimbulkan kekuatan magis,” imbuhnya.
Menurutnya, kekuatan hurup atau aksara sakral yang dikenal dengan Aksara Modre, bermanfaat untuk menuliskan hal-hal yang bersifat magis. Seperti tentang kadyatmikan, kalepasan, dan japa mantra. “Agar rerajahan menimbulkan kekuatan magis harus dipadukan dengan Mantra, Tantra, Yadnya, dan Yoga,” paparnya.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Aksara Modre ada tiga macam, yaitu Aksara Lokanatha, Aksara Pati atau Panten, dan Wijaksara. Aksara sakral ini dalam penggunaannya sering dipadukan dengan gambar-gambar sakral yang disebut dengan rerajahan.
Karena memiliki kekuatan magis yang ditimbulkan oleh rerajahan inilah, rupanya tidak hanya digunakan untuk tujuan suci saja. Tetapi kerap disalahgunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma.
Masing-masing rerajahan mempunyai fungsi yang berbeda. Sehingga dikenal jenis rerajahan putih dan rerajahan selem (hitam). Rerajahan putih digunakan untuk melindungi diri. Sedangkan rerajahan selem biasanya untuk menyakiti orang.
Keduanya sebagai konsep Rwa Bhineda. Jika keduanya bertemu, maka akan melahirkan energi dan kedinamisan dalam hidup. Namun sebaliknya, apabila keduanya dibenturkan (tidak harmonis), maka malapetaka akan terjadi.
Motif yang dilukiskan dalam rerajahan sangat bervariasi. Masing-masing mempunyai nilai simbolis berbeda. Demikian juga material yang digunakan sangat bervariasi, seperti lempengan logam (emas atau perak), kain kapan, daun kelapa, daun lontar, kertas.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Karena memiliki kekuatan magis yang ditimbulkan oleh rerajahan inilah, rupanya tidak hanya digunakan untuk tujuan suci saja. Tetapi kerap disalahgunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma.
Masing-masing rerajahan mempunyai fungsi yang berbeda. Sehingga dikenal jenis rerajahan putih dan rerajahan selem (hitam). Rerajahan putih digunakan untuk melindungi diri. Sedangkan rerajahan selem biasanya untuk menyakiti orang.
Keduanya sebagai konsep Rwa Bhineda. Jika keduanya bertemu, maka akan melahirkan energi dan kedinamisan dalam hidup. Namun sebaliknya, apabila keduanya dibenturkan (tidak harmonis), maka malapetaka akan terjadi.
Motif yang dilukiskan dalam rerajahan sangat bervariasi. Masing-masing mempunyai nilai simbolis berbeda. Demikian juga material yang digunakan sangat bervariasi, seperti lempengan logam (emas atau perak), kain kapan, daun kelapa, daun lontar, kertas.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Gambar yang lazim dilukiskan dalam rerajahan, sering menggunakan simbol dewa-dewi, raksasa, tapak dara, manusia, senjata nawa sanga, bunga padma, huruf Ongkara dan Dasaksara. Ada pula gambar binatang, bangunan suci, dan benda-benda langit.
Gami Sandi Untara mengungkapkan, dari beragam gambar dan huruf itu, pada dasarnya rerajahan dapat dibagi menjadi tiga jenis. Rinciannya, rerajahan berupa tulisan (kaligrafi Bali) yang merupakan kata-kata mengandung makna, sering disebut dengan mantra.
Ada juga rerajahan berupa gambar-gambar hayali dari bentuk manusia, binatang, kombinasi bentuk manusia dengan binatang, dan tetumbuhan. Kemudian rerajahan kombinasi dari bentuk gambar dengan tulisan indah, yakni gambar merupakan wujudnya, sedangkan tulisannya adalah isi atau kekuatan.
Rerajahan memiliki beragam fungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan dari sugesti rerajahan itu. Misalnya, Rerajahan Canting Mas yang dibuat dalam kepingan emas serta dibungkus dengan kain putih, berfungsi untuk keteguhan dan penarik simpati.
Rerajahan Siwer Mas juga ditulis dalam kepingan emas atau perak. Lalu dibungkus dengan kain putih. Rerajahan ini sangat bermanfaat sebagai penangkal ilmu sihir yang sering mencederai, seperti desti, teluh, tranjana.
Selain itu, rerajahan juga digunakan untuk mendapatkan kekuatan dan perlindungan dari para dewata. Untuk menyucikan diri, untuk mendapat simpati (pematuh), mencegah secara gaib hal-hal yang tak diinginkan, menyerang balik pihak musuh, dan memeroleh kekuatan gaib.
“Selama ini persepsi orang tentang rerajahan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Hal ini sangatlah wajar karena sebagian besar figur yang digambarkan pada rerajahan sangat aneh, angker, dan menyeramkan,” kata pria asal Tabanan ini.
Menurutnya, persepsi tersebut sangat wajar. Karena orang yang bergelut dengan rerajahan lazimnya berperan ganda disebut Balian Ngiwa-Nengen. Selain bertugas menyakiti, terkadang juga untuk mengobati.
Kemampuan seperti itulah yang sering dialamatkan pada para dukun atau 'balian' dalam memanfaatkan rerajahan.
Sebagai jimat, rerajahan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik untuk keselamatan maupun untuk mensugesti sesuatu, seperti penglaris hingga pesugihan.
Gambar rerajahan untuk keperluan itu biasanya digoreskan pada lempengan tembaga atau benda lainnya dibungkus dengan kain kapan. Kemudian diberikan mantra-mantra dengan sesajen secukupnya. Sarana tersebut biasanya ditanam atau ditempatkan pada suatu tempat, dan ada juga yang selalu dibawa dengan menyisipkannya pada pakaian.
Sedangkan, dalam pelaksanaan ritual, rerajahan dimanfatkan pada aktivitas Panca Yadnya. Pada upacara Pitra Yadnya/Ngaben misalnya, rerajahan digunakan sebagai simbol orang yang meninggal atau diupacarai.
Ketika rerajahan dibuat di atas kayu cendana disebut Pererai dan pada selembar kain yang disebut Kajang, Kekasang, dan Racadana. Bentuk yang digambarkan berupa manusia, dilengkapi dengan tulisan dari aksara Bali sebagai penjelasannya.
Pembuatan rerajahan Kajang disesuaikan dengan warga (soroh) orang yang meninggal. Rerajahan Kajang merupakan simbolisasi dari kendaraan roh yang dipakai menuju alam nirwana. Sementara Kasang atau Kekasang adalah gambar rerajahan yang ditulis di atas kain putih persegi empat dalam bentuk senjata Nawa Sanga, sebagai simbol dari tempat duduk Bhatara Nawa Sanga.
Sebelum digunakan, Kekasang dimantrai oleh seorang pendeta. Isi atau maksud mantra tersebut adalah memohon keselamatan dan karunia dari Dewata Nawa Sanga.
Selain itu, rerajahan juga difungsikan dalam pembuatan banten (sesajen). Untuk kepentingan itu, rerajahan dilukiskan dalam berbagai bentuk, seperti garuda, padma, cakra, dewa-dewi, atau senjata nawa sanga yang dibuat secara utuh. “Biasanya rerajahan itu diterapkan pada paso (tempayan), ngiyu (anyaman tempat sesaji), bungkak (kelapa muda), sangku, dan sebagainya,” pungkasnya.
(bx/dik/rin/JPR)
Gami Sandi Untara mengungkapkan, dari beragam gambar dan huruf itu, pada dasarnya rerajahan dapat dibagi menjadi tiga jenis. Rinciannya, rerajahan berupa tulisan (kaligrafi Bali) yang merupakan kata-kata mengandung makna, sering disebut dengan mantra.
Ada juga rerajahan berupa gambar-gambar hayali dari bentuk manusia, binatang, kombinasi bentuk manusia dengan binatang, dan tetumbuhan. Kemudian rerajahan kombinasi dari bentuk gambar dengan tulisan indah, yakni gambar merupakan wujudnya, sedangkan tulisannya adalah isi atau kekuatan.
Rerajahan memiliki beragam fungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan dari sugesti rerajahan itu. Misalnya, Rerajahan Canting Mas yang dibuat dalam kepingan emas serta dibungkus dengan kain putih, berfungsi untuk keteguhan dan penarik simpati.
Rerajahan Siwer Mas juga ditulis dalam kepingan emas atau perak. Lalu dibungkus dengan kain putih. Rerajahan ini sangat bermanfaat sebagai penangkal ilmu sihir yang sering mencederai, seperti desti, teluh, tranjana.
Selain itu, rerajahan juga digunakan untuk mendapatkan kekuatan dan perlindungan dari para dewata. Untuk menyucikan diri, untuk mendapat simpati (pematuh), mencegah secara gaib hal-hal yang tak diinginkan, menyerang balik pihak musuh, dan memeroleh kekuatan gaib.
“Selama ini persepsi orang tentang rerajahan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Hal ini sangatlah wajar karena sebagian besar figur yang digambarkan pada rerajahan sangat aneh, angker, dan menyeramkan,” kata pria asal Tabanan ini.
Menurutnya, persepsi tersebut sangat wajar. Karena orang yang bergelut dengan rerajahan lazimnya berperan ganda disebut Balian Ngiwa-Nengen. Selain bertugas menyakiti, terkadang juga untuk mengobati.
Kemampuan seperti itulah yang sering dialamatkan pada para dukun atau 'balian' dalam memanfaatkan rerajahan.
Sebagai jimat, rerajahan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik untuk keselamatan maupun untuk mensugesti sesuatu, seperti penglaris hingga pesugihan.
Gambar rerajahan untuk keperluan itu biasanya digoreskan pada lempengan tembaga atau benda lainnya dibungkus dengan kain kapan. Kemudian diberikan mantra-mantra dengan sesajen secukupnya. Sarana tersebut biasanya ditanam atau ditempatkan pada suatu tempat, dan ada juga yang selalu dibawa dengan menyisipkannya pada pakaian.
Sedangkan, dalam pelaksanaan ritual, rerajahan dimanfatkan pada aktivitas Panca Yadnya. Pada upacara Pitra Yadnya/Ngaben misalnya, rerajahan digunakan sebagai simbol orang yang meninggal atau diupacarai.
Ketika rerajahan dibuat di atas kayu cendana disebut Pererai dan pada selembar kain yang disebut Kajang, Kekasang, dan Racadana. Bentuk yang digambarkan berupa manusia, dilengkapi dengan tulisan dari aksara Bali sebagai penjelasannya.
Pembuatan rerajahan Kajang disesuaikan dengan warga (soroh) orang yang meninggal. Rerajahan Kajang merupakan simbolisasi dari kendaraan roh yang dipakai menuju alam nirwana. Sementara Kasang atau Kekasang adalah gambar rerajahan yang ditulis di atas kain putih persegi empat dalam bentuk senjata Nawa Sanga, sebagai simbol dari tempat duduk Bhatara Nawa Sanga.
Sebelum digunakan, Kekasang dimantrai oleh seorang pendeta. Isi atau maksud mantra tersebut adalah memohon keselamatan dan karunia dari Dewata Nawa Sanga.
Selain itu, rerajahan juga difungsikan dalam pembuatan banten (sesajen). Untuk kepentingan itu, rerajahan dilukiskan dalam berbagai bentuk, seperti garuda, padma, cakra, dewa-dewi, atau senjata nawa sanga yang dibuat secara utuh. “Biasanya rerajahan itu diterapkan pada paso (tempayan), ngiyu (anyaman tempat sesaji), bungkak (kelapa muda), sangku, dan sebagainya,” pungkasnya.
(bx/dik/rin/JPR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar